Just when I thought we only had a few days left and this year seemed to end quietly, I was proven to be wrong. Apparently our group was capable enough to burn itself, even without the involvement of their favorite gas stove. The irony of democracy and free speech, I guess. Haha.
The fateful day began just like any other good morning. Unassuming, nothing looked suspicious and I was ignoring the incoming messages as I was busy re-watching Emily in Paris. By the time it caught my attention, the situation had gone bad drastically, with one party asking to be removed from the group.
Not happening under my watch, of course. But by the time I joined the chaos, it had run its course. It then ended abruptly after the requestor figured out how to leave the group himself, but not before he left behind a trail of destruction that actually contradicted things he used to preach.
It was silly that all this concluded in such a way, but it didn't happen overnight. If anything, the bitterness had been brewing for a year or two. Something must have gone awfully wrong after the Semarang trip. Then came the final blow today.
But this wasn't important. My key takeaway from this incident was the reputation, pride or whatever you called it was indeed fragile and damning. That's what happened when one was trying too hard to rely upon it as the validation of his or her existence. Years of effort to build that and you had nothing left when it crumbled. I reckon that one could be emotionally distressed due to this, until you simply couldn't take it anymore.
I remember the time when I wrote about why people were different. I strongly believed that a happy childhood got a lot to do with the character development. When you grew up not lacking so many things in this material world, you tended to believe that money was all right, but not everything. This perspective was a privilege not many could have, I'm afraid. And in this case, that's when judging people based on how much they had started to happen.
To make it worse, the person who did this happened to be the same person who always glorified himself. Throughout the years, he always emphasised on how he was always true to his words, that not even 10 horses could pull them back the moment he has said things. The situation lasted for a while, until one fine day, the status quo was badly shaken.
It was the day when the long waited grand plan became reality. He failed to deliver and suddenly couldn't prove what he said. Anything that came from him was undone by his own doing. One by one, until it all became a joke, something that you didn't take it seriously anymore. It was an eye-opener to see how a person of repute fell from grace like that. It was a mixed feeling to see him left with nothing: it was sad, funny at times, pitiful and there was also tremendous lost of respect.
And that lasted for almost three months. You could sense that he tried to fight back for the last bits of his pride in many occasions, but there was nothing else to be salvaged. Then came today. Although he preached that he wouldn't leave the group out of respect to others, he left few minutes later. Life couldn't be more ironic than this.
Now, make no mistake here. I still love the man. He's a good friend and his leaving the group is not the end of the world. But one important lesson here is the use of pride or reputation. It is never something we need to get so defensive about, that we feel the need to claim and disclaim in the process. By doing so, perhaps we are simply craving for validation, not exactly worthy of the respect given by others.
No, we use it to better ourself. For example, if you make a mistake, you own it up and you do it right next time, because you are proud to be someone who delivers. Before anybody else starts condemning, it already hurts your pride by the time you realize your mistake. And you'll remember that for life and emerge a better person because of it. That, I believe, is how it should be...
A better time... |
Reputasi, Harga Diri Atau Apapun Namanya Itu
Sempat saya sangka bahwa tahun 2022 yang hanya tersisa beberapa hari ini akan berlalu dalam sunyi, tapi ternyata saya salah sangka. Grup WhatsApp SMA seringkali membara, dengan atau tanpa kompor gas favorit mereka. Mungkin ini adalah dampak dari demokrasi dan kebebasan berbicara, hehe.
Kisah kali ini dimulai seperti pagi di hari-hari biasa. Semuanya terlihat normal dan saya abaikan pesan-pesan yang masuk karena sedang menonton ulang Emily in Paris. Ketika saya menyadari bahwa sesuatu telah terjadi, situasinya sudah memburuk dan seorang anggota meminta untuk dikeluarkan dari grup.
Tentu saja permintaan ini saya abaikan, hehe. Namun ketika saya mulai turut serta membuat ricuh, kegaduhan itu sendiri sudah hampir usai dan tiba-tiba berhenti ketika anggota yang selama ini mengaku tidak bisa meninggalkan grup itu akhirnya berhasil keluar sendiri. Yang agak kontroversial itu, sebelum keluar, dia masih sempat sesumbar tentang hal yang akhirnya dia langgar sendiri.
Agak konyol rasanya bahwa pertikaian ini berakhir seperti ini, tapi semua ini tidak terjadi begitu saja. Kepahitan ini setidaknya sudah menggelegak setahun atau dua tahun silam. Sesuatu sepertinya terjadi setelah liburan bersama ke Semarang, lalu terjadilah percekcokan terakhir di hari ini.
Keributan ini sendiri tidaklah terlalu penting. Hikmah yang bisa diambil dari kejadian hari ini justru adalah betapa reputasi, harga diri atau apapun namanya itu ternyata sangat rapuh dan mencelakakan. Ini bisa terjadi bila seseorang berusaha terlalu keras demi validasi tentang keberadaan dirinya. Bertahun-tahun reputasi itu dibangun, namun sirna begitu saja ketika runtuh. Saya rasa ini bisa menimbulkan ganjalan di hati yang lambat-laun tidak tertahankan.
Saya ingat ketika menulis tentang kenapa setiap orang itu berbeda. Saya sepenuhnya percaya bahwa masa kecil yang bahagia itu sangat besar peranannya dengan perkembangan karakter. Bila anda tumbuh tanpa banyak kekurangan di dunia yang materialistis ini, anda mungkin percaya bahwa uang itu penting, tapi bukan segalanya. Ini adalah sudut pandang yang mungkin tidak dimiliki oleh mereka yang dulunya kekurangan. Oleh karena itu, seseorang bisa jadi tanpa sadar selalu menilai segala sesuatu dari uang.
Yang lebih parah lagi, orang yang sama juga memiliki kebiasaan membanggakan diri sendiri. Dari tahun ke tahun dia menekankan bahwa dia selalu menepati kata-katanya. Bahkan 10 kuda pun tidak bisa menarik kembali apa yang sudah dia ucapkan. Situasi seperti ini terus berlanjut sampai hari di mana status quo ini terguncang hebat.
Ini adalah hari di mana rencana ke Jepang yang sudah lama ditunggu itu akhirnya mulai dijalankan. Teman yang satu ini gagal mewujudkan apa yang dia ucapkan. Apa saja yang dikatakannya lantas menjadi batal karena ulahnya sendiri. Satu demi satu, sampai akhirnya terasa seperti lelucon yang tidak lagi kita tanggapi dengan serius. Melihat bagaimana seseorang yang selalu mengagungkan reputasinya menjadi terpuruk sedemikian rupa adalah sesuatu yang mencengangkan dan membuka mata. Ada beragam perasaan bercampur-aduk: ikut sedih, merasa geli, kasihan dan kehilangan rasa hormat terhadapnya.
Dan situasi ini berlanjut hampir tiga bulan lamanya. Saya yakin yang di grup bisa merasakan bagaimana dia berusaha menggapai kembali apa yang tersisa dari reputasinya, tapi semua sudah luluh-lantak tak bersisa. Lalu tibalah hari ini. Meski dia masih berujar bahwa dia tidak akan meninggalkan grup karena masih banyak teman lain, tapi dia nyatanya keluar beberapa menit kemudian. Hidup tidak pernah terasa lebih ironis dari perisitiwa ini.
Saya perlu jabarkan bahwa saya tetap menyayanginya sebagai teman. Dia sebenarnya orang yang baik dan keluarnya dia dari grup tidak berarti kiamat. Tapi yang ingin saya tekankan di sini adalah kegunaan dari reputasi atau harga diri itu sendiri. Ini bukanlah sesuatu yang perlu terlalu dibela sampai melibatkan banyak klaim dan pengecualian yang dibuat-buat. Kalau begitu caranya, mungkin yang bersangkutan hanyalah membutuhkan validasi dari perkataan dan perbuatannya, bukan benar-benar pantas dihormati oleh yang lain.
Jadi bukan itu. Reputasi dan harga diri, menurut saya, adalah sesuatu yang kita gunakan untuk membuat kita menjadi lebih baik lagi. Sebagai contoh, ketika kita salah, kita mengaku dan berusaha untuk tidak mengulanginya lagi, sebab kita bangga sebagai orang yang tepat janji. Jadi sebelum orang lain mengeritik, kita sendiri sudah koreksi diri karena kita pun sangat kecewa dengan kesalahan yang kita perbuat. Kesalahan itu lantas akan selalu kita ingat dan kita akan menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya, yang berusaha untuk tidak lagi melakukan kesalahan serupa...