Total Pageviews

Translate

Saturday, May 20, 2023

The Drinking Tradition

As a child from the 80s, I always love how things turned out to be. We had a happy, internet-free childhood. Then we lived through the dawn of mobile technology as we matured as adults. My favorite time, as I recall, was when BBM ruled the earth. For the first time ever, we were able to chat on the go. 

But as much as I wanted it to be, it wasn't during BBM's time that things fell into places. On the contrary, the technology at that time still wasn't good enough. it was also too chaotic for all the aspects in our life to be aligned yet. It was one generation later, by the time WhatsApp became the standard, that we as friends really kept in touch again. 

The year was 2015. We were in our mid 30s, now settling down with enough freedom to enjoy the fruit of our hard labor for the past 10 years or more. Our high school group chat was founded. And in Singapore, the drinking tradition would soon begin to take shape. 

It started with Eday's visit to Singapore for work and doing his jury duty for Gundam stuff. Those who lived in Singapore would naturally play the host. We had dinner, drinks and most importantly, we exchanged ideas and talked about untold stories old and new. For that few hours, we were simply those guys from the same high school in Pontianak again. The togetherness was a much-needed liberation that it would repeat once a year since 2015.

The past events.

In the early days, we would still have some random participants such as Andiyanto and Jimmy Lim, but Darwin's natural selection happened and the members remained the same since then. For few years in a row, there were only Eday, Endrico, Surianto, Taty and I. It stayed that way, almost permanently. 

AW changed all this when he joined us in 2020, but little did we know that the pandemic was just around the corner. COVID-19 put a stop to almost everything, including our six-year-old tradition. But even when we could only wait, we still made plans. And after our trip of 13 people to Japan, getting a similar number of crowd to come to Singapore seemed less challenging than before.

That night, on the same day Nintendo released the sequel of Breath of the Wild, our drinking tradition resumed with a vengeance. It was bigger and better than before. How so? For a start, this year was supposed to be our 25 year reunion celebration and it was great to have Wiwi, Eday and Jimmy on the same table for the first time ever since our graduation. It's an achievement unlocked, I would say. 

Eday and Jimmy.

We had Surianto complaining from one end of the table to another and he eventually spilled the beer on my shorts. There was Jimmy preaching as always, saying stuff like togetherness such as this was a treasure, especially because we weren't getting any younger. There was also AW breaking the beer glass as he got too excited. Then we had this memorable moment when Eday hugged Jimmy and told him that he would always be remembered as a loyal friend. 

In order to understand the importance of the scenes that unfolded, I had to say that we weren't saints. We had our differences. Throughout the years, on the pretext of jokes, we might have said and done things that were hurtful to others. But by the end of the day, it was touching to see our friendship thrived and grew stronger than ever. While I can't speak on behalf of others, I personally think we have too much history together to just throw it all away. That's why the friendship lasts...

Drinking With Eday 2023.

Epilogue: 
The next morning, Jimmy woke up wondering who had covered him with a blanket. It wasn't a very macho thing to do and it was quickly sugarcoated with jokes, but it was a small gesture like this that went a long way to illustrate how our friendship is like...



Tradisi Minum Bersama Eday

Sebagai orang yang berasal dari dekade 80an, saya suka dengan rentetan peristiwa yang terjadi sepanjang hidup saya. Generasi saya melewati masa kecil yang bebas internet. Setelah itu saya mengalami perkembangan teknologi handphone sewaktu saya beranjak dewasa. Masa favorit saya adalah saat BBM mendominasi pasar. Untuk pertama kalinya, kita bisa chatting tanpa perlu duduk di depan komputer. 

Kendati begitu, apa yang hendak saya ceritakan ini tidak terjadi di masa BlackBerry. Teknologi saat itu masih belum cukup matang. Aspek-aspek kehidupan kita pada saat itu pun belum tertata baik. Di iterasi berikutnya, ketika WhatsApp menjadi standar, barulah kita sebagai teman-teman mulai saling menghubungi satu sama lain lagi. 

Saat itu tahun 2015. Kita berusia 35an, kini lebih teratur hidupnya dan memiliki cukup kebebasan untuk menikmati kerja keras kita selama 10 tahun terakhir. Grup WhatsApp SMA pun dibentuk. Di Singapura, tradisi minum bersama Eday pun bermula. 

The past events.

Semua ini bermula dari kunjungan Eday ke Singapura dalam rangka kerja dan menjadi juri untuk kompetisi Gundam. Kita yang tinggal di Singapura akhirnya menjadi tuan rumah. Saat berkumpul, kita bersantap malam dan minum. Kita juga bertukar ide dan cerita. Selama beberapa jam, kita kembali lagi menjadi mereka yang berasal dari sekolah yang sama di Pontianak. Kebersamaan yang unik ini pun akhirnya menjadi tradisi. Sekali dalam setahun, kita meluangkan waktu untuk berkumpul pas Eday datang. 

Di awal tradisi masih ada pula peserta-peserta yang hanya hadir sekali dua kali, misalnya Andiyanto dan Jimmy Lim. Namun teori Darwin tentang seleksi alam terjadi dan akhirnya hanya orang-orang tertentu yang meluangkan waktu setiap tahun. Untuk beberapa tahun ke depan, yang selalu hadir sewaktu Eday datang hanyalah saya, Endrico, Landak dan Taty.

Mul turut serta untuk pertama kalinya di tahun 2020, namun tidak disangka bahwa pandemi akan segera melanda. COVID-19 mengubah banyak hal dan membuat tradisi yang sudah berlangsung enam tahun ini gagal diselenggarakan di dua tahun berikutnya. Sambil bersabar menanti, kita tidak berhenti membuat rencana. Setelah liburan bersama 12 orang lainnya ke Jepang di awal tahun ini, koordinasi peserta dengan jumlah serupa ke Singapura tidak lagi terasa sulit untuk dilakukan. 

Di malam itu, di hari yang sama ketika Nintendo merilis lanjutan Breath of the Wild, acara Minum Bersama Eday kembali digelar. Kali ini jauh lebih ramai dan lebih baik dari sebelumnya. Kenapa begitu? Perlu diingat kembali bahwa tahun ini seharusnya kita merayakan reuni 25 tahun. Ini adalah pertama kalinya Wiwi, Eday dan Jimmy duduk semeja lagi setelah lulus SMA. Rasanya seperti prestasi tersendiri. 

Eday dan Jimmy.

Landak melampiaskan isi hati dari ujung meja kanan ke kiri, bahkan sempat menumpahkan bir di celana saya pula. Lantas ada lagi Jimmy yang berceramah tentang betapa berharganya kebersamaan, terutama karena kita tidak bertambah muda. AW tanpa sengaja memecahkan gelas karena terlalu berapi-api. Kemudian Eday juga memeluk Jimmy sambil mengenangnya sebagai teman yang setia kawan. 

Untuk memahami kenapa semua ini terasa begitu bermakna, saya perlu sampaikan bahwa kita ini bukanlah kumpulan orang kudus. Dari tahun ke tahun, meski konteksnya bercanda, ada berbagai perkataan dan perbuatan yang mungkin membuat orang lain tersinggung. Di malam itu, saya senang bahwa persahabatan kita masih terasa kental. Walau saya tidak bisa berbicara mewakili yang lain, saya cenderung berpikir bahwa kita semua melewati begitu banyak hal bersama untuk dibuang begitu saja. Inilah alasannya kenapa persahabatan itu bertahan dan nyata... 

Minum Bersama Eday 2023.

Epilog: 
Keesokan paginya, Jimmy bangun dan menyadari bahwa ada yang menyelimutinya di saat ia tertidur. Ini bukanlah perbuatan yang maskulin untuk sesama pria dan langsung menjadi guyonan. Namun di balik semua itu, hal kecil seperti ini menggambarkan seperti apa sesungguhnya persahabatan kita. Kita peduli satu sama lain dan saya senang menjadi bagian dari semua ini...

Tuesday, May 9, 2023

Salvaging The Good Start

It was supposed to be Strava Time: Singapore End to End. A great plan, one that would have gone down to history as a milestone in life, but it wasn't meant to be. We started early at 4:26 AM at the Inscription of the Island, the easternmost of Singapore. As we walked, the premonition happened: Eday almost tripped, I almost laughed.

The starting point.

Now, in order to understand the significance of the event, Eday and I had a long history of tripping over since 2015. I had fallen down twice when I walked with him. One was right after we had a drink, the other was recently, during our trip to Hakone in Japan. So when he lost but regained his footing immediately, I chuckled. We looked at each other and laughed at the very same thing only we knew.

Eday jokingly prayed for protection, but given our history, there was this insecure feeling haunting me. True enough, about 4 KM later, as we crossed the bridge to Loyang in the dark, I missed the last step and fell as I walked down the stairs. It was quite painful that I had cold sweat at the back of my neck, but as I stood and paced back and forth, I reckoned that we could continue. 

But soon it felt different. The right ankle had swollen that my shoe actually felt pretty tight. When I took off the sock, my friends Eday and AW saw that and forbade me from continuing the long walk. In Bedok Reservoir, after we walked about 11 KM, the mission was aborted immediately. I felt bad for being the cause of it, but my friends would have none of this apologetic behavior, reasoning that it was an accident so nothing to be sorry about. 

In their attempt to help, Eday gave a video call to Alvin and AW followed the example of the reflexology moves shown by Alvin on the video. When he couldn't do it right, Eday took his turn and tried. It was, in a way, hilarious. Alvin said it should have just taken one quick jolt to sort it out, but as the two weren't professional masseuses, I got easily 10 jolts and I was barely able to walk when they gave up doing that. Then AW innocently muttered something like the limping walked real fast, haha.

But here's the thing from my point of view. We were good friends, all right, but I was still impressed with them doing what they could without showing any hesitation. I mean, putting both hands on your friend's foot, that was unusual by my standard. While it didn't work out well, I was still thankful for the effort.

And as we sat down nearby the parking lot, we looked back and realized that we had two choices now: we either regretted the plan that failed to materialise or we laughed at how things turned out for us. We chose the latter. Eday said I should try out the wheelchair. Since every step was bloody painful now, I accepted the fact that I needed one and took the full benefit of it. 

Being helpless and wheelchaired.

When we reached the hotel, Taty, Susan and Andiyanto were ready. I was wheeled into the room and Susan had the sprain spray delivered. In short, I was taken care of by my wife and friends while jokes were flying wild. Even Karma, the wheelchair brand, was mentioned. 

I was eventually pushed to the therapy centre where my foot was twisted and turned by a young Chinese man wearing a traditional Chinese attire. I don't think I'm known for a high pain tolerance level, so I was quite miserable during the longest few minutes in my life. It felt like a torture!

Give me something for the pain!

Once done, I had a glimpse of life on a wheelchair in a country that is so wheelchair-friendly. I was pushed around for early lunch and coffee, with Eday giving me a taste of what could have happened if the guy who pushed the wheelchair decided to go handsfree. As I needed to recover, I went home. No point sticking around and be a burden for the rest. 

As I was on my way home I looked back and was amused by the turn of events. Yes, it could have been another glorious day for us, conquering Singapore from end to end. But we were humbled by what happened to me. To think that we could have been complaining about it, but we made the best out of the unfortunate situation and decided to have some fun instead. It was also nice to receive calls from friends asking what had happened. Good to know that we still had such a caring and positive mindset...

Heading for coffee.



Menyelesaikan Permulaan Yang Baik

Awalnya semua ini dicanangkan sebagai Strava Time: Singapore End to End. Sebuah rencana bagus, yang harusnya akan menjadi bagian dari prestasi hidup, tapi semua itu tidak terjadi. Kita mulai di pagi buta jam 4:26 pagi di Inscription of the Island, ujung timur Singapura. Sewaktu kita berjalan, sebuah pertanda buruk terjadi: Eday hampir terjatuh, saya nyaris tergelak.

The starting point.

Nah, untuk memahami pentingnya kejadian ini, saya perlu jelaskan bahwa Eday dan saya memiliki sejarah panjang tentang jatuh di jalan dari sejak tahun 2015. Saya sudah dua kali tersungkur sewaktu berjalan dengannya. Insiden ini pertama kali terjadi seusai acara Minum Bersama Eday, lalu terulang lagi saat kita mengunjungi Hakone di Jepang. Jadi ketika dia tersandung namun kembali berdiri tegak, saya tanpa sadar tertawa kecil. Kita lantas saling pandang dan menertawakan satu rahasia kecil yang hanya kita berdua pahami. 

Eday lantas bercanda dan meminta perlindungan, tapi saya jadi merasa tidak nyaman di hati. Benar saja, 4 KM kemudian, ketika kita menyeberangi jembatan ke Loyang di dalam gelap, saya tidak melihat anak tangga terakhir dan jatuh keseleo. Sakitnya langsung membuat saya berkeringat dingin di tengkuk. Ketika saya kembali berdiri dan mencoba melangkah dalam nyeri, saya merasa masih bisa melanjutkan perjalanan.

Namun sesuatu terasa berbeda ketika kita berjalan kian jauh. Kaki kanan saya bengkak sampai sepatu terasa ketat. Ketika saya duduk dan melepaskan kaus kaki, Eday dan AW melarang saya untuk meneruskan perjalanan. Di Besok Reservoir, setelah berjalanan sejauh 11 KM, misi kita pun dibatalkan. Saya bersedih karena menjadi penyebab semua ini, tapi teman-teman saya merasa semua ini adalah musibah sehingga tidak perlu maaf-maafan.

Sebagai upaya dalam memberikan pertolongan pertama, Eday menelepon Alvin yang pakar pijat dan AW mengikuti panduan Alvin di video. Ketika dia merasa tidak mengerjakannya dengan benar, Eday pun mengambil alih. Kalau dipikirkan lagi, sebenarnya ini kocak juga, Alvin berkata bahwa semua ini bisa dibereskan dalam sekali genjot, tapi karena mereka berdua bukanlah profesional di bidang ini, kaki saya ditarik mungkin sekitar 10 kali dan saya hampir tidak bisa berjalan setelah itu. Kemudian AW bergumam tentang si pincang berjalan kencang, haha. 

Dari sudut pandang saya, ini yang saya lihat: ya, kita memang teman akrab, tapi saya sangat terkesan dengan ketulusan dalam upaya mereka. Maksud saya, bahkan untuk ukuran teman baik pun canggung rasanya dalam memegang kaki teman dengan dua belah tangan, tapi mereka tidak ragu-ragu. Meski jerih-payah mereka tidak sepenuhnya sukses, saya masih sangat berterimakasih. 

Sewaktu kita duduk di samping lapangan parkir, saya menyadari bahwa kita hanya memiliki dua pilihan sekarang: kita bisa duduk menyesali batalnya rencana atau kita tertawakan nasib dan menikmati perubahan tak terduga ini. Eday berkata bahwa saya mungkin ingin mencoba kursi roda. Karena setiap langkah terasa sakit sekarang, saya menerima kenyataan ini dan mencoba idenya. 

Jadi cacat di kursi roda.

Tatkala kita sampai di hotel, Taty, Susan dan Andiyanto sudah siap. Saya duduk di kursi dan didorong ke kamar sementara Susan mengambil obat semprot yang sudah ia pesan. Di kamar, saya dirawat oleh istri dan teman-teman di tengah lelucon demi lelucon. Bahkan Karma, merek kursi rodanya pun tak luput dan disebut-sebut.

Jam 10 pagi, saya pun didorong ke tempat terapi di belakang hotel. Kaki saya diputar dan ditekuk oleh pemuda Cina dengan pakaian tradisional. Saya tidak memiliki toleransi yang tinggi terhadap rasa sakit, jadi saya pun menjerit dan meringis selama beberapa menit terpanjang dalam hidup saya. Rasanya seperti disiksa!

Saat dipelintir dan ditekuk.

Setelah selesai dipelintir oleh pakar pijat, saya berkesempatan untuk melihat hidup dari sudut pandang orang yang duduk di kursi roda di negara yang ramah bagi kursi roda. Saya didorong ke sana kemari untuk santap siang dan kopi. Eday juga memberikan pengalaman bagaimana rasanya bila yang mendorong kursi roda memutuskan untuk lepas tangan. Kemudian, karena saya perlu beristirahat, saya pun pulang. Tidak ada gunanya menjadi beban bagi yang lain. 

Di dalam taksi, saya kembali memikirkan apa yang terjadi. Ya, hari ini harusnya menjadi hari di mana kita menaklukkan Singapura dari ujung ke ujung. Tapi kita justru mendapatkan sudut pandang lain yang tidak kalah berharga setelah kemalangan yang terjadi pada saya. Kita bisa saja mengeluh dan menyesali keadaan, tapi kita justru memilih untuk melakukan yang terbaik dari situasi yang tidak menyenangkan ini. Alhasil kita pun masih bisa tertawa. Selain itu, ada kesan tersendiri saat menerima telepon dari teman-teman seperti BL dan Gunawan. Senang rasanya mengetahui bahwa kita masih memiliki rasa peduli dan pola pikir yang posifif... 

Pergi menikmati secangkir kopi.