Total Pageviews

Translate

Sunday, March 24, 2019

All You Need Is Love

One night, a friend in our chat group asked if I ever fell in love before back in high school days. A very intriguing question with an obvious answer, I told him yes, I did. However, in a world where the sequence was you gotta be handsome or else you gotta be rich or else you gotta be smart and I was none of those, obviously there were better choices out there. The presence of these potential boyfriends rendered me an obscured one, so there I was, tough luck in romance and leading a loveless life throughout high school, haha.

The intriguing part of his question was, in retrospect, I realised that not only I fell in love many times, but more often than not, that feeling subconsciously encouraged me to give my very best. I'm this type of people, apparently. I love, therefore I do. Otherwise, I'd be very reluctant to do anything at all.

The very first example of such occasions happened years ago, when I was in primary three. There was this girl, a very smart girl that I used to like, but I was always too shy and timid that I was like, "should I just go and talk to her? No, no, I need an opening." That opening turned out to be four months later, when I was the top student of the class and she was the second. I remember standing together with her after the announcement and, being the best, I finally had my chance to talk to her confidently. Love, or the very premature version of it, made that happen. I was academically alright and definitely not a genius, but for that few months, I was so self-assured and doing really well. But once the mission was accomplished, there was no motivation to study that hard anymore. After that, I was ranked second, then third and never again I achieved number one since then, haha.

The thing with love is, it changes you for the better. In certain cases, love can be a life-changing experience. I was once a laid-back person, pretty happy with my day job as an IT staff at Kalbe Farma and I spent most evenings as an aspiring writer. I never really thought too much about future until I met my future wife. She was a product manager at that time and I certainly got quite a bit to catch up if I wanted to be someone that she could rely on. That's when I quit my job, started anew in Singapore and the rest is history. Some people dreamt big and they made a difference. Others, like me, we got better simply because we were in love and tried to do something about it. After what I went through, I surely could understand why John Lennon once sang, "all you need is love." He was right! It just worked wonders!

Now, back to the first paragraph above, it must be interesting to know if I ever looked back and regretted for not being able to be with the girls I used to like before. Truthfully, no. Despite my antics, I believe that only the best happened in life. That's why I'm with my wife now, not other women. I am grateful and I remember telling my wife something like this: you know the saying that love is blind? It was true and I gotta be so madly in love back then that I didn't realise some girls really talked a lot. Looking back, while it must be sad then, it's a good thing that nothing ever worked out. I'd rather live a peaceful life than having a wife that talked incessantly!

The truth is written on the wall!
Photo by Endrico Richard. 


Apa Yang Anda Perlukan Adalah Cinta

Suatu malam, seorang teman di grup WhatsApp bertanya apakah saya pernah jatuh cinta pada saat SMU. Pertanyaannya menarik. Saya lantas mengiyakannya. Akan tetapi di dunia dimana urutan pilihannya adalah anda harus tampan, kalau tidak maka anda harus kaya, kalau tidak maka anda harus pintar, sepertinya lebih banyak pilihan yang lebih baik dari saya di masa SMU. Keberadaan para cowok potensial ini membuat saya menjadi tersisih, jadi saya tidak memiliki kisah kasih di sekolah, haha. 

Kendati begitu, yang menarik dari pertanyaan teman saya ini adalah, kalau saya lihat kembali, saya bukan saja jatuh cinta berulang kali, tetapi perasaan tersebut juga sering mendorong saya untuk menjadi versi yang lebih baik dari diri saya. Ternyata saya adalah tipe orang seperti ini. Jika saya mencintai seseorang, maka saya akan melakukan sesuatu. Kalau saya tidak suka, saya cenderung tidak ingin melakukan apa pun. 

Contoh paling pertama dari peristiwa yang saya jabarkan di atas terjadi bertahun-tahun silam, ketika saya duduk di kelas tiga SD. Ada seorang teman wanita yang pintar dalam pelajaran sekolah dan saya ingin sekali mengajaknya bicara, tetapi saya terlalu malu untuk melakukannya. Di dalam hati saya bertanya, "apakah saya hampiri begitu saja dan ajak bicara? Tidak, tidak, saya butuh kesempatan emas." Dan kesempatan tersebut datang beberapa bulan kemudian, ketika saya adalah murid terbaik di kelas dan dia adalah juara kedua. Saya berdiri di depan bersamanya pada saat pengumuman kejuaraan dan sebagai juara pertama, saya akhirnya mendapatkan kesempatan untuk berbicara padanya dengan penuh percaya diri. Adalah cinta atau versi prematur dari perasaan tersebut yang membuat semua itu terjadi. Saya tidak terlalu pintar dalam bidang akademis dan saya jelas bukan seorang jenius, tapi pada saat itu, saya begitu percaya diri dan semua pelajaran terasa enteng. Setelah misi tercapai, motivasi saya perlahan-lahan memudar. Prestasi saya pun menurun jadi juara kedua, ketiga dan akhirnya saya tidak pernah lagi menjadi juara satu sejak itu, haha.

Kelas tiga SD Gembala Baik. Saya berada di paling kanan foto, sebelah murid berkacamata. 

Cinta bisa mengubah anda menjadi lebih baik dan bahkan bisa menjadi sebuah pengalaman yang mengubah hidup anda. Saya dulunya adalah seorang yang santai, saya menikmati pekerjaan saya sebagai karyawan IT di Kalbe Farma dan saya menghabiskan waktu di malam hari untuk mengejar impian saya sebagai penulis. Saya tidak pernah memikirkan masa depan sampai saya bertemu dengan wanita yang akhirnya menjadi istri saya. Saat itu dia sudah menjadi seorang manajer produk dan saya lantas menyadari bahwa saya harus berusaha lebih keras lagi jika saya ingin menjadi orang yang bisa diandalkannya. Karena inilah saya berhenti dari Kalbe, kembali memulai lagi dari awal di Singapura dan apa yang terjadi selanjutnya sudah anda ketahui dari cerita-cerita lain di Roadblog101. Di dalam hidup ini, ada yang bermimpi dan menggapai impian mereka. Ada pula yang seperti saya, yang hanya jatuh cinta dan berusaha melakukan sesuatu untuk mewujudkannya. Setelah apa yang saya lalui, saya jadi mengerti kenapa John Lennon menyanyikan lirik, "all you need is love." Dia benar, yang anda butuhkan adalah cinta! Banyak hal menakjubkan yang bisa terjadi karena kekuatan cinta!

Kembali ke paragraf pertama, tentunya menarik untuk mengetahui apakah saya pernah melihat kembali dan menyesal bahwa saya tidak bisa bersama dengan teman wanita yang saya sukai dulu. Meski saya sering bercanda tentang hal ini, saya rasa saya tidak pernah terlalu memikirkannya, apalagi sampai menyesal. Saya percaya bahwa hanya yang terbaik yang terjadi dalam hidup ini. Karena inilah hari ini saya bersama istri saya, bukan wanita yang lain. Saya bersyukur dan suatu ketika saya pernah berkata padanya: tahu kenapa ada pepatah yang mengatakan bahwa cinta itu buta? Saya rasa itu benar dan saya pastilah benar-benar tergila-gila pada saat jatuh cinta sehingga tidak menyadari bahwa beberapa wanita yang saya sukai itu senantiasa bicara tiada henti. Untung dulu tidak jadi. Saya lebih memilih kehidupan yang tenang daripada seorang istri yang mengoceh tak henti-hentinya!

Wednesday, March 20, 2019

The Hotels

If I had to rate myself, I reckoned my lifestyle had been pretty humble. I didn't wear expensive branded stuff. Apart from my love for BlackBerry, I didn't spend much money on electronic gadgets. I'd also been wearing only two decent Seiko watches since 2008. The first one was given by my girlfriend, the second one was given by my wife last year to replace the first one (by the way, both my girlfriend and my wife happened to be the same woman). If there was ever a slightest hint of luxury in my life, it must be my fondness of staying at the hotels. It's clean, it's comfortable and I like being spoiled by the cozy feeling of it!

Assuming that my memory didn't fail me, the first hotel I ever stayed at was Hotel Peninsula Mangga Besar. It might not be a great hotel by today's standard, but I was four and it was my first hotel during my first trip to Jakarta, so it was cool! Then, when I went to Kuching few years later, the first overseas hotel I stayed at was Hua Kuok Inn. Looking back, it was just a budget hotel, but when you were just a kid and you went abroad for the first time, you'd be too happy to worry about such trivial matters, haha. By the way, both hotels are still around today.

James Wu at Ibis, the 3-star hotel.

I started noticing the star rating system when I worked at Kartika Hotel in 1998. It had two stars. Wisma Siantan Indah, owned by the same boss and located across Kapuas River, didn't have any stars. The grandest hotel in Pontianak at that time was the 3-star Kapuas Palace and Mahkota Hotel. Then, as I traveled, I formulated this thought that 1-star was passable, 2-star was not bad, 3-star was okay, 4-star was the safest bet and 5-star was good to have sometimes.

One of the most memorable 1-star hotels I ever checked-in to was the one in Ho Chi Minh City. It was in 2009, before we knew about Agoda, so I'm pretty sure it was a walk-in. The front desk was manned by a receptionist that struggled with his English, breakfast was ordered from the stall next door, but our room was clean and since it was meant to be a budget trip anyway, it was alright. The 2-star hotels are, for instance, Pop! Hotel and Amaris Hotel in Indonesia. The interior design is modern and the rooms are compact, just nice for one person. Not that you can't fit two people in, but it'll be better if the second person got his own room, haha. Ibis hotels are typically 3-star hotels. Slightly spacious with minimum amenities. 4-stars is your entry level to the luxury treatment. Just think of Novotel or Mercure and you'll get the idea of how different it is: very nice and relaxing. Finally, the 5-star, let's just say that I'd save them for special occasions such as honeymoon (Millennium Resort in Phuket), pampering my daughter (Disney's Hollywood Hotel in Hong Kong) or when I felt like it (Radisson Blu in Cebu). Oh yeah, for travelling purpose, you may want to search for and compare both 3-star and 4-star. The 3-star hotels aren't necessarily bad and some 4-star hotels could be as cheap as other 3-star hotels, so do your homework!

Linda at ryokan-type of room in Hakone.

Certain hotels had themes. For example, Japan had capsule hotels and ryokan. I tried one in Kanda area, one stop away from Tokyo Station, and while it was only rated 1,5 stars, it was actually alright and the experience was rather interesting. It was like sleeping in a coffin with a TV set attached to it. I always bumped my head onto the low ceilings as I wasn't used to it, haha. The showering time was also challenging, especially when I had to share the space with four or five naked people. It was just not part of Indonesia culture! Ryokan, on the other hand, was quite comfortable. If you ever watched the Doraemon series, it was exactly like Nobita's room, a classic Japanese bedroom with tatami mat. Kinda cool!

And our hotel story doesn't end there. In the recent years, staycation was actually a thing. I did it once. Instead of travelling, my family and I had a short getaway by staying at D'Resort in Pasir Ris, Singapore. It had family-oriented rooms with themes such as Amazonian Jungle and Underwater. My daughter loved the room because it had bunk beds for her, the one thing that she always talked about at that point of time. The whole idea of staycation was to have a change of environment just for a short while and it was kind of refreshing. Definitely worth trying it, especially when you only had a little time to spare.

Now, we'd gone this far and I hadn't mentioned anything abut AirBnB. If you ever wondered why, that's because I had a very limited experience with AirBnB. However, if the idea was to stay with the host, I doubted that I'd enjoy it. In a life where we wouldn't have any chance to bring the money we earned to our next life, it wasn't a bad idea to spend a bit more than usual to reward ourselves after one year long of hard work. In my case, that favorite state of great comfort and elegance happened to be called the hotels...

When we were having staycation. 


Tentang Hotel 

Jika saya harus menilai gaya hidup saya sendiri, saya rasa saya cukup sederhana. Saya tidak memakai barang bermerk yang mahal. Selain kecintaan saya pada BlackBerry, saya hampir tidak pernah menghamburkan uang untuk membeli barang-barang elektronik. Saya juga hanya mengenakan dua jam Seiko biasa dari sejak tahun 2008. Jam tangan yang pertama adalah hadiah dari pacar saya dan yang kedua diberikan istri saya tahun lalu sebagai gantinya setelah jam tangan yang pertama rusak (oh ya, pacar dan istri saya ini kebetulan adalah wanita yang sama, hehe). Bila ada sedikit jejak bahwa saya juga menyukai sesuatu yang mewah, maka itu adalah kegemaran saya dalam menginap di hotel. Ya, saya suka kesannya yang bersih, nyaman dan elegan.

Seingat saya, hotel tempat saya pertama menginap adalah Hotel Peninsula Mangga Besar. Hotel ini mungkin tidak tergolong sebagai hotel bagus di zaman sekarang, tapi saat itu saya adalah bocah berumur empat tahun yang baru pertama kali bepergian ke Jakarta, jadi benar-benar takjub dengan yang namanya hotel. Kemudian, ketika saya mengunjungi kota Kuching, hotel luar negeri yang pertama kita tempati adalah Hua Kuok Inn. Kalau saya lihat kembali, hotel ini hanyalah hotel biasa, tapi di saat anda hanyalah seorang bocah yang pergi ke luar negeri untuk pertama kalinya, anda tidak akan memikirkan seberapa mahal hotelnya, haha. Sebagai informasi, dua hotel ini masih beroperasi sampai sekarang.

Di Hua Kuok Inn, Kuching. 

Saya mulai mengerti yang namanya sistem bintang di dunia perhotelan ketika saya bekerja di Kartika Hotel pada tahun 1998. Hotel tersebut memiliki dua bintang. Wisma Siantan Indah, yang kebetulan sama pemiliknya dan terletak di seberang sungai Kapuas, tidak memiliki bintang. Hotel paling bagus di Pontianak pada saat itu adalah Kapuas Palace dan Mahkota Hotel yang berbintang tiga. Sewaktu saya mulai berlibur ke manca negara, perlahan-lahan terbentuk sudut pandang bahwa bintang satu itu pas-pasan, bintang dua itu tidak terlalu buruk, bintang tiga itu layak huni, bintang empat itu pilihan paling aman dan bintang lima itu pantas dicoba untuk kesempatan tertentu. 

Salah satu pengalaman yang paling berkesan untuk hotel bintang satu adalah ketika saya mengunjungi kota Ho Chi Minh di tahun 2009. Ini adalah masa sebelum saya mengenal Agoda dan seingat saya, kita masuk dan memesan kamar secara langsung. Resepsionisnya tidak begitu menguasai bahasa Inggris. Sarapan paginya pun dipesan dari toko sebelah. Kendati begitu, kamar kita bersih dan harganya pun sesuai dengan isi kantong para pengelana. Kalau hotel bintang dua, contohnya adalah Pop! Hotel and Amaris Hotel di Indonesia. Tata ruangnya modern dan kamarnya kecil, cocok untuk satu orang yang sedang bepergian. Sebenarnya dua orang pun muat di kamar hotel ini, tapi alangkah baiknya kalo teman kita ini memesan kamar sendiri, haha. Untuk bintang tiga, contohnya adalah Ibis Hotel. Sedikit lebih luas kamarnya dan dengan sarana yang minimum. Hotel bintang empat adalah level dimana kemewahan hotel mulai terasa. Novotel dan Mercure bisa dijadikan referensi dan anda akan mengerti bahwa hotel-hotel berbintang empat ini cenderung terasa nyaman dan santai. Untuk bintang lima, saya biasanya hanya memesan kamar untuk saat-saat istimewa, misalnya sewaktu berbulan madu (Millennium Resort di Phuket), berlibur bersama putri saya (Disney's Hollywood Hotel di Hong Kong) atau ketika saya tiba-tiba merasa ingin (Radisson Blu di Cebu). Oh ya, untuk tujuan berlibur, saya sarankan untuk membandingkan harga hotel bintang tiga dan empat. Ada hotel bintang tiga yang sebenarnya cukup bagus dan ada pula hotel bintang empat yang harganya mirip hotel bintang tiga, jadi lakukan studi banding sebelum memesan kamar!

Linda di Disney's Hollywood Hotel, Hong Kong. 

Beberapa hotel memiliki tema. Sebagai contoh, Jepang memiliki hotel kapsul dan ryokan. Saya pernah mencoba hotel kapsul di kawasan Kanda, satu stasiun jauhnya dari Tokyo Station, dan walaupun hotelnya hanya memiliki 1,5 bintang, tempatnya nyaman dan tidak terlalu mahal pula harganya. Pengalaman menginap di sana pun cukup unik. Rasanya seperti tidur di dalam peti yang memiliki televisi di dinding. Saat mandi pun cukup menantang. Tempatnya terbuka dan ada empat atau lima pria lainnya yang telanjang. Budaya khas Jepang ini bukanlah sesuatu yang lumrah bagi kita! Di sisi lain, ryokan terasa lebih nyaman. Jika anda pernah menonton serial Doraemon, ryokan itu persis seperti kamar Nobita, sebuah kamar tidur yang beralaskan tatami

Dan cerita kita tentang dunia perhotelan masih berlanjut. Belakangan ini, ada lagi yang namanya staycation. Saya pernah mencoba cara berlibur ini. Waktu staycation, kita tidak jalan-jalan ke tempat lain, melainkan tetap berada di kota yang sama dan menginap di hotel D'Resort di kawasan Pasir Ris, Singapura. Hotel ini memiliki kamar keluarga yang memiliki tema Amazonian Jungle dan Underwater. Putri saya sangat gembira karena kamar tersebut memiliki ranjang dua tingkat yang selalu ia impikan pada saat itu. Singkat kata, inti dari staycation itu adalah mengalami pergantian suasana untuk waktu yang singkat. Saya cukup menikmatinya dan saya rasa layak dicoba terutama bila anda hanya memiliki sedikit waktu luang.

Sampai sejauh ini, anda mungkin memperhatikan bahwa saya belum menyinggung tentang AirBnB. Jika anda ingin tahu alasannya, ini karena saya tidak memiliki banyak pengalaman dalam perihal AirBnB. Kendati begitu, jika konteksnya adalah tinggal di tempat yang sama dengan pemilik rumah, saya rasa konsep ini tidak akan cocok untuk saya. Di dunia dimana kita tidak akan bisa membawa uang hasil kerja keras kita ke kehidupan selanjutnya, saya rasa kita perlu memanjakan diri kita setelah bekerja membanting tulang sepanjang tahun. Bagi saya pribadi, tidak ada cara yang paling tepat selain menikmati nuansa yang luar biasa nyaman dan lengkap dengan pelayanan kelas atas, persis seperti apa yang ditawarkan oleh hotel-hotel berbintang...

Fairfield by Marriott Surabaya, hotel bintang empat yang nyaman.

Monday, March 11, 2019

Nomor Urut 4

Pak Eddy adalah guru matematika saya sewaktu saya bersekolah di SMP Santu Petrus. Pelajarannya menarik, namun bukan karena saya menyukai atau pintar matematika, melainkan karena selalu saja ada siswa yang dihukum olehnya. Mencekam rasanya saat melihat beliau marah, tetapi ada rasa geli juga saat melihat tingkah teman-teman yang tidak beres dan akhirnya dihukum karena berbagai alasan. Sekarang, kalau saya kenang kembali, Pak Eddy itu bukan cuma sekedar guru. Dia juga seorang pendidik dan dia memberikan hukuman supaya murid-muridnya disiplin dan mengerti apa kesalahan mereka. Bilamana saya dan teman-teman bernostalgia, tidak ada satu pun dari kita yang menaruh dendam karena dihukum. Lebih dari 25 tahun telah berlalu, namun banyak muridnya yang tetap mengingat beliau sebagai guru yang baik.

Gunawan dan Pak Eddy, mantan murid dan guru.

Ya, kita ingat dengan jasanya, namun apa yang mungkin jarang kita ketahui adalah bagaimana Pak Eddy mengabdi sebagai seorang pendidik. Beliau ini seorang relawan yang sudah berkiprah di bidang edukasi sejak 1982. Mengajar dan membina generasi muda adalah panggilan hatinya sehingga ia pun bersedia membagikan ilmunya tanpa mengenakan biaya pada mereka yang tidak mampu. Ini adalah wujud dari baktinya untuk sesama dan negara. Memang kalau yang namanya sudah keikhlasan dari dalam hati itu bisa mendorong orang untuk bekerja tanpa pamrih.

Di sela-sela kesibukannya dalam mengajar, Pak Eddy masih menjadi aktivis LFO (Love For Others) dan Beloved Community, dua organisasi sosial yang bersentuhan langsung dengan masyarakat kelas bawah di Pontianak dan sekitarnya. Singkat kata, aksi kemanusiaan bukanlah hal yang baru ditekuninya, tapi sudah dari sejak dulu. Pengalamannya dalam bakti sosial selama bertahun-tahun kemudian membuatnya sadar bahwa mencalonkan diri sebagai anggota legislatif adalah langkah selanjutnya. Sebagai abdi negara, tentunya dia bisa berbuat lebih banyak lagi untuk masyarakat, terutama dalam sektor pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial.

Pak Eddy saat berpartisipasi dalam kebaktian sosial. 

Pak Eddy sudah berkecimpung di bidang politik sejak tahun 2002, ketika dia memperkenalkan Partai Demokrat di Pontianak. Karena kapasitasnya sebagai anggota senior, dia akhirnya diusung menjadi caleg. Sebagai pemain lama, beliau tahu tantangan apa yang ia hadapi. Bahkan dari kalangan sendiri pun ada saja permasalahannya. Ada stigma bahwa orang Tionghoa terkesan eksklusif dan hal inilah yang harus diubah. Sebagai orang yang terjun langsung ke lapangan, Pak Eddy mengerti betul bahwa orang Tionghoa yang berprofesi sebagai pengusaha dan berdomisili di kota besar memang kerap kali kekurangan waktu sehingga tidak sempat lagi bersosialisasi, tapi Pak Eddy juga telah melihat bahwa masyarakat Tionghoa yang tinggal di daerah pelosok lebih cenderung membaur. Bagi Pak Eddy, hidup ini harusnya menjadi berkat bagi keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Setiap suku, termasuk juga Tionghoa, hendaknya mengamalkan sudut pandang tersebut. Saya pribadi terkesan saat dia memaparkan bahwa Tionghoa itu berbeda dengan orang Cina karena yang disebut orang Cina itu berarti mereka yang ada di negeri Cina. Penjelasannya sejalan dengan pemikiran Lee Kuan Yew bahwa dirinya adalah orang Singapura, bukan orang Cina.

Pak Eddy bersama dengan murid-muridnya.


Tantangan lainnya ada bagaimana orang awam berpikir bahwa yang namanya politikus itu biasanya korup, terutama mereka yang telah mengeluarkan uang banyak supaya terpilih. Pak Eddy mengiyakan bahwa ada yang demikian, tapi ada juga yang tidak. Cara yang paling baik dan efektif adalah kerja nyata yang bisa dilihat oleh masyarakat. Pak Eddy telah memiliki rekam jejak yang panjang dalam hal ini. Keikutsertaannya dalam bakti sosial selama bertahun-tahun telah membuktikan bahwa beliau melayani dengan hati dan bersungguh-sungguh. Ucapannya senantiasa konsisten dari tahun ke tahun: benar, bisa dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan. Dia adalah contoh dan teladan, bukan sekedar pencitraan yang hanya muncul di masa kampanye. Lebih lanjut lagi, Pak Eddy juga menjelaskan bahwa visi dan misinya yang berfokus pada pendidikan dan penanganan masalah sosial masyarakat adalah murni programnya. Menurut Pak Eddy, program ini bisa dijalankan tanpa memandang di komisi mana dia ditempatkan bila terpilih nanti.

Perlu diingat pula bahwa memilih caleg itu adalah memilih figur yang bisa membawa kemajuan bagi masyarakat. Ketika saya menyinggung tentang BTP, beliau menjawab dengan singkat dan tegas bahwa abdi negara itu harus seperti BTP. Saya hanya bisa tersenyum. Kalau bisa memilih orang yang saya kenal, yang sudah terbukti rekam jejaknya dan tahu bahwa Ahok itu adalah standar seorang pejabat masa kini, kenapa harus memilih yang lain? Saya rasa tidak lagi zamannya bagi orang Tionghoa untuk berpangku tangan. Sebagai warga negara yang taat hukum, kita bisa tunjukkan kepedulian kita dengan memanfaatkan suara kita untuk memilih wakil rakyat. Saya kita bisa mulai dengan memilih nomor urut 4 dari Partai Demokrat ini...

Coblos nomor urut 4!

Saturday, March 2, 2019

Old Friends

Roughly a week ago, I posted a picture of us, a bunch of old friends easily for the last two decades. The photo was accompanied by the snippet of Simon and Garfunkel's song aptly called Old Friends. The lyrics were poignant, asking if you could imagine us years from today, sharing the parkbench quietly, feeling terribly strange to be seventy. Beautiful verses, weren't they?

For most of us, this year is the last year of our 30s. Sure, life begins at 40, as the saying goes. However, it can also mean that the first half of our life is over. We had gone through a lot. Some were the best moments, others not so. And we reminisced about the past. We discussed about what happened around us recently. We also pondered what futures might bring. This could only be done with old friends, those that knew us from the beginning and still know us well enough to talk freely and carry on the conversation as if we had never been away from each other's life.

"Old friends,
Memory brushes the same years,
Silently sharing the same fear..."

39 years are a long time. As we were growing old, we'd seen many things. In this modern age, we learnt that what we saw on the social media might not be what actually happened in real life. We saw many divorce cases happened around us. We were reminded as well that people our age died. Then, as we are entering our big 40, we are forced to confront the same questions: how's life going to be, from here onwards? We're not that young anymore, we had fought a good fight that brought us to where we are now, we'd done many things that we wanted to do, so what's next for us?

It's a crossroads. To be frank, I don't have a clear idea of how my 40s is going to be. In the early days, I just had this simple mindset that I'd work hard and make my fortune and fame, then I'd get married, have a family and live happily ever after. Life had been great thus far, but I couldn't help feeling rather lost and uncertain once the original goal was achieved, because unlike fairy tales, apparently the story didn't end there. Instead, it led to a new beginning and I just hadn't thought it through.

Sometimes I felt that my life was like a rudderless ship. It was as though I was just going through the motion with no sense of purpose. I mean, of course I'd work to provide for my family and I'd love to see my daughters grow up well, but once in a while I'd ask, "what's there in life for me now? What do I want to do with it? I love my job, but it's just a job and what will happen if my job doesn't love me anymore?" It also didn't help that there was news about the death of a friend from time to time. It got me thinking now that I'm half way there, if tomorrow never came, why bother doing all the hard work today? Am I doing the right things and spending my time wisely? Have I set the correct priorities? How about living life to the fullest? 

Life can be a little bit tiring in a world where people looked up to you for answers and you had to put on your brave face for almost every role your are playing, be it a husband, a father, a supervisor and so forth. Hanging out with old friends, people of same age and same origin that understood you, provided the safe haven to be vulnerable. Life isn't always about being tough and strong. To be able to express vulnerabilities is what makes us human. 

So there we sat, talking about life as the night grew colder. We embraced the good vibes, enjoyed the good jokes and toyed with the good ideas. The short gathering every once a year might not even offer any solution to problems we were facing, but perhaps it didn't have to, as it already allowed us to blow off steam. Knowing that we weren't the only ones burdened with the life dilemma was very much a relief. I eventually laughed it off and felt alright. Personally, it was like, "well, we had a good run in the first half of our lives, hadn't we? We still have some energy left. Let's try again. Round two."

Old friends.


Teman-Teman Lama

Kira-kira seminggu yang lalu, saya mengunggah foto saya dan teman-teman lama yang sudah menjadi karib saya sejak lebih dari 20 tahun yang lalu. Saya sertakan pula penggalan lirik lagu Simon dan Garfunkel yang berjudul Old Friends. Liriknya yang bernuansa melankolis pun bertanya pada pendengar, apakah bisa anda bayangkan kami bertahun-tahun kemudian, duduk sebangku dalam sunyi dan merenungkan hidup di usia ke-70? Dalam maknanya, bukan? 

Bagi saya dan beberapa teman-teman yang sebaya, tahun ini adalah tahun terakhir di umur 30an. Ya, pepatah mengatakan bahwa hidup baru dimulai di usia 40, namun itu juga bisa berarti bahwa separuh dari hidup kita sudah berlalu. Kita sudah melalui begitu banyak hal. Ada peristiwa dan kejadian terbaik dalam hidup kita, ada pula yang tidak terlalu menyenangkan. Dan kita bernostalgia, berdiskusi tentang apa yang terjadi di sekitar kita baru-baru ini, serta membayangkan seperti apa masa depan kita nanti. Perbincangan seperti ini hanya bisa dilakukan dengan teman lama, mereka yang mengenal kita dari awal dan masih sering berkomunikasi hingga hari ini. 

"Old friends,
Memory brushes the same years,
Silently sharing the same fear..."

39 tahun adalah waktu yang panjang. Seiring dengan bertambahnya usia, kita melihat banyak hal yang terjadi dalam kehidupan ini. Di era modern seperti sekarang ini, kita menyadari bahwa apa yang ditampilkan di media sosial itu belum tentu apa yang terjadi di dunia nyata. Kita melihat kasus perceraian yang terjadi di sekeliling kita. Kita juga diingatkan kembali bahwa orang-orang seumuran kita sudah ada yang meninggal. Kemudian, saat kita menjelang usia ke-40, kita menghadapi berbagai pertanyaan serupa: bagaimana hidup ini nantinya? Kita tidak semuda dulu dan kita sudah bekerja semampu kita sampai akhirnya mencapai hari ini. Berbagai impian pun telah tercapai, jadi seperti apa kelanjutan hidup ini? 

Rasanya seperti berada di persimpangan jalan. Secara jujur saya katakan, saya tidak memiliki gambaran yang jelas, seperti apa hidup di usia 40an nanti. Di masa awal meniti karir, saya hanya memiliki pikiran sederhana dimana saya akan bekerja keras untuk menggapai sukses, berkeluarga dan hidup bahagia selamanya. Sampai sejauh ini syukurlah semuanya berjalan lancar, tapi entah kenapa ada perasaan tidak pasti dan tak tentu arah setelah impian masa muda tercapai. Berbeda dengan dongeng yang kita dengar dan tonton, ternyata cerita di kehidupan nyata itu tidak berakhir begitu saja setelah kita menggapai kebahagiaan yang kita idamkan. Justru sebaliknya, apa yang berhasil kita capai itu menjadi permulaan dari cerita lainnya yang tidak pernah begitu saya pikirkan sebelumnya. 

Terkadang saya merasa bahwa hidup ini seperti kapal yang berlayar tanpa nahkoda. Saya seolah-olah hanya mengikuti arus, tapi tanpa tujuan yang jelas. Sebagai kepala rumah tangga, tentu saja saya siap bekerja untuk menafkahi keluarga dan saya ingin melihat anak-anak saya tumbuh dewasa dengan baik, tapi ada kalanya saya bertanya, "apa yang tersisa dalam hidup ini untuk saya pribadi? Apa yang ingin saya lakukan dalam hidup ini? Saya suka pekerjaan saya, tapi itu hanyalah pekerjaan semata dan bagaimana pula seandainya pekerjaan saya tidak lagi membutuhkan saya?" Kabar tentang meninggalnya teman yang seusia atau lebih muda juga tidak membantu meringankan beban pikiran. Saya jadi berpikir bahwa saya sudah separuh jalan ke sana, jadi jika saya tidak lagi terbangun pada hari esok, buat apa saya bekerja keras hari ini? Apakah saya melakukan hal yang benar dan menggunakan waktu saya dengan baik? Sudahkah saya menetapkan prioritas dengan benar? Bagaimana pula dengan prinsip menikmati hari ini seakan-akan ini adalah hari terakhir?

Hidup terasa agak melelahkan bila kita tinggal di dunia dimana semua orang menoleh pada anda untuk jawaban dari berbagai pertanyaan mereka. Anda harus tetap tegar memainkan semua peran anda sebagai seorang suami, ayah, atasan dan lain-lain. Berkumpul lagi bersama teman-teman lama, mereka yang berusia sama, berasal dari tempat yang sama dan mengerti anda, memberikan kesempatan bagi anda untuk mengungkapkan kegalauan yang anda rasakan. Hidup ini tidak selalu tentang ketegaran dan kekuatan. Bisa mengakui kelemahan dan hal yang anda takutkan adalah apa yang membuat anda menjadi manusia seutuhnya. 

Jadi di sanalah kita duduk, bercakap-cakap tentang kehidupan di kala malam kian larut. Kita disegarkan kembali oleh nuansa positif persahabatan. Kita menikmati lelucon yang jenaka. Kita juga saling mendengarkan pendapat dan pengalaman satu sama lain. Ya, waktu yang singkat itu mungkin saja tidak memberikan solusi bagi setiap permasalahan hidup, tapi mungkin itu tidak diperlukan, sebab kita sudah berkesempatan untuk mengeluarkan beban di hati. Adalah suatu kelegaan tersendiri saat kita mengetahui bahwa kita bukan satu-satunya yang memiliki dilema kehidupan. Pada akhirnya saya bisa tertawa lepas dan merasa lebih baik. Rasanya kurang lebih seperti ini, "hmm, kita sudah melewati separuh dari hidup kita dengan baik, bukan? Kita masih punya energi yang tersisa. Mari kita coba lagi. Ronde kedua sekarang!"