Total Pageviews

Translate

Showing posts with label Technology. Show all posts
Showing posts with label Technology. Show all posts

Tuesday, February 18, 2025

AI

I believe the best technology design is the one you don't know you need, until you use it and you know there's no turning back anymore. Grab and Amazon were good examples. They revolutionized the way we called the cab and shopped.

On a more personal note, cloud as data storage as well as the combination of Google Home and YouTube Music were the game changers for me. I was a fan of Apple's Time Capsule until it became too much of a hassle due to the need for tech refresh. That's when I switched to the cloud. The feeling of having your data accessible all the time is irreplaceable. Same goes for having your music play at the command of your voice anywhere at home. It couldn't get more practical than this!

The main three.

AI had a similar effect described above. For the longest time, the word google had become a verb on a sentence we used when we wanted to search for something on the internet. "Just google it," that's how we normally said it. But for the first time in forever, there was a better alternative. Googling it just wouldn't cut it anymore.

While a lot can be done using AI, the particular feature I was zooming in recently was the search function. I touched Copilot a bit for office matter, since it came with Microsoft O365. Gemini appeared here and there on my phone because I'm using Pixel 8. Meta was used for fun on WhatsApp, though result wasn't that good. For example, Meta AI couldn't really tell how many r were there in the word strawberry, haha.

Testing Meta AI.

The other three that I explored were Deepseek, ChatGPT and Perplexity. The first was free, the last two were paid version. Deepseek's reply could be quite comprehensive, but I observed that the data (or knowledge) was only up until July 2024. It could hang after responding to too many questions and it wouldn't answer if the question was about Chairman Mao. 

ChatGPT was more interesting. But more often than not, it replied based on its database instead of searching for the latest update. Mistakes similar to Meta AI also happened on ChatGPT. I knew this because it tried to bluff me about the Beatles and Michael Jackson. Only when I shared the proof then it would learn about it. This is called machine learning. By the way, the proof was in the form of a link of an article. Of the three, only ChatGPT is capable of reading the links the users provided.

Questioning ChatGPT!

For updated info and accuracy, I'd go for Perplexity. Unlike ChatGPT that responded to you immediately, Perplexity would search for the answers from online sources before summarizing it for you. Response was slower due to this, but answer was more convincing. And the result from paid version was more in-depth as compared with the free version. 

And I said earlier about a better alternative and no turning back. You see, if we googled stuff, it came back with many results and we had to go through them. But AI took it to another level. It searched, ran through the results and summarized it based on what we asked. This is the difference and it's definitely much more useful. You didn't always get you want by googling it, but with AI, you got exactly what you queried. The precision was uncanny... 

PS: in our group chat, we also had what we called Chat Bot with AI (Artificial Idiocy) as a bonus. Data was based on what our Mr. Know-it-all had said since October 2017. Operated manually by Eday, the replies were amusing and the topics it covered were surprisingly wide. The Chat Bot was relevant to whatever that we asked!



Kecerdasan Buatan

Saya percaya rancangan teknologi terbaik adalah teknologi yang tanpa sadar anda butuhkan dan begitu dicoba, langsung mengubah pola hidup anda. Grab dan Amazon adalah contoh yang bagus. Kehadiran dua teknologi ini mengubah cara kita memanggil taksi dan membeli sesuatu

Secara pribadi, yang berkesan bagi saya adalah cloud sebagai tempat penyimpanan data dan juga kombinasi Google Home dan YouTube Music. Saya adalah penggemar produk Apple yang bernama Time Capsule, namun merasa risih dengan proses pembaharuan perangkat keras. Di saat itulah saya pindah ke cloud. Praktisnya pun terasa, sebab kini data saya senantiasa bisa diakses, tak masalah di mana pun saya berada. Sama halnya pula dengan musik yang bisa melantun di segala penjuru rumah hanya dengan perintah saya. 

Tiga aplikasi AI.

AI memiliki efek serupa seperti yang dijabarkan di atas. Kata google sudah sejak lama menjadi kata kerja dalam kalimat yang kita pakai saat kita ingin mencari sesuatu di internet. Biasanya kita ucapkan dengan logat seperti ini, "google aja lagi." Tapi untuk pertama kalinya dalam dua dekade terakhir ini, ada alternatif yang lebih baik. Google saja sudah tidak cukup lagi. 

Banyak hal yang bisa dilakukan dengan AI, namun yang hendak saya bahas di sini adalah kemampuan untuk mencari sesuatu. Karena urusan kantor, saya sempat coba Copilot yang sudah sepaket dengan Microsoft O365. Gemini sering muncul di sana-sini karena saya menggunakan telepon Pixel 8. Meta pun kadang dipakai untuk iseng di WhatsApp, meski hasilnya kurang bagus. Sebagai contoh, Meta AI tidak tahu ada berapa huruf r dalam kata strawberry, haha.

Menguji Meta AI.

Tiga aplikasi lain yang saya jajal adalah Deepseek, ChatGPT dan Perplexity. Deepseek gratis, sedangkan yang dua lagi adalah versi langganan. Jawaban Deepseek tergolong detil, tapi data (atau pengetahuannya) cuma sebatas Juli 2024. Deepseek bisa mogok bila ditanya terus-menerus. Selain itu, bila pertanyaannya berkaitan dengan Mao Zedong, maka Deepseek akan memilih bungkam. 

ChatGPT lebih menarik, namun jawabannya sering mengacu pada database dan bukannya jawaban terkini. Kesalahan serupa yang terjadi pada Meta AI juga terlihat di ChatGPT. Saya menyadari hal ini karena informasinya yang keliru tentang the Beatles dan Michael Jackson. Ketika saya bagikan bukti, barulah AI ini tahu kesalahannya. Ini yang namanya pembelajaran mesin. Oh ya, bukti yang saya berikan berbentuk link dari artikel tentang topik yang sedang dibahas. Dari tiga aplikasi ini, hanya ChatGPT yang bisa membaca link yang diberikan oleh pengguna.

Mempertanyakan ChatGPT!

Untuk informasi yang terkini dan akurat, saya menggunakan Perplexity. Berbeda dengan ChatGPT yang langsung merespon pertanyaan, Perplexity akan mencari jawaban dari berbagai sumber di internet dulu, baru dirangkum untuk pengguna. Oleh karena itu, responnya lebih lambat, tapi jawabannya lebih tepat. Dan versi langganan lebih rinci dari versi gratis. 

Saya katakan sebelumnya tentang alternatif yang lebih baik dan mengubah pola hidup. Jika dibandingkan, hasil dari Google adalah aneka kemungkinan yang perlu anda telusuri satu per satu. Inilah bedanya kalau menggunakan AI. Kecerdasan buatan ini mencari, membaca jawaban dari berbagai sumber, lalu merangkum semuanya sesuai dengan pertanyaan kita. Di sinilah letak perbedaannya dan tentunya lebih bermanfaat. Kalau cuma sekedar google, kita tidak langsung dapatkan apa yang kita mau. Tapi dengan AI, jawabannya sesuai dengan apa yang kita tanyakan. Keakuratannya sungguh mencengangkan...

PS: di grup SMA kita, kita juga memiliki Chat Bot plus AI (Artificial Idiocy alias Kebodohan Buatan) sebagai bonus. Data berdasarkan apa yang diucapkan oleh pria yang suka melibatkan diri dalam berbagai hal sejak Oktober 2017. Sistem yang diproses secara manual oleh Eday ini kocak jawabannya, tapi cakupan topiknya sungguh luas nian! Chat Bot ini selalu bisa menjawab apa yang ingin kita tanyakan! 

Thursday, December 26, 2024

Tetralingo

This story began in July 2024, when I was waiting for my muifan. When I was browsing the news on my phone, I suddenly saw the ad of Duocards (the wooly mammoth was eye-catching). As I always had an interest in language learning, it piqued my curiosity. I checked with my friends on the group chat to see if anyone had tried learning language via app. Turned out that Surianto had already been using Duolingo, so I tested it out, too.

Duolingo felt natural whereas Duocards required much effort to understand what it was all about. I quickly dropped the latter and continued with Duolingo. As I worked at a Chinese company, it was a common sense to pick up Chinese. I also resumed studying French. Always love the language as it sounded sexy. 

The two accounts.

Because I started Duolingo on iPad using my Apple ID, I realized that I wouldn't be able to use it on my Google Pixel. This is how I ended up with two accounts. As I proceeded with my second account, I chose another two languages, this time Dutch and Russian. In total, I learnt four languages concurrently.

But how does learning four languages at one go feel like? The answer is, surprisingly, pretty seamless. First of all, thanks to the learning streaks, we see the words everyday. So often that they gradually grew on you. I was also amazed to discover how the brain could actually adjust to what I was learning. For example, doing one Chinese lesson and then switching to French immediately after that was actually not a problem.

Acing Chinese.

What could be challenging was the human nature to embrace the new language with what we already knew. In this case, my benchmark was English. I'd say something like, "I eat at the French restaurant," but in French, it became, "je mange au restaurant français." So français came after the word restaurant. The grammar could be confusing at times. 

As I picked up four languages at once, I noticed that the lessons created for each language could be quite different. French language has the most advanced features such as stories and games catered for listening and speaking skills. It even had a bit of pointers for grammar. But the other three, especially Dutch, had almost none, so you had to figure it out yourself.

About the languages, I am familiar with Chinese and I am able to read pinyin, so it is more of a refresher course for daily practice and also for knowledge expansion. 

French is my real love and it is fun learning it. Some parts, like how to differentiate le and la, have no proper explanation and you just have to memorize them. 

The word rekening is also used in Bahasa Indonesia.

Dutch is more for a historical reason, since Bahasa Indonesia took a lot of words from the Dutch language. As a matter of fact, the way we read the words is quite similar with Bahasa. But as I progress, I find that the grammar was very challenging! 

As for Russian, it was almost like encrypted alphabets. Every sentence was a riddle, but the structure somehow felt rudimentary. Instead of spelling them out word by word, the sentence could be very short instead. For instance, rather than saying, "Mark is a politician," you can say it like this in Russian: Марк — политик.

Now, after 149 days of learning, what's the result? Let's try out. Here goes nothing:

我是姓李. 我叫玉軒. 我每天学习汉语. 我会说, 也会听一点中文, 但死不会读. 可是我会懂拼音. 我用拼音慢慢写, 慢慢读. 还可以吧! 现在最总要的是跟你们说话!

J'apprends aussi le français. J'adore français. J'aime écouter Luc et Sylvie parler dans l'émission de télévision, Emily à Paris. Très bon, mais difficile à comprendre, haha.

Ik studeer ook Nederlands. Ik wil naar Amsterdam. Wil het eten proberen en het uitzicht gezien. Nederlands is makkelijk te lezen, maar moeilijk te schrijven. Het kan heel anders zijn dan Engels.

Русский язык не легкий. Я умею читать, но не умею писать. 

So there you go! My work in progress! Not sure how it is going to be, but it's surely fun while it lasts! 

2024 year in review.





Tetralingo

Cerita kali ini dimulai di bulan Juli 2024, sewaktu saya menanti muifan di That Coffee Place pada saat makan malam. Selagi melihat-lihat berita di telepon genggam saya, tiba-tiba tampak iklan Duocards (saya suka gajah purba yang menjadi logonya). Karena saya ada ketertarikan dengan belajar bahasa, saya jadi ingin mencari tahu lebih lanjut di grup SMA. Ternyata Surianto sudah mulai belajar menggunakan Duolingo, jadi saya pun ikut mencoba. 

Duolingo terasa lebih alami sementara Duocards memerlukan banyak upaya untuk memahami cara penggunaannya. Saya lantas berhenti menjajaki Duocards dan lanjut dengan Duolingo. Karena saya bekerja di perusahaan Cina, maka saya pun memilih pelajaran Mandarin. Selain itu saya juga meneruskan pelajaran Perancis. Saya suka bahasanya yang terdengar seksi.

Dua akun saya.

Karena saya memulai Duolingo di iPad menggunakan Apple ID, saya lantas menyadari bahwa saya tidak akan bisa lanjut berlatih dengan Google Pixel. Inilah sebabnya kenapa saya memiliki dua akun. Di akun kedua, saya memilih bahasa Belanda dan Rusia. Secara keseluruhan, saya belajar empat bahasa secara bersamaan. 

Namun bagaimana kesannya belajar empat bahasa sekaligus? Jawabannya, menurut saya, cukup lancar. Karena Duolingo memiliki fitur streaks yang membuat pengguna termotivasi untuk belajar setiap hari, lama-kelamaan kita jadi hafal dengan kata-kata yang sering diulang. Saya juga tertegun tatkala menyadari bagaimana otak kita ini bisa beradaptasi dengan baik sewaktu belajar. Sebagai contoh, saya bisa belajar satu pelajaran Mandarin dan pindah ke bahasa Perancis segera setelah itu. Tidak ada masalah. 

Nilai 100 untuk Mandarin.

Apa yang terasa menantang adalah bagaimana kebiasaan kita dalam menyikapi bahasa baru dengan apa yang sudah kita ketahui. Dalam hal ini, patokan saya adalah Bahasa Inggris. Sebagai perbandingan, saya mengucapkan, "I eat at the French restaurant," tapi dalam bahasa Perancis, kalimatnya berubah, "je mange au restaurant français." Jadi français berada di posisi setelah kata restaurant. Struktur kalimat yang berbeda ini bisa terasa membingungkan. 

Karena saya belajar empat bahasa, saya jadi bisa melihat bahwa pelajaran untuk setiap bahasa ini berbeda-beda. Bahasa Perancis paling beragam pelajarannya dan mencakup cerita dan game yang dirancang untuk melatih pendengaran dan pengucapan. Bahasa Perancis ini juga memiliki petunjuk untuk tata bahasa. Tiga bahasa lainnya boleh dikatakan tidak ada sehingga kita sendiri yang harus memperhatikan pola tata bahasa yang sedang dipelajari. 

Tentang bahasa yang saya pelajari, saya paling berpengalaman dengan Mandarin. Saya juga bisa membaca pinyin, jadi apa yang saya pelajari lebih cenderung untuk mengingat kembali dan juga menambah wawasan. 

Bahasa Perancis adalah bahasa yang saya sukai dan untuk dipelajari. Kendati begitu, beberapa bagian seperti mengidentifikasi penggunaan le dan la tidak memiliki penjelasan yang baik sehingga satu-satunya cara adalah harus dihafal. 

Kata rekening berasal dari Bahasa Belanda.

Bahasa Belanda saya ambil lebih condong karena sejarah Bahasa Indonesia yang menyerap kata-kata dari bahasa tersebut. Cara bacanya pun mirip. Namun setelah dipelajari, tata bahasanya cukup memusingkan juga! 

Akan halnya bahasa Rusia, huruf-hurufnya seperti sandi. Setiap kalimatnya jadi terlihat seperti teka-teki, namun uniknya Bahasa Rusia ini adalah tata bahasanya yang primitif. Bukannya kata per kata seperti lumrahnya bahasa lain, Bahasa Rusia ini kadang terasa ringkas. Misalnya dalam bahasa Inggris, kalimatnya lengkap seperti ini, "Mark is a politician," namun dalam Bahasa Rusia, cukup begini: Марк — политик.

Nah, setelah belajar selama 149 hari, bagaimana hasilnya? Mari kita coba: 

我是姓李. 我叫玉軒. 我每天学习汉语. 我会说, 也会听一点中文, 但死不会读. 可是我会懂拼音. 我用拼音慢慢写, 慢慢读. 还可以吧! 现在最总要的是跟你们说话!

J'apprends aussi le français. J'adore français. J'aime écouter Luc et Sylvie parler dans l'émission de télévision, Emily à Paris. Très bon, mais difficile à comprendre, haha.

Ik studeer ook Nederlands. Ik wil naar Amsterdam. Wil het eten proberen en het uitzicht gezien. Nederlands is makkelijk te lezen, maar moeilijk te schrijven. Het kan heel anders zijn dan Engels.

Русский язык не легкий. Я умею читать, но не умею писать. 

Jadi demikianlah hasilnya. Saya tidak tahu akan seperti apa nantinya, tapi yang jelas nikmati saja selagi seru! 

Hasil di tahun 2024.

Thursday, March 14, 2024

The Business Trip

I've joined the workforce since year 1998. My first job was at Hotel Kartika in Pontianak and I worked as a stock-keeper. Because Wisma Siantan Indah was owned by the same boss, I had to deliver goods to the inn across the river. My first and quite regular business trip, if I could call it that since it happened in the same town. 

Back to where it all started.

The pattern repeated when I moved to Jakarta and worked at Kalbe Farma. The company's factory is in Cikarang and it has many branches, so I'd go to offices in Jakarta such Rawagelam, Pulo Lentut, Tanah Abang, Fatmawati and many more. But my first and proper business trip had to be the visit to Sukajadi office in Bandung. My colleague Surijanto drove me there for an easy job: replacing a faulty network router. 

Then came the Medan trip in 2005, the first time I ever took a two-hour flight. I also had the first overseas trip to Singapore and Hong Kong for business purpose that year. Since I was never a brilliant network engineer, I'm pretty sure I was selected simply because I had a passport ready with me plus the fact that I was able converse in English (and Chinese to a certain extent), haha. 

Lunch with Juniper team in Boat Quay, Singapore. 

When I moved to Singapore and worked at Ong First, I was also sent to Kuala Lumpur and Bangkok for business trips with the worst arrangement ever: a day trip! So I had to fly out and return to Singapore on the same day. I met clients right after I landed and went back to the airport again immediately.

14 years into my current job, I flew once in a blue moon to Jakarta and Kuala Lumpur for work. The last one happened a week ago and it got me thinking about the pros and cons of such trips. All this while, the nature of my job didn't really require me to travel. I love travelling, but based on few trips that I did, I could say that business trip is my least favourite kind of trip. 

With colleagues at KL office. 

Yes, I like meeting people, especially putting faces to the names I normally work with. But other than that, business trip doesn't offer much liberty because you are clearly there for work. Imagine visiting a new city but you don't have a chance to explore. So no, not exactly a fan. Given the choice, I'd rather pay for the trip myself and have the full freedom to travel properly. 



 Perjalanan Bisnis

Saya sudah mulai bekerja sejak tahun 1998, begitu saya lulus SMA. Profesi pertama saya berkaitan dengan bagian pengadaan barang di Hotel Kartika Pontianak. Karena Wisma Siantan Indah juga dikelola oleh pemilik yang sama, maka saya juga secara berkala mengantarkan barang-barang ke penginapan yang berada di seberang sungai. Meski masih dalam kota yang sama, boleh dikatakan itulah "perjalanan bisnis" dalam tiga tahun pertama saya di dunia kerja. 

Kembali ke Kartika di tahun 2023.

Pola serupa ini juga berulang ketika saya pindah ke Jakarta dan bekerja di Kalbe Farma. Perusahaan obat ini memiliki pabrik di Cikarang dan banyak kantor cabang. Di Jakarta, saya mengunjungi kantor-kantor di Rawagelam, Pulo Lentut, Tanah Abang, Fatmawati dan masih banyak lagi. Akan tetapi perjalanan bisnis saya  untuk pertama kalinya terjadi saat saya ke kantor di Sukajadi, Bandung. Di masa sebelum ada jalan tol, kolega saya Surijanto yang menyetir dan kita ke Bandung untuk tugas yang tergolong enteng: mengganti router yang rusak. 

Kemudian ada lagi perjalanan ke kantor cabang Medan di tahun 2005. Untuk pertama kalinya saya menaiki penerbangan yang berdurasi dua jam lamanya. Saya juga diberangkatkan ke Singapura dan Hong Kong di tahun yang sama. Terus-terang saya bukanlah pakar jaringan komputer, jadi sepertinya saya terpilih semata-mata karena saya memiliki paspor dan bisa berbahasa Inggris, plus Mandarin seadanya, haha. 

Makan siang di Boat Quay, Singapura, bersama tim dari Juniper.

Sewaktu saya hijrah ke Singapura dan bekerja di Ong First, saya sempat pula ditugaskan ke Kuala Lumpur dan Bangkok dalam rangka mengunjungi CIMB Bank dan Bangkok Bank, tapi pergi-pulang di hari yang sama. Saya harus bergegas menemui klien begitu tiba dan kembali ke bandara setelah misi tercapai. Sungguh melelahkan dan tidak menyenangkan. 

Memasuki tahun ke-14 di pekerjaan yang saya tekuni sekarang, sesekali saya pergi ke Jakarta dan Kuala Lumpur karena urusan kantor. Perjalanan bisnis terkini terjadi seminggu lalu dan membuat saya berpikir tentang pro dan kontra bepergian dalam rangka bisnis. Sejauh ini, pekerjaan saya cenderung tidak memerlukan saya untuk bertugas ke luar, namun berdasarkan pengalaman yang ada, saya bisa katakan bahwa saya tidak menyukai perjalanan bisnis. 

Bersama para kolega di kantor KL.

Ya, saya senang bertemu dengan mereka yang selama ini hanya saya kenal sebatas nama. Namun ada rasa tidak bebas karena perjalanan bisnis itu memang dalam kapasitas pergi bekerja. Bayangkan jika kita pergi ke tempat yang baru dan tidak punya kesempatan untuk jalan-jalan. Dari sini saya bisa menyimpulkan, kalau saya bisa memilih, saya lebih suka bayar sendiri dan berjalan sepuas hati. 




Thursday, February 16, 2023

Reinventing Oneself

It must have been established by now that I love the plastics. While each of them is unique in its own way, I always have the soft spot for Diners Club. The story of its origin, the unusual name, its glorious past as the first and how the mighty had fallen... I just love every bit of it. 

Things looked gloomy for Diners and I thought it would stay that way, hence imagine my surprise when I saw the changes. Not only the mobile app was modernized and the company name was changed to DCS Card Centre, but it also released a new card under the UnionPay logo! 

When I got mine (obviously), I found it odd that this was purely a UnionPay card. I reckon the company wanted to show what it meant when the name was changed to Card Centre, but it could have retained the Diners network to broaden the acceptance. It'd be interesting to have a card that worked as both Diners and UnionPay.

Anyway, while it wasn't perfect, Diners' decision to reinvent itself was bold and commendable. It wasn't something that happened very often and it reminded me of the day BlackBerry exited the phone business. Good for the company to focus on security business and be profitable from it, but bad for those who loved the phone like me. 

As I traced back, fundamental changes did happen to things I like, even to an icon as popular as Godzilla. After the disastrous Godzilla 1998, Toho decided to try again with the Americans. The result was Monsterverse that eventually delivered Godzilla vs. Kong in 2021. For the uninitiated, a similar film was first produced by Toho in 1962 and it was wildly popular. To be able to watch a modernized version of it was like a dream came true. I was so impressed when I watched it in the cinema that I couldn't help thinking this is how as Godzilla movie should be done. I remember that particular moment vividly.  

And then we had the Beatles, the master of reinventing themselves. They were so good at it, so ahead of its time, that peers like the Beach Boys and the Rolling Stones were left behind. From Please Please Me to Let It Be, they never sounded the same. Just when the Beach Boys produced Pet Sounds, the Beatles topped the bill with Sgt. Pepper's. Rolling Stones could only hope for the best with Their Satanic Majesties Request. 

But of course not everyone could be like the Beatles. They are the benchmark, the perfection that people like us will always try to emulate and achieve. As for Godzilla, it's about the willingness to try even though we fail the first time. BlackBerry serves as a reminder that we can evolve into something different in order to survive, even though it may not be something that others know and love. And Diners, whatever they do now is definitely an improvement. It got me thinking that when you are already at the bottom of the pit, the only way to go from here onwards is up if we want to reinvent ourselves...

DCS, formerly known as Diners Club. 



Mengubah Diri

Dari berbagai artikel roadblog101.com sejak tahun 2017, rasanya sudah sering diceritakan bahwa saya memang suka koleksi kartu kredit. Setiap logo kartu memiliki keunikan sendiri, tapi saya selalu memiliki perasaan sentimentil terhadap Diners Club. Asal mulanya, namanya yang tidak lazim, sejarahnya sebagai kartu kredit pertama, sampai terpuruknya reputasi Diners sekarang. Saya suka semuanya.

Situasi terlihat sulit bagi Diners yang kalah saing dan saya kira Diners akan selalu terlihat ketinggalan zaman. Jadi bayangkan betapa kagetnya saya ketika Diners tiba-tiba berubah. Bukan saja perusahaannya berganti nama dan mobile app-nya pun berubah, tapi Diners juga mengeluarkan kartu baru dengan logo UnionPay! 

Ketika saya mendapatkan kartu saya, ada rasa heran kenapa kartu ini murni UnionPay. Saya menerka bahwa kartu ini dikeluarkan sebagai UnionPay karena perusahaan ini ingin menunjukkan kenapa namanya diganti jadi DCS Card Centre yang berarti pusat kartu, tapi saya sempat menyangka bahwa kartu ini akan tetap mempertahankan jaringannya sendiri. Akan sungguh menarik bila kartu ini bisa dipakai di jaringan UnionPay dan Diners.

Kendati tidak sempurna, aksi nyata yang ditunjukkan Diners untuk berubah adalah sesuatu yang berani dan patut dikagumi. Ini tidak sering terjadi dan mengingatkan saya kembali pada hari di mana BlackBerry memutuskan untuk keluar dari bisnis telepon genggam. Bagus untuk perusahaannya untuk sepenuhnya fokus pada bisnis keamanan komputer, tapi tidak bagus untuk pencinta telepon BlackBerry seperti saya. 

Ketika saya melihat kembali, perubahan mendasar seperti ini terjadi pada beberapa hal yang saya sukai, bahkan sesuatu yang sudah begitu ikonik dan populer seperti Godzilla. Setelah Godzilla 1998 yang gagal total, Toho memutuskan untuk mencoba lagi dengan produser film Amerika. Hasil kerja sama dari sejak Godzilla 2014 ini akhirnya melahirkan Godzilla vs. Kong di tahun 2021. Bagi yang tidak tahu, film serupa diproduksi oleh Toho di tahun 1962 dan sukses besar. Bisa menyaksikan kembali versi modern dari pertarungan Godzilla dan Kong sungguh bagaikan impian yang menjadi kenyataan. Saya begitu terkesan sampai berpikir bahwa seperti inilah film Godzilla seharusnya digarap. Saya ingat betul pikiran tersebut terlintas di benak saya saat di bioskop.

Dan kemudian ada the Beatles yang senantiasa berubah menjadi lebih baik dan menciptakan sesuatu yang baru. Mereka begitu pakar dalam hal ini, begitu jauh di depan, sampai-sampai grup lain seperti Beach Boys dan Rolling Stones tertinggal di belakang. Dari Please Please Me sampai Let It Be, the Beatles tidak pernah terdengar sama. Sewaktu Beach Boys merilis Pet Sounds, the Beatles menandinginya dan keluar sebagai pemenang dengan Sgt. Pepper's. Rolling Stones hanya bisa mengekor di belakang dengan Their Satanic Majesties Request

Akan tetapi tentu saja tidak semua bisa menjadi seperti the Beatles. Mereka adalah standar dan inspirasi bagi orang-orang seperti saya yang selalu mengejar dan mencapai impian seperti mereka. Akan halnya Godzilla, perlu dicatat bagaimana mereka mencoba lagi meski gagal di kali pertama. Kalau BlackBerry adalah sebuah kisah nyata bagaimana evolusi menjadi sesuatu yang sama sekali berbeda kadang diperlukan agar tidak lenyap oleh waktu, meskipun perubahan itu bukan lagi sesuatu yang digemari khalayak ramai. Dan apa pun yang mereka lakukan di Diners sekarang jelas merupakan peningkatan. Ini adalah contoh, bilamana kita sudah di bawah, maka satu-satunya yang akan terjadi bila kita mau berubah adalah peningkatan dan kemajuan...

Saturday, February 4, 2023

The Plastics II: Debit Cards

I had always loved the plastics since I got my first one in 2001, but the craze only started when I moved to Singapore. I'd been collecting credit cards since then. After almost two decades of doing the same thing, I'd naturally expect it to stay that way. Hence it was amusing when the scope changed recently. It expanded to debit cards as well, after I met my friend STV at Hilary's Christmas party

Talk about debit cards, I had Wise since it was still called TransferWise. I applied for it because the card design looked cool, but I never really paid attention to the usage. Then I got myself the Amaze card because it was highly recommended by Franky, the guy with a plenty of brilliant financial advices. It had been my go-to card for traveling and foreign exchange transactions for months, until the night STV shared the comparison between Amaze and YouTrip. He was of the opinion that YouTrip offered better exchange rates these days for selected currencies.

Now, I won't go in-depth on this topic. You could easily google it and find more qualified sources that showed the comparison of Amaze, Youtrip and other similar cards. I'd like to share my experience in testing out the cards instead. 

There was a reason why I ignored debit cards for the longest time. I disliked the fact that it immediately deducted your bank account the moment you used it. This was also the reason why Amaze card worked for me, because even though it was a debit card, I could link it to credit cards and I never had to worry if I still had any balances left or not.

Anyway, after that fateful night, I ended up trying out and comparing the big four in Singapore: Wise, Amaze, YouTrip and Revolut. I also explored less known cards such as Wirex, UOB Mighty FX, BigPay and DelytePay. That's when I learnt that some are really suitable for travelling purpose while others not so. 

The big four: YouTrip, Amaze, Revolut and Wise.

First things first, the account opening. The process for the big four were brilliant and seamless. Wirex was equally hassle-free, too. The application for Mighty FX, the only one from the bank that I tried, felt old-fashioned. It was as good as opening many accounts and it took weeks before the debit card was issued. BigPay application didn't work out well, too. It was stuck under the review status for more than a week, until I sent an email to give it a nudge. The customer service was surprisingly responsive, though. As for DelytePay by Matchmove, the interface worked well for account opening, but there was this lingering feeling that it was small fintech company. I mean, I'd usually receive a card in a mail with my address printed on it, but it was handwritten this round. Much to my chagrin, my name is also not engraved on the card.

In general, card activation is done in a similar method via mobile app. This is why it was quite shocking that Wise switched to a rather painstaking way for card activation. I don't even remember it was that difficult when I first had my TransferWise card. What happened was, the Wise card activation could only be done by checking the balance on the ATM. But what it didn't specify was, it could only be done using POSB ATM. Quite frustrating and I felt like I was doing User Acceptance Test for them. The other method of card activation was even more ridiculous. I was asked to use PIN to do a transaction, but this isn't even the practice in Singapore. I had travelled around the world quite a fair bit and only in Indonesia I was asked to use PIN.

Next, top-up. The best is, of course, Amaze by InstaRem. In term of practicality, no top-up is required for Amaze card as it will charge directly to a credit card that is linked to it. Revolut is right behind it on the second place. I like the fact that it leverages on Google Pay. Then, depends on the cards, some actually will incure charges when using Visa to top-up, but no extra charges when using Master (BigPay is an exception here). Wirex has fees for both Visa and Master whereas Wise still has the option to use Paynow. UOB Mighty FX relies on One Account, just like the traditional banking system. DelytePay is the weirdest among all as it has to be topped up at 7-Eleven.

In term of the interface, I like Revolut the best. It was well-thought, simple to understand and nicely animated. It is also the only one with a child account feature, just like what Get was doing before it went dysfunctional in August 2022. The rest were all right. I tried the Contact Us feature of almost all the cards, too. Again DelytePay felt like it was lagging behind because others already had a rather comprehensive FAQ and many ways for users to reach out.

Last but not least, not all are meant to be travel money cards. Only Wise, Revolut, Amaze and YouTrip easily fall into this category. Wirex is designed for cryptocurrency trading and its debit card is more of a by-product. Mighty FX felt like a half-hearted attempt to compete with others. BigPay is nowhere near the big four and DelytePay is clearly not on the same level playing field. 

I don't know if it's just me being out of touch or what, but as I discovered this, I realized that when it comes to travelling, credit cards seem to be lagging behind while these debit cards are competing to offer the best FX rates. The next trip will be quite different for me. Can't wait to put them in good use real soon!

Mighty FX, Wirex, DelytePay and BigPay.



Kartu Debit

Saya memperoleh kartu kredit pertama saya di tahun 2001 dan saya mulai mengumpulkan beraneka kartu kredit sejak pindah ke Singapura. Setelah hampir dua dekade lamanya  menekuni hobi ini dan melakukan hal yang sama, saya tertegun sendiri ketika cakupannya berubah baru-baru ini. Setelah bertemu dengan teman saya STV di pesta Natal Hilary, saya kini sibuk berburu kartu debit.

Berbicara tentang kartu debit, saya memiliki Wise dari sejak namanya masih TransferWise. Saya bikin kartu ini karena desainnya yang bagus, tapi saya hanya mencoba fiturnya belakangan ini. Di pertengahan tahun 2022, saya lantas mengajukan aplikasi kartu Amaze karena Franky sangat merekomendasikan kartu ini (dia selalu memiliki banyak nasehat bagus tentang hal finansial). Semenjak itu, kartu Amaze selalu saya pakai saat bepergian keluar negeri atau untuk transaksi yang menggunakan mata uang selain SGD. Namun itu semua berubah setelah STV memaparkan tentang perbandingan antara Amaze dan YouTrip. Menurut STV, YouTrip menawarkan kurs yang lebih bagus untuk mata uang tertentu. 

Saya tidak akan menjelaskan lebih rinci tentang hal ini, sebab anda bisa google dan cari tahu dari sumber yang lebih terpercaya tentang perbandingan antara Amaze, Youtrip dan kartu-kartu serupa. Apa yang ingin saya ulas di sini adalah pengalaman saya saat menguji-coba aneka kartu debit ini.

Ada alasan kenapa saya mengabaikan kartu debit dalam dua puluh terakhir ini. Saya tidak suka dengan konsepnya yang langsung memotong uang di rekening begitu kita bertransaksi. Satu-satunya alasan kenapa saya suka kartu debit Amaze adalah fiturnya yang langsung bertransaksi berdasarkan kartu kredit yang kita hubungkan sebagai sumber saldo. Dengan demikian saya tidak perlu memikirkan apakah saya masih memiliki dana yang tersisa di rekening kartu debit saya. 

Nah, setelah percakapan dengan STV, saya lantas mencoba empat nama besar yang mulai mencuat di Singapura: Wise, Amaze, YouTrip dan Revolut. Saya juga mengetes nama-nama yang jarang terdengar, namun sempat muncul di media sosial atau Google. Kartu-kartu tersebut adalah Wirex, UOB Mighty FX, BigPay dan juga DelytePay. Dari percobaan ini, saya pun mendapatkan ide bahwa beberapa kartu ini memang dirancang untuk liburan sedangkan yang lain beda kegunaannya. 

Empat besar di Singapura: YouTrip, Amaze, Revolut dan Wise.

Hal pertama yang saya coba adalah pembukaan rekening. Proses untuk empat nama besar tergolong sangat praktis dan tidak bertele-tele. Wirex pun bisa dikatakan ringkas. Akan halnya Mighty FX, satu-satunya kartu keluaran bank yang saya coba, terasa agak ketinggalan zaman. Kesannya seperti membuka banyak rekening dan butuh waktu beberapa minggu sebelum saya akhirnya menerima kartu debit. Pengajuan kartu BigPay pun sempat tersendat juga. Statusnya selalu under review sampai saya kirimkan email untuk bertanya lebih lanjut. Tapi pelayanan pelanggannya tergolong cukup responsif. Terakhir, DelytePay dari Matchmove, memiliki kesan perusahaan kecil. Biasanya kartu yang saya terima dikirim dengan amplop yang alamatnya tercetak secara komputerisasi, tapi yang satu ini masih ditulis tangan. Saya juga agak kecewa karena kartu yang saya terima sama sekali tidak mencantumkan nama saya. 

Secara keseluruhan, aktivasi kartu boleh dikatakan nyaris serupa dan lewat app. Inilah alasannya kenapa metode Wise sungguh mengejutkan dan repot. Seingat saya, aktivasi kartu TransferWise pertama saya pun tidak sesulit ini. Apa yang terjadi adalah, aktivasi kartu Wise hanya bisa dilakukan dengan cara mengecek saldo lewat ATM. Apa yang tidak dijelaskan secara spesifik adalah, metode ini hanya bisa dilakukan lewat ATM POSB. Saya sempat merasa frustrasi karena merasa seperti sedang membantu Wise menguji sistem. Metode lainnya bahkan lebih konyol lagi: transaksi menggunakan PIN. Padahal tidak ada yang menggunakan metode ini di Singapura. Sepanjang pengalaman saya dalam mengunjungi berbagai negara, hanya Indonesia yang memiliki pilihan menggunakan PIN saat pembayaran menggunakan kartu. 

Yang berikutnya adalah pengisian saldo. Yang terbaik tentu saja  Amaze dari InstaRem. Begitu praktis karena saldo tidak perlu diisi setelah kita menghubungkannya dengan kartu kredit. Revolut juga lumayan gampang karena terhubung dengan Google Pay. Tergantung jenis kartunya, ada yang terkena biaya bila mengisi saldo dengan Visa, tapi gratis jika kita menggunakan Master (pengecualiannya adalah BigPay yang juga gratis meski pakai Visa). Wirex memungut biaya untuk pengisian saldo dan Wise masih memiliki alternatif transfer tanpa biaya lewat Paynow. Mighty FX terasa seperti sistem tradisional karena masih mengandalkan rekening bank One Account. Yang paling tidak lazim adalah DelytePay karena saldo harus diisi di 7-Eleven.

Dari aspek aplikasi, saya paling suka Revolut. Aplikasinya mudah dimengerti dan memiliki animasi yang menarik perhatian serta informatif. Revolut juga satu-satunya yang memiliki rekening untuk anak, mirip seperti apa yang ditawarkan oleh produk Get sebelum kartu debitnya sama sekali tidak bisa digunakan lagi sejak Agustus 2022. Aplikasi kartu lainnya boleh dikatakan lumayan. Fitur Contact Us pun saya coba untuk hampir semua kartu. Sekali lagi DelytePay terasa ketinggalan karena yang lainnya memiliki FAQ yang komprehensif dan pelayanan pelanggan yang responsif. 

Yang terakhir dan paling penting adalah, tidak semua kartu dirancang sebagai kartu yang bagus kursnya untuk liburan. Hanya Wise, Revolut, Amaze dan YouTrip yang masuk di kategori ini. Wirex lebih dominan di jual-beli kripto dan kartu debitnya terasa seperti produk sampingan. Mighty FX terasa seperti usaha setengah hati untuk bersaing dengan produk lain yang serupa. BigPay masih jauh dari empat besar dan DelytePay jelas beda level. 

Jujur saya merasa seperti pemain baru di dunia kartu debit, tapi setelah saya uji dan alami, saya merasa bahwa untuk fasilitas liburan, kartu kredit ternyata kini kalah jauh dari kartu-kartu debit yang bersaing dalam menawarkan kurs paling kompetitif. Sungguh rasanya tidak sabar lagi untuk saya pakai lebih lanjut di liburan berikutnya!

Mighty FX, Wirex, DelytePay dan BigPay.

Monday, January 23, 2023

Paradigm Shift

Now here's something that I went through a couple of times in life, but only realized what it meant recently. It also got to do with the fact that I suddenly got this inexplicable interest in the phrase paradigm shift. Simply couldn't get rid of it from my mind. It felt so cool, sounded almost like paradise lost, and I couldn't help thinking that it would make a great title for my next blog post.

Anyway, this story began with a chronic addiction I had with the plastics. All this while, I always loved collecting credit cards, but I also spent some time digging into debit cards as well recently. This was triggered by the comparison between InstaRem and Youtrip debit cards that I had with a friend known as STV when we met at Hilary's Christmas party last year.

You see, prior to that, I never really paid attention to debit cards. To me, they were pretty inconvenient. But suddenly, when it came to travelling, credit cards seemed to be lagging behind while these debit cards were competing to offer the best FX rates. It was so game-changing that I had to start reading about it.

That got me thinking about two other things that happened roughly a week ago, when a friend of mine asked me about moving data to cloud. Not long after that, the same guy also did a survey in our group chat to gather the statistics of Spotify users among us. 

With regard to the former, I did exactly that about two years ago. I lived through all the changes I needed to know about the data storage, from a diskette to Apple's Time Capsule. I saw how those things were the state-of-the-art until the day they became things of the past. I remember when it suddenly made sense to use cloud and the rest is history. 

Same goes for Spotify. I was an ardent supporter of CD until I set up Google Home and tried out the music apps. It felt so practical that it changed the way I listened to music. I could be in the living room, bedroom or even on the go and the music would just follow. I never looked back since then.

This is the paradigm shift I was talking about. Just like many people, I also had this habit of clinging to the good old ways that I knew and loved, the ways I knew would work. But in this ever changing world, there'll always be technologies that are mature enough to change the way you know it and it's not necessary a bad thing. What I learnt here is, if you dared to give it a try, it might change your life forever. The choice is always yours. The question now is, will you do something about it? 

My buddy from Miyagi-Do started moving data to cloud. 



Paradigma Yang Bergeser

Pengalaman berikut ini adalah sesuatu yang sudah saya lalui beberapa kali, tapi belakangan ini saya sadari apa hikmah sebenarnya. Cerita kali ini juga berkaitan dengan frase paradigm shift yang entah kenapa terasa memiliki daya tarik sendiri. Mungkin karena terdengar mirip dengan paradise lost dan saya jadi berpikir bahwa ini akan menjadi judul yang bagus untuk tulisan saya. 

Awal kisah ini bermula dari kebiasaan saya dalam mengumpulkan kartu kredit. Ini sudah merupakan hobi dari sejak lama, tapi belakangan ini saya jadi membaca lebih lanjut tentang kartu debit juga. Semua ini dipicu oleh percakapan dengan teman saya STV mengenai perbandingan antara kartu InstaRem dan Youtrip sewaktu saya bertemu dengannya di pesta Natal di rumah Hilary tahun lalu.  

Sebelum itu, saya tidak pernah serius memperhatikan kartu debit. Bagi saya, kartu debit ini sangat tidak praktis. Namun perkembangan terkini menunjukkan bahwa kartu kredit tertinggal jauh dari kartu debit yang berlomba-lomba menawarkan kurs terbaik bagi mereka yang senang jalan-jalan. Saya jadi tertarik untuk menyelidiki lebih jauh lagi. 

Hal ini lantas mengingatkan saya tentang beberapa hal yang terjadi baru-baru ini, ketika seorang teman bertanya tentang cara memindahkan data ke cloud. Teman ini juga mengadakan survei di grup SMA untuk melihat siapa saja teman yang kini menggunakan Spotify. 

Menyimpan data di cloud adalah sesuatu yang telah saya lakukan sejak dua tahun silam. Saya sudah melewati beraneka perubahan tempat penyimpanan data, mulai dari disket sampai Time Capsule yang dijual oleh Apple. Saya lihat sendiri bagaimana teknologi yang dulunya paling mutakhir itu tersisih menjadi sesuatu yang ketinggalan zaman. Saya juga ingat saat saya akhirnya memutuskan untuk pindah ke cloud. Ada kesan bahwa memang sudah waktunya. 

Sama halnya juga dengan Spotify. Saya merupakan pendukung keras CD musik, sampai akhirnya saya memasang Google Home di rumah dan mencoba berbagai apps untuk musik. Tiba-tiba semua terasa begitu praktis sehingga mengubah cara saya mendengarkan musik. Saya bisa berada di ruang tamu, di kamar atau bahkan bepergian dan musik akan selalu melantun di telinga. Saya tidak pernah lagi memutar CD sejak saat itu. 

Jadi hal-hal di atas adalah apa yang saya maksudkan dengan paradigma yang bergeser. Seperti halnya dengan banyak orang lain, saya juga memiliki kebiasaan untuk bergantung pada cara yang saya tahu dan kenal baik dalam melakukan sesuatu. Kendati begitu, perlu diingat bahwa di dunia yang selalu berubah ini, akan selalu muncul teknologi yang akhirnya cukup matang untuk mengubah pola hidup kita dan ini bukanlah hal yang buruk. Apa yang saya pelajari dari pengalaman ini adalah, jika anda berani mencoba, pada akhirnya anda mungkin menemukan sesuatu yang bisa mengubah hidup anda. Pilihan tersebut ada di tangan anda. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah anda tergerak untuk melakukan sesuatu? 

Thursday, July 7, 2022

Not All Apps Are Created Equal

I kid you not! I had the title lingering in my mind for the past few days, as if it begged to be written! It was so amusing that I couldn't help thinking about it. This story started with an incident that happened few days ago, when a friend that was pretty active in our WhatsApp group chat suddenly contacted me via Messenger. She asked me to top up her prepaid phone. When I mentioned that in our group, another friend said she was asked to provided the SMS OTP. Then a friend in Bali was asked to lend her money. Needless to say, we knew immediately that her Facebook account was hacked. The issue was sorted out quickly. 

But how did we go from the experience above to the idea that not all apps are created equal? In order to understand this, let's go back to the very beginning, to the dawn of the internet. I was old enough to be a young man during this exciting time in Pontianak. Internet cafes were thriving and it was hard to get seats on Saturday night. Every youngster would be there to play mIRC. We'd be logging in to channels such as #khuntien and #bawel, getting to know girls. Though we could be banned if we accidentally said something that was deemed as abusive, we couldn't go wrong with the opening line: "ASL, please." 

For those who were born after the internet, it might sound weird that we found this thrilling. You had to realize that just a year before, we were hanging out at Telkom's public phone booths, holding a stack of coins while conversing with girls we tried to impress. It was unglam and we had to suffer from mosquito bites. Going from analog conversation like that to asking Age, Sex, Location to strangers was beyond wild! The internet was a miracle, mIRC was a godsend and ASL was the universal internet slang that ruled them all! Good times! Got me no girlfriends, though. Only one or two pen pals, haha.

Then there was ICQ. I just had to mention this, even though it wasn't as popular as mIRC. In fact, I knew it only from Jun Fui, a fellow computer lab assistant and a geeky friend of mine. I never used ICQ for chatting purpose, but it did one thing that was quite valuable at that time: it could send SMS to the mobile phone. Yes, SMS. Short Message Service containing only 160 characters. Back when you barely had enough money to top up your prepaid number, free SMS was too good to be true. While it might seem silly by today's standard, being able to send a couple of SMSes for free per day was a luxury back then!

When I went to Jakarta few years later in 2002, the internet had significantly improved in just a short period of time. I was now using Yahoo! Messenger on a desktop computer. I think it was the first chat app that introduced emojis to me. Cool stuff. Now people could know that I was smiling when I replied them. Then I switched to Google Talk when I moved to Singapore because... the girl I loved also used it, haha. One more that was worth mentioning during this period was MSN Messenger. I used it because some Singaporean friends used it, too. 

Then came the time when the three messengers above were made available on mobile phone. There was an app that allowed us to log in to all three. But this coincided with the rise of BBM. With a native app on a phone that was so widely used, especially in Indonesia, third-party messengers seemed redundant. When BlackBerry was riding high, BBM was all I needed. Looking back, I liked the idea of BBM pin. Nobody could add you without your permission, haha.

Skype appeared around the same time. The voice call feature was its main attraction. I remember those days when I always had to buy the prepaid cards for long distance calls to Indonesia. Skype eliminated this costly need. Suddenly it was free to make a call! So there was a period of time when Yani and I used this quite regularly. I remember staying in Eunos, getting ready for a call at 8pm Singapore Time. It was a date!

Then came WhatsApp that changed it all. It started small, as if it was a BBM wannabe that used phone number instead of pin. But then it got better. One-to-one chat, ticked. Group chat, ticked. Voice call ticked. Video call, ticked. Group call, ticked. File sharing ticked. By then, it had become the ultimate communication tool that we must have. BBM's days were numbered and I remember the fateful day when I had to say goodbye to the most beloved app during its heyday.

And that brought us back to Messenger. If you observed the apps that I described above, each of them was quite revolutionary and it served its purpose. But in a world where WhatsApp was the benchmark, Messenger looked like a sad little app with not much use. Both had pretty similar features, but nobody I knew really used Messenger. The recent case got me wondering, perhaps the only time the app became useful was when it inadvertently alerted us that the person's Facebook account had been hacked. How ironic. So it's true that not all apps are created equal...

PS: yes, I know there were still other apps such as Line, WeChat, Telegram, KakaoTalk, Snapchat, Viber, and many more, but I never really used those. I remember reading it somewhere that Chinese had WeChat, Japanese had Line and South Koreans had KakaoTalk, but only Indonesians had the time to use them all to chat with the same people, haha.  

Those logos we saw before...




Tidak Semua Aplikasi Diciptakan Setara

Percaya atau tidak, beberapa hari ini judul di atas selalu muncul di benak saya, seakan-akan meminta untuk diceritakan. Agak mengherankan juga, sebenarnya. Cerita kali ini dimulai dengan sebuah peristiwa yang terjadi beberapa hari yang lalu, ketika seorang teman yang cukup aktif di grup WhatsApp tiba-tiba menghubungi saya lewat Messenger. Dia ingin agar saya mengirimkan pulsa untuknya. Sewaktu saya pos ini di grup, seorang teman lain langsung bercerita bahwa dia juga dimintai SMS OTP. Kemudian seorang teman di Bali juga ternyata diminta untuk meminjamkan uang. Kita langsung tahu bahwa akun Facebook teman yang satu ini telah dibajak. Isu ini pun segera ditindaklanjuti. 

Akan tetapi apa hubungan kejadian di atas dengan ide bahwa tidak semua aplikasi diciptakan setara? Untuk mengerti lebih lanjut, mari kita kembali ke awal munculnya internet di Pontianak. Saat itu saya adalah seorang pemuda di periode yang gegap-gempita. Internet cafe bertaburan di mana-mana dan penuh-sesak di malam Minggu oleh muda-mudi yang ingin bermain mIRC. Kita sibuk di channel #khuntien dan #bawel untuk mencari pacar. Walau kita bisa didepak kalau salah bicara, tapi sudah pasti aman kalau memulai perkenalan dengan, "ASL, please." 

Bagi yang lahir setelah zaman internet, mungkin sulit untuk memahami kenapa hal seperti ini bisa terasa seru. Anda harus menyadari bahwa setahun sebelumnya, angkatan saya masih berkumpul di telepon umum kantor Telkom sambil menggenggam setumpuk koin untuk menelepon gadis yang diincar. Ini jelas kalah pamor, ditambah lagi banyak nyamuk. Peralihan dari pengalaman seperti ini ke internet, lalu bertanya Age, Sex, Location pada orang asing, rasanya seperti dahsyat sekali. Internet adalah sebuah keajaiban, mIRC adalah kiriman Tuhan dan ASL adalah istilah universal yang menjembatani perkenalan! Masa-masa yang menyenangkan. Tapi saya tidak dapat pacar. Hanya dapat satu atau dua sahabat pena, haha. 

Lantas muncul ICQ. Saya wajib sebutkan yang satu ini, meskipun ICQ tidak sepopuler mIRC. Saya sendiri baru tahu aplikasi ini dari Jun Fui, sesama asisten lab komputer dan juga teman saya yang kutu-buku. Saya tidak menggunakan ICQ untuk chatting, tapi untuk satu fitur yang bisa dilakukan oleh aplikasi ini: mengirim SMS ke HP. Ya, SMS. Short Message Service yang hanya berisi 160 karakter. Di zaman tatkala saya sering kekurangan uang untuk membeli pulsa, SMS gratis itu bagaikan berkat. Walau mungkin terlihat konyol sekarang, bisa mengirimkan beberapa SMS gratis per hari adalah suatu kemewahan tersendiri di masa itu!  

Sewaktu saya pindah ke Jakarta di tahun 2002, internet sudah jauh lebih maju. Kini saya menggunakan Yahoo! Messenger di komputer. Seingat saya, dari aplikasi inilah saya menggunakan emoji untuk pertama kalinya. Ini adalah hal kecil yang luar biasa. Sekarang pembaca bisa tahu kalau saya sedang tersenyum saat merespon komentarnya. Kemudian, setelah pindah ke Singapura, saya menggunakan Google Talk karena... wanita yang sukai juga menggunakannya, haha. Satu lagi dari masa ini yang perlu saya sebutkan adalah MSN Messenger. Saya juga pakai ini karena banyak teman-teman Singapura yang menggunakannya.

Lalu tiba era di mana tiga aplikasi di atas bisa digunakan di telepon genggam. Jadi ada satu aplikasi yang bisa sambung ke Yahoo! Messenger, Google Talk dan MSN Messenger. Kedengarannya memang praktis, tapi semua ini terjadi ketika BBM mulai populer. Dengan aplikasi yang sudah tersedia di telepon yang digunakan oleh begitu banyak orang, terutama di Indonesia, tiga aplikasi di atas jadi seperti ekstra dan tidak begitu diperlukan. Di era BlackBerry, satu-satunya yang saya perlukan adalah BBM. Jikalau saya lihat kembali lagi sekarang, saya suka dengan konsep pin BBM. Orang lain tidak bisa semena-mena menghubungi anda, apabila tidak ada permisi dari anda, haha. 

Skype juga muncul di saat BBM menyapu bersih aplikasi lainnya. Fitur telepon lewat internet adalah atraksi utamanya. Saya ingat betul hari-hari di mana saya perlu membeli kartu untuk sambungan langsung internasional. Kemunculan Skype mengurangi biaya dari keperluan ini. Tiba-tiba saja kita bisa menelepon secara gratis. Jadi ada periode di mana saya dan Yani cukup rutin menggunakan aplikasi ini. Saya ingat saat itu saya tinggal di Eunos. Jadi kita cukup janjian, misalnya telepon jam 8 malam waktu Singapura, dan kini bisa berbicara langsung! 

Sesudah itu muncul WhatsApp yang mengubah segalanya. Di awal kiprahnya, WhatsApp mirip seperti tiruan BBM yang menggunakan nomor telepon sebagai ganti pin. Kemudian WhatsApp kian berkembang. Chat perorangan, bisa. Chat secara group, bisa. Panggilan suara, bisa. Panggilan video, bisa. Panggilan lebih dari satu orang, bisa. Kirim file, juga bisa! Akhirnya WhatsApp menjadi andalan sehari-hari. BBM pun pudar. Saya ingat betul dengan hari-hari terakhir dari aplikasi yang kalah saing ini. 

Dan cerita di atas membawa kita kembali ke Messenger. Bila anda perhatikan setiap aplikasi yang saya jabarkan di atas, setiap aplikasi ini cukup revolusioner dan memainkan peran penting di zamannya. Tapi di dunia di mana WhatsApp kini jadi patokan, Messenger terlihat mengenaskan. Dua-duanya memiliki fitur yang mirip, tapi dari semua yang saya kenal, tidak ada seorang pun yang benar-benar menggunakan Messenger. Insiden di atas membuat saya membayangkan, sekali-kalinya Messenger terasa berguna adalah saat akun Facebook kena bajak. Sungguh ironis. Jadi benar bahwa tidak semua aplikasi diciptakan setara...

NB: ya, saya tahu masih banyak aplikasi lain seperti Line, WeChat, Telegram, KakaoTalk, Snapchat atau Viber, tapi saya tidak menggunakan semua itu. Satu hal yang saya pernah saya baca dan ingat adalah, orang Cina punya WeChat, orang Jepang punya Line dan orang Korea ada KakaoTalk, tapi hanya orang Indonesia yang punya waktu menggunakan semua aplikasi ini untuk chat dengan orang yang itu-itu juga, haha.