Total Pageviews

Translate

Monday, December 20, 2021

Book Review: Journey To The West

While it's true that Pontianak is a small town that only had its first KFC outlet in year 2000 (and it still doesn't have McDonald's today), I'd say it was lively enough for us to grow up there in the 80s. When I compared notes, it turned out that our childhood was comparable with friends that grew up in Singapore. In my case, even though I was from Pontianak, I probably watched, read and played more than my fellow Singaporeans.

One of the things we had back then was something called parabolic antenna. Installed on a roof, it enabled us to receive overseas TV channels from Malaysia to China. Every night, I'd be sitting in front of TV with my mother to watch Journey to the West. It was in Chinese and I didn't understand the language, but it was still a fascinating show for a boy who was born in the year of the Monkey.

Around the same time, I also read the comics books in Bahasa Indonesia. The format was unusual, therefore memorable. It had two pictures per page and one paragraph of narration under each picture. Back in the days before Tiger Wong and the available comics were only DC, Marvel or European stuff such as Asterix and Tintin, this one became my earliest exposure of Chinese cultures. 

In a way, I guess you can't be Chinese without knowing about Journey to the West at all. It was featured so prominently throughout the years in every phase of my life, be it on TV, comics (most notable was the first arc of Dragon Ball) or films. Even Stephen Chow had two spoofs or more about the Monkey King. When I saw the English version of the novel at the book shop, I was so curious I simply couldn't help searching for it at the library.

Now that I'm in my forties, I had a better understanding about Chinese cultures, including the historical journey of Xuanzang to India. Re-reading the book again, albeit the abridged version, gave me a rather interesting insight about this classic. This was indeed a brilliant novel!

It was basically a three-part story which began with the birth of Monkey. It quickly established how powerful he was, culminating with the Monkey wrecking havoc in heaven and it ended with his downfall. The second part was the journey to the west that started 500 years later. While each chapter wasn't the same, I couldn't help feeling that was rather formulaic. You could see the pattern in each story, i.e. Xuanzang was captured and Wukong would save him either by defeating the demons or seeking assistance from the deities. The last part was about the time they reached India.

It was an easy reading and the first part was the most interesting one. The translation was as good as it could be, though it would help if it used the pinyin for names of the deities instead. For example, it took me quite some time to figure out that the Divine Kinsman was actually Erlang Shen, haha. The storytelling was smart, emphasized by the excellent choice of words used here, especially the poetry. The interaction among disciples, particularly Wukong and Bajie, were the source of amusement. 

It was also interesting to learn how Taoism, Buddhism and, to a certain extent, Confucianism coexisted and were incorporated into the story. It was through the reading of this book that I first realized all the gods from Jade Emperor to Nezha were actually from Taoism, which was native to China. This is why journey to the west happened: because they wanted to obtain the real teachings of Buddha in India.

Overall, it was a fun reading. As I read on, suddenly the scenes that I watched in the past kept flashing back. I remember when Wukong tried to jump out of Buddha's palm, the time he was defeated by Hong Hai-er, the turtle that shook them off while they crossed the river and many more. Good times! 

Journey to the West.



Ulasan Buku: Perjalanan Ke Barat

Pontianak mungkin hanyalah sebuah kota kecil, yang sedemikian kecilnya sehingga baru memiliki KFC di tahun 2000 (dan sampai hari ini pun belum ada McDonald's), tapi saya rasa tetap saja memiliki cukup banyak hiburan bagi generasi yang tumbuh di tahun 80an. Ketika saya mencari tahu tentang masa kecil teman-teman di Singapura, ternyata apa yang saya lewati cukup sebanding dengan pengalaman mereka. Bahkan boleh dikatakan kalau sebenarnya saya lebih banyak menonton, membaca dan bermain game bila dibandingkan dengan mereka yang berada di Singapura. 

Salah satu keunggulan kita yang tinggal di Pontianak pada saat itu adalah antena parabola. Antena yang dipasang di atap rumah ini memungkinkan kita untuk menangkap siaran dari Malaysia sampai Cina. Setiap malam, saya akan duduk di depan TV bersama ibu saya untuk menonton Perjalanan ke Barat. Film seri ini ditayangkan dalam Bahasa Mandarin. Walaupun saya tidak mengerti, tontonan ini tetap saja menarik bagi anak yang lahir di tahun monyet. 

Di saat yang sama, saya juga membaca komiknya yang berbahasa Indonesia. Formatnya tidak begitu lazim, karena itu saya ingat betul. Komik ini memiliki dua gambar per halaman dan setiap gambar memiliki narasi satu paragraf. Jauh sebelum Tiger Wong, di zaman yang hanya memiliki komik DC, Marvel dan bacaan dari Eropa seperti Asterix dan Tintin, komik Perjalanan ke Barat ini mengenalkan saya pada budaya Cina. 

Saya rasa boleh dikatakan bahwa tidak mungkin bagi orang keturunan Cina untuk sama sekali tidak mengetahui tentang kisah Perjalanan ke Barat. Dalam setiap jenjang kehidupan saya, cerita ini senantiasa terdengar, baik dalam bentuk film seri di TV, komik (dan yang paling terasa kemiripannya waktu itu adalah kisah pertama Dragon Ball) serta film-film bioskop yang dibintangi oleh Stephen Chow. Sewaktu saya melihat buku dalam versi bahasa Inggris baru-baru ini, saya jadi tergelitik untuk mencari bukunya di perpustakaan.

Sekarang, di usia 40an, saya memiliki pemahaman yang lebih baik tentang budaya Cina, termasuk sejarah petualangan Xuanzang ke India. Setelah membaca kembali buku ini, meskipun hanya versi ringkasnya, saya bisa merasakan betapa buku ini sebuah karya klasik. 

Berdasarkan alur cerita, sebenarnya kisah ini bisa dibagi tiga. Bagian pertama adalah tentang lahirnya Kera Sakti dan petualangannya yang mengguncang langit dan surga. Sepak-terjang Wukong akhirnya dihentikan oleh Budha dan dia dihukum 500 tahun lamanya. Setelah Wukong dibebaskan oleh Xuanzang, bagian kedua yang mengisahkan perjalanan ke India yang pun dimulai. Setiap bab memang berbeda isinya, tapi ada kesan bahwa ceritanya ditulis berdasarkan pola yang sama. Pokoknya Xuanzang selalu ditangkap dan Wukong akan menolongnya, baik dengan cara membasmi siluman ataupun meminta bantuan dewa-dewi. Bagian terakhir adalah tentang perjumpaan dengan Budha di India. 

Kisah Perjalanan ke Barat ini gampang dibaca dan saya rasa bagian pertama adalah yang paling lucu dan heboh. Terjemahan bahasa Inggrisnya pun bagus dan akan lebih baik lagi kalau penerjemah menggunakan nama asli dewa-dewi yang diceritakan. Sebagai contoh, saya harus mencari cukup lama di internet untuk menemukan bahwa Divine Kinsman itu sebenarnya Erlang Shen, haha. Gaya bahasanya bagus, terutama karena penggunaan kata-kata yang cocok di bagian puisi.

Yang tidak kalah menariknya adalah cerita tentang Taoisme, Budhisme dan Konfusianisme. Lewat buku ini, saya baru diingatkan kembali bahwa banyak dewa-dewi, misalnya Raja Langit dan Nezha, adalah bagian dari ajaran Taoisme yang berasal dari Cina. Inilah alasannya kenapa Perjalanan ke Barat terjadi: karena Xuanzang ditugaskan untuk mengambil kitab suci Budha di India.

Secara keseluruhan, ini adalah bacaan yang santai dan lucu. Saat membaca, saya pun teringat lagi dengan berbagai adegan yang pernah saya tonton sebelumnya. Saya jadi ingat dengan adegan saat Wukong melompat dari tapak Budha, saat dia dikalahkan oleh Hong Hai-er, tentang kura-kura yang marah dan membuat kitab basah di sungai dan masih banyak lagi. Pokoknya berkesan! 

Saturday, December 18, 2021

The Staycation

One of the things I liked about travelling was the hotels. I loved lazing around in a nice hotel ambience after exploring a foreign city all day long. But if I did the same thing in the city I was living, which was the basic idea of staycation, it felt really weird. It was like, "err, I know my house is not very far from here and I can go home any time I want, so why do I do this again?"

With that thought in mind, I doubted that I would even try it out if it was up to me. The first staycation I had was based on an indirect request from my daughter. Back in 2016, she was crazy about bunk beds, so instead of buying her one, we checked in to D'Resort in Pasir Ris. Nice place, but apart from the facilities in the vicinity, the hotel was pretty isolated. 

The staycation.

The next time I had a staycation again was three years later in 2019. It was a wedding anniversary and I certainly didn't mind the idea of staying at Hard Rock Hotel in Sentosa. Hard Rock was like a rock and roll shrine, so I was receptive to the idea. And indeed the idea was good. Sentosa was a tourist spot, so it did feel like we were having a holiday. On top of that, the swimming pool was easily the best.

Then came COVID-19 not long after that. Staycation had been a thing prior to that, but it was now a norm and probably the closest thing to a vacation at the height of COVID-19. It suddenly felt like the only option, so we went for a night at the Parkroyal Hotel behind Hong Lim Park. I remember my wife loving the design so much (it was green and eco-friendly) and the high ceiling was definitely a plus point. Chinatown Point was just next to it, so food options were abundance. 

Linda and Audrey at Parkroyal.

Then a year after that, 2021, still pretty much a life in the time of corona. Since my idea of travelling didn't include PCR, we opted for staycation again. It sounded like an idea, especially now that SingapoRediscover vouchers we had were about to expire, haha. So we booked a room at Four Seasons Hotel. Since we still got some balance and my daughter was curious about Hotel Mono, we booked that one, too.

Hotel Mono was in Chinatown. It was not literally as monotone as the name suggested because some walls in the room were painted with pink color, haha. My daughter and I went there just for the fun of it and we visited the Buddha Tooth Relic Temple, too. Few days later, we checked in to Four Seasons in Orchard. Not a new hotel, but was still very grand and well maintained. Among all the rooms we booked for staycation, this one had the most luxurious feel and the only one with a bathtub.

With Linda at Hotel Mono.

After experiencing it before and during COVID-19, I'd say that for a leisure activity, staycation was not immediately enjoyable. I mean, Singapore isn't really big, so regardless where I stayed, be it in Sentosa or Orchard, I couldn't help feeling that I know the places quite well and my house was just nearby. 

I found it hard to reconcile the thought sometimes. In fact, it was so odd that I actually had to attune to the right mindset by pretending I was a tourist exploring an area that I usually passed by rather frequently in real life. I just had to look for a new angle! Then and only then it made more sense. But in the time when travelling wasn't possible, staycation was indeed better than nothing. It was still a nice family time after all.

Linda, Mum and Audrey at Four Seasons.



Staycation 

Salah satu hal yang saya sukai saat liburan adalah tinggal di hotel. Saya suka bersantai menikmati suasana hotel setelah seharian berjalan-jalan di kota asing. Akan tetapi jika saya melakukan hal yang sama di kota tempat saya berdomisili (dan ini pada dasarnya merupakan konsep dari staycation) rasanya sungguh janggal. Yang timbul justru perasaan seperti, "eh, saya tahu rumah saya tidak jauh dari sini dan saya bisa pulang kapan pun saya mau, jadi kenapa saya menginap di sini, ya?"

Dengan pemikiran seperti ini di benak saya, saya ragu kalau saya akan memiliki inisiatif untuk staycation. Pertama kalinya saya mencoba staycation itu karena permintaan tidak langsung dari putri saya. Di tahun 2016, dia tergila-gila dengan tempat tidur dua tingkat, jadi daripada saya beli, saya dan keluarga akhirnya menginap di D'Resort di Pasir Ris. Tempatnya bagus, tapi agak terpencil dan yang bisa dinikmati hanyalah fasilitas di sekitar hotel.

Hotel-hotel tempat staycation.

Tiga tahun kemudian, saya mencoba staycation lagi. Waktu itu saya dan istri merayakan ulang tahun pernikahan dan saya tidak keberatan untuk menginap di Hard Rock Hotel di Pulau Sentosa. Hard Rock ini bagaikan tempat diabadikannya rock and roll, jadi saya sangat setuju. Sentosa juga merupakan kawasan turis, jadi rasanya seperti sedang berlibur. Selain itu, kolam renangnya yang berpasir boleh dikatakan paling mantap sampai sejauh ini. 

Setelah itu dunia dilanda COVID-19. Staycation yang sebelumnya sudah merupakan hal yang unik dan memiliki daya tarik kini menjadi sesuatu yang paling menyerupai liburan di tengah hebohnya  COVID-19. Tiba-tiba saja staycation menjadi satu-satunya pilihan, jadi saya sekeluarga menginap di Parkroyal Hotel yang berlokasi di belakang Hong Lim Park. Saya ingat bahwa istri saya menyukai tata ruang hotel yang hijau dan ramah lingkungan. Langit-langitnya yang tingi pun menjadi nilai tambah. Chinatown Point berada di sebelah hotel, jadi banyak pilihan makanan. 

Linda dan Audrey di Parkroyal.

Setahun kemudian corona masih tetap merajalela. Karena saya tidak ingin menjalani liburan yang wajib PCR, kami kembali memilih untuk staycation lagi. Ini ide bagus, terutama karena kupon subsidi SingapoRediscover hampir habis masa berlakunya, haha. Saya lantas memesan kamar di Four Seasons Hotel. Karena masih ada sisa dan putri saya tertarik dengan Hotel Mono, saya pun pesan kamar yang ini juga. 

Hotel Mono berada di daerah Chinatown. Warnanya tidaklah monoton karena ada warna merah muda di dinding, haha. Yang menginap di sana hanya saya dan putri sulung saya dan kami sempat mengunjungi Kuil Buddha Tooth Relic selama berada di sana. Beberapa hari kemudian, kami check-in ke Four Seasons di Orchard. Ini bukanlah hotel baru, tapi masih terasa berkelas dan terawat. Dari semua kamar yang saya pesan selama staycation, yang satu ini terasa paling mewah dan satu-satunya kamar yang memiliki bak mandi. 

Bersama Linda di Hotel Mono.

Setelah mencoba staycation sebelum dan selama COVID-19, saya pribadi merasa bahwa aktivitas ini bukanlah sesuatu yang bisa saya nikmati secara langsung. Maksud saya, Singapura bukanlah negara yang luas, jadi di mana pun saya tinggal, baik itu di Orchard maupun Sentosa, saya tanpa sadar selalu merasa bahwa saya tahu tempat ini dan rumah saya tidaklah jauh.

Pemikiran di atas sungguh terasa janggal, sampai-sampai saya harus meyakinkan diri saya sendiri bahwa saya ini turis di kawasan yang sebenarnya sering saya lewati. Singkat kata, saya harus memiliki sudut pandang yang baru dan tepat untuk menikmatinya. Setelah itu barulah terasa lebih masuk akal. Kendati begitu, di masa ketika liburan ke luar negeri sulit untuk diwujudkan, masih lebih baik staycation daripada tidak ke mana-mana. Yang penting tetap ada liburan keluarga. 

Tuesday, December 7, 2021

Google Home And Music

When I set up Google Nest Wifi, the existence of the speaker meant for Google Assistant simply couldn't be ignored as if it was begging for you to use it. One thing that I immediately tested right after noticing it was to play music. 

In order to play the music seamlessly without ads, you'd have to link the Google Home with either Spotify or YouTube Music. Prior to this, I never used any music app before. As you might have noticed, I was an avid CD fan, but I was so intrigued this time that I just had to try it out. 

Spotify was the first one that I tried out. As a result, it became a benchmark, too. The app interface was so intuitive that I felt like I knew what to do with it to get what I wanted. I also liked the lyrics that kept scrolling up as I played the song. 

Now, with Spotify as my introduction to music app, I'd naturally expect YouTube Music to be more superior. I mean, it was from Google, so the user experience must be better, right? Turned out that it wasn't exactly true. Yes, it was capable of switching from audio to video, but when the intention was to only listen to music, I found that I wasn't even bothered to switch on the video, so the feature was unused. And, while this might look trivial, I disliked the extra step of clicking the lyrics tab. It didn't feel seamless. 

After the trial version expired, I switched from YouTube Music to Apple Music. I'd have to say it was worse than the previous one. It felt like a mobile version of iTunes and in a world where it had to compete with Spotify, it certainly felt outdated. To make it worse, it wasn't compatible with Google Home, at least in Singapore. It couldn't be used as a music provider!

It was fatal. After going through the privilege of just literally asking Google to play the songs I'd like to hear, I was now deprived from it. I disliked the feeling. It was like knowing that the feature was there but I couldn't use it because Apple Music was incompatible.

Confused? Okay, let's have a step back. Nowadays there was this little something called casting. What it did was broadcasting what we played on the phone to another devices such as TV and speakers. In this context, I was referring to Google Nest speakers. 

All three apps I mentioned earlier could cast the songs. No issue with this. But what I fancied was the ability to play music by just saying hey Google and what I wanted to hear spontaneously. While this worked perfectly with Spotify and YouTube Music, it simply couldn't be done with Apple Music because it wasn't listed as music providers.

Back to the original statement above, I had been a CD fan for the longest time, but the experience was so cool that I might have had a change of heart. I liked the newfound freedom that I could play music as I stepped into any room in my house. It was something I couldn't do before. And as for the music provider, I think Spotify worked best for me...

Google Home and music.




Google Home Dan Musik

Ketika saya memasang Google Nest Wifi, keberadaan speaker berkomunikasi dengan Google Assistant tidak bisa diabaikan begitu saja karena terlihat jelas di depan mata. Oleh karena itu saya lantas melakukan uji coba dengan cara memutar lagu. 

Supaya lagu-lagu bisa dipilih dan diputar tanpa selingan iklan, saya harus menghubungkan Google Home dengan penyedia musik, misalnya Spotify atau YouTube Music. Saya lantas membuka akun dan mencoba versi gratis selama sebulan. Sebelum ini, saya tidak pernah menggunakan aplikasi musik di telepon genggam. Seperti yang mungkin sudah anda ketahui, saya adalah pencinta CD lagu, tapi kali saya sungguh tergelitik sehingga mencoba fitur yang tersedia. 

Spotify adalah aplikasi pertama yang saya coba pakai dan hasilnya pun menjadi standar bagi aplikasi selanjutnya. Aplikasi ini terasa intuitif dan saya tidak mengalami kesulitan penggunaan. Saya juga suka dengan liriknya yang dinamis dalam menampilkan bagian yang sedang dinyanyikan. 

Setelah sebulan bersama Spotify, saya berharap bahwa YouTube Music akan lebih bagus lagi aplikasinya. Maksud saya, ini produk asli dari Google, jadi seharusnya lebih mantap, bukan? Namun ternyata tidak begitu ceritanya. Ya, YouTube Music bisa menampilkan audio dan video, tapi apa yang saya inginkan hanyalah mendengarkan musik, jadi saya bahkan tidak pernah sempat untuk menonton videonya sehingga fitur ini sama sekali tidak terpakai. Dan satu hal lain yang mungkin terlihat remeh tapi tidak praktis adalah langkah ekstra untuk melihat lirik lagu. Dari sudut pandang pengalaman seorang pengguna aplikasi, ini bukanlah hal yang positif.

Setelah versi gratis selama sebulan berakhir, saya berpindah dari YouTube Music ke Apple Music. Saya jujur katakan bahwa rasanya ini lebih buruk dari aplikasi sebelumnya. Tampilannya seperti versi ringkas dari iTunes dan di dunia dimana Apple Music harus bersaing dengan Spotify, aplikasinya terasa ketinggalan zaman. Lebih parah lagi, Apple Music tidak bisa dipakai sebagai penyedia musik bagi Google Home di Singapura!

Ini sungguh fatal. Setelah merasakan betapa praktisnya berujar meminta Google Assistant untuk memutar lagu, kebebasan saya bagaikan direnggut paksa. Saya tidak suka perasaan dimana saya tahu fitur ini ada, tapi tidak bisa dipakai karena Apple Music.

Anda merasa bingung? Baiklah, mari kita mundur selangkah. Sekarang ini ada yang namanya casting. Teknologi ini memungkin pengguna aplikasi untuk memancarkan apa yang sedang dimainkan di telepon genggam ke TV atau speaker. Di dalam konteks cerita kita ini, yang saya maksudkan adalah speaker Google Nest.

Tiga aplikasi di atas bisa melakukan casting. Tidak ada masalah dengan fitur ini. Tapi yang saya sukai adalah kebebasan dalam memutar lagu hanya dengan mengucapkan hey Google dan juga lagu yang ingin saya dengarkan secara spontan. Ini yang kini tidak bisa dilakukan lagi karena Apple Music tidak terdaftar sebagai penyedia musik di Google Home.

Kembali ke pernyataan di atas, saya adalah penggemar CD dari sejak dulu kala, namun kini pendapat saya berbeda. Saya suka dengan kebebasan baru yang saya miliki dan memungkinkan saya untuk bisa memutar lagu di setiap ruangan di rumah. Ini adalah sesuatu yang tidak bisa saya lakukan sebelumnya, saat mendengarkan musik dari CD. Akan halnya pilihan untuk penyedia musik, saya rasa Spotify paling cocok untuk saya... 

Monday, November 29, 2021

The Wait

I remember watching a movie called the Terminal at Gajah Mada Plaza, back in the days when I was working in Jakarta. The movie's tagline was life is waiting. I loved it since then, as it was something that I could relate with. All my life, I'd had been waiting frequently, sometimes in uncertainty.

I could tell you a lot of things about waiting, like when I was waiting for the girl I liked to be the one (and I waited seven years for this to happen), when I waited for my chance to watch Paul's concert (and I waited two years for this to happen), and many more. As a matter of fact, it's been almost two years and I'm still waiting for the Japan trip with Parno to happen. But no, let's limit the scope of this story to only movies.

Why movies? Because I often found myself waiting for certain movies lately. I was both passionate and excited! Looking back, this craze probably started with the first Avengers movie. It was a historical moment! Prior to MCU, no movies were ever plotted to be in-sync and heading to one movie that linked them all. It was huge!

Then of course when DC decided to do the same with Justice League, I was like, "woo-hoo!" I loved DC more, so my expectation was all-time high! But it turned out to be disappointing. Even Snyder's Cut was actually overrated. It wasn't that good, but definitely an improved version if compared with Whedon's. 

With Shin Godzilla in Fukuoka.
Photo by Yani Evelyn Robinson.

Another long waited one was Godzilla vs. Kong. I wasn't born yet when the two kaijus had a battle for supremacy back in the 60s, so when the MonsterVerse started and it'd lead to this ultimate fight, I knew it'd be worth the wait. I mean, it'd be finally happening in my lifetime! I wouldn't miss it for the world! And indeed it turned out to be satisfying. God versus King! It couldn't get bigger than this!

The same enthusiasm brought me to this very moment. The Beatles: Get Back. I memorised the date, 25 November, and I did the countdown. To be frank, I was anxious, didn't know what to expect. I mean, the runtime was almost eight hours. That was long for what John described as the most miserable session on earth, but it turned out to be enjoyable to watch. If I had to sum it up in a sentence, John was wrong and the Beatles were great!

But even the Beatles didn't excite me the most this round. The one that inspired this writing was Spider-Man: No Way Home. I had to say that I didn't really like the first two Spider-Man movies starring Tom Holland, but this one got me obsessed! No, I didn't really care about multiverse or the rumor that Tobey Maguire and Andrew Garfield would be in the movie. The biggest hype for me was Charlie Cox appearing as Matt Murdock. Daredevil would finally join the MCU! I'm sold! Take my money already!



Penantian

Saya terkenang saat saya menyaksikan film berjudul The Terminal di Gajah Mada Plaza sewaktu saya masih bekerja di Jakarta. Film ini memiliki slogan life is waiting yang bisa diterjemahkan sebagai hidup adalah penantian. Saya langsung menyukai slogan ini, sebab relevan artinya bagi saya. Sepanjang hidup, saya seringkali menanti, bahkan saat apa yang saya tunggu itu terasa tidak pasti. 

Saya bisa bercerita banyak tentang hal ini, misalnya saat saya menanti tibanya hari dimana sang pujaan hati menjadi pasangan saya (dan saya menanti tujuh tahun lamanya) atau ketika saya menantikan kesempatan untuk menonton konser Paul (dan saya menanti dua tahun lamanya) dan masih banyak lagi contoh lainnya. Bahkan saat ini pun saya sedang menanti liburan ke Jepang bersama Parno dan teman-teman. Akan tetapi untuk topik kali ini kita batasi tentang film saja. 

Kenapa film? Ini karena saya menyadari bahwa belakangan ini saya sering menunggu tanggal tayang film-film tertentu. Saya menanti dengan sabar dan antusias! Kalau dilihat kembali, kecenderungan ini mungkin bermula dari film Avengers yang pertama. Ini adalah sebuah peristiwa bersejarah! Sebelum MCU, tidak ada film-film yang dirancang untuk menyatukan tokoh-tokoh utamanya di satu film yang menggabungkan semua alurnya. Ini sungguh sebuah terobosan dahsyat! 

Kemudian, ketika DC memutuskan untuk melakukan hal yang sama dengan Justice League, saya merasa sangat girang. Saya lebih suka DC, jadi harapan saya pun melambung tinggi. Namun filmnya ternyata mengecewakan. Bahkan Snyder's Cut juga tidak terlalu bagus dan hanya sedikit lebih baik bila dibandingkan dengan versi Whedon. 

Bersama Shin Godzilla di Fukuoka.
Foto oleh Yani Evelyn Robinson.

Film lain yang juga saya tunggu-tunggu adalah Godzilla vs. Kong. Saya belum lahir ketika dua kaiju ini saling baku hantam di tahun 60an, jadi tatkala MonsterVerse dimulai dan ceritanya mengarah ke pertarungan antara Godzilla dan Kong, saya tahu ini patut dinantikan. Dan benar saja, adegan dimana kedua monster ini berlaga sangatlah seru. God melawan King! Luar biasa pokoknya.

Antusiasme yang sama pun membawa saya tiba di serial pendek the Beatles: Get Back. Saya hafal tanggalnya, 25 November, dan menghitung mundur. Terus-terang, saya agak gugup juga, tidak tahu pasti seperti apa filmnya. Maksud saya, durasinya ini hampir delapan jam, sungguh panjang untuk apa yang John sebut sebagai sesi rekaman yang paling sengsara di dunia. Siapa sangka malah tidak terasa membosankan? Jika saya harus menjabarkannya dengan satu kalimat, maka ulasan saya adalah sebagai berikut: pendapat John menyesatkan dan the Beatles memang hebat! 

Kendati begitu, the Beatles bukanlah yang paling saya nantikan kali ini. Yang menjadi inspirasi tulisan ini adalah Spider-Man: No Way Home. Secara pribadi, saya tidak begitu menyukai dua film pertama Spider-Man yang dibintangi oleh Tom Holland, tapi yang satu ini membuat saya terobsesi! Saya tidak terlalu peduli dengan multiverse atau rumor bahwa Tobey Maguire dan Andrew Garfield akan muncul di film. Yang paling saya harapkan adalah kemunculan Charlie Cox sebagai Matt Murdock. Kalau benar begitu, artinya Daredevil akhirnya menjadi bagian MCU! Pokoknya film ini wajib ditonton pada hari pertama!

Wednesday, November 17, 2021

The Ever-Changing Way Of Parenting

I wrote about fatherhood from time to time since 2017. It covered quite a fair bit of things, from my negligence, what I felt when she called, to that father figure I was trying to be. The next one here was pretty much a combination of my favorite song from ABBA, my conversation with my friend Lawrence and also my own observation after that.

In Slipping Through My Fingers, ABBA sang, "each time I think I'm close to knowing, she keeps on growing." The line was not only so beautifully written, but also very true! I could really relate with the whole song that told about the parents and their little girl.

Then about a year ago, I had a dinner and drink with Lawrence. He was known for his hilarious antics, but one thing I admired most from him was his role as a father. I always thought that he was a great father that was extremely close and affectionately loved by his children. And that night, I learnt from him something that lingered in my mind: that the children wouldn't always be the kids who followed us around.

What Lawrence said confirmed the behavior I had been observing for quite some time. My daughter Linda was no longer a toddler, but a young girl that started having ideas and began making her own choices now. I was startled when I noticed this. She surely grew too fast, no? But as reluctant as I was to accept this, I realized the approach that worked for me as a dad few years ago might not be relevant anymore today.

It felt like it was only yesterday when Daddy knew best. While I still retained the final say, I had been listening and more attentive to her suggestions, which weren't always bad. When we talked, sometimes I couldn't help thinking of the time when I was her age. A different time, a different way of parenting. But just because further enquiries would be deemed as disobedience back then and thus resulted in spanking, it didn't mean history should repeat itself. In my heart I would just say, "how privileged you are these days, kiddo."

As Linda grew up, I was also adjusting to the fact that I had to take her more seriously than before. It was an ever-changing learning process for the parents, too, and it wasn't always easy. It was like, "should I be supportive and say yes? Do I firmly say no for her own good? Do I explain to her why this is a bad idea and let her suffer the failure if she still decides to go on?" 

And that's a glimpse of questions a father had to ask himself these days. Sometimes I envied my Dad that he could skip this by having no such conversation at all, haha. But hey, I had my mantra, too. When it was an absolute no in certain topics, for example having a dog as a pet, I would simply end it by saying, "oh no, you are not doing this. Not while you are staying under my roof!"

Up until now, that worked like a charm, haha...

With Linda, as she grew up.



Hubungan Orang Tua Dan Anak

Dari waktu ke waktu, saya menulis tentang bagaimana rasanya menjadi seorang ayah. Sejak tahun 2017 hingga sekarang, ada beberapa topik yang sudah saya jajal, misalnya tentang kesibukan yang membuat saya mengabaikan anak, apa yang saya rasakan ketika anak memanggil, atau tentang sosok seorang ayah bagi anaknya. Yang berikut ini adalah kombinasi dari lagu ABBA yang saya sukai, percakapan dengan teman saya Lawrence dan juga pengamatan saya setelah itu. 

Di Slipping Through My Fingers, ABBA menyanyikan lirik berikut ini: "each time I think I'm close to knowing, she keeps on growing." Kalimat ini bukan saja indah, tapi juga benar adanya. Lagu yang bercerita tentang orang tua dan putrinya ini sungguh relevan untuk saya. 

Kira-kira setahun yang lalu, saya makan malam dan minum bersama Lawrence. Teman yang satu ini terkenal kocak, tapi satu hal yang saya kagumi darinya adalah perannya sebagai seorang bapak. Saya merasa bahwa meskipun sableng, dia sebenarnya ayah yang akrab dan juga disayangi oleh anak-anaknya. Dan di malam itu saya mempelajari sesuatu dari apa yang ia sampaikan: bahwa anak-anak itu tidak selamanya menjadi bocah yang selalu mengikuti kita dari belakang. 

Apa yang Lawrence katakan itu bagaikan pembenaran dari apa yang saya perhatikan belakangan ini. Putri saya Linda bukan lagi balita, tapi seorang wanita belia yang mulai memiliki ide dan juga mulai belajar membuat keputusan sendiri. Saya agak tercengang saat menyadari hal ini. Betapa cepatnya dia tumbuh! Walau saya enggan menerima kenyataan ini, saya lantas menyadari bahwa cara saya mengayomi sebagai seorang ayah pun harus berubah. Apa yang cocok beberapa tahun lalu tidak lagi relevan sekarang. 

Rasanya seperti baru kemarin, ketika Papa pokoknya paling tahu dan benar. Sekarang, meski saya masih memegang keputusan akhir, saya mulai mendengarkan apa yang hendak putri saya sampaikan. Saran-sarannya kadang terdengar cerdas dan masuk akal. 

Sewaktu saya berbincang dengannya, ada kalanya saya terkenang dengan masa ketika saya seusia dengannya. Era yang berbeda, hubungan ayah dan anak yang berbeda pula. Zaman dulu, banyak bertanya bisa diartikan tidak patuh dan dihukum, tapi cara demikian tidak lantas diterapkan ke generasi selanjutnya. Dalam hati saya hanya bisa berkata, "kamu beruntung karena ada Papa yang meluangkan waktu untuk mendengarkan, Nak."  

Semakin Linda tumbuh dewasa, saya juga menyesuaikan diri untuk menerima kehadirannya sebagai seseorang yang kian memiliki opini. Ini adalah sebuah proses yang senantiasa berubah. Orang tua pun belajar saat melewati proses yang tidak selalu mudah ini. Kadang saya jadi bertanya, "apakah saya harus suportif dan mengatakan iya? Apakah saya harus dengan tegas menolak demi kebaikannya? Apakah saya harus jelaskan padanya bahwa ini adalah ide yang buruk, tapi tetap membiarkannya mencoba dan merasakan kegagalan sebagai konsekuensi dari keputusannya?" 

Dan itu adalah sekilas tentang pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk di benak seorang ayah. Kadang saya merasa iri dengan ayah saya yang bisa menghindari semua ini dengan cara tidak memberikan kesempatan bagi anaknya untuk memulai percakapan, haha. Tapi saya juga punya mantra tersendiri untuk mengelak. Bila jawaban dari topik tertentu adalah tidak, misalnya memelihara anjing di rumah, maka saya akan lekas mengakhirinya dengan kalimat, "oh, pokoknya tidak. Selagi kamu masih tinggal di rumah ini, jawabannya adalah tidak!" 

Sampai saat ini, cara di atas masih sukses, wahaha...

Sunday, November 7, 2021

The Lupus Generation

This story began about a month ago, when the night was quiet. Out of the blue, as my mind was wandering before I slept, I remembered the short stories called Lupus. Suddenly I wanted to read the first five books again, so I browsed tokopedia.com and send the link to my friend Susan

Not long after that, I received the books from Jakarta. As I read the stories, they brought me back to the time when I first heard of Lupus. It was probably in the early 90s. I was still a primary school student in Pontianak then, definitely too young for Lupus. But I got two cousins who were in high school and another relative I called uncle staying us. One of them must have had the first five novels and that's how I got hold of Lupus.

The novels, a compilation of 10 short stories per book, were very popular among high school students and young adults during its heyday. Lupus, the titular character, was a cool high school student with a hairstyle of John Taylor (the member of Duran Duran) and a habit of chewing bubble gums. The stories, most of them were funny and nonsensical, were about him and his friends.

As I flipped through the pages and enjoyed the stories, I could see why Lupus was charming. There was nothing like it before. Lupus was original. The way Hilman, the author, played with words was unconventional. He made it okay to tell a story the way he liked it, even though it was silly and didn't make any sense at all. He was also brilliant in coming up with hilarious phrases such as died successfully or picnicking everywhere

Years later, when I discovered that I could write, I must have subconsciously remembered all this. The experience of re-reading Lupus was surreal. It felt like recalling the memories from yesteryear only to notice the similarities in my own writing style and tricks. Short stories I did since high school till early 2000s, most notably Crazy Campus, was heavily inspired by Lupus. 

I guess everybody gotta be inspired and start somewhere. As a writer, mine began with this novel, even though my first ever story of this genre would happened in late 1996. Still it was nice to discover my roots. 

With that, came the long overdue recognition and acknowledgement. What Hilman did, if it was never realized before, was a breakthrough. He broke many unwritten rules and boundaries, paving the way and giving the freedom for the next generation. 

In my case, he made writing seem easy and possible, that writing was just about what you wanted to say, not a sophisticated task the teacher taught us at school. From one writer to another, I thank you, Sir, for what you did a long time ago.

The first five novels (book one, two and three are in one book) whereas the fourth and fifth are the original editions. 



Generasi Lupus

Cerita ini bermula kira-kira sebulan yang lalu, di malam yang sunyi. Ketika saya hendak tidur, tiba-tiba saya teringat tentang Lupus. Saya jadi ingin membaca ceritanya lagi, jadi saya pun cek di tokopedia.com dan mengirim link-nya ke teman saya Susan

Tidak lama setelah itu, Susan mengirimkan novel Lupus dari Jakarta. Ketika saya membaca, saya jadi terkenang lagi dengan saat pertama kalinya saya mendengar tentang Lupus di awal dekade 90an. Waktu itu saya masih murid SD di Pontianak dan sebenarnya masih terlalu muda untuk membaca Lupus. Akan tetapi saya memiliki dua sepupu yang sedang menyelesaikan pendidikan SMA dan juga seorang paman yang menumpang tinggal di rumah. Salah di antara mereka pastilah memiliki lima novel pertama Lupus dan dari situlah saya berkesempatan untuk membaca. 

Novel Lupus memiliki 10 cerpen per buku dan saat itu sangat populer di kalangan anak muda. Tokoh utamanya, Lupus, adalah anak muda usia SMA yang hobi mengunyah permen karet dan memiliki gaya rambut John Taylor dari grup musik Duran Duran. Cerpennya yang seringkali lucu dan konyol ini mengisahkan tentang masa remaja Lupus dan teman-temannya. 

Selagi saya menyimak kembali dan menikmati kumpulan ceritanya, saya bisa melihat kenapa Lupus ini terkenal di zamannya. Setahu saya, tidak ada yang seperti ini sebelumnya. Lupus adalah sebuah karya orisinil. Cara Hilman sang pengarang dalam merangkai kata sangat menggelitik. Kreativitasnya dalam bercerita begitu konyol, namun bisa diterima pembaca. Dia juga jenius dalam menciptakan frase lucu seperti tewas dengan sukses atau piknik ke mana-mana.

Bertahun-tahun kemudian, ketika saya menyadari bahwa saya bisa menulis, saya pastilah tanpa sadar mengingat apa yang pernah saya baca dari Lupus. Pengalaman membaca ulang ceritanya baru-baru ini bisa dikatakan unik. Rasanya seperti mengingat kembali cerita lama yang pernah saya ketahui sebelumnya dan mencengangkan rasanya sewaktu menemukan kemiripan antara gaya tulisan saya dan apa yang saya baca. Cerpen yang saya tulis dari masa SMA sampai awal tahun 2000an, terutama Crazy Campus, memiliki pengaruh Lupus yang kental. 

Saya rasa setiap orang pasti terinspirasi oleh sesuatu dan mulai dari inspirasi tersebut. Sebagai penulis, kisah saya dimulai dari novel ini, meskipun cerpen pertama dengan tema serupa baru saya tulis di penghujung tahun 1996. Saya senang bisa menemukan kembali sesuatu yang menjadi asal-mula saya sebagai penulis. 

Dan hal ini berarti dengan jujur mengakui sosok Hilman sebagai penulis. Apa yang Hilman capai adalah sebuah terobosan. Dia mendobrak tradisi yang sudah ada, membuka jalan dan memberikan kebebasan bagi generasi berikutnya.

Bagi saya pribadi, dengan karyanya Hilman membuat menulis itu terlihat gampang dan mungkin untuk ditekuni. Dia meyakinkan saya bahwa menulis itu pada dasarnya hanyalah menuliskan apa yang ingin saya sampaikan, bukan sebuah pekerjaan rumit seperti yang diajarkan guru di sekolah. Dari satu penulis ke penulis lainnya, saya menyampaikan rasa terima kasih atas pembelajaran ini... 

Sunday, October 24, 2021

Google Nest Wifi

I had always loved the Time Capsule. For almost a decade, I used it for both storage and Wi-Fi. It did well, until it became irrelevant one day. As a storage, the cloud suddenly seemed like a better option these days, therefore I shifted to Google One earlier this year.

Now that it was no longer storing data, the Time Capsule was solely used as AirPort. Pretty underused, I'd say. Just like any other single point Wi-Fi, I couldn't avoid having blind spots in my house. The signal was simply too weak in certain places and I could lose connection from time to time. I had to live with it then, but now I realized that I didn't have to!

Google Nest Wifi router and point.

That's when I looked for an alternative. I had been looking at Google Nest and suddenly there was a rather attractive discount. I could save up to SGD 85, so I grabbed a pair of them. One was called Nest Wifi router and the other was called Nest Wifi point. The former was where you plugged the internet connection cable to and the latter expanded the coverage. 

Google Nest Wifi used the mesh technology. The illustration below was probably the best example to show what it did. Not difficult to configure. You just had to download Google Home and it'd do the rest. What felt more troublesome was the effort to switch other devices to the new Wi-Fi. It was amusing to find that I had accumulated quite a fair bit of wireless devices throughout the years, especially those obscure ones such as Apple TV and printer!

How it works.
Picture: Google.
  

Now, the result? I'd tell you this much: it felt extremely good to sit down and enjoy the smooth sailing movie streaming experience in my bedroom. I must have been subconsciously traumatized by the blind spots that even today, close to one month after I installed it, I still found it unbelievable. It was amazing how the connection was just so stable!

One last thing, the Nest Wifi point came with speakers. This brought in an entirely new digital experience: the interaction with Google Assistant. This was triggered by the fact that you knew the feature was there and you didn't want to waste it. Since then, we used it more often than before to check the weather, the news, set alarm and get her (my Google Assistant had a voice of a female) to play music just by saying, "Hey Google," and asked her to do stuff. My cheeky daughter even figured out that she could ask Google the multiplication questions she couldn't do!


Google Nest Wifi

Saya selalu menyukai Time Capsule yang merupakan produk Apple. Hampir 10 tahun lamanya saya menggunakan Time Capsule sebagai tempat penyimpanan data dan Wi-Fi. Selama itu pula memuaskan hasilnya, sampai hari dimana perangkat ini tidak lagi relevan. Sebagai tempat penyimpanan data, cloud terasa lebih masuk akal sekarang, jadi saya pun pindah ke Google One sejak awal tahun ini.

Semenjak itu, Time Capsule hanya digunakan sebagai AirPort sehingga berkurang drastis manfaatnya. Seperti halnya dengan Wi-Fi tunggal lainnya, saya pun memiliki masalah dengan titik-titik yang parah sinyalnya. Ada bagian rumah yang kurang terjangkau oleh sinyal dan koneksi saya sering putus dari waktu ke waktu. Saat menggunakan Time Capsule sebagai penyimpanan data, saya harus beradaptasi dengan kekurangan ini, tapi sekarang saya bisa melakukan sesuatu.  

Google Nest Wifi router dan point.

Saya lantas mencari solusinya. Saya sempat melirik Google Nest dan ketika ada diskon sebesar SGD 85, rasanya kian menarik untuk dicoba. Akhirnya saya beli satu pasang. Satu namanya Nest Wifi router dan yang satunya lagi disebut Nest Wifi point. Yang pertama adalah perangkat yang terhubung dengan kabel internet dan yang satunya lagi membantu menyebarkan sinyal dari tempat perangkat ini diletakkan.

Google Nest Wifi menggunakan teknologi mesh yang artinya beberapa perangkat yang berfungsi sebagai satu kesatuan. Ilustrasi di bawah ini adalah contoh yang bagus untuk menunjukkan cara kerjanya. Konfigurasinya pun tidak sulit. Anda hanya perlu mengunduh Google Home dan aplikasi ini akan menyelesaikan instalasinya. Yang lebih merepotkan itu justru menghubungkan perangkat lainnya dengan Wi-Fi baru. Saya sempat tertegun juga dengan jumlah perangkat nirkabel yang saya beli dalam beberapa tahun terakhir, terutama dengan piranti yang jarang saya utak-atik seperti Apple TV dan printer!

Cara kerja teknologi mesh.
Foto: Google.

Nah, bagaimana hasilnya? Kesaksian saya adalah seperti ini: nikmat rasanya bisa duduk santai menonton Netflix dengan lancar di kamar. Saya pasti tanpa sadar sudah trauma dengan kondisi sinyal yang parah sehingga sampai hari ini pun, setelah hampir sebulan lamanya, saya masih merasa sulit untuk percaya betapa stabilnya sinyal di rumah sekarang. 

Satu hal terakhir, Nest Wifi point memiliki speakers. Hal ini memungkinkan terjadinya sebuah pengalaman digital yang sama sekali baru: interaksi dengan Google Assistant. Pengalaman ini dipicu oleh fakta bahwa saya tahu tentang keberadaan fitur yang tampak jelas di mata ini dan rasanya mubazir kalau tidak dipakai. Sejak itu, saya dan keluarga mulai menggunakannya untuk mengecek cuaca, berita, memasang alarm jam dan memutar musik hanya dengan bergumam, "Hey Google," dan memerintah Google untuk mengerjakan apa yang kita mau. Bahkan putri saya yang iseng pun kini menyadari bahwa dia bisa menanyakan jawaban dari soal perkalian yang tidak bisa ia kerjakan!

Sunday, October 17, 2021

Roadblog404

On 1 July 2018, when I celebrated Roadblog202, I did jokingly mentioned about Roadblog404, not knowing if it'd really happen. Then the next milestone, Roadblog303, was unlocked on 30 December 2019, right before COVID-19 went berserk. Today, almost two years after we lived through the pandemic, I finally reached Roadblog404.

The 404th article happened in the fifth year of Roadblog101. Half a decade now! Still young, but had been quite a journey (luckily a journey I enjoyed). It certainly took some persistency and consistency to get this far, eh? And the past two years had been unusual. Roadblog101 was first started as a travel blog, but without much traveling done since 2020, what else could be told?

It turned out that life itself was an adventure. Just because we couldn't visit other countries, it didn't mean life got stuck here. No, in fact, it allowed us to rediscover Singapore again. For example, my wife and I attempted the Coast-to-Coast Trail. It was always there, but we never noticed it back when life was normal. I treasured the time we spent together. We literally made it through the rain and the heat of the sun!

I got a chance to explore Night Safari, too. My first since my daughter was born nine years ago. I also did a lot of reading, started with the story of an Indian man who cycled all the way to Europe, to the adventures of Marco Polo and Forrest Gump. These two years also allowed me to relook at things such as the Cloud. I had always loved Time Capsule, but it was time to move on. But even though moving on was necessary and unavoidable, it didn't always provide the best experience. Case in point was the BlackBerry lookalike.

An old dream was paid by Crypto. Had a chance to be the ghostwriter again and it reminded me of many collaborations I did before. Also worth mentioning was how myself and friends in WhatsApp group chat actually evolved during the time of corona. I was glad and proud that we were quite positive about life and used our energy to focus on something fun and constructive such as quiz and talkshow!

And that wasn't the end of it. If the pandemic ever taught us anything, it certainly taught us how to be patient! And we had a plan, a grand plan, that we would visit Japan next year, probably in autumn! Oh yes, we had been waiting for two years, so waiting for another year shouldn't be a problem! For all I know, the first holiday story on Roadblog101 next year could be featuring Tokyo, Kawasaki, Yokohama and Kamakura! 

The road to Roadblog404.


Roadblog404

Di tanggal 1 Juli 2018, ketika saya merayakan Roadblog202, saya dengan iseng menyebut Roadblog404 yang entah kapan akan tercapai. Perayaan berikutnya, Roadblog303, terjadi pada tanggal 30 December 2019, tepat sebelum wabah COVID-19 melanda. Hari ini, setelah hampir dua tahun lamanya kita hidup di tengah pandemik, akhirnya tiba hari dimana saya menulis Roadblog404.

Artikel ke-404 ini terjadi di tahun kelima Roadblog101. Sudah setengah dekade umurnya sekarang! Masih muda, tapi sudah cukup lama berjalan (dan syukurlah saya menikmati perjalanannya). Tentunya butuh ketekunan dan konsistensi untuk mewujudkan semua ini, bukan? Apalagi dua tahun terakhir ini sungguh tidak lazim. Roadblog101 ini dimulai sebagai blog perjalanan wisata, tapi tak banyak liburan yang bisa dilakukan sejak tahun 2020, jadi apa lagi yang bisa diceritakan? 

Akan tetapi hidup adalah sebuah petualangan. Hanya karena kita tidak bisa mengunjungi negara lain, ini tidak berarti kita terjebak dalam rutinitas. Bagi saya pribadi, justru ini adalah kesempatan untuk menemukan kembali Singapura sebagai tujuan wisata. Sebagai contoh, saya dan istri berjalan-jalan melihat keindahan Singapura dengan menempuh Coast-to-Coast Trail. Jalur ini sudah ada sejak lama, tapi saya tidak pernah memperhatikannya sebelum korona. Saya sungguh menikmati acara jalan kaki bersama istri. Kita benar-benar melewati derasnya hujan dan panasnya matahari bersama-sama! 

Saya juga berkesempatan untuk mengunjungi Night Safari lagi, kunjungan yang pertama sejak putri saya lahir sembilan tahun silam. Selain itu saya banyak membaca, mulai dari cerita orang India yang naik sepeda sampai ke Eropa; sampai kisah-kisah lain seperti petualangan Marco Polo dan Forrest Gump

Dua tahun ini juga memberikan waktu bagi saya untuk melihat kembali beberapa hal dalam hidup saya, misalnya Cloud. Saya selalu menyukai Time Capsule, tapi sudah waktunya berpindah ke sesuatu yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman. Tapi yang namanya menyesuaikan diri itu, walaupun perlu dan tidak bisa dihindari, belum tentu bagus pengalamannya. Misalnya saja kembaran BlackBerry yang saya pakai sekarang. Biarpun mirip, tetap saja bukan BlackBerry. 

Sebuah impian lama akhirnya terbayarkan secara tunai oleh Kripto. Saya juga menulis untuk orang lain lagi dan hal ini mengingatkan tentang banyak kolaborasi yang saya lakukan sebelumnya. Peristiwa unik lain yang juga pantas untuk disebutkan adalah bagaimana saya dan teman-teman di grup WhatsApp beradaptasi di masa korona. Saya senang dan sekaligus bangga bahwa kita tetap positif di masa sulit ini. Kita justru fokus ke aktivitas yang konstruktif dan seru seperti acara kuis dan bincang bersama narasumber

Dan ini bukan akhir dari cerita. Bila ada sesuatu yang kita pelajari dari COVID-19, maka salah satunya ada belajar bersabar. Kita memiliki sebuah rencana yang akan membawa kita melihat musim gugur di Jepang tahun depan! Oh ya, kita sudah menunggu dua tahun lamanya untuk liburan di usia 40, jadi tidak ada masalah jika harus menunggu setahun lagi. Saya rasa cerita liburan pertama di Roadblog101 tahun depan bisa saja menampilkan Tokyo, Kawasaki, Yokohama dan Kamakura! 
Perjalanan menuju Roadblog404.


Monday, October 11, 2021

The Personal Trainer

The first question I got from some of my friends was, "why bother engaging a personal trainer when you can just check out YouTube?" Then I told them that it wasn't that simple. I simply lacked of motivation in exercising, hence I was never able to bring myself to do what they suggested. It'd be very different if I had people breathing down my neck. In other words, I literally spent money to pay a trainer to tell me off, haha.

Truthfully speaking, I didn't look for a personal trainer (PT). My wife attended an online course and one of her classmates happened to be a PT. She asked if I was willing to interview him and I didn't mind, so I met this guy named Quek. As I sat and talked to him, I realized that it made more sense to try it out myself. I mean, rather than writing about he said, I reckoned it'd be easier to write about my experience instead. 

Then I signed up for a package of 11 weeks and the training schedule would be once a week on Saturday morning. Quek came over to the fitness corner near my place and he brought with him the training equipment such as resistance band and suspension trainer. He was a punctual man. That must be lesson number one!

With the personal trainer.

The training would begin with notes taking and body fat measurement. The workout then started after the warming up (jumping jack, stretching, squat, etc). We'd do three sets and the routines comprised of shuffle lunge, inclined pull up, mountain climber, burpee and many more. Then we closed each set with few minutes of jogging. Before we called it a day, we'd wrap it up with core and arm exercises, such as plank, crunch and biceps curl.

I'd always remember the first week. Not only I made a rookie mistake by skipping breakfast, I was also so spent that I got cold sweat and felt like vomiting. It was embarrassing, but that's where Quek's experience as a personal trainer made a difference. He didn't say things I wanted to hear as a client, which I respected, but yet he managed to encourage me to continue. He made it okay for me to have a weak start as he ensured me that it'd only get better.

But of course exercising once a week wouldn't make any difference if I didn't practice diligently throughout the week. Quek expected a certain level of commitment and I agreed to train on my own twice a week. Frankly speaking, I disliked this and forcing myself to do it reminded me again why I never exercised in the first place, haha. But since I said I would, I did it the best I could. I'd start with drumming as a form of warming up, then did few moves he taught me before wrapping it up with stair climbing. The HDB flat I'm staying in has 17 floors and for the first few attempts, I'd stop at level 7, 11, 14 and 17 to catch my breath.

Outdoor training.

It was only after the fifth meeting that I could tell there was an improvement. I wouldn't say that I was impressive, but at least I didn't feel like fainting anymore. Yes, I was still panting, but I did feel like I could do it. And Quek was good in mixing the routines accordingly. He could tell when I pushed too hard for the first two sets, then he'd swap some of the moves to less taxing ones, let's say from mountain climber (I hated this one) to burpee.  

11 weeks went by and all good things must come to an end. When we had our last session, we switched to indoor training in my living room so that I had a better idea of what could be done at home when I didn't feel like going outside. We missed out the training experience at the gym pod (it only allowed one occupant in the time of corona), but I guess we covered most of it. And being a good trainer he was, he left me a set of exercise instructions and a parting gift: a resistance band!

I'm never a sporty person, but from little that I know, it's been great to train with Quek. Not boring, as he's a talkative person, but yet he's focused on what he is doing. He's also knowledgeable (heart rate became part of my vocabularies now) and is able to explain what he means in layman's term. Best of all, I had no injuries, which means he knows what he's doing. So, yeah, if you are new to this and wish to have a good start, you should contact him at @strengthelements on Instagram!



Pelatih Kebugaran Jasmani

Pertanyaan pertama dari teman-teman saya adalah, "kenapa pakai pelatih pribadi, padahal bisa cek sendiri di YouTube?" Saya lantas jelaskan pada mereka bahwa permasalahannya tidak sesederhana itu. Saya senantiasa tidak memiliki disiplin dan motivasi untuk berolahraga, jadi saya tidak pernah bisa melakukan apa yang mereka sarankan. Beda ceritanya kalau ada orang yang mengawasi. Dengan kata lain, saya perlu mengeluarkan uang untuk diomeli, haha. 

Jujur saya katakan, saya tidak mencari pelatih kebugaran jasmani. Hanya saja kebetulan seorang teman sekolah istri saya memiliki profesi ini. Dia kemudian bertanya apakah saya berminat untuk mewawancarai temannya ini. Saya tidak keberatan, jadi saya pun menemui pria bernama Quek ini. Setelah berbincang dengannya, saya merasa bahwa lebih masuk akal bila saya mencobanya sendiri. Jadi daripada menulis tentang apa yang dia sampaikan, akan lebih mudah untuk menuliskan pengalaman saya sendiri. 

Saya mendaftar untuk paket 11 minggu dan jadwal latihannya adalah seminggu sekali setiap Sabtu pagi. Quek akan datang ke pojok fitness di dekat rumah saya dan dia membawa serta berbagai peralatan seperti resistance band (semacam pegas dari bahan karet yang bisa tarik-ulur) dan suspension trainer (peralatan yang bisa diikatkan ke tiang dan dijadikan tumpuan untuk pull up). Quek sangat tepat waktu dan ini pastilah pelajaran nomor satu! 

Bersama sang pelatih.

Latihan dimulai dengan pencatatan berat badan dan pengukuran lemak tubuh. Setelah itu ada pemanasan (jumping jack, stretching, squat dan lain-lain), kemudian diteruskan dengan tiga set gerak badan yang mencakup shuffle lunge, inclined pull up, mountain climber, burpee dan masih banyak lagi. Setiap set lantas ditutup dengan lari beberapa menit. Selanjutnya kita melatih otot perut dan lengan dengan plank, crunch dan biceps curl.

Saya selalu terkenang dengan minggu pertama. Saya dengan ceroboh menunda sarapan dan beraktivitas dengan perut kosong, akibatnya saya kelelahan dan merasa mual seperti akan muntah. Sungguh memalukan, namun di sinilah peran Quek sebagai pelatih yang berpengalaman membuat perbedaan. Dia tidak berkomentar yang muluk hanya karena saya adalah kliennya, tapi dia bisa meyakinkan saya untuk terus berlatih. Dia jelaskan kepada saya bahwa meskipun ini bukan permulaan yang baik, tapi latihan secara rutin akan membuahkan hasil.

Akan tetapi tentu saja latihan seminggu sekali tidak akan membuat banyak perbedaan. Oleh karena itu Quek ingin agar saya meluangkan waktu untuk berlatih di kala senggang dan saya pun setuju untuk berolahraga sendiri dua kali seminggu. Jujur saya katakan bahwa saya harus menyeret diri saya untuk berolahraga sendiri, tapi karena saya sudah menyanggupinya, mau tidak mau saya harus melakukannya. Biasanya saya memulai pemanasan dengan bermain drum, setelah itu saya mengulang gerakan yang diajarkan olehnya, lalu saya tuntaskan dengan menaiki tangga. Saya tinggal di blok setinggi 17 lantai dan ketika saya melakukannya untuk beberapa kali pertama, saya sering berhenti di lantai 7, 11, 14 and 17 untuk memulihkan napas saya yang terengah-engah.  

Latihan di luar.

Saya baru merasakan peningkatan setelah pertemuan ke-5. Perubahannya tidaklah drastis, tapi saya jadi merasa lebih bugar dan tidak lagi terasa seperti hendak pingsan. Stamina saya kini lebih baik dari sebelumnya dan di satu sisi, Quek juga pintar membaca situasi. Jika dia melihat bahwa saya terlalu menguras tenaga di dua set pertama, dia bisa mengubah rangkaian di set berikutnya dengan gerakan yang lebih sesuai kondisi, misalnya dari mountain climber (saya tidak suka gerakan yang satu ini) ke burpee.  

11 minggu pun berlalu dan tidak terasa bahwa latihan pun akan segera berakhir. Di pertemuan terakhir, kita mencoba latihan di rumah supaya saya memiliki gambaran, apa saja yang bisa saya lakukan di ruang tamu. Kita tidak sempat mencoba di gym pod (semacam gym di ruang container di tengah taman) karena hanya bisa digunakan oleh satu orang di musim korona. Dan ketika semua berakhir, dia memberikan instruksi latihan dan hadiah: sebuah resistance band!

Saya bukanlah orang yang gemar berolahraga, tapi dari apa yang saya jalani, saya senang berlatih dalam bimbingan Quek. Tidak membosankan, karena dia sangat aktif berbicara tentang apa saja, tapi tetap fokus dengan perannya sebagai pelatih. Dia juga berwawasan luas dan bisa menjelaskan dengan baik dalam sudut pandang orang awam. Yang lebih mantap lagi, saya tidak cedera dan ini berarti dia tahu apa yang dilakukannya. Jadi bila anda baru di bidang ini dan ingin uji coba, anda bisa menghubunginya di @strengthelements lewat Instagram!