"Buatlah diri kita menjadi berharga dengan mengenal diri sendiri dan memberikan citra yang positif terhadap diri kita..."
Siapa namamu?
Siapakah kamu?
Kedua pertanyaan ini sekilas akan kelihatan sama namun berbeda. Saat kita ditanya siapa nama kita, tentu saja kita akan menjawabnya dengan menyebutkan nama kita, tapi ketika kita ditanya siapakah diri kita, bukan nama yang diharapkan menjadi jawabannya. Seringkali kita pandai dan mahir sekali memberikan penilaian terhadap orang lain seakan-akan kita lebih mengerti dari orang itu sendiri. Coba kita tanyakan kepada salah satu teman kita mengenai teman kita yang lain, dengan cepat dia bisa memberitahu kepada kita siapa teman yang kita tanyakan. Misalnya: si A itu cerewet, banyak ngomongnya, pandai tapi sombong, hebat dalam olah raga, sayang keluarga dan lain-lain. Ketika ada pertanyaan yang sama diarahkan kepada kita, seakan-akan kita membisu siapakah kita.
Apakah kita bisa memberikan sesuatu yang kita tidak punyai? Tentu tidak. Hal sama yang juga menjadi pertanyaan kita adalah bagaimana kita bisa mengenal orang lain dengan baik sebelum kita mengenal diri sendiri. Terus pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah, kenapa kita musti tahu siapakah kita? Pentingnya jawaban dari pertanyaan ini bisa ditemukan dalam kehidupan kita sehari-hari. Orang yang dulunya baik dalam berperilaku, bisa berubah menjadi makin baik atau buruk setelah lama pindah ke kota lain. Sama juga halnya dengan banyak orang tua yang mengirimkan anak-anak mereka melanjutkan studinya di luar kota ataupun luar negeri, namun hasilnya banyak yang tidak sesuai dengan harapan orang tua mereka. Apa yang orang tua mereka mau adalah anak-anaknya menjadi lebih baik sikap perilakunya, lebih cerdas dan lebih maju, tapi karena mereka tidak diajari untuk mengenali diri sendiri, banyak di antara mereka menjadi terpengaruh dengan lingkungan kota tersebut. Kita bisa lihat betapa banyak anak remaja sekarang yang, karena pengaruh lingkungan, menjadi budak narkoba. Adalah sulit sekali menjadi pribadi yang baik apabila lingkungan tempat kita tinggal buruk, karena kadang kita takut tersingkir dari lingkungan ataupun teman-teman baru kita jika kita tidak ikut-ikutan berperilaku seperti mereka. Contoh:
Ini dari pengalaman saya, namun di contoh ini saya tidak akan menyebutkan nama teman saya demi menjaga privasinya. Dia adalah teman saya, saat kami masih di kota kecil, tepatnya di Pontianak. Teman ini adalah salah satu anak yang berperilaku baik. Saya katakan berperilaku baik karena dia tidak narkoba, tidak suka mabuk-mabukan, bahkan tidak merokok. Banyak teman yang sependapat dengan saya. Kemudian dia mencoba mencari kehidupan di negara lain, tepatnya di Taiwan. Setelah sekitar 12 tahun kami berpisah, kami bertemu lagi di Jakarta. Dia dideportasi karena tertangkap mengkonsumsi narkoba jenis XTC. Dan dia bercerita banyak kehidupan dia di sana dan menurutnya, apa yang terjadi di sana adalah hal yang biasa. Mabuk, ke disko sambil narkoba dan lain-lain adalah lumrah.
Ini hanya salah satu contoh pengaruh negatif dari lingkungan di mana kita berada. Kendati begitu, kita tentunya tidak memungkinkan bahwa banyak juga lingkungan yang memberikan pengaruh yang positif. William James, psikolog pertama Amerika, mengatakan, "neraka yang harus dihadapi setelah kita mati, yang dikisahkan oleh para teolog, tidak lebih buruk dari neraka yang kita ciptakan untuk diri kita sendiri di dunia ini akibat terus mendandani karakter kita dengan cara yang salah."
Dari kalimat pernyataan yang diberikan oleh William James, kita tahu bahwa kita bisa menciptakan neraka bagi diri kita di dunia ini hanya karena kita salah dalam memberikan citra diri yang selanjutnya akan menjadi karakter kita. Walaupun kita belum tahu rasanya neraka itu bagaimana dan kita mempunyai gambaran neraka yang berbeda-beda, tapi saya yakin sekali kita semua mempunyai gambaran secara umum bahwa neraka adalah tempat yang tidak enak dan akan membuat sengsara. Kalau begitu, akankah kita masih membiarkan diri kita hidup seperti di neraka hanya karena kita tidak mau tahu siapa diri kita? Saya yakin kita tidak menginginkan hidup seperti itu. Nah, teruslah membaca karena saya yakin tulisan ini bisa menjadi salah satu cara untuk membantu kita menemukan siapakah kita, sehingga kita bisa memberikan citra diri yang positif.
Sangatlah penting bagi kita untuk mengenal dan memberikan citra diri kita sedini mungkin dan saya harap anda tidak hanya membaca saja, tapi juga menerapkannya. Teori tanpa tindakan sama dengan nol besar. Anda mungkin bertanya, "kenapa saya harus mengenal dan memberikan citra diri saya sedini mungkin? Saya kan masih remaja, masih SMP, SMU."
Ini alasannya, mengapa sangat penting bagi kita untuk mengenal dan memberikan citra diri yang positif pada diri kita. Jika kita bukan kita yang melakukannya, sangat mungkin orang lain yang ada di sekitar kita yang akan memberikan citra tentang diri kita. Dengan begitu, citra diri kita tergantung lingkungan kita. Percaya atau tidak, lingkungan sangat mempengaruhi diri kita, apalagi jika kita masih belum mengenal diri kita. Perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan orang-orang di sekitar kita akan sangat mempengaruhi diri kita dan itu bisa menjadi citra diri kita. Contoh:
Di suatu lingkungan, ada sekelompok orang suka mabuk-mabukan. Ketika ada satu orang di antara mereka yang tidak suka melakukan hal tersebut, menurut orang-orang di lingkungan tersebut, siapakah yang akan menjadi orang aneh? Apakah mereka yang suka mabuk-mabukan atau seseorang yang tidak suka mabuk-mabukan tersebut? Tentu saja, yang menjadi orang aneh adalah yang tidak suka mabuk-mabukan karena ia menjadi berbeda dengan orang-orang di lingkungan tersebut.
Jika lingkungan sekitar kita orang-orangnya positif, mungkin itu tidak terlalu masalah tapi tetap saja lebih baik kita yang memberikan citra diri kita sendiri. Lebih buruk lagi jika lingkungan kita adalah orang-orang yang negatif. Kita akan mudah terbawa dengan lingkungan yang buruk tersebut dan citra diri kita akan diberikan oleh orang-orang yang ada di sekitar kita. Apakah kita bisa membayangkan jika citra diri kita dibentuk di lingkungan yang orang-orangnya menyelesaikan segala sesuatu dengan kekerasan, suka mabuk-mabukan, narkoba dan suka saling menghina?
Kita bisa lihat contoh dari kehidupan sehari-hari kita:
- Di dalam keluarga saja saya bisa menemukan perbedaan-perbedaan dalam berkomunikasi. Ada keluarga yang menganggap biasa saat berbicara dengan orang-orang di rumah, baik saat memanggil mbak mereka atau ketika anak berbicara dengan orang tua, dengan cara berteriak atau bahkan ada yang diawali atau diakhiri dengan "kata-kata mutiara" (segala nama binatang, cacian, kata-kata negatif lainnya). Ini terjadi karena kebiasaan yang dilakukan sejak dini dan bisa menjadi karakter jika dibiarkan berlanjut. Hal ini kelihatan sederhana tapi, sekali lagi saya tekankan, bisa membentuk karakter anak-anak saat dewasa. Selain contoh di atas, ada juga keluarga yang bisa menerapkan cara komunikasi yang baik, tidak teriak-teriak saat berbicara dengan orang tua, atau antar anak-anak dan meminta mbaknya melakukan sesuatu dengan kata tolong. Mungkin kata tolong adalah kata yang sederhana tapi efeknya luar biasa. Ini termasuk salah satu kata ajaib selain terima kasih dan maaf.
- Dalam pergaulan juga banyak ditemukan bahwa anak-anak remaja yang merasa akrab ada kalinya saat saling memanggil teman dengan sebutan salah satu nama binatang. Bila para remaja mengambil citra salah satu binatang, anda bisa bayangkan akan menjadi apa generasi selanjutnya? Jadi menurut saya, rasa-rasanya wajar jika sering terjadi tawuran di negara kita ini selama kita tidak berusaha untuk membiasakan anak-anak remaja, terutama saat mereka SMP dan SMU, mengenali diri mereka dan memberikan citra diri yang baik.
Untuk melihat lebih jauh pengaruh perkataan-perkataan orang sekitar terhadap diri kita, mari kita membaca ilustrasi berikut:
Pada suatu hari ada segerombolan katak-katak kecil yang menggelar lomba lari. Tujuannya adalah mencapai puncak sebuah menara yang sangat tinggi. Penonton berkumpul bersama mengelilingi menara untuk menyaksikan perlombaan dan memberi semangat kepada para peserta.
Perlombaan pun dimulai. Secara jujur, tak satu pun penonton yang benar-benar percaya bahwa katak-katak kecil akan bisa mencapai puncak menara. Lalu terdengarlah suara-suara seruan: "Oh, jalannya terlalu sulitttt!! Mereka TIDAK AKAN PERNAH sampai ke puncak," atau, "Tidak ada kesempatan untuk berhasil. Menaranya terlalu tinggi!!"
Katak-katak kecil mulai berjatuhan satu persatu, kecuali mereka yang tetap semangat menaiki menara yang semakin tinggi dan semakin tinggi. Penonton pun terus bersorak, "terlalu sulit!!! Tak akan seekor katak pun akan berhasil!"
Lebih banyak lagi katak kecil lelah dan menyerah, tapi ada SATU yang tetap lanjut. Dia tak menyerah! Akhirnya, setelah yang lain telah menyerah untuk menaiki menara, satu katak kecil yang telah berusaha keras menjadi satu-satunya yang berhasil mencapai puncak. SEMUA katak kecil yang lain ingin tahu bagaimana katak ini bisa melakukannya? Seorang peserta bertanya bagaimana cara katak yang berhasil menemukan kekuatan untuk mencapai tujuan? Ternyata... katak yang menjadi pemenang itu TULI!
Terlepas dari katak kecil yang tuli tersebut, dari cerita ini kita bisa melihat berapa besar pengaruh perkataan orang-orang sekitar terhadap diri kita. Apakah kita mau menjadikan citra diri kita negatif hanya karena penilaian orang lain? Citra diri kita sangat berpengaruh terhadap kehidupan kita sekarang dan selanjutnya. Citra diri kita seperti mata kita. Meskipun mata kita tidak terlalu besar, kita bisa memandang dunia yang besar tanpa batasan. Namun sebaliknya, dengan gampang sekali kita bisa menghalangi pandangan mata kita yang luas hanya dengan menutupnya dengan telapak tangan. Dan semuanya akan menjadi gelap dan tidak bisa melihat apa pun.
Sudit pandang sangat sederhana sekali tidaklah cocok untuk citra diri kita. Bila kita memandang diri kita kecil, dunia akan tampak sempit dan tindakan kita pun jadi kerdil. Namun bila kita memandang diri kita besar, dunia terlihat luas, kita pun melakukan hal-hal penting dan berharga. Karakter kita adalah cermin bagaimana kita melihat dunia dan dunia kita tak lebih luas dari pikiran kita tentang diri kita sendiri.
Itulah alasan mengapa kita diajarkan untuk berpikiran positif tentang diri sendiri, supaya kita bisa melihat dunia lebih indah, dan bertindak selaras dengan kebaikan-kebaikan yang ada dalam pikiran kita. Diri kita adalah ciptaan Tuhan yang istimewa dan kita diberikan kebebasan ataupun tanggung jawab untuk menjadi baik atau buruk. Walaupun diberikan kebebasan, seharusnya sebagai rasa terima kasih kepada Tuhan, sudah selayaknya kita memberikan citra yang baik kepada diri kita. Yang tidak kalah pentingnya, saat memberikan citra diri positif, lakukan dengan penuh keyakinan dan camkan itu sebagai karakter kita sehari-hari sehingga menjadi prinsip dalam hidup kita. Jika kita sudah mengenal diri kita dan memberikan citra diri positif yang menjadi karakter hidup kita, saat lingkungan dan orang-orang sekitar kita membawa pengaruh yang negatif, kita akan menyadari pengaruh negatif tersebut dan selanjutnya kita bisa tahu apa yang seharusnya kita lakukan, misalnya pindah dari lingkungan tersebut atau membatasi pengaulan kita dengan orang-orang yang bisa memberikan citra buruk kepada diri kita.
Pindah dari suatu lingkungan ke lingkungan lain tentunya tidak semudah yang kita bicarakan. Ada faktor-faktor yang kadang membuat kita harus berada di lingkungan tersebut untuk beberapa saat. Dengan mengenal diri sendirilah maka kita bisa tetap mempertahankan citra diri kita sambil menunggu waktu untuk bergerak ke lingkungan yang positif yang mendukung citra diri kita. Contoh:
Pindah dari suatu lingkungan ke lingkungan lain tentunya tidak semudah yang kita bicarakan. Ada faktor-faktor yang kadang membuat kita harus berada di lingkungan tersebut untuk beberapa saat. Dengan mengenal diri sendirilah maka kita bisa tetap mempertahankan citra diri kita sambil menunggu waktu untuk bergerak ke lingkungan yang positif yang mendukung citra diri kita. Contoh:
Dalam kisah tentang putera Raja Louis XVI dari Perancis, dikisahkan Raja Louis telah digulingkan dari takhtanya dan dipenjara. Puteranya yang masih muda, sang pangeran, dibawa oleh mereka yang menggulingkan ayahnya. Mereka berpikir, karena pangeran itu adalah putera mahkota, kalau mereka bisa menghancurkannya akhlaknya, ia takkan pernah mencapai takdir agung yang sebenarnya dianugrahkan kepadanya. Mereka bawa dia ke suatu komunitas yang jauh dan di sana, mereka memperlihatkan segala hal yang kotor dan memalukan kepada sang pangeran. Mereka hadapkan dia pada makanan yang akan segera membuatnya diperbudak oleh selera makan. Di dekatnya, mereka selalu menggunakan kata-kata yang memalukan. Mereka bawa dia ke lingkungan penuh hawa nafsu dan wanita pelacur. Mereka mencoba membiasakannya dengan sikap tidak hormat dan tidak percaya. Dua puluh empat jam sehari ia dikelilingi oleh segala hal yang dapat menyeret jiwa seorang pria serendah-rendahnya. Selama lebih dari enam bulan ia diperlakukan demikian, tetapi tidak sekalipun pangeran ini takluk kepada tekanan. Akhirnya setelah pencobaan yang intensif, mereka menanyai dia, mengapa ia tidak takluk pada semuanya itu? Mengapa ia tidak ikut-ikutan, padahal semua itu akan memberikannya kesenangan, memuaskan hawa nafsunya dalam kenikmatan duniawi? Pangeran ini pun menjawab, "saya tidak bisa melakukan apa yang kamu minta karena saya dilahirkan untuk menjadi seorang raja."
Kesimpulannya, Pangeran Louis mengenal betul siapa dirinya dan tidak tergoyahkan oleh lingkungannya yang kelihatannya menggiurkan namun akan menghancurkan dia.
Selanjutnya sangatlah penting bagi kita untuk tidak merampas citra orang lain dengan memberikan penilaian-penilaian atau sebutan yang buruk tentang seseorang. Sebagai contoh, kita akan lihat pengalaman saya dengan seorang murid saya:
Pertama kali saya ditelpon untuk mengajar anak ini, saya memanggilnya Joe dan sekilas tidak ada masalah. Setelah beberapa kali pertemuan, saya menemukan bahwa citra dirinya dibentuk oleh orang-orang negatif yang menghancurkan semua kemampuannya.
Dalam mengajar, saya selalu memakai metode yang dimulai dengan penjelasan dan contoh, lalu saya berikan waktu untuk melihat kembali dan dilanjutkan dengan sesi bertanya kalau ada yang belum jelas, kemudian ditutup dengan latihan. Ketika saya mulai langkah-langkah saya, dia diam saja memperhatikan walaupun saya menyadari bahwa dia tidak benar-benar memperhatikan. Sampai waktunya bertanya, dia tidak bertanya. Lantas saya lanjutkan dengan latihan. Dia juga mencoba mengerjakan, tapi dari 10 soal, tidak ada satu pun yang benar. Setelah beberapa waktu kejadiannya tetap sama dan hasil ulangan dari sekolah pun tidak memuaskan. Saya mulai menginterogasi dia secara santai, bercanda sambil bertanya jawab.
Saya bertanya kepada dia, "Joe, soalnya ini bisa kamu kerjain, tidak? Ini soalnya mudah, coba kamu baca dan dimengerti dulu?"
Dia menjawab bahwa dia tidak bisa.
Saya lanjut lagi bertanya, "sudah baca dan coba dikerjakan, belum?"
Dia menjawab, "belum."
Ketika saya bertanya kenapa dia berpikir bahwa dia tidak bisa, jawabannya sangat mengejutkan saya. Dengan polosnya dia berkata, "pasti tidak bisa, karena saya 'kan bodoh."
Karena penasaran, saya mencoba cari tahu siapa yang membentuk citra dirinya sedemikian rupa dan saya kaget ketika jawanbannya adalah, ibu, guru dan beberapa temannya. Sejak saat itu saya berusaha lebih keras untuk membentuk citra dirinya kembali.
Saya berkata kepada dia, "Joe, kamu percaya saya?"
Ketika ia berujar bahwa ia percaya, saya mengulangi pertanyaan yang sama untuk menguji keyakinannya. Dia diam sebentar dan menjawab dengan yakin, "percaya, Sir."
Kemudian saya tepuk pundaknya dan berkata dengan serius, "Joe, kamu tidak bodoh dan ingatlah kalau tidak ada orang yang bodoh. Yang ada hanya orang yang malas dan tidak mau belajar dan pada akhirnya dia dijuluki si bodoh. Mulai sekarang, jika ada orang yang bilang kamu bodoh, katakan padanya kalau kamu tidaklah bodoh.
Joe pun bertanya balik, "bagaiamana kalau Mama saya yang menyebut saya bodoh? Apa saya jawab seperti tadi yang Sir katakan?"
Saya iyakan pertanyaan tersebut, namun dia masih terlihat ragu. "Terus kalau mama marah, bagaimana? Saya bilang Sir yang ajari, ya?"
"Tidak apa-apa, bilang saja Sir yang ajari begitu."
Setelah itu, saya lupa untuk memberitahu mamanya supaya tidak memarahi dia dengan sebutan bodoh lagi. Dan benar saja, keesokan harinya, mamanya menegur saya, kenapa anaknya diajari melawan dia. Saya minta maaf, namun saya juga jelaskan tentang pentingnya citra diri anak. Singkat cerita, sekarang anak ini sudah melanjutkan studinya keluar negeri.
Dalam mengajar, saya selalu memakai metode yang dimulai dengan penjelasan dan contoh, lalu saya berikan waktu untuk melihat kembali dan dilanjutkan dengan sesi bertanya kalau ada yang belum jelas, kemudian ditutup dengan latihan. Ketika saya mulai langkah-langkah saya, dia diam saja memperhatikan walaupun saya menyadari bahwa dia tidak benar-benar memperhatikan. Sampai waktunya bertanya, dia tidak bertanya. Lantas saya lanjutkan dengan latihan. Dia juga mencoba mengerjakan, tapi dari 10 soal, tidak ada satu pun yang benar. Setelah beberapa waktu kejadiannya tetap sama dan hasil ulangan dari sekolah pun tidak memuaskan. Saya mulai menginterogasi dia secara santai, bercanda sambil bertanya jawab.
Saya bertanya kepada dia, "Joe, soalnya ini bisa kamu kerjain, tidak? Ini soalnya mudah, coba kamu baca dan dimengerti dulu?"
Dia menjawab bahwa dia tidak bisa.
Saya lanjut lagi bertanya, "sudah baca dan coba dikerjakan, belum?"
Dia menjawab, "belum."
Ketika saya bertanya kenapa dia berpikir bahwa dia tidak bisa, jawabannya sangat mengejutkan saya. Dengan polosnya dia berkata, "pasti tidak bisa, karena saya 'kan bodoh."
Karena penasaran, saya mencoba cari tahu siapa yang membentuk citra dirinya sedemikian rupa dan saya kaget ketika jawanbannya adalah, ibu, guru dan beberapa temannya. Sejak saat itu saya berusaha lebih keras untuk membentuk citra dirinya kembali.
Saya berkata kepada dia, "Joe, kamu percaya saya?"
Ketika ia berujar bahwa ia percaya, saya mengulangi pertanyaan yang sama untuk menguji keyakinannya. Dia diam sebentar dan menjawab dengan yakin, "percaya, Sir."
Kemudian saya tepuk pundaknya dan berkata dengan serius, "Joe, kamu tidak bodoh dan ingatlah kalau tidak ada orang yang bodoh. Yang ada hanya orang yang malas dan tidak mau belajar dan pada akhirnya dia dijuluki si bodoh. Mulai sekarang, jika ada orang yang bilang kamu bodoh, katakan padanya kalau kamu tidaklah bodoh.
Joe pun bertanya balik, "bagaiamana kalau Mama saya yang menyebut saya bodoh? Apa saya jawab seperti tadi yang Sir katakan?"
Saya iyakan pertanyaan tersebut, namun dia masih terlihat ragu. "Terus kalau mama marah, bagaimana? Saya bilang Sir yang ajari, ya?"
"Tidak apa-apa, bilang saja Sir yang ajari begitu."
Setelah itu, saya lupa untuk memberitahu mamanya supaya tidak memarahi dia dengan sebutan bodoh lagi. Dan benar saja, keesokan harinya, mamanya menegur saya, kenapa anaknya diajari melawan dia. Saya minta maaf, namun saya juga jelaskan tentang pentingnya citra diri anak. Singkat cerita, sekarang anak ini sudah melanjutkan studinya keluar negeri.
Dari pengalaman saya di atas, kita bisa lihat kadang orang terdekat kita bisa merampas citra diri kita walaupun mereka tidak bermaksud demikian. Sangat gampang bagi kita untuk memberikan penilaian yang buruk terhadap orang lain sebelum kita benar-benar mengenalnya. Kita bisa lihat dari kisah berikut dari majalah Readers’ Digest:
Teman saya, wanita, ketika pulang ke Afrika Selatan setelah lama tinggal di Eropa, masih punya banyak waktu menunggu di bandara Heathrow di London. Setelah membeli secangkir kopi dan sekantong kue kering, keberatan dengan kopernya, ia berjalan menuju sebuah meja kosong. Ia sedang membaca surat kabar pagi ketika sadar ada seseorang yang merogoh kantong kertas di mejanya. Dari balik surat kabarnya, ia sangat terkejut melihat seorang pemuda berpakaian rapih sedang mengambil kuenya. Karena tidak mau membuat keributan, ia hanya mengambil kuenya saja tanpa berkata apa-apa. Satu menit berlalu, terdengar lagi suara keresek. Pemuda itu sedang mengambil kuenya lagi.
Ketika kuenya tinggal satu, teman saya menjadi sangat marah tetapi tidak berani bilang apa-apa. Lalu, pemuda itu membelah kuenya, menyodorkan separuh kepada teman saya, makan sisanya lalu beranjak pergi.
Beberapa waktu kemudian, ketika namanya dipanggil untuk naik pesawat, teman saya masih kesal. Bayangkan rasa malunya ketika ia membuka tasnya dan menemukan kantong kuenya sendiri. Jadi, sedari tadi itu, yang ia makan adalah kue pemuda itu.
Sebelum wanita itu tahu kue pemuda itu yang dia makan, dalam hatinya, dia sudah memberikan penilaian yang negatif kepada pemuda itu, yaitu dasar tidak tahu malu. Ketika dia tahu bahwa kue yang dimakannya adalah kepunyaan pemuda itu, segera penilaian menjadi berbeda yaitu baik sekali pemuda itu. Oleh karena itu, kendalikan diri kita untuk tidak cepat-cepat menilai orang, mencap orang atau membentuk pandangan yang kaku tentang orang lain.
Saat kita mau membicarakan orang lain, bicarakanlah yang baik, berikan cap yang baik untuk mengembangkan citra dirinya. Bicarakan yang baik dan positif tentang seseorang di depan orang lain saat ada orang tersebut. Ini adalah citra diri yang luar biasa yang akan dia rasakan dan juga dia akan merasakan sisi positif yang berlipat ganda. Citra diri positif seseorang akan makin berkembang jika ia tahu orang lain yakin akan citranya. Saat kita mendukung citra diri positif seseorang, haruslah kita lakukan tidak hanya lewat kata-kata tapi juga dengan tindakan. Misalnya:
Seorang ayah yang mengatakan bahwa anaknya adalah anak yang bisa bertanggung jawab dan bisa diandalkan. Anak itu akan benar-benar percaya bahwa dia adalah anak yang bisa diandalkan jika ayahnya memberikan dia kepercayaan untuk menjaga mamanya dan adik-adiknya saat ayahnya bertugas di luar kota. Keraguan akan citra diri yang positif akan hilang jika keyakinan kita kepada seseorang kita tunjukkan dengan tindakan.
Selanjutnya kita juga tidak boleh membiarkan orang-orang lain merampas citra diri kita yang sudah diciptakan dengan spesial oleh Tuhan. Masa lalu yang kelam bisa juga menghancurkan citra diri kita jika kita tidak benar-benar mengenal diri kita. Berapa orang yang ingin berubah menjadi lebih baik namun karena terbelenggu dengan masa lalunya, mereka berpikir mereka tidak bisa menjadi lebih baik. Akan banyak orang yang akan membicarakan masa lalu kita yang kelam saat kita berusaha menberikan citra diri yang baik bagi diri kita. Contoh:
Ada seorang siswa yang nakal, pemarah dan pemalas. Ketika ia ingin berubah dan memberikan citra yang positif akan dirinya, entah itu karena dia banyak membaca ataupun karena ada orang yang memberikan pengaruh positif terhadap dia, akan ada saja omongan yang bisa menghancurkan citra diri yang ia ingin ciptakan. Misalnya saja ada teman-teman yang berkata, “"tidak mungkin dia bisa berubah menjadi rajin dan baik, dia 'kan teman main saya dulu yang bisanya mengganggu orang dan suka main-main," atau, "paling juga cuma dua atau tiga hari ini dia bisa baik begitu." Lebih parahnya lagi, keluarga malah memberikan kesan yang negatif saat anak tersebut mau berubah. Banyak curiga dan berprasangka bahwa anaknya mempunyai maksud tersembunyi.
Kejadian ini bisa terjadi, namun saat kita mau berubah dan memberikan citra diri yang baik, yakin dan percayalah bahwa semuanya akan berubah menjadi lebih baik. Tentu saja semuanya membutuhkan pengorbanan, baik itu waktu atau kadang kehilangan teman-teman yang tidak percaya akan kita (teman-teman yang negatif).
Intinya jangan terpengaruh dengan masa lalu kita. Setiap orang punya masa lalu yang baik maupun yang buruk, namun setiap orang mempunyai hak untuk masa depan yang lebih baik. Jangan jadikan masa lalu sebagai alasan untuk tidak menggapai mimpi-mimpi di masa depan kita...
Citra positif di ruang kosong memberikan nuansa positif di ruang tersebut... |