Total Pageviews

Translate

Tuesday, June 28, 2022

24 Hours In Jakarta

Unlike my friend Jimmy who could spend three weeks in Singapore as a tourist even though he had come here time and again, I never enjoyed staying too long when visiting familiar places. I just liked being there, having a glimpse of it, tasting the food and meeting friends. After that I'd move on, heading to another destination or going back home. This is why I'm also the type that's fine for a day trip or a short getaway.

This trip to Jakarta was also no exception. On this occasion, I never planned to be there for more than 24 hours. I'd land there at 7:05am and leave the city at 6:40am on the following day. That'd be sufficient. The only twist this round was the place I'd be visiting. Helen suggested that I should come to Gading Serpong instead. I had never been there before, so I took up the offer. It would be fun be see some place new with a bunch of old friends.

Together with Susan, my old buddy Ceng Pang picked me up at the airport. It had been a while since I experienced that. Normally it was always free and easy for me, so it felt odd, as if I was some important person that required such a service, haha. But on the other hand, it was very nice of them to do so. So off we went from airport to Alam Sutera.

Yours truly, with Susan, Helen, Henny, Ceng Pang and Hardy.

You might have recalled the name Alam Sutera from some of my writings, most notably was the one about the salted egg fish ball. Yes, we headed to the eatery owned by Hardy and Henny, a lovely couple. A hot fish ball soup for breakfast would be ideal and I loved it. And our time there only got better after Hardy joined us after his Strava time!

About my friend Hardy, I had to say that I admired his hard work. He had come a long away and made a good progress, from doing things all by himself to developing some sort of system so that he could free himself for another business expansion. He owned a second stall at Sarinah, a shopping centre in Jakarta's CBD area (he used to have four, but he let go the other two during COVID-19) and now he planned to do franchise. From his recent trip to Surabaya, he also thought of making bottled chilli sauce (and it turned out that I was there just in time for the unveiling). A very forward-thinking person!

From left: Ceng Pang, Ajon, Helen, Mariany, Henny, Susan, AW, Anthony, Hardy, BL and family.

So we hung out there while more and more friends coming to join us. There were Helen, Ajon, Mariany, whom I hadn't met for a really long while. Then AW and BL also came. So did Tuty, who just arrived in Jakarta. As we chit-chatted, we also ordered curry rice and kwe kia theng, the Pontianak food that made us. We were at Hardy's for half a day before Helen suggested that we should go singing instead.

It was raining, but it didn't stop us. We left Alam Sutera and for the first time ever, I entered Gading Serpong. To be frank, the whole Serpong thing was kind of confusing for the uninitiated. There was also another town called BSD City, formerly known as Bumi Serpong Damai and it happened to be about 12 KM away from where I was now. Gading Serpong looked rather grand and impressive especially at night, I'd say.

And the fun began at Inul Vizta...

We had so much fun at Inul Vizta. Even though we sang English and Chinese songs, it was mainly the old Indonesian songs that got us up and danced. Sentimental reasons, I guess. We knew how it felt when songs like Chrisye's Anak Sekolah was playing. Both the music and lyrics meant something for us because we went through high school. Also worth mentioning here was Susan, our time keeper, who often pressed the next button after the second chorus of the song, haha.

For dinner, we went to Rumah Kayu, a restaurant with lesehan style. Lesehan is a Javanese word that could be translated as sitting on a floor. Food was all right. For someone who hadn't eaten Indonesian food for so long, anything cooked with MSG would be acceptable. It was here that Alvin and Junaidi came to meet us as well, but not before they lost their way and ended up at another restaurant called Kayu Kayu.

Dinner at Rumah Kayu...

And that day ended with a bang! Since they had been talking about Holywings the whole day, Cicilia made a call that we should visit the one next to KFC. Because Susan and I wore sandals, I told them that if we couldn't enter Holywings, we'd go for chicken wings instead. But, lo and behold, there we were, enjoying our beers. That lasted for a short while, until the band started playing. I was immediately reminded again why I always preferred a pub for drinks. I could barely hear anything because the music was so loud! 

We left around 10:30pm at night, with Ceng Pang driving Cicilia back to Karawang, a town that was roughly about 97 KM away from Hollywings! I followed HRR, another childhood friend, to Yello Hotel in Jakarta. It was midnight when I reached there, but showering was a must! Then I dozed off while watching the Wolf of Wall Street, the movie that was only available on Netflix Indonesia (was watching it half way before I left Bali in early May).  

The last round at Holywings.

The next morning, before sunrise, I checked out and took a cab to Gambir Station to catch the train to Bandung. The train was clean and quite comfortable. It was punctual as well, so true to the original schedule, I was in Jakarta for less than 24 hours! After two years of living in the time of corona, it was fun to hang out with old friends again. A time well-spent! 



24 Jam Di Jakarta 

Berbeda dengan teman saya Jimmy yang bisa berlibur tiga minggu di Singapura meskipun sudah sering ke sini, saya jarang berlama-lama di tempat yang sering saya kunjungi. Saya lebih suka mampir sejenak untuk menikmati suasananya sambil makan dan bertemu teman. Setelah itu saya pun lanjut ke tempat lain atau kembali ke Singapura. Ini alasannya kenapa saya bisa menikmati kunjungan singkat sehari atau akhir pekan di negara tetangga, misalnya ke Johor Bahru atau Batam. 

Liburan ke Jakarta kali ini bisa dikatakan serupa. Pada kesempatan ini, saya akan menghabiskan waktu sekitar 24 jam di Jakarta. Saya mendarat pukul 7:05 pagi dan berangkat ke Bandung pada hari berikutnya jam 6:40 pagi. Itu sudah cukup bagi saya. Akan tetapi kali ini beda tempat tujuannya. Helen menyarankan agar saya mengunjungi Gading Serpong. Berhubung saya tidak pernah mampir sebelumnya, saya pun setuju. Pasti seru rasanya ke tempat baru bersama teman-teman. 

Ceng Pang, teman lama dari sejak SD, datang menjemput bersama Susan. Sudah lama saya tidak dijemput di bandara dan biasanya saya berangkat sendiri ke kota, jadi agak janggal juga rasanya mendapat perlakuan khusus, hehe. Akan tetapi teman-teman memang baik sampai rela bangun pagi untuk menjemput. Dari bandara, mobil pun meluncur ke Alam Sutera.

Bersama Susan, Helen, Henny, Ceng Pang dan Hardy.

Anda mungkin pernah membaca nama Alam Sutera dari tulisan saya yang sebelumnya, terutama yang berkisah tentang bakso ikan telur asin. Ya, kita menuju ke tempat makan Hardy dan Henny, pasangan suami-istri yang juga teman satu SMA. Semangkok sup bakso ikan untuk sarapan pagi memang sedap rasanya. Dan suasana kian semarak saat Hardy bergabung setelah selesai Strava

Harus saya katakan bahwa saya mengagumi kerja keras Hardy. Dia sudah maju pesat dibandingkan terakhir kali saya ke sana di tahun 2018. Dia tak lagi mengerjakan semuanya sendiri, tetapi kini memiliki sistem sehingga dia mempunyai waktu untuk mengerjakan hal lain. Dia juga memiliki satu kios di Sarinah (dulu bahkan sampai ada empat, namun tutup ketika COVID-19 melanda). Belajar dari pengalaman, sekarang dia mau fokus di franchise. Dari kunjungannya ke Surabaya, dia pun mulai memproduksi sambal cabe yang dibotolkan. Saya dan teman-teman yang hadir pun mendapat kesempatan pertama untuk menjajal produk ini. Singkat kata, sungguh Hardy adalah seorang yang berpandangan maju!

Dari kiri: Ceng Pang, Ajon, Helen, Mariany, Henny, Susan, AW, Anthony, Hardy, BL dan keluarga.

Kita bersantai di tempat Hardy sambil menanti teman-teman lain yang datang bergabung. Ada Helen, Ajon, Mariany. Sudah lama rasanya saya tidak duduk dan berbincang dengan mereka! Lantas ada pula AW, BL dan bahkan juga Tuty yang baru saja mendarat di Jakarta. Beberapa waktu kemudian, kita kembali memesan makanan, kali ini nasi kari dan kwe kia theng, makanan Pontianak yang kita santap dari sejak kecil. Setengah hari lamanya kita di sana sebelum kita lanjut karaoke. 

Walau hujan cukup deras, kita tetap meluncur ke lokasi. Dari Alam Sutera, saya memasuki Gading Serpong untuk pertama kalinya. Jujur saya katakan bahwa yang namanya Serpong ini agak membingungkan. Selain Gading Serpong, ada lagi yang namanya BSD City alias Bumi Serpong Damai yang berjarak sekitar 12 KM jauhnya. Gading Serpong sendiri merupakan kawasan yang terlihat modern dan bergelimang cahaya di malam hari. 

Dan acara dimulai di Inul Vizta...

Acara di Inul Vizta cukup heboh. Meski kita silih-berganti membawakan lagu Inggris dan Mandarin, yang membuat semua berjingkrak rata-rata adalah lagu Indonesia. Misalnya lagu Chrisye yang berjudul Anak Sekolah. Lirik dan musiknya penuh makna bagi kita yang pernah melewati masa SMA. Dan yang tak kalah pentingnya di sini adalah Susan yang bertindak sebagai operator. Supaya waktu tidak terbuang sia-sia, dia seringkali langsung berpindah ke lagu berikutnya sebelum lagu berakhir, haha. 

Untuk makan malam, kita bersantap di Rumah Kayu yang bergaya lesehan. Makanannya lumayan. Bagi orang yang sudah lama tidak mencicipi makanan Indonesia, segala sesuatu yang dimasak dengan penyedap rasa langsung terasa lezat. Alvin dan Junaidi pun datang menyusul. Setelah tersesat dan muncul di restoran lain yang bernama Kayu Kayu, akhirnya mereka berhasil menemukan Rumah Kayu. 

Makan malam di Rumah Kayu...

Dan hari itu berakhir di Holywings! Jadi nama ini sudah muncul sepanjang hari, sampai akhirnya Cicilia memutuskan bahwa kita harus ke Holywings yang ada di samping KFC. Karena Susan dan saya memakai sandal, saya berkomentar bahwa seandainya kita ditolak di Holywings, kita tunggu yang lain sambil makan chicken wings saja. Akan tetapi kita bisa masuk dan menikmati bir di sana. Kenikmatan sesaat yang segera berakhir begitu grup musik bermain di panggung. Saya jadi langsung teringat kenapa saya cenderung memilih pub sebagai tempat minum. Musiknya begitu keras di Holywings, sampai-sampai sulit untuk menyimak obrolan!

Acara akhirnya bubar jam 10:30 malam. Ceng Pang mengantar Cicilia kembali ke Karawang, kota yang berjarak 97 KM jauhnya dari Holywings! Saya sendiri menumpang di mobil HRR yang menuju ke Jakarta Kota. Kita tiba di Yello Hotel menjelang tengah malam. Selesai mandi, saya lanjut menonton the Wolf of Wall Street, film yang hanya ada di Netflix Indonesia dan telah saya tonton separuh sebelum saya bertolak dari Bali di awal Mei. 

Ronde terakhir di Holywings.

Keesokan paginya, sebelum matahari terbit, saya sudah berada di dalam taksi menuju Gambir. Beberapa saat kemudian, saya pun duduk di dalam kereta yang bersih, lumayan nyaman dan tepat waktu pula. Semuanya berlangsung sesuai jadwal. Setelah dua tahun hidup terisolasi di masa pandemi, senang rasanya bisa berkumpul bersama teman-teman lagi!

Sunday, June 19, 2022

Happy Birthday, Sir Paul

I never thought of writing this, but the birthday greetings were just everywhere on the news and the social media. They were coming from his fellow ex-Beatle Ringo Starr, whoever that managed the Beatles' account on Facebook and many others, including those fans around world that admired him so much. It was so awe-inspiring that it got me reminiscing about how this 80-year-old man came and changed my life, too. 

I knew his songs long before I knew the man. Stuff like Yesterday, Hey Jude and Let It Be were the obvious choices that were played constantly when karaoke was first introduced in Pontianak. Even as a kid, I could tell that those cover versions were good music. I just didn't know how good yet.

Then finally came those days when I saw the Beatles for the first time ever. It was during the pre-internet era, so there was no way you could just search it on YouTube. It didn't even exist at that time! I just happened to catch the Beatles at the right time and I was hooked instantly. They were four of them and one stood out, obviously a left-handed like me. It was a revelation! So left-handed people could be someone cool, too!

I soon discovered that he was the man responsible for songs I heard during my childhood. How brilliant. When I was upset, he comforted me by singing, "take a sad song and make it better." When I was broken-hearted, he said, "there will be an answer. Let it be." All those wise words from someone you idolized so much, plus listening to them for years, became a maturity process that molded my personality. 

His life story was something that I could relate, too. I liked the fact that he was just a kid from Liverpool inspired by Elvis, the same way that I was just a kid from Pontianak inspired by the Beatles. The similarity we had just made things... possible. We pursued our dreams and made them come true along the way. Yet we were worlds apart, until it dawned on me that I could actually see him in Japan by attending his concert. The rest was history. While I knew this all along, I walked out from the stadium that night, wholeheartedly believing that things would definitely happen if you were passionate enough to make them come true.

It didn't end there, of course. The thing with Sir Paul was, he was so funny, confident, positive, humble and easy-going that he inspired me to be more like him. It was easy for the naysayers to criticise that he could behave that way because he had all the riches in the world, but we all knew he had paid his dues before, during and after the Beatles. He did what he liked and he surely had some fun doing that. The way I looked at it, that was one great way to live your life. Do what you like and have some fun doing it because why not?

I remember those days, back in high school, it was kinda frowned upon that a teenager could be so in awe of old men in their 50s. It was so uncool. In the world of Bon Jovi and Guns N' Roses, why on earth would I idolize the Beatles? But 30 years down the road, I could tell that I was lucky to know them. Otherwise my life would had been so different that it was unimaginable. So for the man who had been so inspiring and relatable, happy 80th birthday, Sir Paul. 

A photo by Yani, taken at the Beatles Story museum in Liverpool, 2016.



Selamat Ulang Tahun, Sir Paul

Awalnya saya tidak pernah berpikir untuk menulis artikel berikut ini, namun dua hari ini selalu saya temukan ucapan selamat ulang tahun baik di berita maupun media sosial. Ada yang datang dari Ringo Starr, teman satu grupnya dulu, ada pula yang dipos oleh admin akun grup the Beatles di Facebook dan masih banyak lagi berasal dari para penggemarnya. Semua ini begitu menggugah sehingga saya jadi terkenang dengan "perkenalan" saya dengan pria yang kini berumur 80 tahun ini. 

Saya tahu lagu-lagu jauhnya sebelum saya tahu siapa penciptanya. Lagu seperti Yesterday, Hey Jude dan Let It Be bagaikan pilihan wajib saat karaoke pertama kali muncul di Pontianak. Bahkan seorang bocah seperti saya pun bisa merasakan bahwa lagu-lagu ini enak musiknya. 

Beberapa tahun kemudian tibalah hari di mana saya melihat the Beatles untuk pertama kalinya. Semua ini terjadi sebelum internet muncul, jadi waktu itu masih belum ada YouTube. Saya kebetulan berada di depan TV saat dokumenternya diputar di RCTI dan saya langsung terpikat. Ada empat anggotanya dan yang satu jelas terlihat kidal seperti saya. Rasanya seperti melihat sebuah kesaksian! Ternyata orang kidal pun bisa populer! 

Tidak lama setelah itu, saya lantas menyadari bahwa pria kidal ini adalah orang yang menulis lagu-lagu yang sering saya dengar dulu. Betapa jenius karyanya. Ketika saya sedang gundah, dia menenangkan saya lewat nyanyian, "take a sad song and make it better." Ketika saya patah hati, dia berkata, "there will be an answer. Let it be." Semua kata-kata bijak dari orang yang saya kagumi itu berkumandang selama bertahun-tahun, menjadi proses pendewasaan yang membentuk kepribadian saya yang anda kenal sekarang. 

Kisah hidupnya pun merupakan sesuatu yang ada kemiripannya dengan apa yang saya lewati. Saya senang dengan fakta bahwa dia hanyalah seorang remaja dari kota kecil Liverpool yang terinspirasi oleh Elvis, sama halnya dengan saya yang berasal dari kota kecil Pontianak dan terinspirasi oleh the Beatles. Kemiripan ini membuat banyak hal terasa mungkin sehingga saya pun mengejar impian saya dan mewujudkannya. Saya dan Paul adalah dua orang dari kota kecil yang begitu berjauhan, sampai akhirnya saya sadari bahwa saya bisa melihatnya secara langsung dengan menghadiri konsernya di Jepang. Di malam setelah konser usai, selagi saya berjalan menjauh dari stadion, saya jadi percaya sepenuh hati bahwa jika anda bersungguh-sungguh dan telaten dalam menggapai apa yang anda mau, sesuatu yang baik niscaya akan terjadi. 

Namun cerita kita tentu tidak berhenti begitu saja. Satu hal yang selalu mengagumkan dari Sir Paul adalah karakternya yang lucu, percaya diri, positif, rendah hati dan riang. Saya senantiasa tergerak untuk bersikap serupa. Mudah bagi orang yang tidak percaya untuk mencibir bahwa dia bisa begitu karena kaya, tapi kita sama-sama tahu bahwa dia sudah membayar semua itu dengan kerja kerasnya sebelum, sewaktu dan setelah the Beatles bubar. Dia mengerjakan apa yang dia suka dan dia gembira karena apa yang dikerjakannya. Kalau saya lihat, ini adalah cara yang baik dalam menjalani hidup ini. Kerjakan apa yang anda suka dan bergembira karenanya, sebab kenapa tidak? 

Saya jadi teringat pula dengan masa SMA. Agak tidak lazim bagi remaja saat itu untuk mengagumi pria-pria yang sudah berumur 50an. Di dunia yang dikuasai oleh Bon Jovi dan Guns N' Roses, kenapa bisa-bisanya saya menyukai the Beatles? Akan tetapi, setelah 30 tahun berlalu, saya bisa katakan dengan yakin bahwa saya beruntung telah mengenal mereka. Kalau tidak, hidup saya pasti begitu berbeda dan sulit dibayangkan seperti apa. Jadi, untuk pria yang telah begitu menginspirasi selama ini, selamat ulang tahun ke-80, Sir Paul! 

Monday, June 13, 2022

Nowhere Man

The Beatles had a song called Nowhere Man, one that I could really relate with, because I always thought I was a nowhere man, sitting in his nowhere land, making all his nowhere plans for nobody. You know, with the all the dreams and the plans I had, I could easily fit into the very definition of nowhere man. 

But the recent talkshow got me rethinking this again. So we had this friend, a very smart man, presenting his idea about living happily like those villagers he saw around him. Then the idea was segued with a proposal that talked about metaverse as part of his futuristic solution to world's problem. It was so out of this world, not to mention disjointed, that a confused friend even asked, "how on earth do we go from village to metaverse?"

To make it more surreal, the data was only provided because Eday requested it before. When we pressed for more, we were asked to search for it ourselves on the internet. On top of that, as a proposal, it seemed to be pretty arguable, mostly because the person who proposed it didn't even bother to defend his ideas. It was like, "I tell you this much, you take it or leave it. Don't question me."

Upon hearing the same presentation, two people actually came to my mind. The first was Leonardo da Vinci. I remember reading about the man. His stuff was mostly observational. They were concluded without experiments and therefore offered no explanation. 

Then there was this uncle of mine. He was a Chinese-literate man who always sat behind his desk in Pontianak. From there, he would offer his rather negative view of the world to anybody. He did this since I was in high school and probably is still doing it now. 

Back in the days, when I was young and the internet was non-existent, my uncle sounded like the single source of truth. But now, even though he still liked to dominate the conversation, what he said felt outdated and irrelevant. 

It felt the same with my friend here. Regardless how smart a person was, you couldn't be staying in a rather secluded small town, imagining how the world worked, and then proposed something so futuristic to make it better. What one heard, read or saw online was different than experiencing it directly. The way I looked at it, he was out of his depth. You had to be a genius on par with Stephen Hawking to come up with a proposal that was so mind-boggling without leaving your seat. Otherwise it would be just another fanfiction.

That's when it struck me, "oh my, he's a real nowhere man, sitting in nowhere land, making all his nowhere plans for nobody."

Back to the presentation, there were many questions from us, of course. The presenter should have expected this from the audience like us, who were his peers and old friends. We couldn't care less how noble his profession was, because it had nothing to do with it. In hindsight, I did think that he probably got away from the questioning due to the wow factor. I mean, he was a respectable professional in the town he lived in, hence he was unlikely to be questioned by people around him, haha.

Eventually it was Jimmy who suggested our friend to apply for a passport and see the world first. I seconded the opinion. If it was just a wishful thinking, one could just stay where they were and continued daydreaming. But if one was serious about what he was saying, a credible experience would certainly help, wouldn't it?

The Thinker. Happened to pass by this statue few days ago...



Nowhere Man

The Beatles memiliki lagu berjudul Nowhere Man, sebuah tembang yang berarti bagi saya pribadi karena saya sering berpikir bahwa saya adalah nowhere man yang duduk di tempat yang tidak jelas keberadaannya dan merancang rencana yang tidak jelas juntrungannya dan tidak untuk siapapun. Dengan berbagai impian dan rencana yang saya miliki, saya berasumsi bahwa saya ini seperti nowhere man

Akan tetap acara obrolan santai tempo hari membuat saya berpikir lagi tentang hal ini. Saat itu seorang teman yang pintar diberi panggung untuk menyajikan topik tentang hidup bahagia seperti layaknya orang desa yang ia jumpai. Kemudian ide tersebut disambung dengan sebuah proposal yang berbicara tentang metaverse sebagai bagian dari solusi canggih masa depan yang ia tawarkan untuk masalah yang dihadapi dunia. Betul-betul mencengangkan sehingga seorang teman bahkan sampai bertanya, "kenapa dari desa bisa langsung ke metaverse?" 

Seakan-akan ini belum cukup heboh, data pun ditampilkan hanya karena Eday sebelumnya pernah meminta. Ketika diuji lebih lanjut, pemirsa lantas disuruh mencari sendiri di internet. Selain itu, sebagai sebuah proposal, isinya cenderung mengundang bantahan yang anehnya tidak diladeni oleh yang melakukan presentasi. Apa yang terjadi malah seperti ini, "saya sudah ceritakan, terserah anda mau terima atau tidak." 

Saat mendengar pemaparan seperti itu, saya jadi teringat dengan dua orang. Yang pertama adalah Leonardo da Vinci. Saya terkenang dengan apa yang saya baca tentang orang ini. Apa yang dikategorikan sebagai karya-karya ilmiahnya bersifat pengamatan belaka. Dia jarang bereksperimen dan tidak pula memiliki penjelasan kenapa idenya seperti ini.

Kemudian ada pula seorang paman saya yang bisa baca-tulis Mandarin dan senantiasa duduk di belakang meja kerjanya di Pontianak. Dari situ, dia akan menceritakan pandangannya yang agak negatif tentang dunia kepada semua orang yang datang bertamu. Dia melakukan ini sepanjang hari, mulai dari sejak saya duduk di bangku SMA dan mungkin berlanjut hingga hari. 

Dulu, ketika saya masih remaja dan internet pun belum dikenal, paman saya ini terasa bagaikan maha tahu dan sumber kebenaran yang hakiki. Sekarang, meski dia masih senang mendominasi percakapan, apa yang ia sampaikan kini terasa seperti ketinggalan jaman dan tidak relevan. 

Saya merasakan hal yang sama saat mendengarkan presentasi teman saya ini. Tidak peduli seberapa pintar seseorang, anda tidak bisa hanya tinggal di kota kecil yang terpencil, kemudian membayangkan bagaimana dunia ini bekerja dan menawarkan teknologi yang tidak pernah anda lihat sebagai solusi dari masalah. Yang terasa justru sepertinya orang ini sedang mengkhayal. Beda ceritanya kalau solusi yang mutakhir seperti ini dicetuskan oleh orang sekaliber Stephen Hawking yang selalu duduk di kursi rodanya. Kalau reputasinya kurang dari itu, yang terdengar cuma seperti cerita fiksi.

Dan saya mendadak terpikir lagi, "oh, dia sungguh seorang nowhere man, yang duduk di tempat yang tidak jelas keberadaannya dan merancang rencana yang tidak jelas juntrungannya dan tidak untuk siapapun."

Kembali lagi ke presentasi, tentu saja ada banyak pertanyaan dari kami. Ini sudah pasti akan terjadi dari pemirsa seperti kami yang merupakan teman-teman lamanya. Kami tidak peduli seberapa mulia profesinya, sebab hal ini tidak ada hubungannya dengan apa yang dipresentasikan. Kendati begitu, kalau dilihat kembali, mungkin penjelasannya akan terdengar cemerlang dan tidak mengundang pertanyaan di kota di mana ia tinggal, sebab dia adalah pria yang dihormati masyarakat di sana. 

Pada akhirnya Jimmy menyarankan teman yang satu ini untuk membuat paspor dan melihat dunia dulu. Saya setuju dengan sarannya. Jika ide itu hanya sekedar khayalan, sah-sah saja untuk senantiasa duduk melamun di satu tempat. Namun jika seseorang serius dengan idenya, pengalaman yang kredibel sudah jelas akan sangat membantu, bukan?