Total Pageviews

Translate

Friday, August 23, 2019

The Humbling Experience

I often said travelling is a humbling experience. This particular quote appeared once in a while since the beginning of Roadblog101, but you might find that I never really elaborated further about it. For this occasion, let's dig deeper! The beauty of travelling, especially to new places, is the whole new world that you will discover. Whatever it was you thought you knew best, it was suddenly rocked to the core as your horizon was broadened.

The very first time I ever realised it was when I travelled to Bali from Jakarta. At that time I seldom travelled, even domestically. I probably only visited Singkawang and Bandung prior to the trip. Based on what I had seen, I had this general idea of how Indonesia looked like: the cities were developing and the atmosphere, regardless whether it had quite a substantial population of Chinese or not, felt quite Islamic.

The first trip to Bali!

Much to my surprise, Bali was so different. It was like visiting a foreign country that happened to use rupiah as its currency. The Hindu influence was so profound there, deeply entrenched into the life of the Balinese that on a very surface level, you'd see canang sari (flowers for puja offering) everywhere! They were proud of their babi guling (suckling pig). Hindu temples, statues that sometimes wore sarong, you'd see them wherever you went. Life was so relax in an island filled with magnificent natural landscapes. People were so friendly and tourists were aplenty.

It was quite liberating to see a totally different lifestyle in Indonesia. Growing up and lived in Pontianak for 22 years, I must be so naive that I subconsciously thought the small town was the center of the universe. I was so used to the culture and not much had really changed for me in Jakarta that I ended up believing it was the only way of life. The visits to Bali opened my eyes. I was wrong and I was glad to be proven wrong in such a fashion. It was good to know that there were choices out there.

With Benny in Khao San Road, Bangkok, 2010.
Photo by Swee Hin.

The next one that gave me a good impression was Bangkok. Okay, Kuching would always be the first foreign city that I visited and Singapore gave me the exposure of a first world country, but it was Bangkok that charmed me the most. It was more modern than Jakarta, but it never lost its characteristics. Everywhere I went, I met people greeting me with a smile, the wai gesture and, "สวัสดีครับ (S̄wạs̄dī khrạb)." It was so infectious that I couldn't help returning the favour in a same manner!

Then of course I had mentioned Japan and its famous hospitality, too. I remember the trip to Tokyo that I had with my wife and daughter in 2014. I lost my way to the hotel and, after deciding that he was getting nowhere in explaining the direction, the person I asked actually brought us to the right exit of Nihombashi train station even though he wasn't heading there! Another great example would be this person that sat next to me at Paul McCartney concert. When he knew that I was from Indonesia, this stranger left his seat and went out to the merchandise store to buy me a keychain as a souvenir. How the Japanese would go for the extra mile!

In front of the hotel we were looking for.
Photo by Evelyn Nuryani.

Experiences like these made you think again, that when things became cynical in life, it was good to know kindness still existed. It taught us not to be afraid to be kind, even though you gained nothing in return, because it was never about gaining. It was always about sincerity in life. If strangers could do that, so could I, and the world would be a better place.

Through travelling, I also learnt to be thankful. Cambodia was so memorable, but I'm afraid not for a good reason. In 2009, even the capital city was so rundown, let alone towns such as Siem Reap. The place was so dry and hot that even the cows were skinny. I'd never forget the dusty cyclone that engulfed the roadside bread cart. It was a sight to remember and when I saw that, I was like, "how on earth are people going to eat that?"

Visiting Bayon Temple, Siem Reap.

Simply put, the condition was so bad that I suddenly realised how blessed I was to be born in Indonesia. All this while, it was easy for Indonesians to complain and forget what we actually had. But seeing was believing. It screamed right at my face that there were less fortunate people out there. I was shocked to see the only entertainment they had at night: the neighbourhood people were either playing rope skipping or doing the slow dance.

And yet the Cambodians looked genuinely happy. They might not have whatever it was that outside world could have then, but they seemed to have a good time. The moral of the story was, if I considered myself blessed but couldn't be at least as happy as they were, something must be wrong inside my heart. What I saw reminded me that one just had to be appreciative in life. It didn't take much to be happy.

I could go on and on, but you might have gotten the gist by now. If you stayed too long in one place and did the same routines all the time, you'd end up believing your way of life was the only way to go. Travel the world, discover new things, and be humbled by the experience. There's a reason why holiday is refreshing. It's meant to be a break from what you are doing everyday, so that you get a new perspective in living your life differently...

Capturing moments in Cambodia.
Photo by Endrico.


 Pengalaman Yang Bersahaja

Saya sering berucap bahwa melanglang buana itu adalah pengalaman yang bersahaja. Perkataan ini muncul berulangkali dari sejak Roadblog101 bermula, namun saya mungkin tidak pernah bercerita lebih lanjut tentang apa makna pernyataan saya ini. Pada kesempatan ini, mari kita bahas lebih jauh! Yang menarik dari liburan, terutama bila kita mengunjungi tempat yang baru, adalah sebuah dunia baru yang terbentang di hadapan kita, menanti untuk dijelajahi. Di saat itu pula, apa pun kiranya yang selama anda ketahui pasti akan berubah karena wawasan anda bertambah luas. 

Saya pertama kali menyadari hal ini saat saya berkelana dari Jakarta ke Bali. Sebelum ini saya jarang ke mana-mana, baik luar negeri maupun domestik. Seingat saya, saat itu saya hanya pernah mengunjungi Singkawang dan Bandung. Berdasarkan apa yang saya lihat, saya memiliki gambaran bahwa Indonesia itu kira-kira seperti ini: kota-kotanya sedang berkembang dan suasananya, tidak peduli apakah kota tersebut memiliki populasi Tionghoa yang cukup banyak atau tidak, tetaplah memiliki pengaruh Islam yang kental.

Endrico di tengah-tengah orang lokal dan turis asing saat kita mengunjungi Tanah Lot, Bali.

Di luar dugaan saya, Bali ternyata sangat berbeda. Rasanya seperti mengunjungi negeri asing yang menggunakan mata uang rupiah. Budaya Hindu terasa sangat dominan dan begitu mengakar di kehidupan sehari-hari masyarakat Bali. Sebagai contoh sederhana, anda bisa melihat canang sari (bunga persembahan) yang bertaburan di pinggir jalan. Mereka bangga dengan masakan babi guling. Pura dan patung yang terkadang memakai sarung pun terlihat segenap penjuru Bali. Hidup terasa begitu santai di Pulau Dewata yang menakjubkan alam dan pemandangannya. Orang-orang di sana sangat bersahabat dan turis dari manca negara tumpah-ruah di Bali. 

Mencengangkan rasanya melihat gaya hidup yang begitu berbeda di Indonesia. Lahir dan tumbuh dewasa di Pontianak selama 22 tahun lamanya, saya begitu naif karena sekian lama terkungkung di kota kecil ini. Saya terbiasa dengan budaya Pontianak dan juga pola hidup yang sama selama saya tinggal di Jakarta. Kunjungan ke Bali sungguh menginspirasi. Selama ini saya salah sangka dan saya senang saat mengetahui bahwa ada pilihan lain di luar sana. 

Di Bangkok.
Foto oleh Endrico.

Kota berikutnya yang memberikan kesan mendalam adalah Bangkok. Ya, Kuching mungkin saja kota luar negeri pertama yang saya kunjungi dan Singapura memberikan saya pengalaman, seperti apa negara maju itu sebenarnya, tapi Bangkok sungguh mempesona! Ibukota Thailand ini lebih maju dari Jakarta, tapi tidak pernah kehilangan karakteristiknya. Ke mana pun saya pergi, orang-orang selalu menyapa dengan senyum, membungkuk dan mengucapkan, "สวัสดีครับ (S̄wạs̄dī khrạb)."  Sapaan khas Thailand ini begitu menarik sehingga saya pun tanpa sadar membalas dengan cara yang sama!

Selain Thailand, tentu saja Jepang dan keramahtamahannya perlu saya jabarkan. Saya ingat dengan kunjungan pertama ke Tokyo bersama istri dan anak di tahun 2014. Saat itu saya tersesat di stasiun kereta Nihombashi dan, setelah merasa bahwa dia tidak bisa menjelaskan dengan kata-kata, orang yang saya tanyai itu membawa kami ke pintu keluar yang mengarah ke hotel walaupun dia sebetulnya tidak menuju ke arah yang sama. Contoh lainnya adalah orang Jepang yang duduk di sebelah saya sewaktu konser Paul McCartney di Tokyo. Tatkala dia mengetahui bahwa saya berasa dari Indonesia, orang asing ini beranjak dari tempat duduknya dan keluar untuk membeli gantungan kunci yang merupakan cinderamata konser. Dashyat ramahnya!

Bersama Linda, tak jauh dari Stasiun Nihombashi.
Foto oleh Evelyn Nuryani.

Pengalaman seperti ini jelas membuat anda berpikir lagi, apabila hidup ini terasa sinis, betapa lega rasanya saat mengingat kembali bahwa kebaikan itu masih ada. Hal ini mengajarkan kita untuk tidak takut berbagi kebaikan, meskipun kita tidak diuntungkan sama sekali, sebab intinya bukanlah untung rugi, melainkan ketulusan terhadap sesama. Jika orang asing bisa berbuat seperti ini, saya rasa saya pun bisa, dan dunia ini akan menjadi tempat yang lebih baik. 

Petualangan ke berbagai negara juga membuat saya belajar untuk bersyukur. Kamboja takkan terlupakan, tapi sayang sekali bukan karena alasan yang menyenangkan. Di tahun 2009, bahkan Phnom Penh yang merupakan ibukota negara pun masih terbelakang, jadi kota-kota lain seperti Siem Reap lebih parah lagi. Iklimnya kering dan panas, sampai-sampai sapinya pun kurus. Saya tidak akan lupa dengan angin puting-beliung yang berdebu dan berputar menggulung gerobak roti di tepi jalan. Saat melihat pemandangan itu, di dalam hati saya berkata, "bagaimana caranya orang menyantap roti ini?"

Menyusuri jalan di Phnom Penh bersama kawan-kawan.
Foto oleh Endrico. 

Begitu buruknya kondisi sana sehingga saya jadi berterima kasih bahwa saya lahir di Indonesia. Terkadang lebih mudah bagi kita untuk mengeluh daripada bersyukur atas apa yang kita miliki. Apa yang saya lihat mengingatkan saya kembali bahwa masih banyak orang yang lebih tidak beruntung di luar sana. Saya tertegun saat melihat hiburan mereka di malam hari: orang-orang di sekitar penginapan saya bermain lompat tali dan menari pelan di depan rumah. 

Akan tetapi mereka terlihat gembira. Ya, mereka memang tidak memiliki hiburan seperti yang biasa kita lihat, tapi mereka menikmati hidup mereka. Intinya adalah, jikalau saya yang merasa lebih beruntung tidak bisa segembira mereka, mungkin ada yang salah dalam hati saya. Pengalaman saya di Kamboja mengingatkan saya kembali bahwa tidaklah rumit untuk menjadi bahagia. Yang penting itu bisa bersyukur. 

Saya bisa lanjut bercerita lagi, tapi saya rasa sampai di sini anda sudah mengerti. Bila anda tinggal terlalu lama di suatu tempat dan mengerjakan hal yang sama berulang-ulang, anda lambat-laun akan percaya, seperti itulah hidup. Saran saya adalah, bertualanglah bilamana anda bisa, temukan hal baru dan dapatkan pengalaman yang bersahaja. Ada alasannya kenapa berlibur itu disebut refreshing. Liburan memberikan kesempatan bagi anda untuk berhenti sejenak dari rutinitas sehingga anda memiliki sudut pandang baru dalam menjalani hidup anda...

Wednesday, August 7, 2019

Listen To Dispute

My colleague Uncle Eddie is the venerable IT man known for his favorite catchphrase: no rocket science. He is good, he knows his stuff well and when he's involved in troubleshooting, you'll understand that improving our system is, indeed, no rocket science. What is not known by many is, perhaps, his second favorite catchphrase: listen to dispute. It was something that suddenly came to my mind when I attended the church service last Sunday.

When Uncle Eddie said, "listen to dispute," he was talking about human nature. It was something that I could relate with, because it happened around us. It was like, you'd listen attentively just to wait for the very moment to say no to other people and tell them they were wrong. All the good points went down the drain because they weren't what you were paying attention to.

I'd be lying if I said I didn't have such a revolting tendency. I did it all the time in friendly chat groups I knew and loved, but that was mainly for fun. It was easy for me to counter whatever comments my friends had, because... well, let's just say I had years of practice in talking nonsense, haha. When it was a serious conversation, I would react differently.

There were two reasons why I didn't listen to dispute. The first and positive one was, different opinions were actually normal. To quote Bruce Lee, "absorb what is good, discard what is not." I guess if we were humble enough to listen, we'd always learn something new from others. The second one was the fact that I wasn't wired to be argumentative. I wasn't that fast in reasoning, probably because I wasn't that smart, haha. However, if I knew for sure and the people I was talking to kept arguing, I'd let them have their way. Most of the time, I simply I had neither the drive nor energy to convince people any further if they didn't wish to listen.

This is the reason why I suddenly remembered Uncle Eddie's catchphrase when I was at the church. It came to my mind that Christianity is something that you need to try. If you want it, come and get it. You don't just hear it from others. You have to experience it. May be you'll like the Christian way, may be you won't. The point is, the relationship with God is always personal.

It's a pity when people listened just to slam it down, because you might have missed what was good for you. It's even sadder if the person felt glorious about it. I don't think there'd be anyone emerging as a winner in such a conversation, because it wasn't a debate to begin with. Yes, there'd be time when we had to stand our ground, but you'd recognize it immediately and this certainly wasn't it. Humility is the key here and for all you know, the next time you listen humbly may be the time your life is changed forever for the better. Give it a try...

In Yangon with Uncle Eddie and other colleagues.


Mendengar Untuk Membantah

Kolega saya, Pak Eddie, adalah seorang IT senior yang terkenal dengan slogan favoritnya: no rocket science. Dia tahu apa yang dia kerjakan dan mengerti luar-dalam tentang bidang database yang ditekuninya sedari dulu. Kalau dia membeberkan hasil investigasi tentang suatu masalah IT, anda akan setuju bahwa mengatasi akar permasalahan tersebut bukanlah sesuatu yang rumit. Pokoknya no rocket science. Begitu seringnya dia mengucapkan frase itu sehingga yang berikut ini mungkin luput dari perhatian orang banyak: mendengar untuk membantah. Demikian bunyi frase lain yang suka dipakainya dan frase ini tiba-tiba terngiang di benak saya saat sedang berada di gereja. 

Sewaktu Pak Eddie berujar, "mendengar untuk membantah," dia berbicara tentang kebiasaan manusia. Ini adalah sesuatu yang bisa dilihat di sekeliling kita. Contoh nyata dari frase ini adalah mereka yang menyimak pembicaraan hanya untuk menantikan saat berkata tidak kepada orang lain dan bersikeras kalau lawan bicara mereka salah. Semua hal baik yang terucap selama percakapan akhirnya hilang begitu saja karena bukan itu yang mereka perhatikan.  

Saya pastilah berbohong bila saya katakan kalau saya tidak mempunyai kebiasaan seperti itu. Saya senantiasa melakukannya di chat group, tapi itu karena saya memang iseng. Mudah bagi saya untuk membantah apa saja karena saya berpengalaman puluhan tahun dalam perbincangan yang konyol. Ketika saya terlibat dalam diskusi serius, reaksi saya jelas berbeda. 

Ada dua alasan kenapa saya tidak mendengar untuk membantah. Yang pertama dan berkesan positif adalah karena perbedaan pendapat itu normal. Bruce Lee pernah berucap, "ambil yang baik, buang yang tidak baik." Saya rasa jika kita cukup rendah hati untuk mendengarkan, kita akan selalu bisa belajar hal yang baru dari orang lain. Alasan kedua adalah karena saya bukan tipe orang yang senang berargumen. Terus-terang saya tidak cukup cepat untuk berdebat, mungkin karena saya memang tidak begitu pintar, haha. Jikalau saya tahu pasti akan suatu hal dan lawan bicara saya masih mau membantah, saya hanya akan menggeleng dan membiarkannya. Saya tidak punya cukup energi untuk meyakinkan orang yang tidak mau mendengar. 

Inilah sebabnya kenapa saya tiba-tiba teringat dengan ucapan Pak Eddie ini ketika saya sedang berada di gereja. Terlintas di benak saya bahwa yang namanya Kristen itu sesuatu yang harusnya dicoba. Jika anda mau tahu, datang dan rasakan sendiri. Jangan hanya dengar dari orang lain, tapi alami sendiri. Mungkin anda akan merasa cocok, mungkin juga tidak. Intinya adalah, hubungan dengan Tuhan itu selalu bersifat pribadi antara anda dan yang di atas. 

Saya merasa iba kepada mereka yang mendengar hanya untuk membantah, karena anda mungkin melewatkan apa yang sebenarnya baik untuk anda. Akan lebih menyedihkan lagi bila anda merasa unggul karena membungkam lawan bicara yang sebenarnya hanya ingin berbagi pengalaman dengan anda. Dalam percakapan seperti itu, saya rasa hendaknya tidak perlu ada yang muncul sebagai pemenang, sebab itu bukanlah debat. Ya, ada saatnya anda perlu dengan teguh mempertahankan pendapat anda dan secara naluriah anda akan tahu kalau saatnya tiba. Kalau bukan itu yang anda rasakan, maka dengarkan saja dengan rendah hati, siapa tahu apa yang anda dengarkan itu justru mengubah hidup anda menjadi lebih baik. Silahkan dicoba...

Saturday, August 3, 2019

The Chronicler, The Impresario

This story began with a phrase, "who died and made you..." that lingered in my mind. While it was often used a sarcastic response, the phrase was somewhat relevant with what I went through since high school till now. You see, every generation had one chronicler that brought them together and for ours, that person seemed to be me. No, nobody died and made me take it up. I wasn't nominated and I didn't ask for it, too. I just happened to fit the profile, I subconsciously filled the gap and I grew into the role gradually.

In order to understand how this happened, let's look back at the seemingly random bits and pieces in my life. First of all, I had been blessed with a memory like an elephant that allowed me to remember past events in life clearly. Secondly, as a person who lived apart from my family since high school, I naturally established close relationship with friends who were there for me when I had no one else. They were like my family and I loved them all. Then, of all the prized items a poor young man could have in the 90s, I happened to have a camera to capture the moments! Lastly, I had to admit that I seldom wrote a good story from a scratch. What I did best was blending what I observed and I experienced into writing seamlessly. The result was not my story. Since the very beginning, it was always our story.

1998-2008, our first 10 years. 

To summarise, it was a case of right things fell into right places. I became the person that cared enough to keep in touch and I organized those friendly hangouts, especially after we left high school. As I had latest contacts and updates, I once maintained a website that shared news and photos. Oh yes, while I was never a keen photographer, it seemed like I always had a camera at any point of time. In early 21st century, I was a proud owner of Sony Cyber-shot 3.2 megapixels.

Back to our story, long before Friendster and Facebook existed, there was anthony-ventura.tripod.com, the trusted source for our high school community. It was fine and well-received for a while, but I eventually learnt that some people found it intrusive. I guess I must be too excited in connecting people that I had offended some unknowingly. It was unpleasant as I didn't mean to hurt anyone. That's partly the reason why I quit.

Singing session with Pheng iu, right after Wawa's wedding.
Photo owned by Ng Lina.

The other half of the reason is the fact that I was relocating from Indonesia to Singapore. Things went sour after the last episode and I thought it was an end of era, but at the same time, it was also the beginning of a new one. My relationship with high school friends went on hiatus, replaced by the good times I had with a bunch of housemates now formerly known as Pheng iu. I was far from home, trying to make a living in a foreign country, and Pheng iu was the closest thing to a family that I had. By the way, if the name Pheng iu sounded familiar, that's probably because you might have seen it from the movies or the stories.

The 19 of us didn't stay together for long, but yet we were never really apart. When we moved out from Kembangan, we split into smaller groups and we still made an effort to be together in many occasions, from simple dinner, birthday and even travelling. Oh yes, it was during this time that I caught the wanderlust bug. We travelled to Thailand, Vietnam, Cambodia, Malaysia and, of course, Indonesia!

Markus, Darto, Endrico and I at the night market in Siem Reap, Cambodia.

But all good things must come to an end. In 2011, we either got married or went back to Indonesia. Around the same time, chat group started to become the in-thing. First BBM, then WhatsApp, and I reconnected with my high school friends again. When the old sentimental feeling was building up, I saw my acquaintance's reunion on Facebook. That's when I was inspired to do our own in 2014. Since then, I always organised activities with high school friends. We recorded We Are the World before Smule became popular. We had events such as Parno's SG Outing in 2015, the Karawang trip in 2016, Guns N Roses Concert in 2017 and many more. The last one, happened only few weeks ago, was when my friend and I watched Juventus vs. Tottenham Hotspur.

Were the events always successful? No, I had my fair share of failures, too, like the Sri Lanka trip that was supposed to happen this month or the event of attending Asian Games in Jakarta, back in 2018.

If that's the case, why bother trying? Well, I simply had the passion, I reckon. A friend once told me in 2016, "only you can make I happen. You have what it takes." The sincere remark was made out of the blue. When I heard it, I was stunned. Funny that I never realised it before.

Was it worth it? What's in it for me? As we approached the age of 40, I saw death started happening around us. Yes, be it rich or poor, people our age died. Last June, when I let go of my Dad's ashes into the sea, it dawned on me that only memories remain. When we were around, we touched people's lives. For every moment we spent together in happiness, we were one good memory richer than before. So, yeah, it's definitely worth it...

Lunch at Nasi Campur Alu with Eday.
Photo owned by Angelina. 


Yang Mencatat Dan Membuat Acara

Cerita berikut ini dimulai dengan sebuah frase bahasa Inggris yang terngiang-ngiang di benak saya: "who died and made you..." Walau frase ini sebenarnya adalah respon sarkasme, namun ada relevansinya dengan yang senantiasa saya kerjakan dari sejak SMU sampai sekarang. Setiap generasi memiliki seseorang yang mencatat berbagai kisah para teman dan untuk angkatan saya, sepertinya penulis itu adalah saya. Tidak, saya tidak dinomasikan ataupun mencalonkan diri. Saya hanya kebetulan memiliki kepribadian yang cocok, kemudian mengerjakan apa yang saya kerjakan dan akhirnya menikmati peran tersebut. 

Untuk memahami bagaimana ini bisa terjadi, mari kita lihat berbagai penggalan kisah hidup saya. Pertama-tama, saya diberkati dengan ingatan yang luar biasa kuat sehingga bisa mengingat berbagai kejadian di masa lampau. Kedua, sebagai seorang yang hidup terpisah dari keluarga sejak SMU, saya menjadi dekat dengan teman-teman yang berada di sekeliling saya di saat saya membutuhkan kehadiran mereka. Teman-teman ini tak ubahnya seperti saudara dan saya menyayangi mereka. Kemudian, dari semua harta berharga yang mungkin dimiliki oleh seorang pria muda miskin di akhir tahun 90an, saya memiliki sebuah kamera yang bisa dipakai untuk mengabadikan berbagai peristiwa. Terakhir, saya harus mengakui bahwa saya jarang menulis cerita bagus yang orisinil. Apa yang bisa dan sering saya lakukan dengan baik dan benar adalah menggabungkan beraneka kisah yang saya amati dan alami. Hasilnya bukanlah cerita saya. Dari sejak awal, apa yang saya tulis adalah sebuah kisah bersama.

Makan malam di Dangau, Pontianak. Foto kamera Ricoh, sebelum era digital. 

Dari paragraf di atas bisa disimpulkan bahwa apa yang terjadi adalah beragam faktor yang akhirnya membuat saya memainkan peran ini. Saya menjadi orang yang peduli untuk tetap menjalin hubungan dan menghubungi teman-teman untuk berkumpul, terutama setelah kita lulus SMU. Karena saya senantiasa memiliki informasi terbaru, saya pun berbagi cerita dan foto lewat situs internet. Bicara soal foto, meskipun saya tidak pernah benar-benar tertarik dengan bidang fotografi, saya sepertinya selalu memiliki kamera di setiap waktu. Di awal tahun 2000an, saya memiliki kamera digital Sony Cyber-shot 3.2 megapixels, sebuah piranti keras yang terbukti berguna pada saat itu!

Kembali ke cerita kita, jauh sebelum Friendster dan Facebook muncul, anthony-ventura.tripod.com adalah situs terpercaya bagi komunitas teman-teman SMU. Pada awalnya situs ini mendapat tanggapan positif, namun kemudian saya mendapat kabar bahwa ada yang merasa kalau keberadaan situs ini sangatlah intrusif. Saya mungkin terlalu bersemangat dalam mengumpulkan berita sehingga tanpa sadar telah menyinggung beberapa orang. Ini adalah pengalaman yang tidak menyenangkan karena saya sama sekali tidak bermaksud seperti itu. Pada akhirnya saya pun berhenti.

Suhendi di Carrefour Cempaka Mas. Buku di tangannya adalah panduan Sony Cyber-shot yang baru saja saya beli. 

Alasan lain yang juga membuat saya memutuskan untuk berhenti adalah kepindahan saya dari Indonesia ke Singapura. Rasanya seperti akhir dari sebuah era, namun zaman yang baru pun bermula pada saat yang bersamaan. Hubungan saya dengan teman-teman SMU digantikan oleh saat-saat seru bersama teman-teman serumah yang kemudian dikenal dengan sebutan Pheng iu. Saat itu saya berada jauh dari rumah, mengadu nasib dan mengais rejeki di negeri asing. Pheng iu boleh dikatakan sebagai kerabat terdekat saya pada waktu itu. Oh ya, kalau nama Pheng iu terdengar akrab, itu mungkin karena anda pernah melihat film atau membaca ceritanya

Ada 19 orang termasuk saya pada saat itu. Kita sebenarnya hanya tinggal serumah dalam waktu yang singkat, tapi kita pun tidak pernah benar-benar berpisah. Ketika kita pindah dari Kembangan, kita berpencar menjadi kelompok yang lebih kecil dan kita masih menyempatkan diri untuk berkumpul dalam berbagai acara, mulai dari makan malam, ulang tahun, Natal dan bahkan berlibur. Di saat bersama Pheng iu inilah saya mulai senang jalan-jalan. Bersama-sama kita berkelana ke Thailand, Vietnam, Cambodia, Malaysia dan tentu saja Indonesia!

Makan malam perpisahan dengan Tommy di 2010.
Foto oleh Endrico.

Namun semua hal yang baik harus berakhir. Di tahun 2011, banyak di antara kita yang menikah atau kembali ke Indonesia. Di saat bersamaan, chat group mulai populer dan mengubah cara berinteraksi. Dari BBM dan kemudian WhatsApp, saya kemudian terhubung lagi dengan teman-teman SMU. Ketika persahabatan kembali terjalin, seorang kenalan yang hadir di reuni mengunggah fotonya di Facebook. Saya jadi terinspirasi untuk mengadakan reuni juga dan akhirnya terwujud di tahun 2014. Sejak saat itu, saya selalu mengadakan berbagai aktivitas bersama teman-teman SMU. Kita merekam lagu We Are the World sebelum Smule populer. Kita memiliki acara seperti Parno's SG Outing di tahun 2015, liburan ke Karawang di tahun 2016, menghadiri konser Guns N Roses di tahun 2017 dan masih banyak lagi. Yang terkini, yang baru saja berlalu beberapa minggu lalu, adalah ketika saya dan Muliady menonton Juventus vs. Tottenham Hotspur.

Apakah acara yang saya organisir selalu sukses? Tidak juga. Beberapa di antaranya gagal, misalnya liburan ke Sri Lanka yang dijadwalkan pada bulan ini. Contoh lainnya adalah acara menyaksikan pertandingan bulutangkis di Asian Games Jakarta di tahun lalu.

Jika terkadang gagal, lantas buat apa mencoba? Hmm, singkat cerita, karena saya senang melakukannya. Di tahun 2016, seorang teman berkata pada saya, "hanya kamu yang bisa melakukan hal seperti ini. Dari segi karakter, kamu memiliki apa yang diperlukan untuk mewujudkan kegiatan seperti ini." Ungkapan yang tulus dan tiba-tiba itu membuat saya tertegun. Lucu rasanya karena saya tidak pernah menyadari hal ini sebelumnya. 

Kalau begitu, apakah hasilnya sepadan dengan jerih payahnya? Apa untungnya bagi saya? Jujur saya katakan, di usia kita yang hampir mendekati umur 40, saya melihat banyak yang telah meninggal. Ya, kaya atau miskin, teman seusia saya meninggal. Juni lalu, ketika saya melepaskan kantung abu ayah saya ke dalam laut, saya jadi sadar bahwa yang tersisa dari manusia hanyalah kenangan. Selagi kita masih hidup, kita menyentuh kehidupan orang di sekitar kita. Untuk setiap kesempatan yang kita lewatkan bersama dalam kegembiraan, kita menjadi satu kenangan lebih kaya dari sebelumnya. Dengan demikian, bisa dengan mantap saya katakan, "ya, hasilnya sungguh sepadan." Sebisa mungkin jangan pernah berpikir lain kali saja baru ikut, karena kita tidak tahu kapan waktu kita akan berlalu. Ciptakanlah kenangan selagi bisa.

Menjadi teknisi di acara saat reuni 2014 berlangsung.