Total Pageviews

Translate

Sunday, August 30, 2020

The Library

When I looked at my daughter Linda, sometimes I couldn't help thinking that she might have taken things for granted. It wasn't her fault, though. She was born in Singapore and had a privilege to grow up here. Apart from a few short visits to Indonesia, she'd been practically living her entire life in a country that is so modern and advanced. It was only natural that she perceived everything she saw everyday as normal. 

Libraries were a good example. It was very common for everyone in Singapore to visit the libraries. It was a nice place to be, so clean and comfortable for reading. Linda wouldn't have any idea that it wasn't the case for his Dad. Pontianak had one public library. I only went to there once and it wasn't exactly a pleasant memory. There was this distinct smell of old books and it was so eerily quiet that it didn't feel right to stay very long in the library. Believe it or not, it was actually quite a relief to be out of it!

After such a harrowing experience, imagine my surprise when my friend Jimmy brought me to the National Library in Bugis for the first time ever. It was year 2006. I was still looking for a job and I had a lot of spare time to kill. When I stepped in to the library, I was amazed by the sight of it. So grand! Not only it was like sea of books, but it actually had various comics, too, from manga to DC and Marvel. I could relax on the couches. If I was thirsty, the water tap was just around the corner. Very convenient. When I wanted to borrow books, I just had to stack them, then the machine would scanned them at one ago and it was done! Returning books were as easy as dropping them at the bookdrop! How modern! 

Because I had seen worse, I appreciated a better experience in Singapore. My daughter had nothing to compare with, because she began her life with a much higher standard. Not that it was bad. On the contrary, it was a good thing and I hoped she'd go even further in life than me. It's just, it wouldn't hurt for her to learn how fortunate she already was, that what she had now was an opportunity many didn't have. I guess it's up to me as her Dad to educate her about this life lesson...

Epilogue:
I went to the National Library a few days ago. It's been a while since I went there, so I recalled the good times I had as I walked from Bugis Station. I thought I'd be there for a while, just to relax and read a bit about DC and Marvel superheroes. 

Much to my surprise, it wasn't anything remotely like what I used to know. It just felt so unwelcoming and sad. Seats were taped as it was forbidden for visitors to sit. The water tap was closed for safety reason. With only a handful visitors other than myself, the library felt abandoned. 

The time of corona changed the way we lived, but I'm quite certain I don't need a new normal in visiting library. As I stepped out, I wished the good old days in spending our time at the library would return...

At Sengkang library with the kids during a happier time.
Photo by Yani Evelyn Robinson.


Perpustakaan

Terkadang saya berpikir bahwa putri saya Linda mungkin tidak pernah menyadari betapa beruntung dirinya karena lahir dan tumbuh besar di Singapura. Setiap tahun istri saya membawanya berlibur ke Indonesia, tapi sepanjang hidupnya dia tinggal di negara yang maju dan modern. Wajar bagi Linda untuk berpikir bahwa apa yang dilihatnya sehari-hari itu adalah hal yang biasa dan lumrah. 

Perpustakaan adalah contoh yang bagus. Mengunjungi perpustakaan adalah kebiasaan orang-orang di Singapura. Tempatnya bersih dan nyaman untuk membaca. Saya dan istri suka membawanya menghabiskan waktu di sana. Begitu seringnya Linda ke sana sehingga tidak pernah ia sadari bahwa ayahnya tidak pernah memiliki kesempatan serupa. 

Setahu saya, Pontianak hanya memiliki satu perpustakaan umum di Jalan Letjen Sutoyo. Saya hanya pernah berkunjung sekali ke sana. Seingat saya, ini bukanlah pengalaman yang paling berkesan. Ada aroma buku-buku tua yang apek dan entah kenapa kesunyian di perpustakaan terasa mencekam sehingga rasanya tidak tenang untuk berlama-lama di sana. Percaya atau tidak, ada rasa lega setelah saya keluar meninggalkan perpustakaan. 

Berbekal pengalaman di atas, bayangkan betapa kagetnya saya ketika teman saya Jimmy membawa saya ke National Library di Bugis untuk pertama kalinya. Saat itu tahun 2006. Saya baru datang mencari kerja di Singapura dan saya memiliki banyak waktu luang. Ketika saya menginjakkan kaki di perpustakaan, saya terpana dengan apa yang saya lihat. Megah sekali! Koleksi bukunya bukan saja berlimpah, tapi juga ada bagian komik, mulai dari manga sampai DC dan Marvel. Saya bisa bersantai di kursi sofa. Kalau haus, saya bisa minum gratis di pojokan yang mengarah ke kamar kecil. Bila saya ingin meminjam buku untuk dibawa pulang, saya cukup menumpuk beberapa buku dan mesin registrasi akan memindainya sekaligus sehingga semua langsung terdata sebagai buku pinjaman. Kalau saya ingin mengembalikan buku, saya cukup memasukkan semuanya ke lubang kecil di dinding yang berlabel bookdrop. Betapa canggih dan praktis! 

Karena saya sudah melihat yang lebih kuno dan tidak nyaman, saya jadi menghargai apa yang bagus di Singapura. Putri saya tidak memiliki perbandingan seperti ini karena dia memulai hidupnya dengan standar yang lebih tinggi. Ini bukan hal yang buruk. Justru sebaliknya, ini adalah permulaan yang baik dan saya berharap dia bisa mencapai lebih jauh lagi dalam hidup ini dan melampaui saya. Hanya saja tentunya akan bagus pula baginya untuk menyadari bahwa dia sudah jauh lebih beruntung karena masih begitu banyak yang tidak memiliki kesempatan seperti dia. Saya kira ini adalah salah tugas saya sebagai ayahnya untuk mengajarkan pelajaran hidup ini...

Epilog:
Saya mampir ke National Library beberapa hari lalu. Sudah cukup lama saya tidak ke sana, jadi saya pun melangkah dari Stasiun Bugis dengan harapan tinggi. Saya ingin bersantai sejenak di sana sambil membaca tentang para pahlawan super dari DC dan Marvel. 

Di luar dugaan saya, apa yang saya lihat berbeda dengan apa yang ada di benak saya. Perpustakaan kini terasa tidak nyaman dan terlihat menyedihkan. Sofa dan kursi diblokir dengan lakban karena pengunjung tidak diperbolehkan duduk. Tempat minumnya dimatikan demi alasan kesehatan. Pengunjungnya pun hanya segelintir sehingga perpustakaan terasa seperti diabaikan. 

Musim korona sungguh mengubah cara hidup kita, namun saya yakin bahwa saya tidak butuh new normal untuk perihal mengunjungi perpustakaan. Saat saya melangkah keluar, saya hanya berharap bahwa pengalaman di perpustakaan seperti dulu kala akan kembali setelah korona usai... 

Wednesday, August 19, 2020

Online Business

The time of corona changed the business landscape and some friends in our little chat group were badly affected, too. It was tough enough to do what they did prior to this, but now some businesses weren't doable at all. This led to a conversation of doing online business, namely Shopee. We talked about exploring it.

I was intrigued by it. At that time, I'd been trying out Carousell, but I approached it like doing a garage sale, haha. The interface was rather straightforward, so I thought Shopee should be more or less the same, too. Then I set up an account and tried it out with Parno and Susan. This is the story of the experience we went through.

From left: the seller, the buyer, the coordinator.

First of all, you got quite a fair bit of things to fill up. Home address, shop address and even bank account were required. Shop address was critical because it would determine from where the shipping would be delivered. You could enter many addresses, but only one can be used at one time for all products. When you changed the address, it'd affect the location of all products.

This turned out to be a problem for us. I had this idea in mind when I tested this out: what if all friends from other cities joined in to offer their products? If we did this, we'd have a massive collection of products to sell. We'd have our online supermarket. Everyone would have access to the same login so that each of us could respond to the queries and take care of the orders. But due to the shipping address issue that was mentioned earlier, this was not possible. Those who were from the same city still could do this, but that was pretty much it.

Problems with brand (Merek) and Shipping Address (Dikirim Dari).

Anyway, we only found out about this much later on, right after we simulated the transaction. For us to begin, I uploaded few products. Each had a lengthy form to be filled up, from the brand, the weight, the quantity and so forth. Noticed that I always ran into errors for products with brands not listed on Shopee, for example Aming Coffee, so I eventually removed the brand.

The enquiry from a difficult customer.

Once the products were ready, we did a test together, from enquiry to transaction. Enquiry was originally neat, but it soon became cluttered with unwanted messages. I had no idea how I ended up with a lot of messages telling me that other people had showered my plants. To think that I didn't even play any games on Shopee! The app should have not spammed me like this! This made it difficult for me to notice the genuine enquiries and as a user, I could have missed out the business opportunities! Yes, there were notification settings, but it wasn't exactly clear what needed to be set to turn this gaming messages off.

Unwanted notifications.

Anyway, through this messaging service, Susan did the enquiry and the purchase. As Parno didn't download the app, I contacted him to do the shipping via J&T Express. I didn't know that the app actually provided a specific shipping code and the shipping cost was covered by Shopee. I discovered this only after Parno mailed the order, so he went back to J&T Express to correct my mistake. Once this is done, I could see the status updated on the app.

The shipping code provided by Shopee.

Susan purchased using ShopeePay, which meant the money would only be released to the seller once the goods were received and confirmed by the buyer (note that buyers had an option to return the orders to sender). Having said that, the seller needed to contact the buyers if they never confirmed even though the delivery tracking showed that the order had been delivered. Once confirmed, the payment would be credited to the seller's account and the money could then be transferred into the seller's bank account.

The money transfer.

Our little experiment ended when the money was received. It didn't exactly work out as I first envisioned it, but it was still a working system that wasn't so difficult to use. If you ever thought of starting this but not sure how to begin, I hope the story above would give you the clues. One could start this as side income. Definitely worth trying, especially in the time of corona!


Bisnis Online

Musim COVID-19 berdampak buruk pada dunia usaha dan beberapa teman SMA di grup WhatsApp juga terganggu bisnisnya. Sebelumnya pun sudah terdengar tantangan dalam berbinis, tapi korona yang melanda dunia lebih dashyat lagi dampaknya sehingga beberapa bidang usaha sama sekali lumpuh dan tidak bisa ditekuni lagi. Hal ini lantas membuat kita berdiskusi tentang bisnis online lewat Shopee. 

Saya sendiri jadi tergerak untuk mencobanya supaya tahu seperti apa prosesnya. Baru-baru ini saya juga iseng mencoba Carousell, walau saya lebih cenderung menggunakannya sebagai sarana cuci gudang, haha. Langkah-langkah untuk berjualan di Carousell tergolong praktis, jadi saya mengira bahwa Shopee juga seharusnya kurang-lebih sama. Saya lantas membuat akun dan melakukan uji coba bersama Parno dan Susan. Berikut ini adalah pengalaman kita.

Dari kiri: penjual, pembeli dan koordinator.

Pertama-tama, ada banyak formulir online yang perlu diisi. Alamat rumah, alamat toko dan bahkan rekening bank dibutuhkan untuk membuka toko. Alamat toko sangat penting karena menentukan dari mana produk akan dikirim. Pengguna bisa memasukkan beberapa alamat, namun hanya satu yang bisa dipakai sebagai alamat pengirim. Ketika kita mengganti alamat toko, semua produk akan berubah pula alamatnya.

Hal ini menjadi masalah buat saya. Tadinya saya berpikir bahwa seandainya teman-teman dari berbagai kota ikut menjual produk mereka, maka kita bisa membangun semacam supermarket online. Di benak saya, setiap orang memiliki akses ke aplikasi sehingga bisa menanggapi pertanyaan pelanggan dan menerima pesanan. Akan tetapi karena kendala yang disebutkan di atas, ide ini jadi tidak bisa dilaksanakan dengan sempurna. Hanya teman-teman dari satu kota yang masih bisa bekerja sama.

Masalah dengan Merek dan alamat pengirim (Dikirim Dari).

Masalah ini baru kita sadari setelah kita menyelesaikan simulasi transaksi. Dalam rangka uji coba, saya mengunggah beberapa produk. Setiap produk disertai formulir panjang yang perlu diisi, mulai dari merek, berat, kuantitas dan lain-lain. Saya perhatikan kalau mereknya tidak tertera di sistem, misalnya Aming Coffee, nanti akan muncul tampilan bahwa telah terjadi kesalahan pendataan. Akhirnya saya kosongkan merek produknya.

Pelanggan sulit.

Setelah beberapa produk diunggah, kita pun mulai mencoba prosesnya, mulai dari pertanyaan pembeli sampai pemesanan produk. Notifikasi untuk komunikasi antara penjual dan pembeli ini awalnya bagus, tapi entah kenapa lantas bermunculan pesan-pesan yang tidak penting. Saya tidak mengerti kenapa banyak orang yang mengabarkan bahwa mereka sudah menyirami tanaman saya, padahal saya sama sekali tidak main game di Shopee. Aplikasi ini seharusnya tidak membanjiri saya dengan notifikasi seperti ini karena pertanyaan dari penjual bisa terlewatkan oleh saya. Ya, saya lihat ada pengaturan notifikasi, tapi tidak jelas apa yang harus diatur untuk menghilangkan notifikasi tentang game.

Notifikasi tidak penting.

Melalui fitur percakapan ini, Susan mencoba berkomunikasi dan akhirnya melakukan transaksi. Karena Parno tidak mengunduh aplikasi Shopee, saya pun menghubungi Parno supaya dia melakukan pengiriman lewat J&T Express. Saya tidak tahu bahwa Shopee menyediakan kode pengiriman dan juga menanggung biaya pengiriman. Hal ini baru saya sadari setelah Parno mengirimkan produk, jadi dia kembali ke J&T Express untuk membereskan masalah ini. Setelah selesai, saya bisa melihat status pengiriman di aplikasi.

Kode pengiriman otomatis dari Shopee.

Susan melakukan pembelian dengan metode ShopeePay. Ini berarti uangnya baru akan ditransfer oleh Shopee ke saya setelah konfirmasi pelanggan (dan sebagai pelanggan, Susan memiliki pilihan untuk pengembalian produk bila tidak sesuai dengan pesanan). Karena mekanisme ini, penjual harus menghubungi pembeli jika tidak menerima konfirmasi setelah status order sudah terkirim. Setelah konfirmasi, barulah uang diterima di akun penjual dan bisa ditransfer ke rekening bank.

Transfer uang dari akun Shopee ke bank.

Eksperimen kita ini pun berakhir sesudah uang diterima. Shopee tidak berfungsi seperti apa yang saya bayangkan, tapi sistem jual-belinya tidaklah terlalu sulit untuk dipelajari. Jika anda ingin mencoba tapi tidak ada gambaran seperti apa caranya, semoga pengalaman kita ini bisa menjadi acuan. Bagi yang berminat, ini jelas bisa menjadi usaha sampingan. Layak dicoba, apalagi di musim korona! 


Monday, August 10, 2020

Life Begins At 40

When I thought about turning 40, funny that the first thing that came to mind was my hero, John Lennon. He wrote the song called Life Begins at 40, which was quite an irony, because he died less than two months after his 40th birthday. On that fateful night, he was supposed to have a dinner somewhere, but he wanted to go home and wish his son goodnight. He never made it. 

No, I'm not saying that I had some premonition or something. I just couldn't help thinking about how the perspective had changed. When I was 10, I thought I was a big boy. When I had my 20th birthday, I was excited about the future. When I turned 30, I enjoyed the freedom I had as a man. But being 40 was like things drawing to a close. If life is a journey, then I am half way there. Or may be 3/4. I don't know. But I was neither pessimistic or sad. Knowing that some of my friends never made it this far, I treasured the blessings.

But the truth is I was a little bit scared. No, not for myself, but more for my family. When I saw how soundly my daughters slept, I felt relieved that I had done a decent job in providing them home. The question now is, what if I let them down? Being a sole breadwinner could be scary that way. However, I guess a man could only do and worry so much.The Lord giveth and the Lord taketh away. I just had to have faith that it'd be alright.

Other than that, it's good to be older. If I had to count my blessings, I had achieved quite a lot in the past 40 years. You might have heard some of those and I didn't wish to reminisce about them this round, but I'd like to mention a single greatest thing that ever happened to me: my wife. She is my inspiration and the reason why I am a better man than before. While I never said this before, I'm actually amazed that she could tolerate all my nonsense. Perhaps she saw something in me that I myself never realized. I tell you what, I'll write the story about her so that you know how great a woman she is.

So there you go, my greatest fear and blessing. Now that I had these two written down and really looked at them, I felt so much better knowing that the good outweighed the bad. What would my 40s bring? My wish today? There are two. Looking back, I felt like I was an immature selfish bastard in my 30s. I want to spend more quality time with my family. Secondly, on a more personal level, I want to travel again!

First photo at the age of 40.


Hidup Bermula Di Usia Ke-40

Ketika saya menjelang umur 40, sosok yang pertama muncul di benak saya adalah pahlawan saya John Lennon. Dia menulis lagu berjudul Life Begins at 40 yang artinya hidup bermula di usia ke-40, suatu hal yang ironis mengingat dia meninggal kurang dari dua bulan setelah ulang tahunnya yang ke-40. Di malam itu, dia seharusnya makan malam di tempat lain, tapi dia ingin pulang dan mengucapkan selamat malam kepada anaknya sebelum sang anak tidur. Keinginan John tidak pernah tercapai karena dia ditembak di depan gerbang rumahnya.

Tidak, saya tidak berkata bahwa saya memiliki firasat buruk atau apa. Saya hanya merasa bahwa pandangan hidup itu berubah. Ketika saya berumur 10 tahun, saya merasa seolah-olah sudah bagaikan orang dewasa. Di usia 20, saya sangat bersemangat menyongsong masa depan. Ketika saya mencapai umur 30, saya menikmati kebebasan hidup sebagai bujangan yang tidak kekurangan apa pun. Akan tetapi umur 40 itu seperti awal dari akhir. Jika hidup adalah petualangan, maka saya sudah setengah jalan. Atau mungkin 3/4. Saya tidak tahu pasti. Namun saya tidak pesimis atau sedih. Saya sadar bahwa beberapa teman saya sudah berpulang dan tidak pernah sampai sejauh ini, jadi saya teramat sangat menghargai berkah hidup ini. 

Tapi saya tidak menyangkal kalau saya merasa takut. Ketakutan ini lebih cenderung ke nasib keluarga. Ketika saya melihat betapa lelapnya dua putri saya dalam tidur, saya merasa lega bahwa saya sudah cukup berhasil dalam menyediakan mereka rumah dan kehidupan yang layak. Pertanyaannya adalah, bagaimana jika saya mengecewakan mereka? Menjadi satu-satunya orang yang menafkahi keluarga adalah suatu hal yang cukup menggetarkan nyali. Kendati begitu, seorang pria hanya bisa berusaha dan merasa khawatir sampai batas tertentu. Apa yang diberikan oleh Tuhan mungkin akan diambil juga oleh-Nya. Pada akhirnya saya hanya bisa beriman dan berserah bahwa semuanya akan baik-baik saja. 

Selain satu hal yang saya cemaskan di atas, bertambahnya usia adalah perkara yang bagus. Jika saya melihat kembali berkat yang saya terima, saya sudah mencapai banyak hal dalam 40 tahun terakhir ini. Anda mungkin sudah pernah membaca beberapa cerita saya tentang hal ini dan saya tidak ingin mengulangnya. Di kesempatan ini, saya hanya ingin menyebutkan satu hal terbaik yang pernah terjadi dalam diri saya: istri saya. Dia adalah inspirasi dan alasan kenapa saya menjadi pria yang lebih baik. Saya mungkin tidak pernah mengatakan hal ini sebelumnya, tapi terkadang saya kagum dengan toleransinya terhadap kekonyolan saya. Mungkin dia melihat sesuatu dalam diri saya yang saya sendiri tidak pernah sadari. Ya, dia wanita yang luar biasa. Mungkin saya harus menulis tentang dirinya supaya anda tahu. 

Dua hal ini adalah ketakutan dan berkat terbesar saya. Sekarang, setelah ditulis dan ditelaah, saya merasa lebih tenang karena hal yang baik lebih dominan daripada yang buruk. Apa yang akan terjadi di usia 40an? Harapan saya di hari ulang tahun ini ada dua. Kalau saya lihat kembali, saya mungkin lebih sibuk sendiri di usia 30an. Saya ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersama keluarga sekarang. Kedua, dan yang ini lebih bersifat pribadi, saya ingin segera bisa berlibur lagi! 

Saturday, August 8, 2020

Book Review: Rogue Trader

I joined the world of Futures and Options in February 2007. By then, the age of open outcry was basically over. I never went to the trading floor at SGX. It was a different time and traders started using GL Trade. But I often heard about the romance of bygone era and I got fascinated by the crazy time when people made tons of money by busy shouting and frantically doing hand signals. 

With all sorts of characters moving the market up and down, legends were born. One of them was Nick Leeson and the story of a rogue trader. You know the saying, bring down the house? He literally did that by bringing down the house of Barings. That's how big a deal Nick was. 

What's more interesting was the fact that it happened in Singapore. The rules and regulations are so tight now it's hard to believe that such an incident could happen here. I've been reading regularly again since the time of Corona, devouring random books such as the story about an Indian who cycled to Europe and the Harry Potter series, so I eventually picked up this one, too. 

The book wasted no time and jumped right into Nick's last day at SIMEX (this was where Futures were traded back then). From there, the story went back to his early days in UK and told us about how he got into Futures and Options (the word LIFFE did bring back memory, haha). Nick was smart and he immediately learnt that money was made in Far East, so we followed him to Jakarta. His success in Indonesia eventually got him the dream job in Singapore. He was originally a back office guy, but he always wanted to be on the trading floor where the actions happened.

As soon as his career began, the infamous 88888 error account was created. Its origin was explained here. In fact, the book did a good job in explaining many Futures related things in layman's terms. But it'd become too complicated for me, especially when Options were involved, haha. Then we'd see how Nick made profit but lost even more due to a series of errors and bad decisions. His solution? Account 88888.

Nick's story was rather unusual in the sense that main character actually went downhill, from hero to zero. He had his chances to stop what he did, but he chose to go on. The world soon lauded him as a successful trader, but yet he couldn't sleep at night. He had lived a life full of greed, lies and deceits and there was no turning back. By the time it ended, he was convicted of fraud and forgery. His losses of £830 million brought down Barings, the second oldest bank in the world. 

All in all, it was quite an exciting and yet torturing book to read. It was unpleasant to see how he lived in constant fear of knowing that he would get caught one day. It's actually quite spectacular that he managed to keep this secret for easily more than two years! The fact that his London office was willing to send millions of pounds on daily basis to fund his trading is also equally stunning. He insisted that it was only possible because the management was stupid, haha.

PS: I couldn't help thinking that Nick was probably the reason why front and back office were segregated. He was the head of both front and back office, a unique managerial position that allowed him to do as he wished.

PPS: I watched both the movie (Rogue Trader, starring Ewan McGregor) and the documentary (Inside Story Special: £830,000,000 and the Fall of the House of Barings) right after I read the book. I was just too excited! The movie was quite faithful to the book and the documentary was pretty funny and insightful.

Rogue trading!
Trading floor photo by EDD.


Ulasan Buku: Rogue Trader

Saya mulai bekerja di dunia Futures and Options pada bulan Februari 2007. Saat itu masa open outcry sudah berakhir. Alhasil saya tidak pernah menyaksikan langsung zaman yang gegap-gempita ini. Kendati begitu, saya sering mendengar cerita-cerita masa lalu dari para pelaku pasar dan saya sungguh terpukau. Ini adalah era yang heboh dimana orang berjual-beli dan menghasilkan banyak uang dengan cara berteriak dan mengirim sinyal tangan di bursa.

Dengan begitu banyak karakter yang menggerakkan pasar naik-turun, berbagai legenda pun bermunculan. Salah satu dari mereka adalah Nick Leeson dan ceritanya sebagai seorang pelaku pasar yang spekulatif dan secara diam-diam melakukan penipuan selama di Singapura. Dalam bahasa Inggris, ada frase bring down the house. Nah, itu yang benar-benar dia lakukan. Ketika dia kabur dari bursa, bank tempat dia bekerja pun bangkrut karena besarnya kerugian yang ditimbulkannya. Inilah alasannya kenapa Nick Leeson menjadi legenda. 

Yang juga tak kalah menarik adalah fakta bahwa semua ini terjadi di Singapura. Peraturan dan regulasi di Singapura itu luar biasa ketat sekarang, jadi sulit dipercaya bahwa peristiwa ini bisa terjadi di sini dulu. Saya mulai rutin membaca lagi sejak COVID-19 dan menjajal aneka topik seperti orang India yang naik sepeda ke Eropa dan juga serial Harry Potter, jadi saya pun membeli yang satu ini. 

Buku ini tidak membuang waktu dan langsung membahas tentang hari terakhir Nick di SIMEX (ini adalah tempat transaksi Futures pada saat itu). Setelah itu adalah kilas balik tentang Nick di Inggris dan bagaimana dia berkecimpung di bidang Futures dan Options (Bursa LIFFE mengingatkan saya pada masa silam, hehe). Nick pada dasarnya memang pintar dan dia segera menyadari bahwa uang itu berlimpah di Asia, jadi dia pun meminta pindah ke Jakarta. Sukses di Indonesia lantas menjadi batu loncatan dalam meraih pekerjaan impian di Singapura. Nick awalnya adalah karyawan bagian back office, tapi dia selalu ingin berada di bursa dimana transaksi terjadi. 

Begitu karirnya dimulai, akun 88888 yang tersohor pun diciptakan. Asal mulanya diceritakan di sini. Buku ini juga menjelaskan berbagai istilah Futures kepada khalayak awam dengan baik. Akan tetapi seiring dengan berjalannya cerita, transaksi yang dia lakukan menjadi sulit dipahami, apalagi saat dia mulai menjual Options, hehe. Kita lantas melihat bagaimana Nick untung banyak namun rugi lebih besar lagi karena kesalahan transaksi dan keputusan yang keliru. Solusinya? Akun 88888.

Cerita Nick agak berbeda dengan buku yang biasa saya baca karena karakter utamanya jatuh terpuruk, dari pahlawan menjadi kriminal. Dia sebenarnya memiliki kesempatan untuk berhenti menggunakan akun 88888 untuk memalsukan pembukuannya, tapi dia memutuskan untuk tetap lanjut. Dunia segera mengakui Nick sebagai sosok yang sukses di bursa, tapi dia tidak bisa tidur nyenyak setiap malam. Hidupnya penuh dengan masalah integritas, keserakahan dan kebohongan, sampai akhirnya tidak ada jalan kembali lagi. Ketika semuanya terbongkar, dia ditangkap karena penipuan dan pemalsuan tanda tangan yang dilakukannya. Kerugiannya mencapai £830 juta (sekitar 15,9 triliun rupiah dengan kurs sekarang) dan membuat Barings, bank kedua tertua di dunia, bangkrut.  

Secara keseluruhan, buku ini sangat menarik, tapi juga agak menyiksa untuk dibaca. Saya pribadi tidak menikmati bagian dimana Nick selalu dirundung ketakutan karena dia tahu bahwa suatu hari nanti dia akan ditangkap. Di satu sisi, harus diakui bahwa kemampuannya dalam menyembunyikan kerugian yang dia timbulkan selama lebih dari dua tahun itu cukup spektakuler. Fakta bahwa kantornya di Inggris bersedia mengirimkan jutaan demi jutaan pound juga sulit dipercaya. Nick bersikukuh bahwa semua ini bisa terjadi karena manajemennya bodoh, haha! 

Catatan kaki #1: saya jadi terpikir bahwa pemisahan tanggung jawab antara bagian trading dan back office ini gara-gara Nick. Saat itu dia merangkap sebagai manajer dari dua departemen ini sehingga leluasa baginya untuk bertindak sesuka hati.

Catatan kaki #2: saya menonton filmnya yang berjudul Rogue Trader dan juga dokumenternya yang berjudul Inside Story Special: £830,000,000 and the Fall of the House of Barings (dua-duanya ada di YouTube) setelah saya membaca bukunya. Filmnya cukup setia mengikuti isi buku dan dokumenternya menjelaskan apa yang terjadi dari sudut pandang Nick dan pimpinannya.

Sunday, August 2, 2020

The Covers

It's been more than three and a half years since I started roadblog101. Yes, on a high very level, it's safe say it's doable mainly because I love writing. If the question is what's so loveable about writing, well, I like pouring out the thoughts because it is such a stress relief. I also love reminiscing the fond memories and put them down in writing. 

Then there's the process of writing itself. The times when I tried to get it right was an inexplicable fun (funny that there's no word to describe it, haha). I just knew it when I nailed it (and it could be something as simple as choosing the words for a sentence) and I love how it felt right. One more thing, and this is just probably me, the blog has been written on a BlackBerry so far. I enjoy the typing experience that keeps me going on and, odd though it may sound, I actually like the clicking sound. The rhythm is so addictive!

Capturing the covers!

But that's like stating the obvious. Today, I'd like to share one lesser known thing that I discovered along the way. The thing with blogging is, it looks dry if it doesn't have any pictures on the blog. There should be at least one. If it was an article about travelling or food, normally I'd have a plenty of photos. But some other topics might not have a relevant picture readily available. That's when I had to come up with one. But since photography is not my forte, more often than not, the results that I like were accidentally created. Here are my all-time favourites and the stories behind the pictures.

The Plastics. 

The first one that I really liked was from a blog post called the Plastics. I knew exactly how I wanted it to look like: the big four, Visa, Master, Amex and Diners would be the foundation whereas the other three would be on top of it. The logos must be visible, but details such as card numbers and names had to be obscured. The problem was I had no idea from which angle the picture should be taken. To make it worst, I was sitting right below the lamp, so it'd always be a shadow regardless how I positioned my mobile phone. Much to my delight, the shadow on the bottom right seemed to blend in seamlessly with the curved shape design on Amex. Loved the final result and it became the cover.

Linda and Siri.

Next one is Linda and Siri. The cover was literally the two of them. One the left was the expressionless Linda (she seldom looked like that, especially for a photo taken at Ajisen Ramen, her favourite restaurant) and on the right was a screenshot of Siri's signature question. It was right on the spot, exactly what I needed for the story that told about how Siri was listening to her while I was being neglectful. Yes, it wasn't my proudest moment, but it did serve as a reminder.

Hotel K.

Of all the pictures that I developed from the scratch, the covers for book reviews were the most difficult ones. I find that there's only so much you can do with books, therefore I love the one from Hotel K the most: it showed the whole book cover, including the author's name, but yet it looked very natural. I normally used BlackBerry, but I remember vividly that the picture was taken using iPhone SE. It was a selfie (and in iPhone I trust), with the iPhone leaning on a laptop screen.

Data Travel Plan.

The one for Data Travel Plan was also one of those happy accidents. Back in the days, I had a habit of keeping the SIM cards that I bought when I travelled. For some strange or probably sentimental reasons, they always went into the plastic bag that I kept inside my passport cover. By the time I wrote the story inspired by Wiwi's question, I remember these cards and scattered them on top of my MacBook. I placed the tray ejector pin as well as my passport there. Once done, I touched it up a bit with Google Snapseed and voila, I got what I needed.

Money.

Google Snapseed is a cool mobile app for photo-editing. I used it again for the subsequent photos. The ones from Money and the Money Game made use of the filters. For the former, I happened to have foreign notes that I kept as mementos. The problem was, after being folded for so long, it wasn't easy to straighten them up, so I brightened up the background instead to mask the curvy look of the notes. As for the latter, I was simply playing with the filters on top of the blurry picture that focused only on the big amount (it was in rupiah, haha) and I liked what I saw.

The Money Game.

I also remember the one from Why You Should Travel Now. I snapped the picture from the top with one hand holding the passports on the floor to keep them as flat as possible, then I imagined how it should look like and cropped it. At the glance, the result appeared like a random stack of passports, but they were carefully laid on top of each other based on certain precision and consideration. My friend Keenan spotted this and asked, "you actually want to show off the Liverpool stamp, right?" He was right!

Why You Should Travel Now. 

Another happy accident would be the one I made for Faith, Dreams and Regrets. I was looking for pictures from my adolescence, 20s, 30s and I selected these three. When I combined them using the Layout app from Instagram and open the result on Snapseed, I noticed that the top half of the picture was rather cool. There was something with the colors of the wall and clouds that I liked. I was contemplating if I should put the words 10s, 20s and 30s on top of each picture, but then decided not to and left it that way.

Faith, Dreams and Regrets. 

Then of course there's this picture of Time magazines. The original idea was to have the picture taken from behind my shoulder and focused on the magazine I was holding, but I wasn't satisfied with the outcome. My wife suggested that perhaps we should do it as if the camera was me staring at the magazine. Still something felt missing. The Time magazine should stand out. That's when I thought of the color pop effect that I always wanted to use. I spent time reading how to do it manually using Snapseed and eventually did it. Loving it!

Time.

So what's the moral of story? Not much, except for me to indulge in the good times I had in the past, haha. I'd always wanted to write something like behind-the-scenes story of roadblog101. Blogging is a complete package of fun. Yes, writing is the main bulk of it, but the creative process of producing the right pictures for the articles could be equally enjoyable, too!


Foto-Foto Di Roadblog101

Tidak terasa sudah lebih dari tiga setengah tahun berlalu semenjak saya memulai roadblog101. Semua ini bisa terjadi karena pada dasarnya saya senang menulis. Jika pertanyaannya adalah apa yang sebenarnya menarik dari hobi menulis ini, secara singkat bisa dijabarkan seperti ini: saya suka menuangkan apa yang ada di benak saya karena lega rasanya. Selain itu saya juga suka mengenang kembali berbagai masa dalam hidup saya dan mengabadikannya dalam bentuk tulisan. 

Perlu ditekankan pula bahwa proses menulis itu menyenangkan. Ya, prosesnya. Ada suatu kepuasan tersendiri dalam menulis (dan adalah sebuah ironi bahwa kesenangan ini tidak bisa diekspresikan dengan kata-kata, haha). Ketika menulis, secara naluri saya tahu ketika saya mengerjakannya dengan benar, bahkan dalam hal-hal sederhana seperti memilih kata yang tepat dalam sebuah kalimat. Satu hal lagi yang unik, dan mungkin ini hanya terjadi pada saya, adalah artikel-artikel yang ditulis dengan BlackBerry. Saya sungguh menikmati pengalaman menulis dengan BlackBerry bukan hanya karena keyboard-nya, tapi juga karena suara irama keyboard-nya. Pokoknya ada yang terasa kurang interaksinya kalau menulis dengan Google Pixel 4 atau MacBook.

Memotret foto!

Apa yang disampaikan di atas mungkin menjelaskan kenapa saya suka menulis, tapi ada lagi satu hal menyenangkan yang mungkin jarang diketahui oleh orang banyak, yang baru saya sendiri sadari setelah mulai blogging beberapa lama. Sebuah artikel itu kurang lengkap kalau tidak disertai foto. Minimal harus ada satu. Jika yang saya kerjakan adalah topik liburan atau makanan, biasanya banyak foto yang tersedia. Namun tidak demikian halnya untuk topik-topik tertentu, jadi saya harus berkreasi menciptakan foto yang sama temanya. Karena fotografi bukanlah spesialisasi saya, terkadang hasil akhir yang saya sukai itu biasanya tercipta karena kebetulan. Berikut ini adalah cerita singkat foto-foto yang saya sukai. 

The Plastics. 

Yang pertama adalah foto dari artikel berjudul the Plastics. Saya tahu pasti apa yang saya mau: Visa, Master, Amex dan Diners berada di bawah sebagai fondasi dan tiga kartu kredit lainnya berada di atas. Logonya mesti terlihat, namun detil seperti angka dan nama harus tersamarkan. Masalahnya adalah, saya tidak tahu dari sudut mana saya harus mengambil foto. Lebih parah lagi, meja kerja saya berada tepat di bawah lampu, jadi di mana pun saya memposisikan handphone saya, akan selalu ada bayangan di hasil foto. Akan tetapi bayangannya ternyata menyatu cukup baik dengan lengkungan di desain kartu Amex. Saya suka hasil akhirnya dan kemudian saya pakai di artikel. 

Linda and Siri.

Yang berikutnya adalah Linda dan Siri. Foto yang saya pakai adalah perpaduan keduanya. Di sisi kiri ada Linda yang memandang kamera tanpa ekspresi (dia jarang terlihat seperti ini, apalagi di foto yang dijepret di Ajisen Ramen, restoran favoritnya) dan di sebelah kanan adalah Siri dengan pertanyaannya yang tepat sasaran. Cocok dengan artikel yang saya tulis tentang Siri yang mendengarkan Linda sementara saya sibuk dengan apa yang saya kerjakan. Ya, ini bukan pengalaman yang membanggakan, tapi foto ini senantiasa mengingatkan bahwa ada kalanya saya lalai sebagai orang tua.

Hotel K.

Dari banyak foto yang saya kembangkan dari berbagai ide yang terpikirkan oleh saya, yang paling sulit itu foto untuk ulasan buku. Tidak banyak kreativitas yang bisa saya hasilkan dari buku, oleh karena itu karya yang menghias artikel Hotel K ini menjadi hasil yang paling memuaskan. Foto ini menampilkan judul dan nama pengarang di sampul buku, tapi memiliki kesan alami. Biasanya saya selalu memotret dengan BlackBerry, namun pada kesempatan ini saya menggunakan iPhone SE. Ini adalah sebuah selfie (dan saya percaya dengan kualitas foto iPhone) dimana iPhone yang saya pakai disandarkan ke layar monitor laptop.

Data Travel Plan.

Selanjutnya adalah foto yang saya pakai di Data Travel Plan. Saat masih era membeli kartu SIM di negara asing yang saya kunjungi, saya memiliki kebiasaan menyimpan kartu yang saya beli. Karena alasan sentimental, kartu-kartu ini selalu saya masukkan ke kantong plastik di belakang sampul paspor saya. Tatkala saya menulis cerita yang terinspirasi oleh pertanyaan Wiwi, saya ingat dengan kartu-kartu ini dan menaburkannya di atas MacBook. Setelah dipotret, saya rapikan lagi dengan Google Snapseed dan jadilah hasil yang saya inginkan. 

Money.

Google Snapseed adalah aplikasi handphone yang praktis dan gampang digunakan untuk mengedit foto. Dua karya untuk artikel Money dan Money Game menggunakan filter dari aplikasi ini. Untuk yang foto Money, saya memiliki beberapa mata uang asing yang saya simpan untuk kenang-kenangan. Masalah dengan uang kertas yang sudah lama dilipat adalah lekukannya. Untuk mengakali hal ini, saya mengatur latar belakangnya seterang mungkin sehingga lekukan di uang kertas tidak terlihat jelas. Untuk foto kedua, saya iseng gonta-ganti filter di foto buram yang hanya fokus pada angka dua ratusan juta (ini dalam rupiah, haha) dan ternyata saya menyukai dua warna yang bertemu di tengah ini.

The Money Game.

Saya juga memiliki kenangan tersendiri dengan foto dari artikel Why You Should Travel Now. Foto ini diambil dari atas dengan satu tangan yang memegang satu sisi paspor supaya terlihat rata hasilnya. Setelah itu, saya membayangkan seperti hasilnya harus terlihat, lalu saya potong sedemikian rupa. Secara sekilas, hasilnya seperti paspor yang ditumpuk secara acak, tapi sebenarnya tiga paspor ini ditumpuk dengan pertimbangan tertentu. Teman saya Keenan menyadari hal ini dan bertanya, "engkau memang mau memamerkan cap paspor Liverpool, bukan?" Jeli juga dia, haha.

Why You Should Travel Now. 

Satu lagi yang tercipta secara tidak sengaja adalah foto untuk artikel Faith, Dreams and Regrets. Saya melihat kembali foto-foto dari usia belasan, 20an, 30an dan saya memilih tiga foto berikut ini. Setelah saya gabungkan dengan aplikasi Layout dari Instagram dan membuka hasilnya di Snapseed, saya lantas menyadari bahwa bagian atas foto terlihat menarik perhatian. Saya suka warna dinding dan langit di foto-foto ini. Tadinya terlintas di benak saya untuk menuliskan angka belasan, 20an dan 30an di atas setiap foto, tapi akhirnya saya batalkan.

Faith, Dreams and Regrets. 

Dan tentu saja saya harus berbicara tentang foto dari artikel tentang majalah Time. Awalnya saya ingin agar foto ini diambil dari belakang bahu saya dan berfokus pada majalah, tapi hasilnya tidak memuaskan. Istri saya lantas mengusulkan bahwa sebaiknya sudut pandang kamera itu diubah seakan-akan saya sendiri yang sedang duduk membaca. Setelah sesi pemotretan selesai, saya rasakan masih ada yang kurang. Harusnya majalah Time terlihat lebih menonjol. Akhirnya saya mencoba efek color pop yang selalu ingin saya gunakan. Saya baca bagaimana caranya membuat efek ini secara manual dengan menggunakan Snapseed dan terciptalah foto di bawah ini.

Time.

Jadi apa sebenarnya moral dari cerita kali ini? Rasanya tidak ada dan saya hanya sekedar berbagi kegembiraan yang saya rasakan saat berkarya, haha. Sudah sejak lama saya ingin menulis tentang latar belakang foto-foto ini. Blogging itu benar-benar satu paket. Ya, memang intinya itu menulis, tapi proses kreatif dalam menciptakan foto-foto yang sesuai cerita juga cukup menyenangkan!