When I looked at my daughter Linda, sometimes I couldn't help thinking that she might have taken things for granted. It wasn't her fault, though. She was born in Singapore and had a privilege to grow up here. Apart from a few short visits to Indonesia, she'd been practically living her entire life in a country that is so modern and advanced. It was only natural that she perceived everything she saw everyday as normal.
Libraries were a good example. It was very common for everyone in Singapore to visit the libraries. It was a nice place to be, so clean and comfortable for reading. Linda wouldn't have any idea that it wasn't the case for his Dad. Pontianak had one public library. I only went to there once and it wasn't exactly a pleasant memory. There was this distinct smell of old books and it was so eerily quiet that it didn't feel right to stay very long in the library. Believe it or not, it was actually quite a relief to be out of it!
After such a harrowing experience, imagine my surprise when my friend Jimmy brought me to the National Library in Bugis for the first time ever. It was year 2006. I was still looking for a job and I had a lot of spare time to kill. When I stepped in to the library, I was amazed by the sight of it. So grand! Not only it was like sea of books, but it actually had various comics, too, from manga to DC and Marvel. I could relax on the couches. If I was thirsty, the water tap was just around the corner. Very convenient. When I wanted to borrow books, I just had to stack them, then the machine would scanned them at one ago and it was done! Returning books were as easy as dropping them at the bookdrop! How modern!
Because I had seen worse, I appreciated a better experience in Singapore. My daughter had nothing to compare with, because she began her life with a much higher standard. Not that it was bad. On the contrary, it was a good thing and I hoped she'd go even further in life than me. It's just, it wouldn't hurt for her to learn how fortunate she already was, that what she had now was an opportunity many didn't have. I guess it's up to me as her Dad to educate her about this life lesson...
Epilogue:
I went to the National Library a few days ago. It's been a while since I went there, so I recalled the good times I had as I walked from Bugis Station. I thought I'd be there for a while, just to relax and read a bit about DC and Marvel superheroes.
Much to my surprise, it wasn't anything remotely like what I used to know. It just felt so unwelcoming and sad. Seats were taped as it was forbidden for visitors to sit. The water tap was closed for safety reason. With only a handful visitors other than myself, the library felt abandoned.
The time of corona changed the way we lived, but I'm quite certain I don't need a new normal in visiting library. As I stepped out, I wished the good old days in spending our time at the library would return...
Perpustakaan
Terkadang saya berpikir bahwa putri saya Linda mungkin tidak pernah menyadari betapa beruntung dirinya karena lahir dan tumbuh besar di Singapura. Setiap tahun istri saya membawanya berlibur ke Indonesia, tapi sepanjang hidupnya dia tinggal di negara yang maju dan modern. Wajar bagi Linda untuk berpikir bahwa apa yang dilihatnya sehari-hari itu adalah hal yang biasa dan lumrah.
Perpustakaan adalah contoh yang bagus. Mengunjungi perpustakaan adalah kebiasaan orang-orang di Singapura. Tempatnya bersih dan nyaman untuk membaca. Saya dan istri suka membawanya menghabiskan waktu di sana. Begitu seringnya Linda ke sana sehingga tidak pernah ia sadari bahwa ayahnya tidak pernah memiliki kesempatan serupa.
Setahu saya, Pontianak hanya memiliki satu perpustakaan umum di Jalan Letjen Sutoyo. Saya hanya pernah berkunjung sekali ke sana. Seingat saya, ini bukanlah pengalaman yang paling berkesan. Ada aroma buku-buku tua yang apek dan entah kenapa kesunyian di perpustakaan terasa mencekam sehingga rasanya tidak tenang untuk berlama-lama di sana. Percaya atau tidak, ada rasa lega setelah saya keluar meninggalkan perpustakaan.
Berbekal pengalaman di atas, bayangkan betapa kagetnya saya ketika teman saya Jimmy membawa saya ke National Library di Bugis untuk pertama kalinya. Saat itu tahun 2006. Saya baru datang mencari kerja di Singapura dan saya memiliki banyak waktu luang. Ketika saya menginjakkan kaki di perpustakaan, saya terpana dengan apa yang saya lihat. Megah sekali! Koleksi bukunya bukan saja berlimpah, tapi juga ada bagian komik, mulai dari manga sampai DC dan Marvel. Saya bisa bersantai di kursi sofa. Kalau haus, saya bisa minum gratis di pojokan yang mengarah ke kamar kecil. Bila saya ingin meminjam buku untuk dibawa pulang, saya cukup menumpuk beberapa buku dan mesin registrasi akan memindainya sekaligus sehingga semua langsung terdata sebagai buku pinjaman. Kalau saya ingin mengembalikan buku, saya cukup memasukkan semuanya ke lubang kecil di dinding yang berlabel bookdrop. Betapa canggih dan praktis!
Karena saya sudah melihat yang lebih kuno dan tidak nyaman, saya jadi menghargai apa yang bagus di Singapura. Putri saya tidak memiliki perbandingan seperti ini karena dia memulai hidupnya dengan standar yang lebih tinggi. Ini bukan hal yang buruk. Justru sebaliknya, ini adalah permulaan yang baik dan saya berharap dia bisa mencapai lebih jauh lagi dalam hidup ini dan melampaui saya. Hanya saja tentunya akan bagus pula baginya untuk menyadari bahwa dia sudah jauh lebih beruntung karena masih begitu banyak yang tidak memiliki kesempatan seperti dia. Saya kira ini adalah salah tugas saya sebagai ayahnya untuk mengajarkan pelajaran hidup ini...
Epilog:
Saya mampir ke National Library beberapa hari lalu. Sudah cukup lama saya tidak ke sana, jadi saya pun melangkah dari Stasiun Bugis dengan harapan tinggi. Saya ingin bersantai sejenak di sana sambil membaca tentang para pahlawan super dari DC dan Marvel.
Di luar dugaan saya, apa yang saya lihat berbeda dengan apa yang ada di benak saya. Perpustakaan kini terasa tidak nyaman dan terlihat menyedihkan. Sofa dan kursi diblokir dengan lakban karena pengunjung tidak diperbolehkan duduk. Tempat minumnya dimatikan demi alasan kesehatan. Pengunjungnya pun hanya segelintir sehingga perpustakaan terasa seperti diabaikan.
Musim korona sungguh mengubah cara hidup kita, namun saya yakin bahwa saya tidak butuh new normal untuk perihal mengunjungi perpustakaan. Saat saya melangkah keluar, saya hanya berharap bahwa pengalaman di perpustakaan seperti dulu kala akan kembali setelah korona usai...