Total Pageviews

Translate

Monday, May 28, 2018

The End Days Protocol

When I first heard of the end days protocol, I was slightly confused. I thought it was like a procedure where the patient would be put to sleep. But after talking to this friend of mine, I got a better idea of what it actually meant. Apparently it was some sort of special care for (pardon the lack of better words here) a dying patient so that he or she could live through his final days before passing on naturally.

My friend's Dad has been ailing since early last year. I'd seen him on his better days but when Wawa and I visited him a while ago, the person I saw that day was not even half the man he used to be. Gone was the well-built figure, replaced by a partially paralyzed man on a wheelchair. He seemed to be shrinking and frail. The speech ability was greatly impaired. I was actually surprised by a sudden movement of his shaky finger pointing, perhaps a minute after I introduced myself. We interpreted his reaction as a sign that he was actually thinking really hard before he remembered who I was. I also couldn't be too sure if he was happy to see us, for his facial expression looked very upset. Half the time I was there, I was hoping that I didn't make the situation any worse. Personally, I find this very sad. Throughout our formative years, he was kind to us and I have nothing but a great deal of respect for the man.

However, his condition isn't improving. It must have gotten worse instead, hence the end days protocol. It isn't going to be easy for the family to decide. I mean, knowing that the person isn't going to recover, what's the point of prolonging his life by inserting all sorts of tubes into his body? Is this what he wants? In his current state, if he gotta carry on living by relying on the feeding tube, then what is he living for? So that the family won't feel guilty?

I remember one night when I was walking back home with my wife. I told her that I'd been a very happy man. In my life, I'd been loved, I had achieved some of my wildest dreams, I got good friends, I got two lovely kids and I'd laughed the loudest. I was never poor for I was rich at heart. That's all a man could ask for.

I also told her that I am never as fit and healthy as my Dad. I always thought that if I could live up to the age of 60, that would have been a blessing. I often joked that I'd rather die before the rest of my friends, because if I had to live a long life with a frail body and no friends, how lonely such life would be!

On a more serious note, of course I would have regrets, especially if I couldn't see my children growing up and having kids of their own, but it's alright. It is for God to decide and His will be done. I'll just live with it. All my life, I've been doing what I can. All my thoughts are written down and shared. That's what counts and my life is not in vain. When my body is no longer functioning one day, no point wasting time in keeping me alive, therefore just let me go onto the next life. I prefer it to be that way.

At the same time, if I were to put myself in my friend's shoes, I'd think again how my Dad was like. I also have an ailing Dad. He'd been diagnosed with cancer since end of 2016. It's disheartening to see him in and out of hospital. Not only his life was disrupted for the past one and a half year, but ours, too, because adjustment had to be made. But my dad is still physically fine. His eyes still show his fighting spirit and he still talks about what he's going to do next. The way I see it, we'll do it together until he says no, or until he is in the state that we know he wouldn't want to have it this way if he could voice out his opinion.

But it's easier said than done. When the time comes, I'm sure it'll be a painful decision that you'll remember for life, because it affects the one you love dearly. But it just has to be done, for death is the only way out of this life. It isn't necessarily a bad thing, really, and the end days protocol allows one to live his final days with dignity...

Grow old with me.
Photo by Endrico Richard.


Protokol Hari-Hari Terakhir

Ketika saya mendengar tentang protokol hari-hari terakhir ini, saya merasa agak bingung. Saya sempat mengira bahwa mungkin itu adalah prosedur untuk menidurkan pasien selamanya dengan cara disuntik. Setelah berbincang dengan teman saya, barulah saya tahu apa ini sebenarnya. Ternyata protokol ini adalah semacam perawatan khusus untuk pasien yang sudah menjelang akhir hayatnya sehingga mereka bisa menghabiskan hari-hari terakhir mereka dengan layak sebelum mereka meninggal dunia dengan tenang. 

Ayah teman saya sudah sakit-sakitan sejak awal tahun lalu. Saya tahu persis bahwa dia begitu bugar dulunya. Akan tetapi saat saya dan Wawa menjenguknya beberapa bulan yang lalu, saya sungguh terperangah melihat perubahan fisiknya. Dia tidak lagi bisa berjalan, melainkan duduk tanpa daya di kursi roda. Separuh badannya pun lumpuh. Tubuhnya mengecil dan tampak ringkih. Kemampuan bicaranya juga terganggu dan tak lagi bisa digunakan. Saya sempat terkejut ketika dia tiba-tiba menunjuk saya dengan tangan gemetar, kira-kira satu menit setelah saya memperkenalkan diri. Kita hanya bisa menduga bahwa dia tiba-tiba teringat siapa saya. Dari ekspresinya yang senantiasa murung, saya tidak tahu apakah dia merasa gembira karena dijenguk. Saya hanya berharap bahwa kehadiran kita tidak memperburuk suasana. Secara pribadi, saya turut bersedih. Saya mengenalnya dari sejak zaman sekolah dan saya tahu dia baik orangnya. 

Semenjak dia sakit, kondisinya tidak kunjung membaik. Justru situasi tampaknya semakin memburuk, maka dari itu protokol hari-hari terakhir pun menjadi pertimbangan. Tidak akan mudah bagi pihak keluarga teman saya untuk memutuskannya. Maksud saya, jika kecil harapan baginya untuk sembuh dan pulih seperti semula, apa gunanya menyambung hidup dengan memasang berbagai selang ke tubuhnya? Apakah ini yang dia inginkan? Dalam kondisinya sekarang ini, jika dia harus tetap hidup dengan mengandalkan selang makanan sementara fisiknya tak lagi berfungsi, lantas orang tua ini hidup untuk apa dan siapa? Apakah dia harus menanggung derita hanya supaya keluarganya merasa tidak bersalah karena sudah berbuat sebisanya? 

Saya jadi teringat suatu malam ketika saya berjalan pulang ke rumah bersama istri saya. Kepadanya saya berkata bahwa saya adalah seorang pria yang bahagia. Dalam hidup ini, saya sudah dicintai, saya berhasil mencapai beberapa hal yang saya impikan, saya memiliki teman-teman yang baik dan juga dua anak yang menjadi buah hati. Saya pun sering tertawa geli, bahkan terbahak-bahak sampai meneteskan air mata. Seberapa banyak pria yang bisa hidup sebahagia ini? 

Saya juga berkata padanya bahwa secara fisik, saya tidak pernah sesehat ayah saya. Jika saya bisa hidup sampai umur 60, saya anggap itu sebagai berkat. Saya sering bercanda bahwa saya lebih baik meninggal lebih dulu dari teman-teman, sebab untuk apa berumur panjang bila badan sudah rapuh dan teman pun tak ada? Pasti akan sangat kesepian. 

Jika saya harus lebih serius tentang hal ini, saya akan jujur bahwa tentu akan ada sedikit penyesalan, terutama jika saya tidak berkesempatan untuk melihat anak-anak tumbuh dewasa dan menjadi kakek dari anak-anak mereka. Akan tetapi itu tidaklah terlalu menjadi masalah. Tuhan yang akan memutuskan dan terjadilah kehendak-Nya. Saya hanya bisa menjalaninya. Sepanjang hidup ini, saya sudah berusaha melakukan apa yang saya bisa. Semua buah pikiran saya senantiasa tertulis dan dibagikan kepada mereka yang mau membaca. Pada akhirnya, semua kenangan dan ide saya itulah yang penting dan tersisa bagi orang lain. Ketika fisik saya tak lagi berguna, saya tidak ingin siapa pun membuang waktu untuk memperpanjang hidup saya. Relakan saya pergi. Suatu hari kelak kita akan berjumpa lagi.  

Pada saat yang sama, saya juga membayangkan seperti apa rasanya berada di posisi teman saya ini. Mungkin saya akan berpikir, seperti apa ayah saya dulunya, ketika dia masih sehat-walafiat. Ayah saya didiagnosa mengidap kanker dan pedih rasanya hati ini saat melihat dia keluar-masuk rumah sakit. Bukan saja kehidupannya yang berubah total selama satu setengah tahun terakhir ini, tetapi kehidupan kita yang berada di sekelilingnya pun mengalami penyesuaian karena sakit yang dideritanya. Namun ayah saya masih sehat fisiknya. Sorot matanya masih bersemangat. Dia pun masih berbicara tentang usaha apa yang akan ia tekuni di masa mendatang. Dan kita akan menemaninya sampai suatu hari nanti, ketika ia lelah dan merasa cukup sampai di sini saja.

Ya, lebih mudah berbicara daripada berbuat. Ketika tiba waktunya untuk membuat keputusan, siapa pun takkan bisa melupakan keputusan yang diambil hari itu, sebab itu menyangkut hidup-mati orang yang kita sayangi. Namun keputusan itu harus diambil, sebab suatu awal harus ada akhirnya. Kematian tidak senantiasa buruk maknanya, dan protokol hari-hari terakhir ini memberikan kesempatan bagi seseorang untuk menjelang akhir hayatnya dengan penuh martabat dan kehormatan... 

Sunday, May 27, 2018

The Travel Buddies (Part 1: Friends)

I once traveled alone to Bali thanks to the accidental holiday that wasn't meant to happen. Because I wasn't the type that could strike up a conversation with strangers naturally, I found myself mumbling all the time. It was like a scene from Tom Hanks' Cast Away! It was unpleasant, so once in a lifetime is surely enough.

Having said that, it's better to have travel buddies. I had gone travelling with all combinations of friends and family. When I said friends, I mean the colleagues, the fellow churchgoers, the housemates and school friends. As for family, there were trips I had with my parents, with only my wife as well as with the whole family, including the in-laws. Most were fun, one was disastrous, but all were memorable.

That trip to Bintan. A memorable one, indeed...

By the way, just in case you thought you just read the word disastrous, you did read it correctly. I never expected that, too. In normal circumstances, I love hanging out with my ex-housemates. But our one and only trip together, with all the children running and screaming constantly, had been the worst I ever had so far. I was unprepared for such a total chaos that we had in Bintan. I've grown wiser since then, careful not to repeat such a trip again, haha.

Other than that, it was fun travelling with friends. I'd traveled with colleagues since 2004. The thing with colleagues is, you only see them in office so you'll have only a little idea about how they are outside office. But that's alright. Just like any other trip, choose those easy-going ones. The last trip I had with my colleagues was to Myanmar and it was fun, partly because they simply went along with the itinerary that I had prepared. It also helped that nobody seemed to object the approach of dividing the expenses equally.

The trip with colleagues to Myanmar.

The trip with fellow churchgoers was also an interesting one. When I went with them to Batam many years ago, I thought it'd be a very holy trip where people were praying all the time. It turned out to be pretty normal, though. Apart from saying grace before meals, it was just like any other holiday. Apparently they also knew how to enjoy life, too!

Then how about housemates? Well, the period where we have housemates is often the time when we are young, making enough money and having all the time in the world just for ourselves! As the exact opposite of colleagues, those housemates spend time with us outside the office until we wish them good night. I had a lot of good times with my housemates, really. Those trips we had, they were spectacular not because of the destinations that we went, but because of the joy and laughter that we had along the way.

The school friends of mine, when we were in Bali.

As for school friends, it's pretty similar with the housemates experience, except for the fact that we came from the same place, shared the same culture and spoke the same lingo. I had the chances to travel with high school friends in my twenties and thirties. When I was with them, I felt like suddenly I was young again and we picked up where we left off. It was very nostalgic.

As you can see from the above, I have this inexplicable habit of not mixing all the people from each category into the same trip, but sometimes crossover did happen. Setia, an ex-housemate, was a good example. He had joined the trip to Medan and Tanjungpinang that I had with Bernard, an ex-colleague of mine. Another case of such hybrid would be Soedjoko. He was actually a vendor of mine when I was in Kalbe, but he ended up becoming a good friend and he participated in a couple of trips that I had with my school friends and ex-housemates. 

Conclusion? With the exception of that nightmarish trip in Bintan, it's a good to have travel buddies. Travelling in a group of four will be perfect, but more members are welcome, provided that they are on the same frequency. That's important, because it'll be difficult to manage if everybody has their own agenda. Next, we'll see how it's like if the travel buddies are our own family members.

Soedjoko (second from right) and the hybrid trip to Bandung.


Teman Seperjalanan (Bagian Pertama: Aneka Teman)

Suatu ketika, karena tidak sengaja membeli tiket, saya akhirnya berlibur ke Bali seorang diri. Berhubung saya bukanlah tipe yang luwes dan bisa spontan mengajak orang asing berbicara, saya jadi sering bergumam sendiri, persis seperti adegan dalam film Cast Away yang dibintangi oleh Tom Hanks. Pengalaman seperti ini rasanya cukup terjadi sekali dalam seumur hidup, hehe.

Dari pengalaman di atas, tidak diragukan lagi bahwa teman seperjalanan itu penting dalam berkelana. Dalam dua puluh tahun terakhir, saya sudah pergi berlibur dengan teman seperjalanan yang terdiri dari berbagai macam kombinasi teman dan keluarga. Teman yang saya maksudkan di sini adalah kolega, teman gereja, teman serumah dan teman sekolah. Kalau bicara tentang keluarga, saya pernah berlibur bersama orang tua saya, istri dan anak-anak serta keluarga besar dari pihak istri. Hampir semuanya menyenangkan, hanya satu yang terasa seperti bencana, namun semuanya menarik untuk dikenang.

Di Bali bersama rekan-rekan Kalbe.

Oh ya, jika anda bingung dengan kata bencana yang saya pakai di sini, anda tidak salah membaca. Saya sendiri tidak pernah membayangkan akan seperti ini jadinya. Saya selalu senang bisa berkumpul lagi dengan mantan teman-teman serumah saya, tapi satu-satunya liburan keluarga bersama yang pernah saya jalani bersama mereka itu membuat saya jera. Liburan di Bintan itu penuh dengan jeritan, teriakan dan tangisan anak-anak yang berlari ke sana kemari sehingga sulit untuk dinikmati. Semenjak itu saya menjadi lebih bijak dan menolak untuk berlibur lagi bersama mereka, haha. 

Selain masalah di atas, liburan bersama teman-teman biasanya tidak mengecewakan. Saya sudah berkelana bersama para teman kantor sejak tahun 2004. Perlu diingat bahwa teman kantor ini adalah mereka yang hanya anda temui di kantor sehingga anda mungkin tidak tahu bagaimana perangai mereka di luar kantor. Namun hendaknya itu tidak menjadi masalah. Justru sebaliknya, mungkin liburan ini justru bisa membuat anda menjadi lebih dekat satu sama lain. Intinya hanya satu, pilihlah mereka yang berpembawaan santai dan tidak cerewet. Liburan terakhir saya bersama rekan-rekan kantor adalah kunjungan ke Myanmar tahun lalu. Petualangan tersebut berkesan bukan hanya karena tempat tujuannya, tetapi juga karena semuanya bersedia mengikuti rencana perjalanan yang telah disusun. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah kesediaan mereka dalam membagi pengeluaran secara adil. Waktu itu kita berlima dan semua ongkos selalu dibagi lima.

Di Batam bersama teman-teman gereja.

Perjalanan bersama teman-teman gereja juga menarik untuk dicatat. Saya pernah ikut dalam kunjungan singkat ke Batam bersama mereka bertahun-tahun yang lalu. Awalnya saya kira bahwa perjalanan ini akan dipenuhi dengan acara doa, tapi ternyata tidak begitu ceritanya. Selain mengucap syukur pas jam makan, aktivitasnya berlangsung cukup normal seperti layaknya liburan orang biasa, hehe. Rupanya anak-anak gereja pun sama caranya dalam menikmati hidup! 

Lantas bagaimana dengan teman-teman serumah? Periode dimana kita memiliki teman-teman serumah biasanya saat kita masih muda, memiliki cukup uang karena kita bekerja dan kita juga memiliki banyak waktu untuk diri kita sendiri. Bertolak belakang dengan rekan kerja, teman serumah ini menghabiskan waktu bersama kita di luar kantor sampai saat kita mengucapkan selamat tidur satu sama lain. Saya memiliki banyak kenangan indah bersama teman-teman serumah saya. Perjalanan bersama mereka terasa menyenangkan bukan semata-mata karena tempat yang kita kunjungi, tetapi lebih cenderung karena tawa dan canda selama dalam perjalanan.

Di Melaka bersama teman-teman serumah.

Akan halnya teman-teman sekolah, mereka ini adalah teman-teman yang berasal dari tempat yang sama, dibesarkan dalam budaya yang sama dan berbicara dalam logat serta istilah yang sama. Saya beruntung karena pernah berlibur bersama teman-teman SMA di usia dua puluhan dan tiga puluhan. Yang unik saat bersama mereka adalah perasaan seperti muda kembali (ini menarik, sebab kita seumuran dan tumbuh bersama), lalu kita pun memulai kembali persahabatan yang terhenti saat kita berpisah. Kesan nostalgia itu begitu terasa.

Seperti yang anda baca di atas, saya memiliki kebiasaan untuk tidak mencampuradukkan teman-teman dari kategori yang berbeda ke dalam liburan yang sama. Meskipun begitu, kadang-kadang persilangan terjadi. Setia, mantan teman serumah, adalah contoh yang bagus. Sejauh ini dia sudah bergabung dalam liburan ke Medan dan Tanjungpinang yang saya adakan bersama Bernard, mantan rekan kerja saya. Contoh lainnya adalah Soedjoko. Dia ini dulunya bos perusahaan yang dipakai oleh Kalbe sewaktu saya bekerja di Jakarta, tapi kita ternyata cocok menjadi sahabat dan dia pun berpartisipasi dalam beberapa perjalanan yang saya adakan bersama teman serumah dan teman sekolah.

Bernard dan Setia di Medan.

Kesimpulannya? Kecuali liburan di Bintan yang bisa digolongkan sebagai mimpi buruk, keberadaan teman seperjalanan tidak bisa diabaikan perannya. Liburan berempat adalah format yang paling ideal, namun lebih ramai pun tak apa, asalkan semua peserta sama frekuensinya. Ini penting untuk diperhatikan, sebab kalau semua ada maunya, pasti akan susah diatur. Di edisi berikutnya, kita akan lihat seperti apa rasanya jika berlibur bersama para anggota keluarga...

Friday, May 25, 2018

Two Sides Of Heart

Hai, salam untuk pembaca yang budiman, ini tulisan ke-2 saya setelah the True Memories, hanya untuk meramaikan blog saja, hahaha.

Sebelum saya memulainya, saya ingin mengatakan bahwa ini hanya sebagian kecil dari pemikiran saya. Anda bisa menilai ini logis atau tidak logis, itu hak masing-masing pembaca, sebab setiap pribadi mempunyai pola pikir dan pandangan yang berbeda. Ini wajar, karena kita ini hidup dan tumbuh di lingkungan keluarga dan lingkungan sekitar yang berbeda sehingga perjalanan hidup pun berbeda. Jadi jangan terlalu nge-judge, ya. 

Baik, mari kita mulai. Hati, apa itu hati? Hati secara biologi adalah salah satu bagian dari organ dalam tubuh yang fungsinya menetralisir racun dan lain-lain. Oh, maaf, yang akan saya tulis ini hati yang condong ke perasaan, hahaha.

Manusia penuh rasa, bukan? Berperasaan, namun dari segala bentuk maupun wujud dari perasaan itu sendiri, pada akhirnya hanya ada dua perasaan, yakni baik dan buruk. Setujukah anda? Baik, siapa sekiranya yang tidak pernah menggunakan dan menunjukkan perasaannya dalam hidup? Hei, anda bukan hanya menggunakan dan menunjukkannya, anda juga kerap kali mencoba menyimpulkan, bahkan sering mencoba membaca perasaan orang lain. Iya, kan? Hal itu sangat wajar, sebab sepanjang hidup anda, perasaan baik dan buruk selalu menghiasi setiap situasi, bahkan sesaat sebelum anda benar-benar tertidur dan juga saat anda bermimpi.

Lantas apa permasalahannya? Permasalahannya adalah manusia sering salah dalam menggunakan perasaannya, sering salah menyimpulkan perasaannya dan juga perasaan orang lain. Bila terlalu terbawa perasaan, anda akan dikategorikan labil. Terlalu membawa perasaan ,anda akan dikategorikan egois. Tidak berperasaan anda akan dikategorikan jahat. Bila perasaan berubah-ubah, anda akan dikategorikan plin-plan dan hilang perasaan anda akan dikategorikan tidak bersimpati. Wah, sangat menakutkan.

Jadi seperti apa seharusnya anda memakai perasaan anda? Bagaimana menunjukkannya? Bagaimana menempatkannya? Anda harusnya lebih tahu karena andalah pemiliknya. Jika anda beperan sebagai sosok protagonis di dalam hidup ini, maka ke sanalah perasaan anda akan dipergunakan. Demikian juga sebaliknya.

Semudah itukah? Apa kita harus menggali lebih dalam lagi? Langkah apa yang harus diambil agar tidak dikategorikan sebagai sosok yang antagonis? Kekhawatiran akan muncul seketika jika anda terlalu naif dan terlalu memikirkan perasaan anda dan orang lain secara berlebihan. Saran saya, hiduplah dengan perasaan yang bebas, layaknya anda masih sangat muda. Saya yakin saat-saat itu tidak ada perasaan anda yang bisa dikatakan buruk. Anda terlalu bahagia untuk menjadi buruk. Anda bahkan tidak sempat untuk menjadikannya buruk.

Tapi semudah itukah? Hei, penulis, anda tidak tahu bagaimana saya menjalani hidup! Hei, penulis, anda tahu sudah berapa usiaku? Hei, penulis, anda tidak tahu dan tidak kenal siapa saya. Hehehe, itu betul, itu semuanya betul, saya tidak tahu apa-apa soal kalian, saya mungkin bukan keluarga, teman atau pun bos kalian, tapi bukankah sedari awal saya sudah menuliskannya tadi? Semuanya... pada akhirnya, hanya akan terbentuk dua sisi hati/perasaan, yakni baik dan buruk. Saya juga sudah menuliskan bahwa hanya anda yang tahu karena andalah pemilik daripada hati/perasaan itu. Kenalilah diri anda. Saya hanya menyarankan agar anda lebih bisa membawa perasaan anda ke arah yang lebih baik, sebab segumpal perasaan yang buruk saja bisa berakibat fatal. Saya yakin sebagian dari anda sudah pernah mengalaminya.

Di sini saya hanya ingin mengingatkan kepada para pembaca yang budiman, untuk tidak melupakan cara mengendalikan perasaan anda. Anda hidup di dunia nyata, dalam kehidupan masyarakat yang super kompleks dengan sejuta permasalahan di dalamnya. Sejenak saja anda sanggup mengendalikan perasaan anda dan sejenak saja anda sempat memikirkan perasaan anda dan perasaan orang lain, siapa tahu hal itu bisa menyelamatkan hidup anda dan orang lain? Siapa tahu itu bisa merubah hidup anda dan orang lain? Hanya ada dua sisi saja. Hanya ada dua pilihan saja. Kemampuan anda teruji dan terukur di sini. Sisi manakah yang akan anda pilih?

Memang jempolan.

Wednesday, May 23, 2018

The Unforgettable New Zealand (Part 2): From Queenstown To Lake Wanaka

We arrived in Queenstown when the sun went down. The bus dropped us at our hotel, Mantra Marina. We just realised that the hotel location was actually in Frankton, a 20-minute drive from Queenstown. Luckily the bus stop was very near to the hotel, so we did not have any difficulty to go to Queenstown. The one bed room apartment was very nice and clean but the most wonderful thing of all was the view behind our hotel. When we woke up the next morning and opened the glass door behind our room,  we said, "wow!!"

The Remarkable Mountain. 
                                     
Lake Wakatipu.
                                       
Mantra Marina, our hotel.  

It was a bright sunny day. The combination of the clear blue sky, snowy Remarkable Mountain, serene blue lake and green grass created a breathtaking view. We couldn't get enough of it. After spending a couple of minutes just to sit down, take a deep breath and enjoy the scenery, we started taking a lot of pictures. New Zealand is indeed "a heaven for nature lover" and Queenstown is one of the most beautiful towns in New Zealand.

Located in the shore of crystal clear Lake Wakatipu and surrounded by majestic Southern Alps mountains, Queenstown is really stunning. No wonder it becomes the world's famous destination and a must-visit place if you come to New Zealand. Queenstown also offers a wide variety of outdoor activities such as kayaking, hiking, biking, skiing, scenic flights and more adventurous activities that'll pump your adrenaline like skydiving, bungee jumping and jet boating. Both of us were not adventurous enough to try skydiving or bungee jumping. Just the thought of it already made my knees shaking. We walked around the city instead.

Queenstown, just like Kuta in Bali, is a tourist city. The city is small but vibrant. We found a lot of tourists from many countries even though it was not a peak season. We explored the city on foot, bought our lunch at one of the cafes and then booked a scenic flight trip to Remarkable Mountain and a day trip to Milford Sound for the following day.

Queenstown.

That afternoon we took the helicopter flight and flew from Queenstown to Remarkable Mountain range. As we flew higher we saw an incredible panoramic view of Queenstown landscape and the blue water of Lake Wakatipu surrounded by snowy Southern Alps. It was amazing! One of the most beautiful views I'd ever seen in my life. The helicopter landed in the mountaintop to give us opportunity to take picture. Only five minutes were given and we tried to take pictures as many as possible amidst the blowing wind from the spinning propeller!

The Remarkable Mountain, really remarkable! 

Queenstown viewed from above.

We took the shorter flight due to limited budget. It was only 20 minutes in total, including 5 minutes landing time. If you have more budget, it will be more satisfying to take longer flight such as the 30-minute Cecil Peak Snow Landing, the 50-minute Glacier Landing Flight or the 90-minute Milford & Alps flight. The last one sounds amazing, don't you think so? Can you imagine flying over the fjord, waterfalls, mountain and lake? It'll be awesome!

We spent the rest of the day beside Lake Wakatipu. Taking pictures, watching the ducks and seagulls and enjoying the scenery. We also walked around the garden beside the lake and saw many pretty flowers blooming. The atmosphere was so peaceful. I wished to stay as long as possible but slowly the sun went down and the weather was getting colder, so we went back to our hotel. 

Me and my best friend playing at the lakeside.

The shore of Lake Wakatipu, Queenstown.

The next day early morning we received the call from our tour agent. The trip to Milford Sound was cancelled because the road was closed due to heavy snow last night. We were very disappointed. Milford Sound was one of our main agendas. We definitely didn't want to miss the opportunity to see the famous fjord, waterfalls and glacier. But what could we do? My best friend put her hand on my shoulder and said, "it's ok. Perhaps it means we have to visit NZ again later in the future." Yeah, I think she was right. I want to go back to this country at least once again in my lifetime and show my beloved family the most beautiful place on earth. Moving from one place to another place with caravan will be a great experience for us.

We finally visited Arrowtown as the replacement itinerary. Arrowtown is a historic gold mining town, rich in heritage and is now one of tourist destinations with world class food and beverage, shopping and attraction. We took a public bus from Queenstown and reached Arrowtown 20 minutes later. The first place we visited was the Lake District Museum. We learnt that back then in the mid to late 1800s, thousand of miners came to the Arrow river to find the gold. We saw the gold mining's tools and artefacts and some pictures that showed the chronicle of this historical city. Despite the small size, the museum was complete and attractive.  

We strolled along the Arrowtown main road and had our lunch in one of the restaurants. We bought a delicious fish and chips before we continued our sightseeing. There were post office, boutiques, art studio, cafe, restaurant and bar along the road. In one of the corner, we found this pretty house that also happened to be a restaurant.

A pretty restaurant in Arrowtown.
                                         
Lake District Museum & Gallery.

Arrowtown is renowned for its stunning autumn colour with red and orange colours on the hillside and the surrounding. But when we were there, we didn't see it. Perhaps it was not the season. We spent few more hours for sightseeing in Arrowtown before heading back to Queenstown. If you stay in Arrow town, you can go for hiking and biking to enjoy the scenery. 

We said goodbye to Queenstown on the next day. We continued our journey to West Coast by car. We were so excited. Travelling in our own (rented) vehicle was the best way to explore New Zealand. We could stop anytime and anywhere we wanted to. We rent a car from Apex car rental in Queenstown and returned the car in Hokitika before we continued our journey by train. Very practical. My friend and me took turn in driving, since both of us drove in Jakarta. Driving in New Zealand was much easier than driving in Jakarta's congested roads. The road in New Zealand was so empty. The only problem was we weren't familiar with the direction, but GPS was a great help! 

Basically there are two driving routes from Queenstown to Wanaka; via Crown Range Road and via Cromwell. The shortest and more scenic route is via Crown Range Road but it is also more challenging because it goes to a steep and windy route that climbs up to Crown Range Mountains. We chose the safer route, via Cromwell, where we passed by vineyards and lakes. We frequently stopped along the way to enjoy the scenery and took pictures. After two hours of driving plus stopover, we finally reached Lake Wanaka, a beautiful village with the alpine backdrop of Mount Aspiring National Park, but we'll save that for the next episode: Lake Wanaka and the journey to the West. Stay tuned! 

Lake Hawea.

Lake Wanaka.

Saturday, May 19, 2018

The Home-Cooked Food

For those husbands out there, do you remember those days when you weren't married and you got to decide what to have for your dinner? You could pamper yourself with all sorts of food. You even got the luxury of time and went for supper with friends. Wasn't that fun?

Well, yes and no. For me, there were nights when I was wondering what to eat. There'd be times when I walked from one end to another at the hawker centre, browsing the food stalls, and still I had no idea what I was going to have. I don't know if you'll believe it or not, but I'm actually glad that period of my life is over.

My friend Susanti from Ketapang always said that her husband loves eating at home. I have the same habit, too. Home-cooked food is one of the best things in marriage life. I'd been living alone long enough that I reached the point where buying your own dinner wasn't fun anymore. On the other hand, coming home to find a freshly prepared dinner served on our dining table was a very rejuvenating experience. It's like being rewarded after a long day at work. I feel loved, really.

That colorful home-cooked dinner!

I remember another friend, Wiwi, who always asked for a suggestion about what to cook for the day. In hindsight, it's like we husbands are outsourcing to the wives the headache of deciding what to eat, haha. That's the reason why I never complained about the food at home, regardless how simple it was. On top of that, my wife is a good cook and she knows what I love, so I'm good.

It does help that I'm not a picky eater, too, because it could be a problem due to a very different background of ours. I was brought up by a Mum that always cooked soup and poured it to the rice, but my wife is fond of fried stuff and thanks to her years of growing up with Sundanese food, she's capable of having her meal dry and spicy. But we've learnt to compromise throughout out the years that we're together. I grow to like the fritters, too. Then how's our dinner like? There'll be fried stuff such as perkedel, fried stuffed tofu or fried chicken, then some other dishes that are not entirely dry, like fried kangkong.

Fried kangkong!

By the way, while we're at it, kangkong is my favorite vegetable. Not only it tastes good, but it's also one of the meals that is as cheap as it can be when it is cooked at home (it'll cost you easily SGD 7 per plate outside). My wife sure knows how I like it the most, so a splendid time is guaranteed for all! And, oh, I'm not kidding when I said my wife is the best cook for our family. For every few days of decent looking dishes such as fried bean sprout with tofu, there'll be one day of extravaganza such as soto and other Indonesian cuisines, too! We even got our friend Fendy to join in the feast as well, albeit once in a blue moon, haha.

So how should I end this? Ah, blessed are the wives that cook, for their husbands will have another good reason to be home early. In a fast-paced modern life that is full of distractions (and I'm a BlackBerry addict, guilty as charged), a good dinner time is scarce and therefore greatly appreciated!

Chicken soto. Delicious!


Masakan Di Rumah

Para suami, masih ingatkah kalian dengan masa-masa sebelum menikah dan makan di luar setiap malam? Di kala itu, kita bisa memanjakan diri dengan beraneka makanan yang kita sukai. Kita bahkan punya waktu untuk makan sekali lagi bersama teman-teman saat menjelang tengah malam. Tidakkah itu mengasyikkan? 

Hmm, jawabannya ya dan tidak. Terkadang ada malam dimana saya membayangkan apa yang musti saya makan. Tidak jarang pula saya mondar-mandir di pujasera, berjalan dari satu kios ke kios lain, namun tetap saja tidak memiliki ide untuk santap malam. Saya tidak tahu apakah anda percaya atau tidak, tapi saya sesungguh bahwa masa-masa itu sudah berakhir. 

Teman saya Susanti yang tinggal di Ketapang senantiasa berkata bahwa suaminya suka makan di rumah. Saya percaya dengan pernyataannya, sebab saya pun begitu. Masakan rumah adalah salah satu berkah bagi mereka yang sudah menikah. Saya sudah bertahun-tahun lamanya tinggal sendiri, mulai dari sejak di Jakarta sampai Singapura, dan saya sudah sampai pada ambang batas dimana membeli makan malam sendiri tidak lagi mengasyikkan. Perasaan saat pulang ke rumah dan menemukan masakan yang masih hangat tersaji di meja sangatlah berharga dan menyejukkan hati. Jerih-payah selama di kantor rasanya sepadan dan tidak sia-sia. Secara pribadi, saya merasa disayangi karena telah disediakan masakan oleh istri.

Gorengan: tahu isi dan perkedel.

Saya ingat dengan teman lain yang bernama Wiwi. Dia sering meminta saran, apa yang harus ia masak hari ini. Kalau saya telaah kembali, para suami tak ubahnya seperti menyerahkan persoalan pelik yang diembannya saat bujangan kepada istri, haha. Inilah alasannya kenapa saya tidak pernah mengeluh tentang masakan di rumah, meskipun kadang hanya sesederhana telur dan sayur. Istri saya pintar memasak dan dia tahu apa yang saya sukai, jadi tidak pernah masalah bagi saya. 

Di satu sisi, saya juga tidak rewal soal makanan. Kalau saja saya pemilih, kita bisa menghadapi masalah besar karena bedanya latar belakang kita. Saya dibesarkan oleh seorang Ibu yang selalu memasak sup dan mencampurkannya dengan nasi, sedangkan istri saya menyukai gorengan dan karena dia tumbuh dalam lingkungan Sunda, dia terbiasa dengan makanan yang kering dan pedas. Setelah bertahun-tahun bersama, saya rasa kita menyesuaikan diri dengan baik. Saya juga menyukai gorengan sekarang dan makan malam kita biasanya terdiri dari perkedel, tahu isi goreng atau ayam goreng dan juga menu yang agak basah seperti tumis kangkung.

Tumis toge dan tahu.

Oh ya, bicara tentang sayur yang satu ini, saya paling menyukai kangkung. Bukan saja enak rasanya, tetapi juga murah meriah jikalau dimasak di rumah (kalau makan di luar, sepiring kangkung harganya berkisar Rp. 70.000). Dan saya tidak sedang bercanda sewaktu saya berkata bahwa istri saya pintar memasak. Setelah beberapa hari menyajikan menu sederhana seperti tumis toge dan tahu, biasanya ada selingan istimewa seperti soto dan makanan Indonesia lainnya! Kita bahkan beberapa kali menjamu teman kita Fendy, pencinta masakan Indonesia, walaupun sudah cukup lama kita tidak mengundangnya, haha. 

Jadi bagaimana saya harus mengakhiri tulisan ini? Ah, berbahagialah para ibu yang memasak, sebab suami mereka memiliki satu alasan lagi untuk pulang ke rumah lebih awal. Di dalam kehidupan di negara maju yang cepat dan penuh dengan godaan (perlu saya akui bahwa saya adalah pecandu BlackBerry yang susah untuk berhenti mengecek telepon), waktu makan malam adalah kesempatan langka yang paling saya nikmati!

Friday, May 18, 2018

The Check-In App

Have you ever heard of an app called Swarm? It was previously called Foursquare before it became a separate app by itself. I first noticed it when I saw the icon on my BlackBerry few years ago. It came pre-installed, so I gave it a try. Apparently it was an app for us to check-in. 

Swarm on Android!

I wasn't sure what to with it, but when I did my first check-in, I noticed that I could earn coins. Further observation showed that my friend Chee Seng was also using the same app. He was very active in checking in and at the beginning, he was always on top of the leaderboard. I suddenly felt competitive and had been checking in since then! That's how I got into this. I soon learnt that I could earn more coins by adding photos and stickers as well as tagging other friends (usually my wife, since she joined the app just to see the pictures I posted when we were in Paris) and sharing the post on Facebook.

The leaderboard! I'm leading this week! 

Apart from that, multiple check-ins that we did at one place might also dethrone somebody else whom happened to be the so-called Mayor of the place. As an example, there's an eatery called That Coffee Place nearby my house. I dethroned another app user after my 21st check-in and I've been the undisputed Mayor of That Coffee Place since then, haha.

The day I became the Mayor at That Coffee Place!

I started checking in since July 2014 and, as human is a creature of habits, I eventually developed a check-in pattern. More often than not, the check-in was about food, therefore it came with a photo and the name of the food. Now this is where Swarm gets useful. It can be used as a catalogue of places that I'd been before. I can always refer to Swarm for details such as what the name of the place is, including its address. For instance, there's  this Chinese restaurant that I always like, but I had hard time remembering the name. However, I know where it's roughly located, so what I have to do is to browse it on the map and I can find it straightaway!

That restaurant that I can't remember!

Lastly, I also like Swarm for a sentimental reason. I am lucky that I've been travelling quite a fair bit and, since I discovered Swarm, the app has helped me in recording my journey: the date, the place and the photo. All the check-ins were lined up nicely on map, giving me a better perspective of places I'd been. I can see the check-ins on the world map and zoom into particular details if required. Love this feature, really!

The check-ins all around the world!


Aplikasi Check-In

Apakah anda pernah mendengar tentang aplikasi bernama Swarm? Sebelum dipisah menjadi aplikasi sendiri, dulu namanya Foursquare. Saya pertama melihatnya di BlackBerry saya beberapa tahun lalu. Aplikasi ini sudah terpasang di telepon dan siap dipakai, jadi saya pun mencobanya. Ternyata ini adalah sebuah aplikasi untuk check-in lokasi. 

Swarm alias Foursquare di BlackBerry Passport. 

Awalnya saya tidak tahu apa gunanya, namun saya perhatikan bahwa setiap kali check-in ada hadiah koin. Setelah saya amati lebih lanjut, teman saya Chee Seng juga menggunakan aplikasi ini. Dia sangat aktif check-in dan berada di posisi nomor satu dalam pengumpulan koin. Saya lantas tergerak untuk berkompetisi dengannya dan kebiasaan ini berlanjut sampai sekarang! Saya juga menemukan bahwa saya bisa mendapatkan lebih banyak koin lagi dalam sekali check-in dengan cara menambahkan foto dan stiker serta menandai keikutsertaan teman lain (biasanya istri saya, sejak dia menggunakan aplikasi ini untuk melihat foto-foto yang saya pos sewaktu kita berada di Paris) dan membagikannya lewat Facebook. 

Check-in pertama, nasi bebek di Bugis, 18 Juli 2014!

Selain itu, check-in berulang kali di tempat yang sama mungkin menurunkan orang lain dari tahtanya sebagai walikota tempat tersebut. Sebagai contoh, di dekat rumah saya ada tempat makan bernama That Coffee Place. Saya berhasil mengambil alih tahta orang lain setelah saya check-in untuk ke-21 kalinya di sana dan sejak itu saya menjadi walikota That Coffee Place, haha.

Jadi walikota di That Coffee Place dan tempat lainnya!

Saya mulai check-in sejak bulan July 2014 dan lambat-laun memiliki pola check-in tersendiri. Karena saya sering check-in tentang makanan, biasanya terlampir sebuah foto dan nama makanan tersebut. Dari sinilah Swarm mulai terasa kegunaannya. Aplikasi ini bisa digunakan sebagai katalog dari tempat-tempat yang pernah saya kunjungi. Swarm menjadi rujukan saya bilamana saya ingin mencari tahu apa nama tempat tersebut dan alamatnya. Misalnya ada sebuah restoran Cina yang saya suka, tapi sukar diingat namanya. Karena saya tahu lokasinya di Chinatown, saya hanya perlu mencarinya di peta dan menemukan detil yang saya perlukan. 

Restoran berikut alamatnya! 

Terakhir, saya suka Swarm karena alasan sentimentil. Saya beruntung karena sudah pernah berkunjung ke beberapa negara dan, sejak saya menggunakan Swarm, saya bisa merekam jejak saya, mulai dari tanggal, tempat dan foto. Semua check-in yang pernah saya lakukan terdata rapi di peta, memberikan saya sebuah sudut pandang tentang tempat-tempat yang sudah saya kunjungi. Oh, saya suka aplikasi ini! 

Tempat-tempat check-in di Asia sejak 2014.

Wednesday, May 16, 2018

Hati-Hati

Sesuai dengan judulnya, tulisan ini saya tulis sesuai opini saya dan pengalaman krisis 1998 dan 2008 yang membuat sebagian orang Indo bangkrut dan kesulitan ekonomi. Sebaiknya pegang cash atau melakukan investasi yang likuiditas.

Berikut hal-hal yang menurut saya akan menyebabkan krisis:
  1. Dengan dirilisnya laporan ekspor-impor oleh Badan Pusat Statistik (BPS), per 3 bulan ini neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit sebesar USD 1,6 miliar, jauh dari prediksi yang surplus USD 700.
  2. Pelemahan rupiah terhadap sebagian besar mata uang dunia terutama USD yang mencapai 14 ribu.
  3. Keluarnya dana asing di pasar modal Indonesia (karena laporan keuangan Amerika Serikat bagus dan investor lebih trust Amerika Serikat daripada indonesia.
  4. Turunnya IHSG karena Asing melakukan pelepasan saham-saham di indonesia.
  5. Defisit anggaran.
  6. Aksi wait and see investor.
  7. Subsidi BBM yang membengkak karena harga minyak dunia naik dan nilai tukar rupiah yang melemah.
Apa yang bisa kita lakukan, Bang?
  1. Pegang cash, minimal bisa topang pengeluaran 3 bulanan.
  2. Investasi ke sesuatu yang tinggi likuiditasnya (alias gampang dijadikan uang).
  3. Belanja dan pakai produk lokal.
  4. Kalau punya uang lebih, investasi ke pasar saham Indonesia (laporan perusahaan Indonesia rata-rata untung tetapi turun karena Asing melakukan aksi jual).
  5. Berhemat pangkal kaya.
  6. Jangan stres.
Tulisan ini merupakan opini pribadi dan saya cukup yakin dengan pemerintahan era Jokowi yang berkerja keras untuk mengurus negeri ini, tetapi mereka membutuhkan dukungan rakyat.




Saturday, May 12, 2018

The Happy Hours

Drinking is never part of Pontianak's culture. At least it wasn't back then, when I was still living there. I was brought up with an understanding that drinking was closely associated with bad habits. I remember drinking only once there when I was in college. There was this cafeteria in front of Ligo Mitra supermarket and there I was, I think with Hartono and may be Ardian, too, sharing a bottle of Bintang beer. We drank it with ice and it was a horrible experience.

Many years later, when I came to Singapore, a friend of mine, Endrico, introduced me to Hoegaarden. The Belgian beer was good and I grew to like it. Sensing that he got another drinking buddy, Endrico started encouraging me to hang out with him and his fellow debt collectors in the pub. We went to this place called Addicted in Bugis and... that seemed to be the first and last time we ever went there, haha. I was new in town and I felt kind of guilty that I went drinking when the parting message from my parents advised me to do the exact opposite.

The Gratitude members + two guests.
From left: Jesslyn, Bernard, Isaac, Anthony, Jerold and Tony.

Then I joined a local broking firm and the job often ended with drinking, be it with customers, colleagues (including my best Singaporean friend, Bernard) and, later on, my boss (oh yeah, the man drank more often than having his dinner). I slowly learnt that drinking is part of the culture here, especially in the financial industry. Furthermore, it was actually quite fun and I enjoyed it.

Within our small circle, what was started as happy hours between me and Bernard was developed into a proper dinner and hang out. We called it Gratitude and more often than not, we would meet at the New Harbour Cafe, ordering appetisers such as Hainanese roast pork, beef cubes and escargots before we had the main dish. For the drinks, it was Erdinger for Bernard, Jerold and I while Isaac would be having Guinness. We took turn in hosting the event and it lasted seven years before we ended it recently.

The legendary Hainanese roast pork.

Now, before I explain why I like drinking as part of the hang out activity, I'll share with you the categories that I often use for the alcohols out there. First, there is beer, ranging from Bintang, Tiger, Heineken, Asahi, Budweiser, Kronenbourg 1664 and many more. Then there is wine, the white and the red. I dislike both as wine usually has aftertaste. The last time I had it with Eday, I woke up inside toilet after the bouncer banged the door during the closing time. The last one is hard liquor such as whisky. Some people like it neat, but I prefer it to be diluted with ice and soda, otherwise it'll be very hard to drink. Furthermore, if you have it too much, it may cause hangover when you wake up the next day.

From the description above, I guess you can tell that I love beer the most. It's refreshing from the moment you have the first sip. You'll feel rejuvenated after a long day at work, you'll feel refreshed in a hot and humid evening and you'll feel warm in a cold weather. With beer, it just works. But that's just the beginning. I also like the feeling of getting high when the alcohol kicks in. I always think that our brain has a way to restrain our thoughts, therefore I find alcohol very liberating. It's like you finally overcome the state of consciousness and think further than your brain will normally allow.

The last Gratitude.

In my case, I enjoy the dreamlike, nonsensical conversation. This is why drinking and hanging out with old friends come hand-in-hand. We could talk about everything under the sun. Some are purely for the sake of laughing out loud, others can actually be something that you'll be seriously thinking about on the following day.

Having said that, is drinking a good habit and is there anything that I don't like about drinking? I can't really say if it's good habit or good for health, but I think it's okay if you drink moderately. I don't drink everyday and I don't drink at home, but once in a while, I do drink after work. As for what I don't like about drinking, I don't enjoy bottoms up. That is taxing!

Being forced to "bottoms up" at Isaac's wedding.


Saat-Saat Gembira

Menikmati alkohol bukanlah bagian dari budaya Pontianak, paling tidak saat saya masih tinggal di sana. Saya dibesarkan dengan pengertian bahwa meminum minuman keras itu adalah sebuah kebiasaan buruk. Saya ingat bahwa saya pernah mencoba satu kali, sewaktu saya duduk di bangku kuliah. Ada sebuah kafetaria di depan supermarket Ligo Mitra dan di sanalah saya, Hartono dan Ardian berbagi sebotol Bir Bintang. Kita minum dengan gelas yang dipenuhi es batu. Sungguh suatu pengalaman yang buruk karena tidak nikmat rasanya!

Beberapa tahun kemudian, ketika saya datang ke Singapura, teman saya Endrico memperkenalkan saya pada Hoegaarden. Bir dari Belgia ini terasa mantap dan saya pun mulai menyukainya. Akan halnya Endrico, dia merasa memiliki teman baru untuk menikmati alkohol, jadi dia mulai mengajak saya untuk turut bergabung bersama rekan-rekan kantornya untuk minum di pub. Suatu ketika saya ikut dengannya ke sebuah tempat yang bernama Addicted (yang artinya kecanduan) di kawasan Bugis dan... sepertinya itu pertama dan terakhir kalinya kita ke sana, haha. Saat itu saya masih tergolong baru di Singapura dan ada perasaan bersalah ketika pergi minum, terutama karena salah satu pesan orang tua saya saat merestui saya ke Singapura adalah jauhilah alkohol.

Saat merayakan ulang tahun Ardian yang ke-36.
Dari kiri: Ardian, Rudy, Endrico dan Anthony.

Setelah itu, saya bergabung dengan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jual-beli kontrak derivatif dan seringkali pekerjaan saya berakhir dengan minum-minum bersama klien, rekan kerja (termasuk teman baik saya, Bernard) dan, beberapa waktu kemudian, direktur perusahaan saya (oh ya, bos yang satu ini lebih sering minum dibandingkan makan malam). Secara perlahan saya sadari bahwa menikmati minuman beralkohol adalah bagian dari kehidupan di Singapura, apalagi bagi mereka yang bergerak di bidang industri finansial. Di samping itu, saya sendiri cukup menikmatinya, jadi tidak ada alasan untuk menolak, haha. 

Di dalam lingkup pergaulan kantor, apa yang bermula dari kumpul-kumpul pada saat jam gembira (biasanya beli satu gratis satu gelas bir pada jam gembira ini) pun berkembang menjadi santap malam dan minum yang kemudian kita beri nama Gratitude. Biasanya kita mengadakan acara ini di New Harbour Cafe. Rutinitas ini dimulai dari hidangan pembuka seperti babi bakar Hainan, sapi kubus dan bekicot. Setelah itu barulah masing-masing memesan menu utama. Untuk minumnya, Bernard, saya dan Jerold akan menenggak Erdinger sementara Isaac memilih Guinness yang hitam pekat. Kita bergantian menjadi tuan rumah dari acara ini selama tujuh tahun lamanya sebelum kita sudahi baru-baru ini.

Menjelang Natal di Orchard.
Dari kiri: Rudy, Anthony, Heriyanto dan Endrico.

Oh ya, sebelum saya jelaskan mengapa saya menyukai keberadaan alkohol sebagai bagian dari acara kumpul bersama, saya akan coba jelaskan tipe-tipe alkohol berdasarkan kategori yang sering saya pakai. Pertama, ada yang namanya bir, contohnya Bintang, Tiger, Heineken, Asahi, Budweiser, Kronenbourg 1664 dan masih banyak lagi. Kemudian ada yang namanya anggur, baik yang merah maupun putih. Saya tidak suka anggur karena ada rasa yang tersisa di lidah setelah anggurnya diminum. Terakhir kali saya minum anggur bersama Eday bertahun-tahun silam, saya tertidur di toilet St. James dan baru terbangun setelah karyawannya menggedor-gedor pintu toilet setelah tempatnya tutup. Kategori ketiga adalah minuman keras seperti wiski. Ada yang suka meminumnya tanpa dicampur dengan apa pun, tapi saya lebih suka yang sudah dilarutkan dengan es batu dan soda sehingga tidak terlalu keras aromanya. Selain itu, minuman tipe terakhir ini seringkali menyebabkan pusing yang berkepanjangan pada keesokan harinya jika dikonsumsi secara berlebihan.

Dari deskripsi di atas, anda bisa menerka bahwa saya paling menyukai bir. Rasanya begitu menyegarkan! Cocok diminum setelah hari yang panjang dan melelahkan di kantor, cocok pula di malam yang panas dan juga di cuaca dingin. Pokoknya bir itu cocok untuk segala suasana. Selain itu, saya juga menyukai perasaan melayang-layang yang timbul setelah alkoholnya mulai bekerja. Saya selalu merasa bahwa otak kita seringkali mengekang pemikiran kita dan baru menjadi santai sesudah dibasuh dengan alkohol. Rasanya seperti terbebas dari belenggu kesadaran sehingga kita berpikir lebih jauh dari biasanya.

Menyambut kedatangan Parno di Brotzeit, restoran Jerman.
Dari kiri: Endrico, Anthony, Surianto, Parno dan Jimmy.

Saya senantiasa menyukai percakapan yang ringan dan jenaka. Karena inilah alkohol dan kumpul-kumpul bersama teman adalah pasangan yang serasi. Dengan alkohol, kita bisa berbicara apa saja berjam-jam lamanya. Beberapa topiknya mungkin hanya sekedar untuk bercanda dan tertawa, tapi tidak jarang pula ada topik yang akhirnya membuat anda berpikir serius pada keesokan harinya, sebab itu adalah sebuah ide baru yang tidak pernah anda pikirkan sebelumnya. 

Jika anda bertanya apakah konsumsi alkohol itu kebiasaan yang baik, saya tidak punya jawabannya, jadi kembali lagi ke diri anda sendiri. Yang bisa saya sarankan adalah minumlah secara moderat. Saya sendiri tidak minum setiap hari dan tidak pula minum di rumah. Paling juga sesekali setelah pulang kerja. Sebagai penutup, bila ada satu hal yang tidak saya sukai dari acara minum-minum, maka itu adalah tradisi minum sampai habis setelah bersulang. Rasanya seperti terlalu memaksakan diri. Minum itu harusnya santai!

Eday memulai gelas pertama.