Total Pageviews

Translate

Wednesday, December 27, 2023

2023 In My Mind

I rarely write a year-in-review. The only time I did it was, perhaps, in 2020. The first year of COVID-19. Very unusual, a pandemic of an unprecedented scale, and it was bleak. The future was so uncertain that I just had to write about hope and survival

Considering how gloomy it was previously, the year 2023 felt liberating. It was also different than 2022, when the world was opening. All the travels done last year felt like trial runs. I remember a driver in Kolkata telling me that nobody wore mask there because COVID was no more. It sounded almost comical then, until it was proven to be true in 2023.

Hence the trips I had this year: Manila, Tokyo, Kawazu, Yuzawa, Niigata, Yokohama, Hakone, Doha, Geneva, Lyon, Interlaken, Lucerne, Zürich, Vaduz, Innsbruck, Salzburg, Bangalore, Pontianak, Jakarta and Batam. I went to places I hadn't been, I rediscovered the places I had seen. Talk about a freedom regained! It was good to be out and about again!

The 20 destinations mentioned above!

Dreams did come true in 2023, all right. But the best part of the travels was never something I planned. No, moments that happened once in a lifetime couldn't be engineered. They happened spontaneously, the way life should be. You had to be there at the right time. These moments couldn't be recreated and you could only be grateful knowing that you had been part of them.  

And I was blessed with not only one, but three moments like this while I was in Japan: the cold night at a tiny sake bar in Ueno; Parno at Hard Rock Cafe; the time Eday and I discovered Snow Drop in Asakusa. Those moments would forever be mine. Ones that I will cherish for the rest of my life. 

Travels. Dreams. Moments. These alone would have made it a great year, but 2023 still had more to offer. Even when the experience wasn't exactly pleasant, I still treasured and learnt from it. Yes, I was referring to the day I sprained my ankle. Ironic though it was, we made it all the more memorable by choosing to have some fun and laugh about it. At the same time, it also reminded me of what John Lennon had sung before: life is what happens to you while you're busy making other plans. He was right. Life is fragile, so live to the fullest while you can. 

Once upon a time on a wheelchair.

And 2023 was also the year I conquered my fear. I was a nervous wreck whenever the water level reached my neck. I had a phobia that the water would go into my ears if I submerged. I felt like drowning when I was lying face down in the water. For the past 42 years in my life, I couldn't swim. 

Swimming felt impossible until one day in 2023, when I opened my eyes and found myself afloat. Just like that, the fear suddenly subsided. Unbelievable. But it didn't happen instantly for sure. I lost my balance and panicked many, many times. I choked on water and indeed it went into my ears. I even wondered why my progress was so slow that I might never succeed. But similar to learning how to ride a bike or drive a car, I paid my dues. Then for the first time ever, I swam. Not really good, but I guess it can only get better. 

And 2023 was equally great even when it wasn't about me. My wife, she had dreamt of going to Switzerland since God knows how long. There was also the Sound of Music in Austria, of course. For that few hours in her life, she was simply that little girl who finally fulfilled the dream that began years ago, when her father introduced Julie Andrews to her. I am just glad I was there to make it come true. 

Yani and the Sound of Music.

To top it off, there was Now and Then, the last Beatles song ever. So poignant, sentimental, just the kind of closure I needed as this year headed to an end. Seriously, what else can a person ask for in this lifetime? I can only be thankful that 2023 had been brilliant. I don't know what 2024 will bring, but this year certainly taught me that one can't be too afraid to live!



2023 Di Benak Saya

Saya jarang menulis tentang ulasan tahun yang saya jalani. Sekali-sekalinya saya menulis topik ini mungkin di tahun 2020, tahun pertama COVID-19. Sungguh berbeda, sebuah pandemi dengan skala yang belum pernah saya lihat sebelumnya, dan tampak suram. Masa depan terlihat tidak pasti dan saya ingin bercerita tentang harapan dan bertahan hidup

Dibandingkan dengan kesuraman di zaman korona, 2023 terasa merdeka. Meski korona mulai berakhir di tahun 2022, dunia baru perlahan-lahan membuka diri dan semua perjalanan di tahun tersebut terasa seperti uji-coba. Saya ingat dengan perkataan supir saya di Kolkata bahwa COVID sudah tamat, makanya tidak ada yang memakai masker di sana. Ucapannya terasa kocak saat itu, namun akhirnya terbukti benar di tahun 2023. 

Karena itulah saya melanglang buana di tahun ini: Manila, Tokyo, Kawazu, Yuzawa, Niigata, Yokohama, Hakone, Doha, Jenewa, Lyon, Interlaken, Lucerne, Zürich, Vaduz, Innsbruck, Salzburg, Bangalore, Pontianak, Jakarta dan Batam. Saya pergi ke tempat yang belum pernah saya kunjungi dan saya menemukan kembali tempat-tempat yang sudah saya datangi. Sungguh sebuah kebebasan yang diperoleh kembali! Senang rasanya bisa seperti ini lagi. 

20 tujuan yang disebutkan di atas!

Banyak impian terwujud di tahun 2023, tapi hal-hal terbaik dalam perjalanan ini bukan sesuatu yang saya rencanakan. Oh, segala sesuatu yang berkesan itu tidak bisa direkayasa. Semua ini terjadi secara spontan seperti halnya hidup ini. Kita hanya bisa berharap ada di sana di saat yang tepat. Dan untuk semua yang tidak bisa dirancang ulang ini, kita hanya bisa bersyukur bahwa kita bisa menjadi bagian dari peristiwa tersebut. 

Dan saya diberkati tidak hanya satu, tapi tiga peristiwa menyentuh sewaktu berada di Jepang: di malam yang dingin, di sebuah kedai sake kecil di Ueno; Parno di Hard Rock Cafe; di kala Eday dan saya menemukan Snow Drop di Asakusa. Tiga kejadian ini akan selalu menjadi kenangan indah yang akan hidup sampai akhir hayat saya. 

Berkelana. Impian. Momen. Tiga hal ini sudah cukup untuk membuat tahun ini luar biasa, tapi 2023 masih memiliki banyak kejadian lainnya. Bahkan ketika pengalaman tersebut tidak menyenangkan pun saya masih bersyukur dan bisa belajar dari apa yang terjadi. Ya, yang saya maksudkan adalah ketika kaki saya terkilir. Meski ironis, kita masih bisa menyikapi kejadian itu dengan canda dan tawa. Di saat yang sama, musibah tersebut juga mengingatkan saya tentang apa yang pernah dinyanyikan oleh John Lennon: hidup adalah apa yang terjadi ketika engkau sedang sibuk merencanakan hal lain. John benar. Hidup itu rapuh, maka hiduplah sepenuhnya selagi bisa. 

Suatu ketika di kursi roda.

Dan di tahun 2023 juga saya menaklukkan rasa takut saya. Saya sangat gelisah bila ketinggian air sudah mencapai leher. Saya memiliki fobia bahwa air akan masuk ke telinga kalau saya menyelam. Saya merasa akan tenggelam bilamana posisi saya tengkurap dengan wajah terendam air. Dalam 42 tahun terakhir, saya tidak bisa berenang. 

Dan berenang terasa mustahil sampai suatu hari di tahun 2023, tatkala saya membuka mata di dalam air dan menyadari bahwa saya mengapung. Di saat itu pula, rasa takut itu sirna. Sulit dipercaya. Tapi tentu saja semua ini tidak terjadi dalam sekejap. Entah berapa kali sudah saya kehilangan keseimbangan dan panik. Saya tersedak air dan telinga pun kemasukan air. Saya bahkan berkecil hati, kenapa perkembangan saya pelan dan merasa mungkin saya tidak akan bisa. Namun seperti halnya kita belajar sepeda atau mengemudi mobil, jerih-payah saya terbayarkan. Kemudian, untuk pertama kalinya, saya bisa berenang. Masih perlu banyak latihan, tapi saya rasa perkembangannya akan semakin baik. 

Dan 2023 masih tetap terasa menakjubkan, bahkan ketika segala sesuatu itu bukanlah tentang saya. Istri saya sudah lama mendambakan untuk pergi ke Swiss. Dia juga sangat menyukai the Sound of Music yang berlatar Austria. Dan untuk beberapa jam dalam hidupnya, dia akhirnya mewujudkan impiannya sedari kecil yang bermula sewaktu ayahnya memperkenalkan Julie Andrews kepadanya. Saya senang bisa membantunya mewujudkan semua itu. 

Yani dan the Sound of Music.

Selain itu, ada pula Now and Then, lagu terakhir the Beatles. Ada perasaan senang bercampur sedih saat menyadari bahwa kisah terhebat di abad 20 itu pun akhirnya tuntas ditutup dengan lagu ini. Jadi apa lagi yang bisa diharapkan seseorang dalam hidup yang penuh berkah ini? Saya hanya bisa berterima kasih karena tahun ini sudah begitu dahsyat dan penuh kesan. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi di 2024, tapi yang jelas tahun ini mengingatkan saya kembali untuk tidak terlalu khawatir dalam hidup ini! 

Sunday, December 17, 2023

Syria: Up, Close And Personal

When it comes to traveling, my friend Eday is in a league of his own. He has traveled so much that it is no longer just for fun, but for the sake of history that he loves and the betterment of himself. Just when I thought places like Iran or Ethiopia were kind of weird for a former Chinese Indonesian to visit, I heard him saying that his next destination would be Syria via Lebanon. 

Syria is known to the world as a war-torn country. As Eday himself was to discover, the destination was not even covered by travel insurance. Those that included it in the coverage had ridiculous terms, such as you had to be kidnapped for at least for six hours before you could submit the claim for just a meagre amount of money. It was as if the terrorist would fill in the timesheet and stamp it before releasing the captive!

Beirut.

But Eday was determined even though his destination was deemed as extremely dangerous. Prior to his trip, we did discuss about how biased people could be these days. Feeling entitled and know-it-all, many were quick to condemn and judge. The drone attack in Homs and airport bombing in Damascus that happened right before the trip only made it worse. On the pretext of caring, Eday was bombarded with discouraging articles, advices and comments from many around him. Having so much fear projected onto him was quite a daunting experience! 

A lesser man would have given in, but not Eday, though. He knew the trip would be life changing. His previous adventures taught him that. After tasting such personal growth, he was resolute to seek the truth about Syria. The moral support from his wife was all he needed and off he went to a place none of us had ever thought of visiting before.

Umayyad Mosque, Damascus.

He landed in Beirut, Lebanon. While a certain part of the city looked like Europe, the scars from civil war were very much visible, too. Many buildings were still covered with bullet holes. Presidential seat was currently empty. Cars without car plates were a normal sight to behold. Electricity was almost non-existent. 

But Beirut wasn't as bad as one would imagine. Eday told me that the atmosphere was quite relax. The Lebanese people were generally friendly and very welcoming, mostly because they rarely saw tourists from our part of Asia. Tough though their lives were, the Lebanese persevered by helping each other, a culture that occurred largely due to the absence of the government.

Latakia, Syria.

Eday's journey to Syria began the next morning. The ride to Lebanon's border took about 1.5 hours. The view was hilly, somehow reminded Eday of Puncak in Indonesia. There was a short ride between Lebanon-Syria border and Eday had to hop on an old car that had approached and waited for him in Syria as he exited from Lebanon. It was like being smuggled! He passed through more than 10 military checkpoints before reaching the chaotic immigration office. Not very far from the border, there was a duty free mall with European look and feel. It just seemed so out of place!

Damascus was about 1.5 hours ride from the border, too. It was an old city. Even Saint Paul went there before and that was like 2000 years ago. From Damascus, Eday crisscrossed the country, exploring cities and towns such as Maaloula, Tartus, Latakia, Kesab, Hama, Aleppo, Palmyra, Busra and many more.

Eday in Palmyra.

To be in Syria was as good as breathing and absorbing the history of mankind. There was Temple of Jupiter that had been converted to Umayyad Mosque now. There were tombs of religious and historical figures such as John the Baptist and Saladin. There was this monastery visited by the young Muhammad, before he became the Prophet. The whole country was brimming with culture and history.

With so many things going on since ancient times, one couldn't help sensing that Syria was different spiritually. There was this unique experience in the desert when Eday was on his way to Monastery of St. Moses the Abyssinian. It was almost quiet. There was nothingness as far as eyes could see, but then appeared this constant buzzing sound that was eventually replaced by humming. Coincidence?

Krak des Cheavaliers. 

Then there was the war that had ravaged Syria for more than a decade. In a city called Idlib lived the freedom fighters, ISIS, Al-Qaeda and the likes of them. They were all contained there. 1 KM away from the battle zone, Russian tanks patrolled the area. Life must be so hard there that the civilians had the coldest stare, as if they'd rip you apart anytime. 

Of all the cities Eday visited, Homs was remembered as a cautionary tale of how damaging the war could be. The city was so severely destroyed. As a matter of fact, there was almost not much to see there as it was left in ruins. What Eday saw and heard there was so harrowing to the point that whatever problems he had went through in life suddenly seemed trivial and paled in comparison.

The war-torn Aleppo.

Eday used the phrase mixed feelings when he shared his story with me. Throughout his stay there, he was excited, sad and anxious. Syria's kind of normal was very unusual by our standard. He could drink beer or smoke shisha on a rooftop tonight, travel back in time and history tomorrow, then get surrounded by buildings in the state of disrepair on the following day. He heard the saddest stories directly from those who lived to tell them. He also became the beacon of hope simply by being there when most of the world had seemingly abandoned Syria. 

Eday also met seasoned travelers there were already hardened by what they saw. There was a Russian lady that had just conquered the Himalayas. There was a young man who casually talked about changing his route tomorrow because Damascus Airport was just bombed again the day before. And all this was normal in Syria. Worlds apart than ours. It was emotionally challenging. 

Hummus.

On a lighter note, we talked about the food. Hummus was a permanent fixture there. The taste of the food was generally sour. Rice was rarely seen and they ate pita bread instead. One unforgettable memory took place at a restaurant in Kesab. There were tiny birds kept in a caged garden and Eday was asked to choose one. Little did he know that the bird was the menu!

It's been almost two months now since Eday returned from Syria, but looking back, there is still a lot to unpack and process. He learnt now how people could be unknowingly biased. Those that know only the surface of the matter, but yet talking about it as if they are the source of truth. But Syria taught him to identify the naysayers and ignore them. And that's just a glimpse of what he had gotten from his life changing trip.

In his quest of investigating the fear of the unknown, he now understands it better than before. But was he really fearless during his time in Syria? To paraphrase his words, he was never worried of being bombed or shot, but he did imagine how troublesome it would be if he was kidnapped, so quick death was preferred, haha...

The other side of Aleppo.



Suriah Di Mata Teman

Kalau kita berbicara tentang liburan ke negara lain, teman saya Eday ini ada di kelas tersendiri. Begitu seringnya dia berjalan-jalan sehingga dia tidak lagi sekedar melakukannya untuk bersenang-senang, tapi juga demi sejarah yang menarik perhatiannya dan juga demi menambah wawasan serta pengalaman pribadi. Saya dulu berpikir bahwa negara-negara seperti Iran dan Etiopia itu tidak lazim dikunjungi oleh mantan Tionghoa Indonesia, jadi bayangkan betapa terkejutnya kita saat mendengar bahwa dia mau ke Suriah melalui Libanon. 

Suriah dikenal sebagai negara yang sedang berperang. Eday sendiri juga tertegun saat menyadari bahwa tempat tujuan ini tidak termasuk cakupan asuransi perjalanan. Kalau pun ada yang memasukkan Suriah, asuransi tersebut memiliki klausul yang tidak masuk akal seperti pemegang polis harus diculik dulu, minimal enam jam, baru bisa klaim asuransi senilai 60 dolar. Ini ironis sekaligus kocak, seakan-akan teroris dengan senang hati membantu mengisikan formulir sebelum membebaskan korban. 

Beirut.

Eday tetap bersemangat meski tujuannya tergolong sangat berbahaya. Sebelum dia berangkat, kita sempat berdiskusi tentang bahaya biasnya pendapat orang awam. Banyak yang merasa tahu tanpa menelaah lebih jauh apa yang dipahaminya, lalu dengan cepat menghakimi. Penyerangan dengan drone dan pemboman bandara Damaskus yang terjadi sebelum hari keberangkatan membuat suasana tambah buruk bagi Eday. Banyak yang "peduli" dan membombardirnya dengan berita, nasehat dan komentar supaya dia membatalkan niatnya. Alhasil Eday dibebani dengan kecemasan yang berlebihan dan bertubi-tubi. 

Orang biasa mungkin sudah menyerah, namun Eday tetap teguh. Dia tahu perjalanan ini akan membuahkan pengalaman yang mengubah hidupnya. Liburan-liburan sebelumnya telah mengajarinya akan hal tersebut. Eday bersikukuh untuk melihat Suriah. Dukungan moral dari sang istri sudah cukup baginya dan dia pun berangkat ke negara yang tidak pernah masuk dalam daftar impian orang awam. 

Mesjid Umayyad, Damaskus.

Eday mendarat di Beirut, ibukota Libanon. Ada bagian dari Beirut yang mirip Eropa, namun bekas perang saudara masih terlihat pula. Banyak gedung yang masih memiliki lubang peluru di dinding. Kursi kepresidenan sedang kosong. Mobil tanpa plat terlihat lumrah di jalan. Listrik pun sering padam. 

Akan tetapi Beirut tidaklah seburuk yang dibayangkan. Eday menjelaskan bahwa suasananya cukup santai. Penduduk Libanon cenderung bersahabat dan ramah, terutama karena mereka jarang melihat turis dari belahan Asia tempat kita tinggal. Meski hidup mereka susah, warga Libanon bertahan dengan hidup gotong-royong, budaya yang terbentuk karena mereka harus hidup mandiri di tengah absennya pemerintah. 

Latakia, Suriah.

Perjalanan Eday ke Suriah dimulai keesokan paginya. Jarak tempuh dari Beirut ke perbatasan adalah 1,5 jam. Pemandangan di sepanjang jalan terlihat berbukit, mengingatkan Eday pada kawasan Puncak di Indonesia. Perbatasan dari Libanon ke Suriah kira-kira 100 meter jauhnya, namun Eday harus naik-turun dan berganti mobil saat keluar-masuk perbatasan. Rasanya seperti diselundupkan. Ada lebih dari 10 pos militer sebelum dia mencapai imigrasi Suriah yang kacau. Tak jauh dari situ, tiba-tiba ada satu mal dengan suasana Eropa. Keberadaannya sangat menyolok!  

Damaskus juga berjarak tempuh 1,5 jam dari perbatasan Suriah. Kota ini berdiri dari sejak lama. Bahkan Santo Paulus pun pernah ke sana dan peristiwa itu sudah berlalu 2000 tahun lamanya. Dari Damaskus, Eday menjelajahi Suriah, melihat kota-kota Maaloula, Tartus, Latakia, Kesab, Hama, Aleppo, Palmyra dan Busra.

Eday di Palmyra.

Berada di Suriah itu bagaikan menyerap sejarah peradaban manusia. Ada Kuil Jupiter yang kini telah berubah menjadi Mesjid Umayyad. Ada pula kuburan-kuburan tokoh agama dan bersejarah seperti Yohanes Pembaptis dan Sultan Saladin. Ada lagi biara yang pernah dikunjungi oleh Muhammad di masa mudanya, sebelum dia menjadi Nabi. Negara ini sungguh diwarnai oleh peradaban dan sejarah di setiap sudutnya. 

Begitu banyak yang terjadi dari sejak zaman dahulu di Suriah, sampai-sampai terasa nuansa mistisnya. Ada sebuah pengalaman menarik di padang gurun saat Eday menuju ke Biara Santo Musa dari Abyssinia (sekarang dikenal sebagai Etiopia). Awalnya perjalanan itu terasa sunyi dan tidak terlihat apa pun sejauh mata memandang. Setelah itu terdengar suara berdengung yang lantas berubah menjadi semacam suara senandung. Sebuah kebetulan belaka?

Krak des Cheavaliers. 

Dan tentu saja ada perang yang telah mengguncang Suriah lebih dari 10 tahun lamanya. Di kota bernama Idlib hiduplah para pejuang revolusi, ISIS, Al-Qaeda dan lain-lain. Semuanya berkumpul di situ. Tank-tank Rusia juga terlihat berpatroli. Kehidupan di sekitar kawasan perang ini sangatlah keras sehingga tatapan penduduknya terlihat begitu dingin dan tak lagi manusiawi. 

Dari semua kota yang Eday kunjungi, Homs akan selalu ia kenang sebagai bukti nyata betapa dahsyatnya kehancuran yang bisa ditimbulkan oleh peperangan. Kota itu nyaris luluh lantak. Tak banyak lagi yang bisa dilihat di sana karena sebagian besar kotanya kini berwujud puing-puing reruntuhan. Apa yang Eday lihat dan dengar selama di sana membuatnya berpikir bahwa masalah kehidupan yang sudah dilewatinya hingga hari itu hanyalah hal kecil dan tidak sebanding dengan apa yang terjadi di Homs.

The war-torn Aleppo.

Eday menggunakan istilah perasaan bercampur-aduk untuk mendeskripsikan apa yang ia rasakan saat berada di Suriah. Dia bersemangat, sedih dan bersimpati pula selama di sana. Apa yang dianggap normal di Suriah itu berbeda dengan standar kita di belahan dunia ini. Eday bisa minum bir dan menghisap shisha di puncak gedung di satu malam, lalu bagaikan kembali ke masa silam pada keesokan harinya saat menyaksikan peninggalan bersejarah, kemudian dikelilingi oleh bangunan-bangunan yang hancur dan hampir roboh di hari berikutnya. Dia mendengar cerita-cerita sedih dari para korban perang. Di saat yang sama, keberadaannya pun menjadi sumber harapan bagi penduduk lokal karena dia berani mengunjungi Suriah di kala sebagian besar dunia sudah mengabaikan Suriah. 

Dan Eday bertemu dengan para petualang yang sudah banyak makan asam garam di Suriah. Ada seorang wanita Rusia setengah baya yang baru saja menaklukkan Himalaya. Ada pula pelancong lain yang dengan santai bercerita bahwa rute perjalanannya berubah karena Bandara Damaskus baru saja dibom lagi kemarin. Inilah kondisi normal di Suriah. Jauh berbeda dengan apa yang kita anggap normal, jadi memang sangat menantang secara emosional. 

Humus.

Beralih ke topik yang lebih ringan, kita membahas tentang makanan. Humus adalah makanan yang paling sering muncul di Libanon dan Suriah. Rasa makanan di sana cenderung asam. Nasi jarang terlihat dan sebagai gantinya, orang-orang di sana memakan roti pita. Satu pengalaman yang mencengangkan terjadi di Kota Kesab. Ada sebuah restoran yang memiliki kandang burung di sampingnya dan Eday pun disuruh memilih burung yang paling disukainya. Ternyata burung-burung ini adalah menu yang kemudian dimasak dan disajikan di hadapannya! 

Sekarang sudah hampir dua bulan lamanya sejak kepulangan Eday dari Suriah, namun pengalaman selama di sana sangat membekas dan masih dicerna perlahan-lahan. Satu hal yang pasti, sudah terbukti bahwa memang banyak yang memiliki tendensi untuk beropini secara bias. Hanya tahu sedikit dari apa yang sekilas didengar atau dibacanya, namun berbicara seakan-akan memang ahlinya. Suriah membuatnya lebih kritis dalam menyikapi orang-orang seperti ini. 

Berkaitan dengan minatnya dalam mengamati rasa takut terhadap ketidaktahuan, apa yang dialaminya selama di Suriah kian membekalinya untuk memahami fenomena ini. Namun apakah ini berarti dia tidak memiliki rasa takut selama di Suriah? Mengutip perkataannya, dia tidak cemas dengan bom dan peluru nyasar, tapi dia sempat membayangkan kalau sampai diculik, pasti repot dan berbelit-belit nantinya, jadi kematian yang berlangsung dengan cepat merupakan opsi yang lebih baik, haha... 

Sisi lain Aleppo.

Thursday, December 7, 2023

Rediscovering Your Way

My recent trip to Batam would have been similar to the previous ones, except for one tiny details: the decision to return to Singapore from Nongsapura. In order to understand the magnitude of it, let me give you a bit of context.

You see, when someone is returning to Singapore, he or she is likely to depart from Batam Centre. Alternatively, if you are in the city, you may choose Harbor Bay. I myself tried Sekupang before, simply because it was quiet. But Nongsapura was always a bit of mystery to me.

It had stayed that way until that rainy Sunday. I just finished dropping my mum at the airport and I was making my way back to Singapore. My obvious choice was Batam Centre, but then I decided to be slightly adventurous and went to Nongsapura instead. There was this spark of excitement, as if something old was suddenly new again. 

Exploring Nongsapura. 

And judging from the things I saw and experienced, indeed it was! I loved the fact I was learning something new and imagine my surprise when I discovered that it only took me 30 minutes to reach Singapore. Just when I thought it would have been just another Batam trip, it turned out to be having a twist!

Fun though it was, the lesson behind the experience was what motivated me to write. If you had noticed, I didn't write that much in the past two months. I had been spending time playing Mario and Sonic, haha. But if you recalled Writing 101, you'd understand why I just couldn't help writing about this inspiring moment. 

I'm in my 40s now. Whether I like it or not, I also start developing a habit of repeating things within my comfort zone. I have the same breakfast when I come to office, I have a cup of tea c every day, etc. I subconsciously cling to the routine that works as I age. And this experience reminded me of the fun I had been missing: the thrill of not knowing and making an effort to find out.

My regular breakfast and tea c.

The craziest thing about life is, we're so busy getting it under control that we often forgo the opportunity life has to offer: the unknown journey that excites us and makes us smile. Just like the time when I fell in love or when I began my life in Singapore. It's good to have the sense of security in life, but don't ever lose the feeling that makes life worth living, too! 



Menemukan Jalan Yang Terlupakan 

Perjalanan saya ke Batam di akhir pekan lalu bisa dikatakan hampir sama dengan kunjungan serupa yang saya lakoni sebelumnya, kecuali satu hal berikut ini: keputusan mendadak untuk pulang lewat Nongsapura. Untuk memahami makna dari informasi ini, mari saya jabarkan dalam konteks supaya jelas.

Bilamana seseorang kembali ke Singapura, besar kemungkinannya bahwa orang tersebut akan lewat Batam Centre. Alternatif lainnya, jika anda berada di kota, adalah Harbor Bay. Saya juga pernah coba Sekupang karena lebih sepi di sana. Akan halnya Nongsapura, pelabuhan ini adalah sebuah misteri bagi saya. 

Dan ini sudah berlangsung lama, sampai di hari Minggu pagi yang hujan itu. Saya baru saja mengantar Mama ke bandara dan hendak pulang ke Singapura setelah urusan selesai. Pilihan yang lazim adalah ke Batam Centre, namun saya memutuskan untuk bertualang sejenak dan mengarahkan Grab ke Nongsapura. Keputusan ini tanpa sadar menimbulkan rasa suka-cita, seakan-akan ada sesuatu yang baru lagi di Pulau Batam yang sudah sering saya kunjungi. 

Di Nongsapura.

Berdasarkan apa yang saya lihat dan alami, saya menikmati petualangan singkat ini. Saya senang bisa belajar sesuatu yang baru dan bayangkan betapa kagetnya saya bahwa jarak tempuh dari Nongsapura ke Singapura hanyalah 30 menit. Apa yang awalnya terlihat seperti liburan biasa ke Batam ternyata memiliki akhir yang berbeda. 

Adalah pelajaran di balik pengalaman ini yang memotivasi saya untuk menuangkannya dalam bentuk tulisan. Jika anda memperhatikan, saya jarang menulis dalam dua bulan terakhir ini. Saya sibuk bermain Mario dan Sonic, haha. Tapi jika anda ingat lagi tentang Cara Menulis 101, anda akan mengerti kenapa saya jadi tergerak untuk mengabadikan pengalaman ini. 

Saya kini berusia 40an. Terlepas dari suka atau tidak, saya pun mulai mengulang-ulang hal yang berada di zona nyaman saya. Saya selalu menyantap sarapan yang sama saat ke kantor, menikmati tea c setiap hari, dan sebagainya. Seiring dengan bertambahnya umur, tanpa sadar saya berkutat dengan rutinitas yang sama dan dan sudah terbukti baik bagi saya. Pengalaman ini mengingatkan kembali satu hal seru yang hilang: perasaan berdebar-debar karena tidak tahu dan upaya untuk mengatasi ketidaktahuan tersebut. 

Sarapan saya setiap kali ke kantor. 

Hal paling gila dalam hidup ini adalah, betapa kita sibuk memastikan bahwa segala sesuatu berada dalam kendali kita, sampai-sampai kita melewatkan kesempatan sesungguhnya yang ditawarkan oleh hidup ini: sebuah perjalanan yang membuat kita bertanya-tanya, tegang dan tersenyum. Saya ingat perasaan seperti itu saat jatuh cinta atau di kala memulai hidup di Singapura. Memang baik memiliki hidup yang stabil, tapi jangan sampai kehilangan perasaan yang membuat hidup terasa hidup juga!  


Thursday, November 30, 2023

Book Review: The Art Of War

I don't read much this year. Apart from my regular Time magazine, I only read one book so far: the Rape of Nanking. Now that I looked back, I was actually surprised that another book I picked up right after that also had its Chinese connection, haha.

It got to do with the chat I had recently. I mean, people used the phrase the art of war lightly, so often that it finally piqued my curiosity to find out what the book was all about. And no, I didn't go for the interpreted versions as I didn't wish to know about how people thought the book would be applicable in real life. I went for the second best instead: the book as it was written in Chinese by Sun Tzu, plus an English translation, as I can't read Chinese.

Upon reading it, the word prose came to mind. It was written eloquently, or at least that's what I gathered from the English translation. It explained actions and consequences, ie. B happened due to A, and left no room for arguments. 

The funny feeling I had was, what Sun Tzu wrote felt like something I already knew, but never thought of it that way before I read it. I'm not sure if I could convey it positively, but he was the master of stating the obvious! 

Sun Tzu's Art of War is a thin book, but not an easy reading. The book was as dry as a classic literature could be (my only other reference and comparison was the Travels by Marco Polo). And art of war was literally about war. But the way it was worded, it was so insightful that it could be about anything else in life. 

It's also a type of book that you should read again and again, because you'll get different inspirations under different circumstances. It's challenging to do so, though. I clearly can't do that. It's just not the type of book I'll revisit willingly. My key takeaways after the initial reading? It's okay to flee if it's a fight you can't win!





Ulasan Buku: Seni Perang Sun Tzu

Saya tidak membaca banyak buku tahun ini. Selain berlangganan dan membaca majalah Time, satu-satunya buku yang saya baca sejauh ini adalah the Rape of Nanking. Tak pernah saya sangka kalau buku berikutnya juga berkaitan dengan Cina, haha. 

Buku kali ini ada hubungannya dengan apa yang sering saya jumpai. Teman-teman begitu gampangnya mengutip nama Sun Tzu dan istilah art of war dalam percakapan di grup, sampai-sampai saya akhirnya tergerak untuk mencari tahu, apa sebenarnya isi buku ini. Dan saya tidak mencari versi tafsiran pengarang tentang buku ini. Saya tidak mau tahu tentang apa yang mereka pikirkan setelah membaca buku ini, jadi saya pun mencari pilihan terbaik yang kedua: buku yang isinya asli tulisan Sun Tzu dan dilengkapi dengan terjemahan bahasa Inggris karena saya tidak bisa membaca tulisan Cina. 

Saat membaca, kata prosa pun muncul di benak saya. Tulisannya terasa cerdas dan penuh arti, atau setidaknya itu yang saya rasakan dari terjemahan bahasa Inggrisnya. Sun Tzu menjelaskan tentang aksi dan konsekuensi dari hukum sebab akibat. Penjelasannya tepat sasaran dan tidak memberikan ruang untuk bantahan. 

Ada satu perasaan lucu yang agak sukar untuk dijabarkan saat membaca buku ini. Entah kenapa rasanya apa yang disampaikan Sun Tzu bukanlah sesuatu yang tidak saya ketahui, namun terus-terang saya tidak berpikir sampai ke situ sebelum saya membacanya. Sun Tzu sungguh seorang pakar pernyataan yang tidak terbantahkan. 

Karangan Sun Tzu ini tipis bukunya, tapi tidak gampang untuk dibaca. Buku ini adalah sebuah literatur dan agak membosankan (mirip seperti the Travels yang ditulis oleh Marco Polo, satu-satunya referensi saya tentang buku yang ditulis ratusan tahun silam). Dan Seni Berperang ini memang tentang perang, tapi cara penulisannya membuat ide Sun Tzu bisa ditafsirkan ke dalam berbagai aspek kehidupan. 

Selain itu, buku ini juga merupakan tipe yang seharusnya dibaca berulang kali, sebab anda akan mendapatkan inspirasi yang berbeda ketika menghadapi masalah yang berbeda. Namun sulit untuk melakukan hal tersebut karena saya tidak berminat. Buku ini tidak termasuk kategori yang ingin saya baca ulang. Jadi apa yang saya petik dari buku ini? Kita harus kabur kalau ini bukanlah perang yang bisa kita menangkan! 


Wednesday, October 11, 2023

Japan In My Heart

Here's one thing that I like about the cloud: it follows you wherever you go. I always made time to jot down funny little things on Google Keep for future reference and mind you, there are a lot of intriguing things in our group chat

Today's story is about a little bit of this and that. You've heard about Robinson Travel that started in 2016, but my history of traveling with friends turned out to be much older than that. Quite some time ago, I thought of whom in our group chat that I had travel with and I listed them down on Google Keep. Much to my surprise, it went as far back as 1997 and the list was long:

A glimpse of those trips I had with my friends. 

Eday - Jakarta, Bekasi, Temajoh, Tokyo, Kawazu, Yuzawa, Niigata, Yokohama, Hakone
Susan - Bekasi, Karawang, Alam Sutra, Gading Serpong, Tokyo, Kawazu, Yuzawa, Niigata, Yokohama, Hakone
Alvin - Bekasi, Karawang, Semarang, Johor Bahru
Andiyanto - Batam, Pontianak
Ardian - Kuching, Batam, Singapore, Manila, Tokyo, Kawazu, Yuzawa, Niigata, Yokohama, Hakone
BL - Semarang, Yogyakarta, Manila, Tokyo, Kawazu, Yuzawa, Niigata, Yokohama, Hakone
Cicilia - Tokyo, Kawazu, Yuzawa, Niigata, Yokohama, Hakone
CP - Kuala Lumpur
Dr. Hengky - Semarang, Yogyakarta, Solo
Eddy Susanto - Bekasi, Karawang
Endrico - Kuching, Jakarta, Batam, Bintan, Bekasi, Karawang, Bandung, Surabaya, Malang, Batu, Bali, Kuala Lumpur, Bangkok, Ho Chi Minh City, Phnom Penh, Siem Reap, Hong Kong
Gunawan - Manila, Tokyo, Kawazu, Yuzawa, Niigata, Yokohama, Hakone
HRR - Tokyo, Kawazu, Yuzawa, Niigata, Yokohama, Hakone
Hartono - Jakarta 
Hendra - Semarang, Yogyakarta, Solo, Surabaya
Jimmy - Temajoh, Madura, Semarang, Yogyakarta, Solo, Surabaya, Malang, Batu
Junaidi - Bandung
AW - Kuching
Mul The - Cibodas, Tokyo, Kawazu, Yuzawa, Niigata, Yokohama, Hakone
Susanti - Bekasi, Karawang
Parno - Jakarta, Bekasi, Kuching, Bandung, Manila, Tokyo, Kawazu, Yuzawa, Niigata, Yokohama, Hakone
Surianto - Batam, Jakarta, Johor Bahru, Manila, Tokyo, Kawazu, Yuzawa, Niigata, Yokohama, Hakone
Taty - Kuching, Manila, Tokyo, Kawazu, Yuzawa, Niigata, Yokohama, Hakone
Tedy - Batam, Singapore
Tuty - Bekasi, Karawang, Alam Sutra, Gading Serpong

You might wonder why Singapore appeared on the list, too. Let's just say that I don't always live there. Before I got my first job in mid 2006, Singapore was more of a destination I visited with my friends. And yes, I traveled with Endrico the most, though we haven't done it together for the past four years. But then there was Japan in my heart.

In Tokyo, 2015.
Photo by Dad.

I always love Japan. That's where I watched Paul. That aside, Japan is so charming that I promise myself I'll visit the five main islands one day. Had done two so far, Honshu and Kyushu. Left with Hokkaido, Shikoku and Okinawa.
 
And we were being nostalgic recently. I have this habit of pulling out photos from the cloud just for the fun of it when we talked about something thing in the group and for once, I was the victim of my own doing. Seeing those photos of us in Japan again, I couldn't help thinking how random the group could be. 

In Niigata.
Photo by Surianto.

You see, when people travel together, the group normally consists of close friends or family. But not those who joined this particular Japan trip. Back in our high school days, many of us didn't really mingle with each other. Some, like Taty and Gunawan, met for the first time during the trip. But yet we came together, mostly because of Parno. He was the selling point! Our Captain Japan!

And to have 13 people coming from different places and having a blast in a country as far as Japan, that made it even memorable. The way I looked at it, that Japan trip had the most random people, had the biggest group till date and was the farthest we had ever been so far. But then came the melancholy feeling: it seems unlikely to top this achievement. To put it dramatically, it took 43 years of our lifetime for this to happen, so this is probably it for us. There'll be no bigger, farther and more random trip than this.

Visiting Gala Yuzawa.
Photo by BL.

A friend commented that I shouldn't say this, but I guess I was being realistic. While I was never a fan of this phrase, the Japan trip happened because all the stars aligned. The enthusiasm we had, the planning we made, the challenges we overcame, and the natural selection that happened weren't something that could be repeated.

It was once in a lifetime kind of thing and I had accepted that. I'm glad it happened and I am happy I was there. Another friend said there is still another time, but I beg to differ. Yes, Japan will always be there, but there won't be another trip like this. This was a story of 13 random people coming together in the biggest group of high school friends ever! And we went to the farthest land from where we all came from. The trip left behind the fun and memorable experience that only 13 of us know and cherish for the rest of our life. If you ask me, this is certainly a deal I'd like to be part of...

Having a quick meal at Yoshinoya, Haneda.
Photo by Taty.



Jepang Di Hati Saya

Berikut ini adalah satu yang saya sukai dari teknologi cloud: data kita selalu terhubung dengan kita, di mana pun kita berada. Saya suka ini karena saya selalu menyempatkan diri untuk mencatat hal-hal lucu di Google Keep untuk referensi masa depan. Dan di grup SMA, saya senantiasa menemukan banyak hal yang menggelitik.

Hari ini saya ingin bercerita tentang beberapa hal yang saling berkaitan. Anda sudah pernah mendengar tentang Robinson Travel yang dimulai sejak tahun 2016, tapi siapa sangka saya sudah berlibur bersama teman-teman dari sejak dulu? Beberapa waktu silam, saya iseng membuat catatan di Google Keep tentang siapa saja di grup yang sudah pernah liburan bersama saya. Saya merasa tercengang sewaktu menyadari bahwa semua ini sudah dimulai sejak 1997 dan panjang daftarnya: 

Sekilas perjalanan bersama teman-teman. 

Eday - Jakarta, Bekasi, Temajoh, Tokyo, Kawazu, Yuzawa, Niigata, Yokohama, Hakone
Susan - Bekasi, Karawang, Alam Sutra, Gading Serpong, Tokyo, Kawazu, Yuzawa, Niigata, Yokohama, Hakone
Alvin - Bekasi, Karawang, Semarang, Johor Bahru
Andiyanto - Batam, Pontianak
Ardian - Kuching, Batam, Singapore, Manila, Tokyo, Kawazu, Yuzawa, Niigata, Yokohama, Hakone
BL - Semarang, Yogyakarta, Manila, Tokyo, Kawazu, Yuzawa, Niigata, Yokohama, Hakone
Cicilia - Tokyo, Kawazu, Yuzawa, Niigata, Yokohama, Hakone
CP - Kuala Lumpur
Dr. Hengky - Semarang, Yogyakarta, Solo
Eddy Susanto - Bekasi, Karawang
Endrico - Kuching, Jakarta, Batam, Bintan, Bekasi, Karawang, Bandung, Surabaya, Malang, Batu, Bali, Kuala Lumpur, Bangkok, Ho Chi Minh City, Phnom Penh, Siem Reap, Hong Kong
Gunawan - Manila, Tokyo, Kawazu, Yuzawa, Niigata, Yokohama, Hakone
HRR - Tokyo, Kawazu, Yuzawa, Niigata, Yokohama, Hakone
Hartono - Jakarta
Hendra - Semarang, Yogyakarta, Solo, Surabaya
Jimmy - Temajoh, Madura, Semarang, Yogyakarta, Solo, Surabaya, Malang, Batu
Junaidi - Bandung
AW - Kuching
Mul The - Cibodas, Tokyo, Kawazu, Yuzawa, Niigata, Yokohama, Hakone
Susanti - Bekasi, Karawang
Parno - Jakarta, Bekasi, Kuching, Bandung, Manila, Tokyo, Kawazu, Yuzawa, Niigata, Yokohama, Hakone
Surianto - Batam, Jakarta, Johor Bahru, Manila, Tokyo, Kawazu, Yuzawa, Niigata, Yokohama, Hakone
Taty - Kuching, Manila, Tokyo, Kawazu, Yuzawa, Niigata, Yokohama, Hakone
Tedy - Batam, Singapore
Tuty - Bekasi, Karawang, Alam Sutra, Gading Serpong

Anda mungkin heran kenapa Singapura muncul di daftar juga. Ini karena saya tidak menetap di sini sepanjang hidup saya. Sebelum saya mendapatkan pekerjaan pertama di tahun 2006, Singapura lebih merupakan tempat tujuan wisata bagi saya. Dan ya, saya bertualang ke banyak tempat bersama Endrico, meski kita tak pernah lagi bepergian bersama dalam empat tahun terakhir ini. Dan kemudian ada Jepang di hati saya.  

Di Tokyo, 2015.
Foto oleh Papa.

Saya selalu menyukai Jepang. Di negara inilah saya menonton konser Paul. Di samping itu, Jepang memang sangat mengesankan, sampai-sampai saya berikrar untuk mengunjungi lima pulau utama di Jepang. Sejauh ini saya sudah ke Honshu dan Kyushu. Masih ada tiga lagi, Hokkaido, Shikoku dan Okinawa.
 
Baru-baru ini kita sempat bernostalgia dan saya memiliki kebiasaan iseng untuk mengeluarkan foto tentang apa yang sedang kita bahas. Foto-foto ini lantas mengingatkan saya kembali, betapa acaknya anggota-anggota liburan ke Jepang. 

Di Niigata.
Foto oleh Surianto.

Bila sekelompok orang berlibur bersama, biasanya orang-orang ini memiliki hubungan yang akrab. Tapi tidak demikian halnya dengan liburan ke Jepang kali ini. Sewaktu SMA, banyak dari kita yang beda lingkup pergaulannya. Beberapa teman seperti Taty dan Gunawan bahkan baru bertemu untuk pertama kalinya. Namun semua turut serta terutama karena kehadiran Parno. Dia adalah nilai jualnya. Kapten Jepang! 

Dan fakta bahwa 13 orang ini datang dari tempat yang berbeda untuk berlibur ke negara sejauh Jepang membuat liburan kali ini semakin mengesankan. Liburan ini memiliki peserta paling acak, paling banyak anggotanya dan paling jauh pula tujuannya. Akan tetapi pencapaian tersebut juga menimbulkan perasaan melankolis: rasanya susah untuk melampaui liburan ke Jepang ini. Secara dramatis bisa dideskripsikan sebagai berikut: butuh 43 tahun dalam hidup kita untuk mewujudkan semua ini, jadi mungkin ini adalah yang pertama dan satu-satunya bagi kita semua. Tidak akan ada lagi liburan yang lebih banyak jumlah anggotanya, lebih jauh lagi destinasinya dan lebih acak lagi pesertanya. 

Mengunjungi Gala Yuzawa.
Foto oleh BL.

Seorang teman mengingatkan, seharusnya saya tidak berkata seperti ini. Namun saya rasa apa yang saya ungkapkan ini tidaklah pesimis, tapi realistis. Saya bukan penggemar frase berikut ini, namun saya cenderung setuju bahwa liburan ke Jepang ini terjadi karena semua bintang sejajar posisinya. Antusiasme kita, rencana yang kita buat, tantangan yang kita lewati dan seleksi alam yang terjadi, semua ini bukanlah formula yang bisa diulang. 

Liburan ini adalah sesuatu yang terjadi dalam seumur hidup dan saya sudah menerima kenyataan ini. Saya senang liburan ini terwujud dan saya bersyukur menjadi bagian dari liburan tersebut. Seorang teman lain berkata, masih ada lain kali, tapi saya rasa tidak begitu. Ya, Jepang akan selalu bisa dikunjungi, tapi tidak akan ada lagi liburan seperti ini. Ini adalah cerita tentang 13 orang yang meluangkan waktu untuk berkumpul dan akhirnya menjadi grup teman-teman SMA terbesar yang pernah bersama-sama mengunjungi tempat paling jauh dari kampung halaman. Hanya 13 orang ini yang memiliki semua pengalaman lucu dan mengesankan selama di Jepang dan akan mengingatnya selalu sampai akhir hayat kita. Jika anda tanya saya, tentu saja saya selalu ingin menjadi bagian dari acara seperti ini...

Makan di Yoshinoya, Haneda, sebelum terbang ke Manila.
Foto oleh Taty.