The COVID-19 pandemic had been a long, strange and exhausting journey so far. I heard of SARS and MERS before, but this was the first time I saw a pandemic of this scale. Even H1N1, the last full-blown pandemic that happened worldwide back in 2009, didn't seem to last this long. To be frank, I barely had any recollection of how life was during H1N1.
But COVID-19 was surely a life-changing experience and a rather scary one, if I might add. From just something I heard happening in Wuhan, it came to Singapore in early 2020. I could sense how tense and uncertain the situation was. Then, before long, it changed life as we knew it. We suddenly wore mask, worked from home and met online. I wryly joked sometimes that a new generation was born not knowing that there were times when we actually didn't wear mask.
Right before Delta: the quiet and eerie atmosphere at Shenton House during lunch time. Photo by Keenan. |
When the pandemic first happened and all the preventive measures including lockdown were introduced, it felt rather strange. Raffles Place, a bustling business district, became a ghost town. At the center of this peculiar time was COVID-19 itself. Alpha variant, as we called it then, was so mysterious that when somebody contracted it, we knew it was bad, but we couldn't tell how bad it was because we knew only so little about it.
Then came the time when vaccinations started, but COVID-19 also returned with a vengeance. The Delta strain appeared and it was the deadliest so far. The death toll hit the roof and it felt like COVID-19 was closing in, because we always heard about someone we knew infected by it almost on daily basis.
Having lunch at Potong Pasir. |
I had to say that I had been so sick of living like this. It was sickening to be confined in fear and uncertainty. As I had this meal on 5 October 2021 (I knew the exact date because that was when I got my Titan Pocket and the picture taken here was sync-ed seamlessly to the cloud), I remember thinking how on earth we were going to survive this. COVID-19 didn't seem like going away, so I became convinced that the only way out of this was to be immune to it.
What I didn't foresee, of course, was the appearance of Omicron about one month later. This one was more contagious, but less deadly than Delta. Even though the number of cases increased exponentially, it didn't seem to matter that much anymore. I was wondering why Delta seemed like disappearing overnight, as if it was replaced by Omicron. Then I saw this explanation in Time magazine:
"Textbook teach that viruses, being a relatively simple entities they are, have limited resources to devote to their one goal: survival. Every time they make copies of themselves, viruses can mutate to become more or less infectious, or more or less harmful to their hosts. Because a virus can't reproduce on its own, and need to borrow the reproductive machinery of cells from those it infects, it's all about balance: finding the mutations that allow it to spread more effectively, while not causing its hosts to die."
Three days and counting... |
The explanation made sense. It was also in-line with what I had in mind. We had gone a long way, so long that it was no longer the question of how to avoid it, but when I would have it. When I was tested positive, I was relieved. It was like, "finally, it's my turn." It was ironic how this actually felt right. But like I said earlier, it had been a long, strange and exhausting journey, and hopefully it ended here.
Now, how bad was COVID-19 today? What I felt was slight body ache (on the day before I was tested positive) and a feverish feeling that came together with nose and throat discomfort, as if there were mucus and phlegm. Not much worse than normal, full-fledged flu. The scarier part was probably the psychological factor. After seeing how damaging COVID-19 was throughout the pandemic, there was this thought that it shouldn't be taken lightly...
COVID-19: Akhir Dari Sebuah Pandemi?
COVID-19 sungguh merupakan sebuah perjalanan yang panjang, aneh dan juga melelahkan. Saya pernah dengar tentang SARS dan MERS sebelumnya, tapi baru kali ini saya melewati pandemi dengan skala seperti ini. Bahkan H1N1, pandemi yang terjadi secara global di tahun 2009, tidak terasa berlarut-larut seperti ini. Jujur saya katakan bahwa saya tidak memiliki kenangan seperti apa hidup kita ketika H1N1 melanda.
Tidak diragukan lagi bahwa COVID-19 adalah suatu pengalaman yang bukan saja mengubah hidup, tapi juga cukup mengerikan. Bermula dari berita sayup-sayup tentang kejadian di Wuhan, COVID-19 tiba di Singapura pada awal 2020. Saya ingat betul suasana mencekam yang terasa saat hal ini diumumkan. Tak lama setelah itu, hidup berubah total. Kita mendadak mengenakan masker, bekerja dari rumah dan bertemu lewat Zoom. Terkadang saya bergumam dengan kecut bahwa telah lahir generasi yang percaya bahwa kita selalu memakai masker setiap hari.
Ketika pandemi dimulai dan segala macam proses kesehatan termasuk lockdown diterapkan, rasanya aneh sekali. Raffles Place, kawasan bisnis yang biasanya sibuk, menjadi sepi seperti kota mati. Di tengah suasana yang galau ini COVID-19 pun merebak. Varian Alfa, nama yang kita kenal pada saat itu, begitu misterius dan bagaikan aib. Ketika ada yang terjangkit, kita tahu ini kabar buruk, tapi tidak tahu seberapa buruk karena informasi saat itu masih simpang-siur.
Saat mulai masanya vaksinasi, COVID-19 juga berubah menjadi lebih dahsyat lagi dari sebelumnya. Muncul yang namanya varian Delta dan lebih mematikan pula dampaknya. Angka kematian melambung tinggi dan COVID-19 seperti datang menghimpit, sebab setiap hari selalu terdengar kabar si ini terjangkit dan si itu meninggal.
Ada kala di mana saya merasa betapa menyedihkan hidup seperti ini. Tidak sepatutnya kita menjalani hidup yang dirundung ketakutan dan ketidakpastian. Pada tanggal 5 Oktober 2021 (saya tahu persis tanggalnya karena saat itu saya baru ganti ke Titan Pocket dan foto yang diambil ini pun tersimpan di cloud secara otomatis), ketika saya menikmati makanan ini, saya jadi kepikiran tentang bagaimana pandemi ini akan berakhir. COVID-19 tampaknya tidak akan hilang begitu saja dan saya pun jadi yakin bahwa satu-satunya kunci untuk selamat dari semua ini adalah imunitas.
Apa yang tidak pernah saya duga adalah kemunculan Omicron di bulan berikutnya. Yang satu ini lebih gila lagi penyebarannya, tapi tidak sebengis Delta yang membunuh banyak orang. Meski kasus COVID-19 bertambah lebih cepat dari sebelumnya, tiba-tiba angka yang naik drastis itu tidak lagi terasa seperti masalah. Saya sempat heran, kenapa Delta sepertinya hilang dan tergantikan begitu saja oleh Omicron. Lalu saya temukan penjelasan berikut ini di majalah Time:
"Buku pelajaran mengajarkan bahwa sebagai sebuah entitas yang relatif sederhana, virus hanya memiliki sedikit sumber daya untuk mencapai satu tujuan mereka: bertahan hidup. Setiap kali menggandakan diri, virus juga bisa berubah menjadi lebih menular atau kurang menular dan juga menjadi lebih berbahaya atau kurang berbahaya bagi tuan rumah yang ditumpanginya. Karena virus tidak bisa bereproduksi sendiri dan butuh sel reproduktif dari tuan rumah yang dijangkiti olehnya, maka pada akhirnya yang penting adalah keseimbangan: bermutasi menjadi versi yang lebih efektif dalam penularan dan juga tidak membunuh orang yang tertular."
Menghitung hari... |
Penjelasan ini masuk akal dan juga sejalan dengan apa yang saya pikirkan. Kita sudah melewati pandemi sampai sejauh ini, sebegitu jauhnya sampai-sampai pertanyaannya bukan lagi bagaimana cara mengelak dari COVID-19, tapi kapan kiranya saya kena. Dan ketika hasil tes saya positif, yang muncul justru perasaan lega. Rasanya seperti, "akhirnya giliran saya." Fakta bahwa ini terasa benar sesungguhnya sangat ironis. Namun seperti yang saya katakan sebelumnya, perjalanan melalui pandemi itu sungguh panjang, aneh dan melelahkan. Semoga saja berakhir sampai di sini.
Nah, bagaimana rasanya terjangkit COVID-19 di masa sekarang? Ada sedikit rasa pegal-pegal di badan sehari sebelum hasil tes saya positif. Ada pula sedikit demam yang disertai rasa tidak nyaman di hidung dan tenggorokan, seolah-olah ada banyak lendir dan dahak. Selain dampak yang disebutkan barusan, saya masih memiliki konsentrasi cukup untuk bekerja sepanjang hari. Sisi yang agak menakutkan mungkin berasal dari faktor psikologis. Setelah mendengar begitu banyak korban dari cerita teman dan kerabat, terus-terang ada rasa was-was di benak bahwa sebaiknya ini tidak dianggap enteng...