While it's true that Pontianak is a small town that only had its first KFC outlet in year 2000 (and it still doesn't have McDonald's today), I'd say it was lively enough for us to grow up there in the 80s. When I compared notes, it turned out that our childhood was comparable with friends that grew up in Singapore. In my case, even though I was from Pontianak, I probably watched, read and played more than my fellow Singaporeans.
One of the things we had back then was something called parabolic antenna. Installed on a roof, it enabled us to receive overseas TV channels from Malaysia to China. Every night, I'd be sitting in front of TV with my mother to watch Journey to the West. It was in Chinese and I didn't understand the language, but it was still a fascinating show for a boy who was born in the year of the Monkey.
Around the same time, I also read the comics books in Bahasa Indonesia. The format was unusual, therefore memorable. It had two pictures per page and one paragraph of narration under each picture. Back in the days before Tiger Wong and the available comics were only DC, Marvel or European stuff such as Asterix and Tintin, this one became my earliest exposure of Chinese cultures.
In a way, I guess you can't be Chinese without knowing about Journey to the West at all. It was featured so prominently throughout the years in every phase of my life, be it on TV, comics (most notable was the first arc of Dragon Ball) or films. Even Stephen Chow had two spoofs or more about the Monkey King. When I saw the English version of the novel at the book shop, I was so curious I simply couldn't help searching for it at the library.
Now that I'm in my forties, I had a better understanding about Chinese cultures, including the historical journey of Xuanzang to India. Re-reading the book again, albeit the abridged version, gave me a rather interesting insight about this classic. This was indeed a brilliant novel!
It was basically a three-part story which began with the birth of Monkey. It quickly established how powerful he was, culminating with the Monkey wrecking havoc in heaven and it ended with his downfall. The second part was the journey to the west that started 500 years later. While each chapter wasn't the same, I couldn't help feeling that was rather formulaic. You could see the pattern in each story, i.e. Xuanzang was captured and Wukong would save him either by defeating the demons or seeking assistance from the deities. The last part was about the time they reached India.
It was an easy reading and the first part was the most interesting one. The translation was as good as it could be, though it would help if it used the pinyin for names of the deities instead. For example, it took me quite some time to figure out that the Divine Kinsman was actually Erlang Shen, haha. The storytelling was smart, emphasized by the excellent choice of words used here, especially the poetry. The interaction among disciples, particularly Wukong and Bajie, were the source of amusement.
It was also interesting to learn how Taoism, Buddhism and, to a certain extent, Confucianism coexisted and were incorporated into the story. It was through the reading of this book that I first realized all the gods from Jade Emperor to Nezha were actually from Taoism, which was native to China. This is why journey to the west happened: because they wanted to obtain the real teachings of Buddha in India.
Overall, it was a fun reading. As I read on, suddenly the scenes that I watched in the past kept flashing back. I remember when Wukong tried to jump out of Buddha's palm, the time he was defeated by Hong Hai-er, the turtle that shook them off while they crossed the river and many more. Good times!
Journey to the West. |
Ulasan Buku: Perjalanan Ke Barat
Pontianak mungkin hanyalah sebuah kota kecil, yang sedemikian kecilnya sehingga baru memiliki KFC di tahun 2000 (dan sampai hari ini pun belum ada McDonald's), tapi saya rasa tetap saja memiliki cukup banyak hiburan bagi generasi yang tumbuh di tahun 80an. Ketika saya mencari tahu tentang masa kecil teman-teman di Singapura, ternyata apa yang saya lewati cukup sebanding dengan pengalaman mereka. Bahkan boleh dikatakan kalau sebenarnya saya lebih banyak menonton, membaca dan bermain game bila dibandingkan dengan mereka yang berada di Singapura.
Salah satu keunggulan kita yang tinggal di Pontianak pada saat itu adalah antena parabola. Antena yang dipasang di atap rumah ini memungkinkan kita untuk menangkap siaran dari Malaysia sampai Cina. Setiap malam, saya akan duduk di depan TV bersama ibu saya untuk menonton Perjalanan ke Barat. Film seri ini ditayangkan dalam Bahasa Mandarin. Walaupun saya tidak mengerti, tontonan ini tetap saja menarik bagi anak yang lahir di tahun monyet.
Di saat yang sama, saya juga membaca komiknya yang berbahasa Indonesia. Formatnya tidak begitu lazim, karena itu saya ingat betul. Komik ini memiliki dua gambar per halaman dan setiap gambar memiliki narasi satu paragraf. Jauh sebelum Tiger Wong, di zaman yang hanya memiliki komik DC, Marvel dan bacaan dari Eropa seperti Asterix dan Tintin, komik Perjalanan ke Barat ini mengenalkan saya pada budaya Cina.
Saya rasa boleh dikatakan bahwa tidak mungkin bagi orang keturunan Cina untuk sama sekali tidak mengetahui tentang kisah Perjalanan ke Barat. Dalam setiap jenjang kehidupan saya, cerita ini senantiasa terdengar, baik dalam bentuk film seri di TV, komik (dan yang paling terasa kemiripannya waktu itu adalah kisah pertama Dragon Ball) serta film-film bioskop yang dibintangi oleh Stephen Chow. Sewaktu saya melihat buku dalam versi bahasa Inggris baru-baru ini, saya jadi tergelitik untuk mencari bukunya di perpustakaan.
Sekarang, di usia 40an, saya memiliki pemahaman yang lebih baik tentang budaya Cina, termasuk sejarah petualangan Xuanzang ke India. Setelah membaca kembali buku ini, meskipun hanya versi ringkasnya, saya bisa merasakan betapa buku ini sebuah karya klasik.
Berdasarkan alur cerita, sebenarnya kisah ini bisa dibagi tiga. Bagian pertama adalah tentang lahirnya Kera Sakti dan petualangannya yang mengguncang langit dan surga. Sepak-terjang Wukong akhirnya dihentikan oleh Budha dan dia dihukum 500 tahun lamanya. Setelah Wukong dibebaskan oleh Xuanzang, bagian kedua yang mengisahkan perjalanan ke India yang pun dimulai. Setiap bab memang berbeda isinya, tapi ada kesan bahwa ceritanya ditulis berdasarkan pola yang sama. Pokoknya Xuanzang selalu ditangkap dan Wukong akan menolongnya, baik dengan cara membasmi siluman ataupun meminta bantuan dewa-dewi. Bagian terakhir adalah tentang perjumpaan dengan Budha di India.
Kisah Perjalanan ke Barat ini gampang dibaca dan saya rasa bagian pertama adalah yang paling lucu dan heboh. Terjemahan bahasa Inggrisnya pun bagus dan akan lebih baik lagi kalau penerjemah menggunakan nama asli dewa-dewi yang diceritakan. Sebagai contoh, saya harus mencari cukup lama di internet untuk menemukan bahwa Divine Kinsman itu sebenarnya Erlang Shen, haha. Gaya bahasanya bagus, terutama karena penggunaan kata-kata yang cocok di bagian puisi.
Yang tidak kalah menariknya adalah cerita tentang Taoisme, Budhisme dan Konfusianisme. Lewat buku ini, saya baru diingatkan kembali bahwa banyak dewa-dewi, misalnya Raja Langit dan Nezha, adalah bagian dari ajaran Taoisme yang berasal dari Cina. Inilah alasannya kenapa Perjalanan ke Barat terjadi: karena Xuanzang ditugaskan untuk mengambil kitab suci Budha di India.
Secara keseluruhan, ini adalah bacaan yang santai dan lucu. Saat membaca, saya pun teringat lagi dengan berbagai adegan yang pernah saya tonton sebelumnya. Saya jadi ingat dengan adegan saat Wukong melompat dari tapak Budha, saat dia dikalahkan oleh Hong Hai-er, tentang kura-kura yang marah dan membuat kitab basah di sungai dan masih banyak lagi. Pokoknya berkesan!