Total Pageviews

Translate

Sunday, February 20, 2022

The Check-Up

Today's story had a prelude that happened back in 2008. We attended our ex-housemate's wedding in Jakarta and, as luck would have it, our flight back to Singapore was canceled. As we took the shuttle bus to Hotel Mulia, I happened to sit next to a doctor and we talked. That's when I heard the casual remark that I'd remember for life: "people are strange. They check their cars regularly, but they don't do the same for their own body."

The wedding we attended in 2008.

I heeded the advice, probably after I had kids, and I had been doing annual check-up since then. The result had been good until last October, when something called ALT was off the chart. I partly suspected it was due to vitamin C and fish oil that I consumed on daily basis. For the fact that I never fell sick in the past two years, something gotta give.

Thus began the other side of check-up that I never experienced before. Prior to this, things were fine and that was it. But now, there were actions to be done. Doctor advised me to stop taking fish oil and to start exercise regularly. Since I just finished the sessions with my personal trainer and continued with Strava time, this was covered. The doctor also wrote a referral letter for me to undergo ultrasound, to be done one month later.

I never did any medical procedure before, so I was feeling both curious and nervous at the same time. Apparently ultrasound was similar to what my wife went through when she was pregnant. The nurse applied some gels before she started scanning the tummy area. God knows what she was searching for, because the screen looked like a black-and-white TV with a very bad reception.

Few days after this was done, I went back to see the doctor. He said it was all right, but the ultrasound discovered some dodgy white nodes, so it was better to confirm if they were malicious. Again he wrote a referral letter, this time for CT scan. It took two visits to do this. First was for blood test, the second time was for the CT scan itself.

The catheter. Scary stuff!

Unlike ultrasound, CT scan looked more serious. For the first time ever in my life, I actually had a catheter inserted under my skin and into my vein. I wasn't quite sure how to react with that, so I tried not to move my arm as much as I could, haha. Then I entered a room with a donut-shaped machine made by Siemens. I lay down on a mechanical bed that moved back and forth into the donut hole. When the nurse injected something called contrast, there was this warm feeling flowing through the body. Creepy!

I heard about contrast a few years ago, when my Dad went for PET scan. It was something that would light up and was used as a marker for cancerous cells. With that in mind, I couldn't help thinking, what if the nodes were cancer? I told my wife that after four decades of eating and drinking as I wished, there were of course chances we'd find something that wasn't to our liking.

Never wore a gown before. Just had to immortalize this moment.

Since the worst case scenario was cancer, I did some soul-searching. I looked back only to realize again that I had tried my best and lived to the fullest. I definitely wouldn't like it at all if the result was bad. I might even struggle to accept it. But I wasn't that scared and I didn't have much regrets. In short, I had no problems sleeping. 

Then came the day I reviewed the result with the doctor. The mysterious white nodes were fat. Nothing was alarmingly bad, but it certainly could be better. There was no medicine for fatty liver, except a healthier diet and exercise. I told him I could live with that, thanked him and walked out from his room. 

Now that I think of it, annual check-up was a strange thing indeed. Sometimes it felt like we paid the price just to hear the doctor saying that everything was good for you to continue living happily until the next check-up. You got worried when that wasn't the case and the next thing you knew, you went through one medical procedure after another to figure out what wasn't right.

I discussed this with my friends whom were roughly the same age as me. Some said they were scared of the result and it was better not to know. Some said no point finding out if there wasn't any extra budget for the follow-up. Each opinion, I believe, was valid and as realistic as it got. My personal take, however, was to do check-up and find out the hard truth. If it turned out to be unpleasant, at least you could prepare for the next steps...


Check-Up

Cerita kali ini memiliki permulaan yang terjadi di tahun 2008. Saat itu saya menghadiri pesta pernikahan mantan teman serumah yang dilangsungkan di Jakarta. Pas pulang, ternyata penerbangan kembali ke Singapura dibatalkan. Saat berada di bis menuju Hotel Mulia yang disediakan maskapai Lufthansa, kebetulan saya duduk di sebelah dokter dan kita pun berbincang. Di kala itulah saya mendengar celetukan sang dokter yang saya ingat selalu: "manusia itu aneh. Mereka selalu rutin mengecek mobil mereka, tapi badan sendiri tidak pernah diperiksa." 

Pernikahan yang saya hadiri di tahun 2008.

Saya mematuhi nasehat itu, kalau tidak salah sejak saya memiliki anak, dan secara berkala melakukan check-up. Hasilnya selalu bagus, namun sesuatu yang disebut ALT melonjak angkanya tahun lalu. Saya curiga ini dikarenakan oleh vitamin C dan minyak ikan yang saya konsumsi setiap hari. Fakta bahwa saya tidak pernah sakit lagi sejak dua tahun lalu memang sulit dipercaya, jadi pasti ada harga yang harus saya bayar. 

Lantas mulailah sisi lain dari check-up yang tidak pernah saya alami sebelumnya. Dulu semuanya baik-baik saja, namun kali ini diperlukan tindak lanjut. Dokter menganjurkan saya untuk menghentikan konsumsi minyak ikan dan mulai berolahraga secara rutin. Saya sendiri baru saja menyelesaikan sesi olahraga bersama pelatih pribadi dan kini meluangkan waktu untuk Strava, jadi setidaknya sudah ada gerak badan. Selain itu, dokter juga menuliskan surat referensi untuk ultrasound yang harus saya lakukan sebulan kemudian. 

Saya tidak pernah menjalani prosedur medis apa pun sebelum ini, jadi saya merasa ingin tahu dan juga gugup dalam waktu yang sama. Ternyata ultrasound itu mirip dengan apa yang istri saya jalani sewaktu kita mengunjungi dokter kandungan dulu. Perawat mengoleskan semacam cairan lalu mulai menggerakkan alat scan ke sana kemari. Entah apa yang dia cari, sebab yang terlihat oleh saya hanyalah layar hitam-putih dengan tampilan seperti TV yang parah sinyalnya.  

Beberapa hari kemudian, saya kembali menemui dokter. Berdasarkan tinjauan dokter, hasilnya baik, tapi juga ditemukan bintik-bintik putih yang sebaiknya diperiksa lebih lanjut. Sekali lagi dokter menulis surat referensi, kali ini untuk CT scan. Butuh dua kunjungan untuk prosedur ini. Yang pertama adalah konsultasi dokter dan periksa darah. Kali kedua barulah prosedur CT scan.

Ini yang namanya kateter.

Berbeda dengan ultrasound, CT scan terlihat lebih serius. Untuk pertama kalinya dalam hidup saya, sebuah kateter dipasang menembus kulit hingga ke pembuluh darah. Saya tidak tahu harus bagaimana, jadi sedapat mungkin saya tidak menggerakkan sebelah tangan saya, haha. Saya lantas memasuki sebuah ruangan dengan mesin Siemens berbentuk lingkaran donat. Saya berbaring di atas tempat tidur mekanik yang bisa masuk dan maju-mundur di lubang donat. Ketika perawat melakukan injeksi cairan yang disebut contrast, ada rasa hangat yang mengalir di tubuh. Seram! 

Saya sempat mendengar tentang contrast beberapa tahun silam, sewaktu ayah saya melakukan PET scan. Cairan ini akan menyala dan digunakan sebagai penanda sel kanker. Saya lantas jadi kepikiran, bagaimana kalau bintik di dalam tubuh adalah kanker? Saya katakan pada istri saya bahwa setelah makan dan minum selama empat dekade, bukannya tidak mungkin kalau saya akan menemukan sesuatu yang tidak saya harapkan. 

Saya tidak pernah memakai gaun, jadi perlu saya abadikan momen ini. 

Karena skenario terburuk adalah kanker, saya jadi melihat kembali hidup saya. Sekali lagi saya menyadari bahwa saya sudah mencoba sebisa saya untuk hidup sepenuh hati. Ya, tentu saja saya tidak akan suka kalau hasil CT scan ini buruk. Saya bahkan mungkin butuh waktu untuk menerima kenyataan ini. Namun saya tidak terlalu takut dan tidak pula memiliki banyak penyesalan hidup. Secara singkat bisa saya jabarkan bahwa saya tetap bisa tidur dengan tenang. 

Lalu tibalah hari di mana dokter akan menjelaskan hasilnya pada saya. Bintik putih misterius itu adalah lemak. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, namun tentu saja hasilnya bisa lebih baik lagi. Tidak ada obat untuk yang namanya fatty liver ini, kecuali pola makan yang lebih baik dan olahraga. Saya setuju dengan pendapatnya. 

Kalau saya pikirkan lagi sekarang, check-up tahunan memang agak aneh konsepnya. Terkadang rasanya seperti membayar dokter hanya untuk mendengarkan opininya bahwa kita sehat-sehat saja sampai check-up berikutnya. Kita justru panik sendiri kalo hasilnya bukanlah yang kita harapkan dan kita pun menjalani prosedur medis satu per satu untuk menemukan apa yang salah. 

Saya berdiskusi tentang hal ini dengan teman-teman SMA yang seusia dengan saya. Ada yang berkata bahwa hasil check-up itu menakutkan dan lebih tidak tahu. Ada yang berkata bahwa percuma cari tahu kalau tidak ada uang untuk penanganan lebih lanjut. Saya rasa setiap pendapat itu sah dan realistis. Bagi saya pribadi, lebih baik check-up dan cari tahu. Kalau sampai hasil check-up itu tidak seperti yang diharapkan, minimal kita bisa mempersiapkan diri untuk langkah selanjutnya... 

Wednesday, February 16, 2022

That Feeling Of Being Left Behind

15 years are long enough to be deemed as an era. In my case, it actually covered my late twenties, my thirties and my early forties. The man, a colleague and a friend, was there like a permanent fixture in three decades of my life. Then came a day he decided to move on.

The usual drinking buddies.
Photo by Isaac.

I can't say if I was shocked, but upon hearing that, I experienced this awfully familiar feeling. The mixed feeling of being left behind, one that left you questioning a lot of things, such as why did he leave? Did I make a right decision by staying for this long? How's life going to be when he's no longer with us?

I felt this every time someone close to me was leaving the company. My mentors, a close colleague and drinking buddy, and now this fellow. But this time was so special because of what we went through together for the past 15 years, both work life and life outside work. Those days at Ong and the current work place, the food and the drink we had, those trips to Batam, Jakarta, Jogja, Kuala Lumpur and those that we planned but failed to materialize, and then the Bon Jovi concert. Those were fun, they were rock and roll.

When we were at Ong.

You'd notice that I mentioned Ong just now. The fact that we worked together in the same company before made it even more unique. I knew him when he was wearing glasses and he knew me when I was skinny. We were so young then and when I left, it felt like, "see you on the other side," because I knew we'd work together again in the next company.

Not this time, though. But we had great times and all good things must come to an end. So this one's for you, my man. To an end of an era and a beginning of your new chapter. As for that feeling of being left behind, I know I'll be fine. How can I confirm that? Well, I woke up this morning, thinking it was a new day and I got things to do. As long as I love what I'm doing, I'll be fine, regardless where I am...

When we visited Merapi.



Saat Serasa Ditinggal

15 tahun adalah waktu yang cukup lama untuk dianggap sebagai suatu era. Dalam konteks saya ini, era ini mencakup saya di penghujung umur 20an, sepanjang usia 30an dan juga awal 40an. Orang ini, baik sebagai kolega maupun teman, sudah bagaikan seseorang yang permanen di tiga dekade berbeda dalam hidup saya. Namun kemudian tiba waktunya bagi dia untuk pindah kerja.

Teman-teman minum.
Foto oleh Isaac.

Saya rasa saya tidak terlampau kaget, tapi terus-terang saya merasakan sesuatu yang sepertinya tidak asing lagi. Perasaan seseorang yang ditinggal, yang pada akhirnya membuat saya bertanya-tanya tentang banyak hal seperti kenapa dia pergi? Apakah saya membuat keputusan yang tepat untuk tetap di tempat? Seperti apa hidup saya nanti tanpa kehadirannya?

Hal ini saya alami setiap kali seseorang yang dekat dengan saya pindah kantor. Para mentor saya, seorang kolega dekat yang juga teman minum, dan sekarang orang yang satu ini. Yang membuat kejadian kali ini terasa lebih istimewa adalah apa yang sudah kami lalui bersama selama 15 tahun terakhir, baik dalam hal kerja maupun di luar pekerjaan. Hari-hari di Ong dan tempat kerja sekarang, saat kita makan dan minum, liburan ke Batam, Jakarta, Jogja, Kuala Lumpur dan juga berbagai rencana yang gagal terwujud, serta konser Bon Jovi. Semua itu berkesan, semua itu rock and roll.

Saat di Ong.

Anda lihat saya menyinggung tentang Ong di paragraf seblumnya. Fakta bahwa kami juga bekerja di perusahaan yang sama sebelumnya membuat perpisahan ini menjadi sangat unik. Saya mengenalnya ketika dia masih memakai kacamata dan dia mengenal saya ketika saya masih sangat kurus. Saat itu kita masih sangat muda sekali dan ketika saya berhenti dan pindah kerja, rasanya seperti, "sampai ketemu lagi di perusahaan berikutnya," karena kita sama-sama tahu itu akan terjadi. 

Tapi tidak demikian ceritanya kali ini. Kendati begitu, kita sudah menjalani begitu banyak hal bersama dan segala sesuatu yang baik tentu ada akhirnya. Jadi tulisan kali ini adalah untukmu, Teman. Untuk akhir dari sebuah era dan awal dari perjalananmu yang berikutnya. Meski ada rasa seperti ditinggal, saya akan baik-baik saja. Bagaimana saya bisa yakin? Hmm, tadi pagi saya bangun dan berpikir bahwa ini adalah hari yang baru dan masih ada banyak hal yang bisa saya kerjakan. Selama saya masih menyukai apa yang saya kerjakan, saya akan baik-baik saja, di mana pun saya berada... 

Saat mengunjungi Merapi.

Friday, February 4, 2022

At Least Twice

There was this funny pattern in our high school WhatsApp group: from time to time, there would be an idea that sounded so hilarious that we made fun of it, but then they actually made sense when we really gave it a thought. Off the top of my head, I could think of the grand plan to Japan and the Strava time that got me hooked.

Then came the day when we talked about a controversial book that triggered all sorts of opinions. Our friend Jimmy was adamant that it was a good book, but when asked to give a brief book review, he kept silent. He only said to us, "read it yourself, at least twice."

With Jimmy in Surabaya.
Photo by Jerold Lim.

Jimmy is known as a chatty fellow as he literally types long sentences in one chat, so it was very unusual for him to behave that way. His words got picked up and misused quickly as an in-joke among us. The phrase at least twice worked well with any sarcasm and mockery!

But just like any of its predecessors, that phrase wasn't a bad idea. When put together in a right context, not only it did make sense, it also sounded like nothing but the truth! As I pondered upon it, these three things came together and lingered. They stayed put, waiting to be told!

The first thing in my mind was the songs. The songs by the Beatles, to be specific. Stuff like Let It Be is good and it only got better after I listened to it for the second, third and what probably my one thousandth time for the past 26 years. After doing things at least twice, you might find that, to quote the Beatles, "it's getting better all the time!"  

With Yani, during our trip to Suzhou.

The next one was Suzhou. I remember the first time I visited the city. It was raining the whole day and I was supposed to stay only one night in Suzhou. I certainly wasn't impressed, but I gave it the benefit of the doubt and returned to the city again four years later. I loved it so much this round! That means, sometimes things might not be what they seemed at first and the second chance Suzhou truly deserved changed it all.

The last one happened to be its neighbouring city, Shanghai. I loved it the first time I was there as it felt like a bigger Singapore. So metropolitan, so impressive. But the second time I went there, it gave me the been there, done that kind of feeling. It just wasn't as charming as before. It was probably an illusion until you got disillusioned after the second glance.

Nanjing Road, Shanghai.

It was amazing how I ended up with three different results when I applied the concept of at least twice to what I had experienced. God knows what else you could observe if you tried it yourself, but I could tell you this much: the idea worked. And it was kinda wise to do so.

Now, for a closure, I'd love to tell you this. Looking back, and this pissed Jimmy off, I had decided that I didn't really enjoy visiting Surabaya. It's the second biggest city in Indonesia, but yet I couldn't feel the big city vibe like Jakarta. Jimmy would mumble that I must be an ass for making such a remark based on the few visits I had, but hey, I played by the rule! I visited the city at least twice, haha.



Minimal Dua Kali

Di grup WhatsApp teman-teman SMA, ada pola lucu seperti ini: dari waktu ke waktu, muncul ide yang terasa sangat konyol sehingga diolok-olok, tapi kemudian terasa masuk akal kalau dipikirkan kembali. Sebagai contoh, yang langsung terpikirkan oleh saya adalah rencana ke Jepang dan waktunya Strava yang akhirnya membuat saya ketagihan. 

Lalu tiba hari di mana kita berbincang-bincang tentang sebuah buku kontroversial yang menimbulkan berbagai opini. Teman saya Jimmy bersikeras bahwa ini adalah buku yang sangat bagus, tapi saat kita minta ulasannya, dia tidak mau menjawab. Dia hanya berkata, "baca sendiri, minimal dua kali." 

Bersama Jimmy di Surabaya.
Foto oleh Jerold Lim.

Bagi yang belum tahu, Jimmy ini dikenal sebagai pria yang paling suka menulis kalimat-kalimat panjang dalam satu kali chat, jadi tidak lazim baginya untuk tidak berkomentar. Kontan saja kata-katanya menarik perhatian dan langsung disalahgunakan sebagai lelucon. Frase minimal dua kali cocok digunakan sebagai bahan olok-olok dan sarkasme!  

Akan tetapi, sepertinya halnya dengan celetukan lain yang pernah muncul sebelumnya, frase ini bukanlah ide yang buruk. Ketika diaplikasikan dalam konteks yang benar, hasilnya terasa masuk akal dan benar. Ketika hal ini melintas di benak saya, ada tiga hal yang langsung terpikirkan. 

Yang pertama adalah tentang lagu, tepatnya lagu the Beatles. Contoh seperti Let It Be adalah karya yang bagus dan kian terdengar bagus di kali kedua, ketiga dan mungkin ke-1000 kalinya bagi saya dalam 26 tahun terakhir. Jadi dalam pengertian ini, hal yang sudah baik akan kian terasa baik bilamana dikerjakan minimal dua kali.

Bersama Yani sewaktu mengunjungi Suzhou. 

Yang berikutnya adalah Suzhou. Saya ingat saat pertama kali saya mengunjungi kota ini. Saat itu hujan sepanjang hari, sementara saya hanya menginap semalam di sana. Tentu saja saya tidak terkesan, tapi saya coba ke sana lagi empat tahun kemudian. Ternyata saya suka suasana kotanya! Ini berarti, ada kalanya sesuatu tidak bisa dinilai dari kesan pertama dan keindahan Suzhou yang saya saksikan di kesempatan kedua mengubah persepsi saya. 

Hal terakhir kebetulan berkaitan dengan Shanghai yang terletak tidak jauh dari Suzhou. Saya suka Shanghai dalam pandangan pertama karena suasananya yang mirip tapi jauh lebih luas dari Singapura. Kedua kalinya saya ke sana, saya justru mendapatkan kesan been there, done that. Kotanya tidak lagi memikat seperti sebelumnya. Artinya kesan pertama itu mungkin ilusi sampai anda tersadarkan di kali kedua. 

Jalan Nanjing di Shanghai.

Jadi tiga hal di atas adalah pengalaman yang saya dapatkan sewaktu menerapkan konsep minimal dua kali berdasarkan pengalaman pribadi saya. Anda juga mungkin bisa mengamati lebih lanjut bila anda coba sendiri. Sejauh ini, saya bisa katakan bahwa ide ini bagus dan bijak rasanya untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Nah, sebagai penutup, saya ingin mengakhirinya dengan cerita ini. Berdasarkan pengalaman saya, bisa saya katakan bahwa saya tidak begitu menyukai Surabaya. Meski merupakan kota kedua terbesar di Indonesia, Surabaya tidak memiliki nuansa kota besar seperti Jakarta. Jimmy pun mengomel saat mendengar penuturan ini, tapi saya sudah ikut peraturannya. Saya sudah ke Surabaya minimal dua kali, haha!