Total Pageviews

Translate

Saturday, September 25, 2021

The Talkshow

I had been interested in hosting a talkshow since 2014. We had a high school reunion that year and I thought it could be part of the show. My plan was to invite Eday, Jimmy and Heriyanto, the three men I admired most in terms of career, and we'd talk about how they made it. The idea felt brilliant, but failed to materialise.

Fast forward to 2021, it was the time of corona. Bleak though it was, our WhatsApp group chat had a good laugh with the quiz. When it was about to run its course, Eday and I talked about bringing the good work we did to the next level. When it comes to creativity, the man is always brimming with ideas!

Our first talkshow.

Between the two of us, he was the smart one and I was the impulsive one. That wasn't a bad combination. In fact, that's how we got it done. I was sold after listening to him. If there was a right time well supported by the right technology, it had to be now. Thus the talkshow on Zoom was born. We decided to test water with the most relevant topics of all: COVID-19 and vaccination.

I was quick to do what I did best in our little community: organizing the event. Other than getting the relevant panellists to attract the crowd for our premiere and writing down a couple of questions as a guideline, I didn't really plan much. It was not meant to be perfect, but I knew for sure it'd be warm and friendly because it was an online gathering of old friends. 

On air!

And there we had it live on the night of August 28, our first talkshow ever! It was another old dream realized and it felt good, but I had to say that I wasn't the most natural presenter. It was admittedly awkward and I struggled with the role, haha. Keeping the audience engaged and entertained by talking was a skill I didn't really have!

Still, despite the fact that I was lousy, the show lived on. Eday hosted the next episode that talked about Pontianak food and I returned on the following week for the topic about travels. After that, we switched to online quiz for one week before trying out a new idea called storytelling, again hosted by Eday. Before we knew it, five weeks had passed since we first started the talkshow!

Looking back, COVID-19 surely changes many things in life, but if there's one thing I learn here, it has to be our ability to adapt and bounce back. We either sat there and mourned about the freedom we lost or we did something to learn from each other and have a little laugh. When time was difficult and life could be daunting, I am glad that we chose to do the latter...

The one we had last night!



Obrolan Santai

Saya sudah tertarik untuk mengadakan talkshow sejak tahun 2014. Saat itu saya dan teman-teman SMA menyelenggarakan reuni dan saya pikir bahwa sesi obrolan dan tanya-jawab ini bisa menjadi bagian dari rangkaian acara. Saya bayangkan narasumber adalah Eday, Jimmy dan Heriyanto, tiga orang yang saya kagumi dalam hal karir, dan kita bisa berbicara tentang bagaimana mereka mencapai sukses. Ide ini bagus, tapi tidak terwujud. 

Tujuh tahun kemudian, kita hidup di zaman korona. Meski suram kelihatannya, grup WhatsApp kita tetap bisa tergelak, salah satunya karena kuis yang saya adakan. Ketika acara ini sudah mulai kehilangan momentum, Eday dan saya berdiskusi tentang bagaimana caranya membawa karya dan upaya ini ke level berikutnya. Kalau bicara tentang ide, orang ini memang jagonya! 

Acara Obrolan Perdana!

Di antara kita berdua, dia adalah yang pintar dan saya adalah yang impulsif. Ini bukan kombinasi yang buruk. Justru dari perpaduan dua karakter inilah impian sejak lama bisa terwujud. Saya jadi yakin setelah mendengarkan pemaparannya. Jika ada saat yang tepat dan didukung pula oleh teknologi yang tepat, maka sekaranglah waktunya. Talkshow lewat Zoom pun lahir. Kita sepakat untuk menguji minat pemirsa lewat topik yang paling relevan pada saat ini: COVID-19 dan vaksin.

Saya bergerak cepat mengerjakan apa yang mahir saya kerjakan di komunitas kecil kami: menggelar acara. Selain menghubungi para narasumber yang cocok dan bisa menarik perhatian khalayak ramai, saya tidak membuat rencana yang detil. Dalam benak saya, ini tidak akan menjadi acara yang sempurna, tapi saya tahu ini akan menjadi acara yang penuh kehangatan dan persahabatan karena yang berkumpul secara online adalah teman-teman lama. 

Ketika acara berlangsung.

Dan siaran perdana pun mengudara di malam hari, tanggal 28 Agustus. Saya berhasil mewujudkan apa yang saya impikan sejak lama, tapi harus saya akui bahwa membawakan acara bukanlah sesuatu yang bisa saya lakukan secara alami. Tetap saja ada kesan canggung meski saya telah berusaha keras melakoni peran ini, haha. Berinteraksi dengan penonton dan membuat mereka terbawa suasana hanya dengan modal bercakap-cakap saja bukanlah keahlian yang saya miliki.  

Kendati saya tidak becus, acara ini tetap berlanjut seminggu sekali. Eday menjadi moderator untuk episode berikutnya yang mengupas topik makanan Pontianak. Setelah itu saya kembali lagi dengan tema jalan-jalan. Kemudian saya mengadakan kuis online sebagai selingan. Jumat lalu, Eday mencoba ide baru dimana pembawa acara bercerita dengan sarana presentasi. Tidak terasa lima minggu pun sudah terlampaui! 

Kalau saya lihat kembali, COVID-19 memang mengubah banyak hal dalam kehidupan kita, namun bila ada satu hal yang saya pelajari dari pengalaman ini, maka itu adalah kemampuan manusia dalam beradaptasi. Kita saja duduk diam dan mengeluh tentang kebebasan yang hilang di masa ini atau kita justru melakukan sesuatu untuk belajar dari satu sama lain dan tertawa bersama-sama. Di kala hidup terasa sulit, saya senang bahwa kita memilih untuk melakukan alternatif kedua, belajar dan tertawa...

Acara obrolan semalam. 


Wednesday, September 15, 2021

Book Review: Forrest Gump

Certain characters can be so iconic that you'll immediately think of the actors that played them. This is one of the cases. The moment I started reading this book, I immediately thought of Tom Hanks. In my mind, the way he talked in the movie became the voice that narrated the novel I read.

The story began with a feeling that probably I should watch Forrest Gump again. After spending 2 hours 23 minutes on Netflix, I did some reading about the movie I just watched and was reminded that it was based a novel with the same name. It was written by Winston Groom and originally published in 1986. 

I learnt that the novel was quite different than the movie, so I got curious and browsed the library collection. Got my copy and, the moment I started reading, I just had to smile. Told in a first-person narrative, the wording was full of spelling and grammatical errors. The way it was written hinted that the person who told the story was retarded. If you had watched the movie before, you'd immediately think of Tom Hanks as Forrest Gump.

Some familiar characters such as Jenny Curran and Bubba were featured in the story. Their portrayals in the book and movie were quite similar. Lieutenant Dan, on the other hand, was slightly different than his movie counterpart. Forrest himself was very much aware that he was an idiot, but yet he could do the impossible such as solving mathematical problems, playing harmonica or defeating many chess grandmasters.

One of the highlights in the movie, moments he met people like Elvis and John Lennon, was not in the book. Both the book and the movie did tell about Forrest in Vietnam and his meetings with US presidents, but the time he joined NASA space program, the few years he was stranded in Papua New Guinea or his adventure as a wrestler could only be found in the novel. 

I'm not sure if i'd like the book if I never watched the movie, but I had to say that I chuckled a lot in the train when I read it on my way to and from office. Because he was an idiot, the way he viewed things were quite funny and innocent at the same time. Overall, a good reading and a great reminder that even a fool had a chance to succeed in this world, as long as he did it wholeheartedly!

Forrest Gump: the movie and the book.



Ulasan Buku: Forrest Gump 

Karakter-karakter tertentu bisa sangat identik dengan pemerannya sehingga anda langsung teringat dengan aktornya. Contohnya Forrest Gump. Begitu saya mulai membaca, Tom Hanks pun muncul di benak saya. Novel yang saya baca mengingatkan saya dengan gaya bicaranya. 

Cerita kali ini dimulai dengan suatu perasaan yang mengingatkan saya kembali untuk menonton Forrest Gump. Setelah menghabiskan 2 jam 23 menit di Netflix, saya iseng membaca tentang film yang baru saja saya tonton. Saya pun teringat kembali bahwa film ini diangkat dari novel. Ditulis oleh Winston Groom, cerita fiksi ini diterbitkan di tahun 1986. 

Berdasarkan apa yang saya baca, novel ini konon agak berbeda dengan filmnya. Saya pun jadi ingin tahu dan mulai mencari bukunya di perpustakaan. Saya dapatkan bukunya dan jadi tersenyum sendiri saat mulai membaca. Kisah yang diceritakan dalam sudut pandang orang pertama ini banyak kesalahan penulisan yang disengaja. Gaya penulisannya pun memberikan kesan bahwa yang sedang bercerita ini adalah orang idiot. Bila anda sudah pernah menonton filmnya, pasti langsung teringat dengan Tom Hanks yang berakting sebagai Forrest Gump. 

Beberapa karakter di film seperti Jenny Curran dan Bubba juga muncul di novel dan hampir sama pula kisahnya. Yang agak berbeda itu Lieutenant Dan. Forrest di novel sangat menyadari bahwa dia adalah orang bodoh, tapi seringkali tanpa sadar bisa mengerjakan hal yang mustahil, misalnya matematika, bermain harmonika dan mengalahkan para pecatur tangguh. 

Salah satu bagian yang menarik di film, saat Forrest bertemu dengan Elvis dan John Lennon, tidak ada di buku. Kisahnya di Vietnam dan pertemuannya dengan presiden Amerika ada di buku dan film, tapi pengalamannya sebagai astronot dan pegulat serta petualangannya di Papua Nugini hanya ada di novel. 

Saya tidak tahu apakah saya akan menyukai buku ini kalau saya tidak pernah menonton filmnya, tapi saya akui bahwa saya berulang kali tertawa sendiri di kereta dalam perjalanan ke dan pulang kantor. Secara keseluruhan, buku ini menarik untuk dibaca dan juga mengingatkan kita kembali bahwa orang bodoh pun bisa sukses di dunia ini kalau dia berupaya sepenuh hati! 

Wednesday, September 8, 2021

Robinson Travel

If you read what I wrote about a week ago, you'd notice a little something called Robinson Travel. It was an in-joke in our high school chat group, came about after I needed a name for trips I organized. Oh yes, I often made the plans. It's what I do! Some did happen, some failed to materialise. But how and when did this start?

I wish I could tell you that it began long ago, when Ardian, Jimmy, Endrico and I visited Bali in our mid 20s, but Robinson Travel came only much later, after our trip to Karawang in 2016. It was the first event we did after we had the WhatsApp group chat and that's when Robinson Travel was born.

When we were in Karawang.

And it didn't stop there. The portfolio kept growing after that. A year later, we had a walking tour in Singapore. The Lion City is best seen on foot, hence we walked. A lot! Probably quite torturous for tourists from Indonesia, haha. Still it was fun. I enjoyed showing them the beauty of Singapore.

In 2018, we had the parents and children trip to Hong Kong. In hindsight, the different timing of school holiday between Indonesia and Singapore certainly wasn't very accommodating. Only Endrico participated this time, so off we went to Hong Kong with our daughters. Quite an experience, I'd say. It'd probably become the one and only father and daughter trip for us. At the same time, it was good to know we were pretty capable fathers, too!

Ocean Park! Hong Kong!

Then came 2019 and I thought it was time to play host again. Hence we had another Singapore tour! The theme this round was destinations by request and we went to places the participants wanted to see. Walking was cut down a lot this time, but since this is Singapore, they still needed to walk, haha. We went to peculiar places that I wouldn't normally go, such as Grab office, Haw Par Villa and Apple Store.

Before the year ended, I organized another one, this time to Semarang in Indonesia. I always wanted to visit this city so I invited some to tag along. It turned out to be well-received, so there were five of us heading from Jakarta to Semarang by train while the other two drove from Surabaya and Sragen respectively. The tour eventually brought us to main cities such as Yogyakarta, Solo and Surabaya.

Exploring Semarang.

Next one would have been a trip to Da Nang, Vietnam, to celebrate the big 40 in 2020. It was a milestone! Life began at 40! But it was cancelled due to the rise of COVID-19. It had been roughly a year and a half since then and there was no certainty when we could travel again, but a grand plan inspired by Parno's dream had been made. We'll go to Japan, covering Tokyo, Kawasaki, Yokohama and Kamakura (because John Lennon once had a pancake there). 

So why Robinson Travel? That's because I like reading, daydreaming and planning. No doubt that I screwed up sometimes (and I always had a memorable Guangzhou trip in mind when I thought of this), but it was fun. More than that, it was about making a dream come true. People like me were driven by that. To me, it was like, "okay, we had done a trip together in Indonesia. How about going somewhere far for once in our lives?"

I guess the key is the phrase for once in our lives. We don't know when our time is up, but if I could, I would want to go with not much regrets in life. I dream and I make it happen, knowing that we'll have that memory we'll treasure for the rest of our lives.

The future is unknown. Little did we know that COVID-19 would happen after this.



Robinson Travel

Jika anda membaca apa yang saya tulis kira-kira seminggu yang lalu, anda pasti menemukan sesuatu yang saya sebut sebagai Robinson Travel. Ini adalah satu lelucon kecil di grup SMA yang muncul karena saya butuh nama untuk liburan-liburan yang saya adakan. Oh ya, saya suka membuat rencana jalan-jalan. Ini memang hobi yang dengan senang hati saya kerjakan. Beberapa terwujud, tapi ada juga yang batal. Namun bagaimana atau kapan semua ini bermula? 

Saya ingin sekali menyatakan kepada anda bahwa kisah ini dimulai bertahun-tahun silam, ketika Ardian, Jimmy, Endrico dan saya mengunjungi Bali di pertengahan usia 20an. Dengan demikian cerita kali ini pasti akan terdengar lebih dramatis, haha. Namun fakta berbicara bahwa Robinson Travel baru muncul lama setelah liburan ke Bali dan istilah ini pertama kali dipakai setelah kunjungan ke Karawang di tahun 2016. Itu adalah liburan pertama setelah kita memiliki grup WhatsApp dan dari situlah Robinson Travel bermula.

Ketika kita berada di Karawang.

Dan biro perjalanan fiktif ini tidak berakhir begitu saja. Rekam jejaknya kian bertambah semenjak liburan pertama. Setahun kemudian, saya mengadakan tur jalan kaki di Singapura. Negara kota ini paling menarik dilihat lewat sudut pandang pejalan kaki, jadi kita pun berjalan. Berkilo-kilo meter jauhnya. Sampai ampun turisnya, haha. Tapi tetap seru. Saya senang membawa mereka melihat indahnya Singapura.

Di tahun 2018, saya adakan kunjungan ke Hong Kong khusus ayah dan anak. Kalau saya lihat kembali, mungkin perbedaan liburan sekolah di Indonesia dan Singapura menyulitkan yang lain untuk berpartisipasi, jadinya hanya Endrico yang bisa ikut. Pengalaman yang satu ini sangat unik dan bisa saja ini menjadi satu-satunya liburan ayah dan anak bagi saya. Lega rasanya saat mengetahui bahwa saya cukup kompeten untuk menjaga anak siang-malam!

Ocean Park! Hong Kong!

Ketika tahun 2019 tiba, saya pun merasa bahwa sudah saatnya untuk menjadi tuan rumah lagi. Oleh karena itu, tur Singapura kembali diadakan! Kali ini tujuan wisatanya disesuaikan dengan keinginan peserta. Jalan kaki pun dikurangi, namun karena ini adalah Singapura, mustahil bisa dijelajahi tanpa berjalan kaki, haha. Kita mampir ke tempat yang biasanya tidak saya kunjungi, misalnya kantor Grab, Haw Par Villa dan Apple Store. 

Sebelum tahun 2019 usai, saya adakan satu liburan lagi, kali ini kunjungan ke Semarang. Saya tidak pernah ke Semarang dan selalu berniat untuk melihat kota ini, jadi saya pun ajak yang lain untuk ke sana. Ternyata cukup banyak peminat. Akhirnya lima, termasuk saya, berangkat dari Jakarta dengan kereta sementara dua teman lain masing-masing berangkat dari Surabaya dan Sragen. Tur kali ini membawa kita melewati berbagai kota seperti Yogya, Solo dan Surabaya. 

Menjelajahi Semarang.

Da Nang di Vietnam nyaris menjadi tujuan berikutnya. Saat itu saya hendak merayakan usia 40 dengan wisata ke luar negeri bersama teman-teman, namun rencana ini akhirnya batal karena COVID-19. Sudah lebih dari setahun berlalu semenjak wabah melanda dan hingga saat ini, belum ada tanda-tanda kapan kita akan bisa berlibur lagi. Kendati demikian, sebuah rencana yang terinspirasi dari keinginan Parno sudah dirancang. Kita akan ke Jepang dan mengunjungi Tokyo, Kawasaki, Yokohama dan Kamakura (karena John Lennon pernah makan pancake di sana). 

Jadi kenapa Robinson Travel? Ini karena saya suka membaca, berangan-angan dan membuat rencana untuk mewujudkannya. Tak diragukan lagi bahwa kadang saya pun salah langkah dalam membuat rencana liburan (dan kesalahan ini selalu mengingatkan saya tentang liburan ke Guangzhou), tapi tetap saja seru. Lebih dari itu, pada akhirnya yang penting adalah membuat impian menjadi kenyataan. Orang-orang seperti saya senantiasa termotivasi oleh hal ini. Bagi saya, rasanya seperti, "nah, kita telah berlibur bersama di Indonesia. Bagaimana kalau sekali dalam seumur hidup, kita pergi ke luar negeri, melihat negara yang agak jauh?"

Saya kira kuncinya di sini adalah frase sekali dalam seumur hidup. Kita tidak tahu kapan waktu kita akan berakhir di dunia fana ini, tapi sebisa mungkin saya ingin hidup tanpa banyak penyesalan. Saya bermimpi dan mewujudkannya karena saya tahu hanya kenangan yang bertahan sampai akhir hayat kita nanti... 

Masa depan tidak bisa diprediksi. Tak pernah terduga bahwa COVID-19 merajalela tidak lama setelah liburan ini.