Total Pageviews

Translate

Thursday, November 30, 2017

Monas Di Tiga Zaman Gubernur Jakarta

Monas (Monumen Nasional) adalah salah satu landmark di Jakarta dan bisa juga disebut icon. Karena keberadaannya sebagai icon inilah saya beberapa kali ke Monas. Setiap kali tamu atau kerabat dari luar negeri berkunjung ke Jakarta, pasti saya bawa ke Monas.

Di bawah cawan Monas itu ada diorama-diorama perjuangan indonesia dari zaman kerajaan sampai merdeka. Lumayan menarik karena diorama itu menggambarkan cerita sejarah yang kita pelajari saat di sekolah. Kalau kita naik ke atas, dari api Monas bisa kita lihat pemandangan ring satu Jakarta, mulai dari Istana Presiden sampai Walikota.

Yang ingin saya tulis adalah perbedaan Monas di era tiga gubernur berbedà, yaitu Fauzi Bowo, Jokowi-Ahok-Djarot dan Bapak Anies:

Zaman Bapak Fauzi Bowo
Setelah tinggal di Jakarta sekitar sembilan tahun, saya baru berkesempatan ke Monas karena istri saya mengajak saya pergi. Pertama datang, kesan saya adalah, "wow, lapangannya besar, ya?" Dari gerbang ke tugu Monas, kita harus berjalan kaki. Sekeliling kita semrawut karena banyak yang berjualan. Tukang foto keliling, tukang sewa sepeda dan penjual kaki lima berjajar sampai di depan pintu karcis. Oh ya, kalau mau masuk ke cawannya, pengunjung harus membeli tiket seharga Rp. 5.000 dan pintuk masuknya terletak di seberang Monas, sekitar 20 meter dari tugu. Dari situ kita bisa masuk melewati terowongan. Untuk naik ke atas, tiket senilai Rp15.000, tapi karena lift hanya satu dan lambat, kita bisa antri selama 3 jam. Sangat jauh dengan menara 101 di Taipei yang memiliki lift tercepat di dunia (1km per menit, sangat cepat). Harap maklum.

Zaman Jokowi-Ahok-Djarot
untuk masuk Monas, kita melewati Lenggang Jakarta. Kelihatan perubahan yang sangat jauh dimana penjual makan, toko cinderamata dan lain-lain diatur dengan rapi. Makanan wajib dibeli dengan menggunakan Jakarta One, tapi ada pedagang nakal juga tidak mau menggunakan kartu.

Setelah melewati Lenggang Jakarta, kita bisa jalan kaki ke tugu atau naik mobil wisata ke depan tugu dengan menunjukan kartu Jakarta One. Pemandangan berubah jauh: sangat rapi, aspal mulus dan bebas dari pedagang, jadi tidak malu 'lah membawa tamu ke Monas. Oh ya, di zaman ini kegiatan di Monas dibatasi.

Zaman Bapak Anies Baswedan
Zaman Bapak Anies ini, kebetulan saya belum berkesempatan ke Monas, tetapi telah diberitakan bahwa Monas dibebaskan sebagai ajang kegiatan. Biasanya, kalau sudah bebas begitu, pedagang kembali tidak tertib. Mudah-mudahan Monas tetap terjaga kerapiannya di zaman Bapak Anies.


Tuesday, November 28, 2017

Kembalikan Akal Sehat Sebagai Dasar Pemikiran (Ananda Sukarlan)

Akhir-akhir ini banyak berita yang meliput tentang Kolese Kanisius yang dicap oleh sebagian orang sebagai tempat pencetak alumni yang tidak punya manner. Ada pula isu mau didemo segala. Membaca berita-berita tersebut membuat saya ingin menuangkan pemikiran pribadi saya dalam bentuk tulisan ini.

Menurut saya, kita harus mengerti apa arti kata manner dahulu, baru kita mengatakan seseorang punya manner atau tidak. Selain itu, perlu ditekankan bahwa sangatlah subjektif ketika kita berani mengatakan orang tidak punya manner, tapi kita tidak memberikan waktu dan ruang kepada yang bersangkutan untuk menjelaskan maksud dari tindakannya.

Ananda Sukarlan berjalan keluar (walk out) saat seorang gubernur memberikan pidatonya. Menurut saya, Ananda memberikan teladan manner yang baik. Dia menghargai perbedaan dengan tidak membuat keributan saat orang yang berbeda pendapat dengannya berpidato. Lebih dari itu, Ananda tidak memprovokasi yang lain untuk berjalan keluar. Di sini terlihat bahwa Ananda tidak munafik dengan pura-pura bersikap baik di depan orang yang tidak sejalan pemikirannya. Saya juga menghargai orang-orang yang tidak sejalan dengan seseorang, tapi di depannya bersikap kalem dan tidak menunjukan rasa tidak suka. Mari kita hargai perbedaan sikap setiap orang. Yang terpenting adalah boleh berbeda pendapat tapi jangan lakukan provokasi. Ananda bukan tidak suka dengan gubernur tersebut tapi tidak sependapat dengan cara-cara yang dilakukannya.

Di sini saya bisa lihat bahwa Ananda tidak mengajak orang-orang berdemo karena perbedaan pendapat. Dia juga tidak mengajak orang-orang yang tidak tahu-menahu persoalan tersebut untuk memboikot. Jadi, bagaimana bisa Ananda dianggap tidak punya manner?

Saya ingin sekali bertanya kepada orang-orang yang karena adanya sedikit perbedaan, langsung mengajak demo. Demo itu, meski diijinkan secara hukum tapi kenyataannya sering melanggar hak orang lain (membuat macet, membuat orang yang mau beraktivitas menjadi takut, dan lain-lain). Belum lagi yang lagi trend lain yaitu boikot, sampai orang yang tidak tahu masalah pun ikut-ikutan. Sepertinya di negara kita yang tercinta ini, orang-orang pengecut semakin merajarela, tidak berani lagi melawan atas nama pribadi, tapi harus menggalang massa untuk menyatakan perbedaan pendapatnya. Kalau begitu, di mana letak manner orang-orang yang suka mengajak demo dan boikot tersebut?

Alvin dan teman-teman dalam acara reuni.

Sunday, November 26, 2017

A Taste Of Pontianak

There are things that we see them so often in life we end up taking them as a norm until we are told otherwise. For example, I never realized that the surroundings nearby Pontianak was so flat until my wife pointed out to me right before our plane landed. I also thought the water I used for bathing for the past 22 years was alright until my wife said it actually looked yellowish. The illusion was shattered and things were never be the same again since then.

A plate of Alu's chicken rice.
Photo by Endrico Richard.

It was the same for the so-called chicken rice from Pontianak. Only God knows why it was called chicken rice in the first place when it actually had more pork than chicken. It'd been a misnomer for the longest time and the term was widely used in Pontianak and nobody seemed to question it at all. When Cita Rasa restaurant started selling Hainanese chicken rice in the early 2000s, I remember thinking, "now this is a different looking chicken rice," but it didn't occur to me that the one I ate for almost two decades was perhaps not a chicken rice at all!

For a comparison, the regular Hainanese chicken rice. 

The misleading name aside, it actually tasted really good and was quite popular in Pontianak. It was basically a plate of rice covered with a generous portion of sliced pork meat and sausage, a slice of stewed egg that was neatly cut using a string of sewing thread (at least that's how it was done back then) and then a bit of chicken to justify the name. Once all the ingredients were there, the sticky soup would be poured on top of it. Some vendors would add the decorative but edible cucumbers, but I didn't think it was compulsory, haha.

When I was still living in Pontianak, there were at least three big names to go to when I was craving for chicken rice: Asan, Alu and Akwang. Asan was a bit too far from where I stayed at (Pontianak people had a peculiar definition of far, but let's save that story for another day) and Akwang was too expensive for my wallet, so Alu was a logical choice thanks to the proximity and affordability.

The chicken rice was also uniquely Pontianak (or West Borneo in general). If you ever saw it elsewhere, most likely the stall was opened by somebody from Pontianak. I was told that Asan had a branch in Jakarta and my friend Hardy ever brought me to Akwang's branch in 2014, a day before we did the high school reunion. Alu, on the other hand, was as original as ever, because he migrated to Jakarta and re-opened his business there.

It took me a while to visit Alu again. I went there with my pal Endrico during lunch time, when I had a business trip to Jakarta in early 2016. The feeling was like two estranged friends, separated in life and I got nervous, not really knowing if the chicken rice would be as good as it was. When I reached there, I found it rather amusing that it was now called mixed rice instead of chicken rice. Not exactly the same as a better known Kenanga mixed rice, but at least it sounded about right.

Putri Kenanga, another type of mixed rice. 

I finally had a plate of Alu's chicken rice (oh yes, it's kind of odd to call it mixed rice). Not only it didn't disappoint, it also brought back the good old memories: those days when I rode my bike to Alu for a packet of chicken rice, knowing for sure that I'd a good meal that day. For that sentimental reason alone, I would have gone back there again, but as luck would have it, Alu's daughter-in-law was our high school friend, too!

As Jakarta was often the stop for many of us who were living abroad, where else should a bunch of old friends hang out while having a taste of Pontianak? At Alu's chicken rice stall, of course! So there we were, when we finished our trip to Karawang and got back to Jakarta last year. We went back again this year, a bigger group than before. Nothing beat a short reunion coupled with the local delicacy we knew and loved, really...

The legendary Alu.
Photo by CP.


Cita Rasa Pontianak

Di dalam hidup ini, ada beberapa hal yang kita anggap normal karena terlampau sering kita lihat dan ilusi itu baru buyar ketika orang lain memberitahukan kita sebaliknya. Misalnya saja, saya tidak pernah menyadari bahwa daerah di sekitar Pontianak tergolong datar, apalagi kalau dibandingkan dengan Bandung, sampai saya mendengar komentar dari istri saya saat pesawat mulai mendarat. Saya juga berpikir bahwa tidak ada yang aneh dengan air di Pontianak yang dulunya biasa saya pakai untuk mandi. Belakangan ini saya baru sadar bahwa air ledeng di Pontianak itu kuning warnanya.

Sama halnya dengan nasi ayam di Pontianak. Seorang teman asal Singapura bertanya, kenapa makanan ini disebut nasi ayam padahal lebih banyak daging babinya. Saya lantas tersentak. Ternyata benar juga ucapannya. Selama ini saya salah kaprah dan sepertinya tidak ada yang mempermasalahkan hal ini di Pontianak. Ketika restoran Cita Rasa mulai menjual nasi ayam Hainan di awal tahun 2000, saya dengan polosnya berpikir, "hmm, ini nasi ayam yang berbeda dari biasanya," tanpa pernah menyadari bahwa makanan yang saya santap selama dua puluh tahun terakhir ini mungkin sama sekali bukan nasi ayam!

Meski namanya menyesatkan, nasi ayam Pontianak sangat lezat dan populer. Nasi ayam ini pada dasarnya adalah sepiring nasi yang disajikan dengan irisan daging merah dan sosis babi, telur semur yang dibelah dengan seutas benang jahit (teknik klasik ini dipakai oleh mereka yang berjualan puluhan tahun silam) dan beberapa potong daging ayam. Setelah itu, sup kental akan disiramkan di atas nasi dan daging. Kadang ada juga yang menambahkan dekorasi berupa timun, tapi menurut saya, tambahan ini tidak terlalu penting, haha. 

Ketika saya masih tinggal di Pontianak, setidaknya ada tiga nama besar yang sering dikunjungi para peminat nasi ayam: Asan, Alu dan Akwang. Asan terlalu jauh dari tempat saya tinggal (ya, orang Pontianak memiliki definisi yang unik tentang jauhnya suatu lokasi) dan Akwang terlalu mahal untuk dompet saya, jadi Alu adalah pilihan yang masuk akal karena jaraknya yang dekat dan ramah dengan isi saku. 

Nasi ayam ini juga unik karena hanya ditemukan di Pontianak dan sekitarnya. Jika anda melihatnya di tempat lain, besar kemungkinan bahwa pemiliknya berasal dari Kalimantan Barat. Saya pernah diberitahu bahwa Asan memiliki cabang di Jakarta. Teman saya Hardy pernah membawa saya ke Akwang cabang Jakarta di tahun 2014, sehari sebelum kita reuni. Hanya nasi ayam Alu yang masih dikelola oleh Alu sendiri karena dia pindah ke Jakarta dan kemudian buka lagi di sana.

Hari dimana saya menyantap Alu untuk pertama kalinya di Jakarta. 

Saya sendiri pindah ke Jakarta sejak tahun 2002, namun saya baru sempat mencicipinya lagi 14 tahun kemudian. Saya ke sana bersama teman saya Endrico di tahun 2016, tatkala saya ke Jakarta dalam rangka kerja. Saat saya dalam perjalanan ke sana, sedikit-banyak ada timbul perasaan seperti hendak berjumpa dengan teman yang sudah lama tidak bertegur-sapa dan saya jadi bertanya-tanya, apakah rasanya masih seenak yang saya ingat. Sewaktu kita tiba di sana, yang pertama terlihat adalah tulisan Nasi Campur Alu. Jadi namanya sudah dikoreksi sekarang. Walau sama sekali tidak mirip Nasi Campur Kenanga, setidaknya terdengar lebih tepat. 

Saya akhirnya menyantap sepiring nasi ayam Alu (oh ya, aneh rasanya untuk menyebutnya sebagai nasi campur). Santap siang itu bukan saja tidak mengecewakan, tetapi juga membawa kembali kenangan lama: saat saya bersepeda ke Alu untuk membeli sebungkus nasi ayam dan pulang dengan hati riang dan tidak sabar untuk makan enak. Sedapnya nasi ayam Alu sebenarnya sudah menjadi alasan tersendiri bagi saya untuk kembali lagi ke sana, namun alasan lain yang tidak kalah menariknya adalah karena menantunya juga merupakan teman sekolah saya.

Dari kiri: Alvin, Susanti, Tuty, Susan, Endrico dan Rudiyanto, setelah kita kembali dari Karawang.

Dengan demikian, karena Jakarta seringkali menjadi tempat persinggahan bagi kita yang tinggal di luar negeri, di mana lagi kita sebagai para teman lama bisa berkumpul sambil menikmati cita rasa kampung halaman? Tentu saja di Alu! Jadi di sanalah kita berada, saat kita pulang dari perjalanan ke Karawang tahun lalu. Kita kembali berkumpul di Alu lagi tahun ini, kali lebih ramai dari sebelumnya. Pada akhirnya, tidak ada yang mengalahkan reuni singkat yang disertai dengan makanan lokal yang kita kenal dan sukai dari sejak kecil...

Dari kiri: Angelina dan pacar, Alvin, Mul dan anak, Anni, Susan, Anthony, Sonia, Eday, CP dan Han Kiang.



Tuesday, November 21, 2017

At The Zoo

Outdoor activities such as jungle trekking is way too challenging for me, definitely something that I won't plan for my holiday, but on the other hand, I'm always fascinated by the wildlife. This perhaps explains why zoo visit is often featured in my travelling itinerary. It's like the best way to see tiger without getting mauled by it.

Three brave men and a tiger. Good for them, but I'd prefer to keep some distance!
Photo owned by Bernard Lau.

The lifelong interest was triggered by my Mum. After many bedtime stories about the animals, she eventually brought me to see the real deal. I vaguely remember the Pontianak Zoo, located on Jalan Adi Sucipto, nearby the advertisement board that shaped like a giant tin can of Dancow milk powder. The crocodile looked menacing in its watery cage and there were few bears in the pit. The zoo was very old school and, for the fact that it was badly designed and poorly maintained, perhaps it's a good thing that it is now closed down permanently.

Though it was awful by today's standard, the visit to the Pontianak Zoo had a lasting impression. I was in awe since then, always eager to come back for more and zoo visits quickly became the highlights of my childhood. My next recollection, for the longest time, was this memory of seeing a polar bear in Jakarta. I remember wondering how the polar bear was going to survive the tropical weather, so was the memory real or was I just dreaming then?

First visit to Taman Safari.

It was real, apparently, but I used to think that the zoo was Ragunan, therefore it didn't seem right, because Jakarta was so hot and humid that the polar bear could melt and die of dehydration. Thanks to Wikipedia, I figured out recently that Taman Safari did house polar bears in the past. It made sense, since the weather was cool. Located in Bogor, Taman Safari was the animal theme park where we had to drive through, because the animals roamed freely. It was a brilliant experience, but yet it took me another two decades before I got a chance to visit such theme park again, this time the sequel of the original Taman Safari in East Java, haha.

With Setia (middle) and Alfan (right), visiting Taman Safari II in East Java.
Photo by Endrico Richard. 

Meanwhile, the journey continued and it brought me to the best zoo to date: the Singapore Zoo. I remember visiting Jurong Bird Park at the same time, but apart from the penguins enclosure, I didn't find the bird park enjoyable. Singapore Zoo was the impressive one and throughout the years, it kept evolving and spawning new attractions such as Night Safari and River Safari. The former is like visiting a zoo at night, definitely unique as some animals are nocturnal, which means they are only active after dark. The latter has a river theme with panda's enclosure slotted in the middle of it.

Jurong Bird Park? It looks like one, but I think this was me at the Singapore Zoo.

As an adult, I went to many zoos, from Malacca Zoo to Yangon Zoo. Now, if Singapore Zoo is the best, why would I bother to visit others? First of all, it was only through those visits I ended up concluding that Singapore Zoo is still ranked as number one thus far. Secondly, not even Singapore Zoo has all the animals that I'd like to see. For example, I went all the way to Tama Zoo just because I wanted to see the majestic African elephants (as a bonus, it also had Indian rhinos there). At Ueno Zoo, I saw gorillas for the first time. Same goes for Bactrian camel and takin that I saw at Nanning Zoo and Guangzhou Zoo respectively. Furthermore, the climate varied from one place to another. I had this idea that the animals could behave differently due to this. This theory might or might not be true, but when I was in Guangzhou Zoo during Chinese New Year, I heard the tiger growling from afar for the first time ever and it was loud! To think that it was just a growl and the tiger hadn't roared yet! Anyway, I think the big cat was hungry due to the cold weather in the beginning of spring season, haha.

It was a pity that I didn't go to the London Zoo, one of the oldest zoos in the world, but hopefully I'll have the chance one day. However, if there's one in the bucket list right now, it has to be the Biblical Zoo in Jerusalem. With such a biblical name, I guess it can't go wrong. Is there anybody keen for a trip to Israel?

Joseph and I, at the Yangon Zoo.


Di Kebun Binatang

Saya tidak termasuk peminat aktivitas yang terlalu menantang seperti mendaki gunung atau menjelajah hutan, jadi saya tidak pernah merencanakan kegiatan yang ekstrim seperti itu tatkala berlibur. Kendati begitu, di satu sisi, saya selalu menyukai dunia fauna sehingga kebun binatang seringkali menjadi salah satu tempat tujuan perjalanan saya. Bagi saya, kebun binatang adalah tempat ideal untuk menyalurkan hobi tanpa resiko diterkam harimau.

Minat yang satu ini ditanamkan sejak dini oleh ibu saya. Dia suka mendongeng tentang gajah, jerapah dan hewan lainnya sewaktu saya masih balita, kemudian dia membawa saya berkunjung ke kebun binatang untuk pertama kalinya. Kalau saya tidak salah mengingat, Kebun Binatang Pontianak terletak di jalan Adi Sucipto, tidak jauh dari papan iklan berbentuk kaleng susu Dancow. Buayanya berendam dalam air dan dikurung di balik jeruji besi. Selain itu ada juga kandang yang berbentuk seperti sumur sehingga kita harus memanjat dan melihat beberapa beruang di bawah sana. Kebun binatang yang kecil, tidak hewani dan juga tidak terawat ini sekarang telah ditutup selamanya.

Junaidi dan jerapah, sewaktu kita berkunjung ke Kebun Binatang Bandung.

Meski terlihat buruk untuk standar masa kini, kunjungan ke Kebun Binatang Pontianak itu memberikan kesan pertama yang abadi. Sejak itu saya terkesima dengan fauna dan tidak pernah menolak bila diajak ke kebun binatang. Kenangan saya yang berikutnya adalah ingatan tentang beruang kutub di Jakarta. Saya ingat betul bahwa saat itu saya merasa heran, bagaimana bisa beruang kutub bertahan di daerah tropis, jadi apakah kenangan itu benar terjadi atau saya hanyalah bermimpi?

Setelah diselidiki, saya tidak sepenuhnya salah ingat, namun selama ini saya selalu menyangka bahwa saya melihat beruang kutub di Ragunan, oleh karena itu terasa tidak masuk akal, sebab Jakarta sangat panas dan bisa-bisa beruang kutub itu mati meleleh karena cuaca di Jakarta. Berkat Wikipedia, saya akhirnya menyadari bahwa kenangan itu terjadi di Taman Safari. Karena letaknya yang tinggi di daerah pegunungan, iklimnya dingin dan tidak terlalu buruk untuk beruang kutub. Taman Safari terletak di daerah Bogor dan merupakan taman yang dijelajahi dengan mobil karena hewan-hewannya bebas berkeliaran. Sungguh pengalaman yang berbeda dari kebun binatang biasa, namun saya hanya berkesempatan untuk mengunjungi Taman Safari lagi dua puluh tahun kemudian, kali ini kita ke Taman Safari II di Jawa Timur, haha.

Dari kiri: Markus, Endrico, Lina, Andy, Alfan, Anthony. Fendy dan Sugi.

Sementara itu, petualangan terus berlanjut dan saya akhirnya mengunjungi kebun binatang terbagus sampai sejauh ini: Kebun Binatang Singapura. Saya juga berkunjung ke Jurong Bird Park pada saat yang hampir bersamaan, namun selain pesona kandang penguin yang terbuat dari kaca, saya cenderung tidak begitu menyukai taman burung. Kebun Binatang Singapura jauh lebih berkesan, selalu berinovasi dan telah melahirkan dua tempat wisata baru. Yang pertama adalah Night Safari, kebun binatang malam hari yang tentunya unik karena menampilkan binatang yang aktif di malam hari, sedangkan River Safari adalah kebun binatang dengan tema sungai dan juga memiliki kandang khusus untuk panda.

Yani dan Linda di River Safari.

Setelah dewasa, saya masih tetap mampir ke berbagai kebun binatang, mulai dari yang di Malaka sampai dengan yang di Yangon. Nah, jika yang di Singapura adalah kebun binatang terbagus, kenapa saya masih saja mengunjungi kebun binatang lainnya? Pertama-tama perlu dijelaskan bahwa saya bisa berkesimpulan bahwa Singapura memiliki kebun binatang terbaik karena saya mempunyai perbandingan setelah melihat yang lain.

Kedua, perlu ditekankan juga bahwa kebun binatang terbaik pun tidak sanggup mengoleksi semua fauna. Karena alasan inilah saya tetap mengeksplorasi kebun binatang lainnya. Misalnya saja, sewaktu berada di Jepang, saya mampir ke Kebun Binatang Tama karena ingin melihat gajah Afrika (sebagai bonus, di sana juga ada badak India yang belum pernah saya lihat sebelumnya) dan juga ke Kebun Binatang Ueno yang terkenal dengan gorilanya. Sama halnya sewaktu saya berada di Nanning dan Guangzhou, pada kesempatan tersebut saya melihat unta berpunuk dua dan takin.

Yani and penyu, ketika kita di Kebun Binatang Nanning.

Alasan lainnya, dan yang ini mungkin hanya dugaan saya semata, adalah iklim yang berbeda di tempat yang berbeda sehingga sifat binatang yang tinggal di sana pun berbeda. Saya tidak pernah mendengar raungan harimau sebelumnya sampai saya menginjakkan kaki di Kebun Binatang Guangzhou. Suaranya begitu keras dan terdengar dari kejauhan. Saya rasa harimau tersebut mungkin lapar karena dinginnya cuaca di saat permulaan musim semi, haha.

Sangat disayangkan bahwa saya tidak sempat ke Kebun Binatang London saat saya berlibur ke Inggris, tapi saya berharap masih ada kesempatan untuk itu di lain kali. Yang benar-benar ingin saya kunjungi adalah Kebun Binatang Biblical di Yerusalem. Dari namanya saja terdengar menarik karena berhubungan dengan kitab suci. Jadi ada yang berminat ke Israel?

Bersama Linda di Kebun Binatang Tama.

Monday, November 20, 2017

Unpredictable Journey To Hong Kong (Part 2)

You know what? When I was in Hong Kong, I went to two government agencies because I had to assist my auntie. One was near to my aunt's flat and the other was at the city centre. When we were there, we saw a lot of cameras. I thought I was going to be interviewed! But for better or worse, nothing actually happened to me, haha. 

So there we were, inside this main office. There were sign boards saying, "no speaking, be silent," which made me a little nervous as I was waiting for my name to be called, because it felt very... uncomfortably official.

Macau!

After a long wait, apparently the officer called my aunt's name instead mine. I felt relieved! Once done, we went to the park nearby for a walk and taking pictures. On the last day, we went for shopping and then we went back home to Indonesia.

We thought the problem was sorted now, but wait, on the following year, precisely in the mid October, we were contacted again by my aunt from Hong Kong, saying that I had to go there to sign something on her behalf.
      
Typical flat in Hong Kong.

So we went back again, this time we brought so many things from Pontianak to satisfy my aunt's craving for our local delicacies. I arrived there and the next morning, my aunt and I immediately went for the signing. I said to myself, "hmm, what an expensive signature."

We went to Macau afterwards, having fun there, but by the time we went back to Hong Kong, we had a little problem with the authority there. We were asked by them, "do you have your tickets to go back to Indonesia?" I said yes, but we forgot to bring the tickets and we left them at my aunt's.

But the officer was adamant and we were not prohibited to enter Hong Kong until we showed the return tickets! My aunt rushed back to get the tickets and we were eventually allowed to enter Hong Kong. It was a day to remember, really! Guys, if you travel to Macau and plan to go home via Hong Kong, do bring the return tickets along with you! 

The entourage.

     

Friday, November 17, 2017

Moreton Island

Pulau Moreton terletak di sebelah timur laut dari Brisbane, sebuah pulau resort yang dikenal sebagai Tangalooma. Pulau ini bisa dicapai dengan menggunakan feri di Brisbane Harbour. Pulau ini dikelilingi air laut tenang yang sebening kristal. Di pulau ini terdapat banyak penginapan dan aktifitas yang menarik. Kebetulan saya dan Mama berkesempatan mengunjungi pulau yang sangat indah ini. Saya akan berusaha menceritakannya lewat tulisan ini supaya pembaca tergoda untuk pergi ke pulau ini.

Kami berangkat dari Brisbane Harbour dengan Dolphin Express, kapal feri yang mirip seperti kapal feri Batam-Singapura. Sampai di pulau, kita check-in dan langsung ke bibir pantai untuk mengikuti aktifitas utama di pulau ini, yaitu memberi makan lumba-lumba liar. Yah, liar! Tiap sore lumba-lumba akan ke pinggir pantai untuk makan dari pemberian pengunjung.

Yang saya salut tuh petugas di Tangalooma resort sangat memperhatikan kesehatan lumba-lumba liar itu. Mereka memastikan bahwa tangan kita harus dicuci dengan bersih. Setelah memberi makan lumba-lumba, kita akan diarahkan ke restoran. Di sini saya cukup kaget dengan porsi makan orang Australia. Saya pesan stik ayam dan setelah dihidangkan, ternyata porsinya sangat besar, kira-kira setengah ekor kalkun (saya juga alami hal ini pas sedang membeli kentang goreng: porsinya besar dan harganya juga ok, hanya 210.000 rupiah).

Besoknya kita langsung naik mobil 4WD khusus jalur offroad di padang pasir untuk menuju tempat sand boarding. Pertama saya pikir, wah, bisa lecet-lecet nih!! Ternyata pas turun, pasirnya sangat halus. Langsung saja, tanpa babibu lagi, saya naik ke bukit lalu main sand boarding. Sanggupnya cuma dua kali, hehe. Malu juga, tak kuat naik bukit pasir (cobain dulu baru ketawa. Capeee, tau).

Sesudah sand boarding, sebagian teman ada yang main parasailing. Saya tidak mau ikut karena sudah sering main di Bali dan Pattaya. Menurut yang naik parasailing, perairan di situ memang sangat jernih. Ikan-ikan di bawah kelihatan dari atas. Paus, ikan hiu dan lain-lainnya juga. 

Selain karena sudah pernah, parasailing di sini sangat mahal. Itu jadi pertimbangan juga, jadinya tidak ikut main, hehe. Kita justru main ATV ride. ATV di sini cukup menantang track-nya: masuk hutan dan juga naik ke ketinggian sehingga posisi berkendara menjadi vertikal. Sangat menarik.

Dan waktu yang tersisa setelah aktifitas di atas pun dipakai untuk bersantai menikmati pulau yang sangat indah ini...

Ready for sand boarding!



Thursday, November 16, 2017

Unpredictable Journey To Hongkong (Part 1)

I'm Parno from a small town called Pontianak. I'm the only son in my family. I have a wife and a small child. I love my family and live a decent life. Whenever they go for leisure trips, I'm always left behind to run our family business.

In 2016, my wife, together with her mother and relative, went to Hong Kong for vacation. By the time they came back, I was so excited to be together again with them. Suddenly, towards the end of that year, there was an  issue occurred in Hong Kong. Basically there was issue that required a close relative to solve this awkward situation, so I was chosen to help.

"Wow," I said to myself, "I've imagined myself going to Hong Kong." It was a superb experience. Although my mother-in-law and my wife were rather skeptical, the issue was sorted out rather smoothly. I went there, did what I had to do and eventually went back to my home town. 





Monday, November 13, 2017

Wonderful Indonesia: Kepri

How many of you have heard of Kepri? The name Kepri, the short form of Kepulauan Riau (Riau Islands) may not sound like anything remotely familiar, especially when you were studying at school the same time as me, when there were only 27 provinces back then. Nevertheless, if I named the main islands, you might have recognised them immediately: Batam and Bintan.

Batam is the popular one out of the two, thanks to its strategic location as the main entrance for Indonesians to go to Singapore. It was particularly true a decade ago, when budget airlines didn't even fly directly from Jakarta to Singapore, so if we took this route, it meant we had to take the connecting ferry right away once we landed in Batam (it took 45 minutes to 1,5 hours, depends on which ferry terminal you departed from). It wasn't always smooth sailing, though. There was at least one occasion where many of us missed the ferry due to the high demand after Hari Raya, causing us to be stranded together in Batam. But we were young then, and since there were many of us there, why wasted the good time? So we went for a drink instead to celebrate this unfortunate event, haha.

Soedjoko, departing Batam and heading to Singapore.

The availability of many cheap direct flights from Changi to Jakarta these days had slightly altered the role of Batam as a place of transit. I still traveled via Batam when I had to go back to Pontianak, but more often than not, I went there for a short getaway instead. We'd go to Batam over the weekend for Indonesian food, from lontong to nasi Padang. Shopping (milk powder included) at either Mega Mall, BCS or Nagoya Hill was also part of the agenda. Then there were movie time (I think I watched Step Up 3D and Step Up: All In there), kopi susu time (the Indonesian milk coffee that had its coffee residual at the bottom of the cup), haircut time, and drinking time. I'd be there with either my fellow Indonesian friends or Singapore guests that'd like to have a taste of Indonesia. Batam was very near to Singapore and kind of authentic in term of culture and food, so it was definitely charming. It did help that IDR was much weaker against SGD, but the many zeroes behind the actual value could be confusing to some foreigners.

After haircut.
Photo by Endrico Richard. 

Lacking in personality was Bintan. Just to ensure that we were on the same page here, the island was called Bintan and the one I was talking about was the Bintan resorts. There was nothing Indonesian here and the price was far from friendly. I went to the resorts twice so far, the first one was Bintan Lagoon and the other was the Canopi. The former was one with its own beach and the latter was one with a giant swimming pool and rooms in the form of tents. Both were grand and unique in their own way, but they were also isolated at the same time. They were so far from everywhere that we were basically at the mercy of whatever the resorts provided. There was Lagoi Plaza nearby the Canopi, but it was like a ghost town that we were actually surprised when we bumped into other people. That didn't mean it wasn't fun at all. The kids actually enjoyed their stay at the Canopi.

Audrey at the poolside of the Canopi, Bintan Resorts.
Photo by Evelyn Nuryani.

The part of Bintan that felt more like Indonesia was Tanjung Pinang. It was an old and underdeveloped town, so rundown to the extent it was logic-defying that such a place could become the capital city of Kepri. Our first moment there couldn't be more hilarious: we just landed and asked around for some direction, then somebody pointed out that we would reach the mall if we went thru a rather dark tunnel. There was this bright light at the end of the tunnel, just like those movies with good happy endings, so we took it as a good sign, but what we saw was... well, it was literally jaw-dropping. I was actually stopped there for a while to process the idea that the building across the street was a mall. Not only it didn't look like one, but it also had no electricity! I was from Pontianak, a backwater by any standards, but even I couldn't have been prepared for this, so imagine how surprised my Singaporean friends were. Once the disbelief subsided, we laughed hysterically.

Setia, Bernard and Chin Kok at bread shop, Tanjung Pinang.

However, once we knew how to manage our expectation level, Tanjung Pinang was actually alright. The food was delicious and cheap, compensating us for the expensive car rental. The town itself was rather weird as it had this market area nearby the pier and our hotel was like 10km away, located in this newly developed area. We had basically nothing to do except waiting for the night to come, that's why we ended up at the bakery shop for bread and soft drink. We had our dinner at Sei Enam seafood restaurant and the driver showed us around to see the town at night. Apart from the traffic jam, I don't remember anything, though, haha. We eventually went to Club Dope for a few drinks. It was a decent club for a place like Tanjung Pinang, but because it was kind of small, it felt like the lighting was blinking furiously right above your eyelids. Definitely not recommended for the epileptic people as it caused nausea.

To summarise it all, Bintan resorts are destinations for families or couples that have only few days to spend and don't mind being overcharged. Tanjung Pinang is a place to go when you are bored of city life and okay with the two hours ferry ride. Out of the few places in Kepri, I think Batam is the better one. Not only it's near to Singapore and a gateway to other cities in Indonesia, it is also just nice for a day trip or weekend getaway...

From left: James Liong, Hock Siong, Anthony, James Wu, Heng, Uncle Eddie and Joseph at Pempek Kolekta, Mega Mall Batam Centre.
Photo by James Liong.


Indonesia Yang Menakjubkan: Kepri

Berapa banyak dari anda yang sudah pernah mendengar tentang Kepri? Nama Kepri yang berasal dari singkatan Kepulauan Riau mungkin terasa asing, terutama bagi yang satu generasi dengan saya dan hanya belajar tentang 27 provinsi selama di sekolah. Kendati begitu, kalau saya sebutkan nama pulau-pulaunya, anda mungkin akan langsung tahu: Batam dan Bintan.

Batam adalah pulau yang lebih terkenal dari dua nama di atas karena lokasinya strategis sebagai tempat transit bagi orang Indonesia untuk menyeberang ke Singapura. Peran Batam sebagai tempat persinggahan lebih terasa sepuluh tahun yang lalu, ketika maskapai berbiaya rendah belum memiliki penerbangan langsung dari Jakarta ke Singapura. Bila kita menempuh rute ini, kita harus melanjutkan perjalanan dengan feri dari Batam kira-kira 45 menit atau satu setengah jam lamanya, tergantung dari pelabuhan mana kita bertolak.

James Wu and Lawrence Liew di bandara Hang Nadim.

Rute yang satu ini bukan berarti tidak memiliki resiko. Suatu ketika, kita pernah kehabisan tiket feri karena membludaknya penumpang setelah hari raya Idul Fitri. Akhirnya kita semua terdampar di Batam. Namun kita masih sangat muda saat itu dan tidak terlalu ambil pusing. Jarang-jarang dapat kesempatan berkumpul seperti ini, jadi kita malah pergi minum untuk merayakan peristiwa langka ini, haha.

Hendyono dan Sudarto, saat kita terdampar di Batam.

Tersedianya tiket-tiket murah dari Changi ke Jakarta kini mengubah peranan Batam sebagai tempat persinggahan. Saya masih pulang ke Pontianak melewati Batam, tapi seringkali saya justru ke sana untuk berakhir pekan dan mencicipi makanan mulai dari lontong sampai nasi Padang. Berbelanja beraneka kebutuhan, termasuk juga susu untuk anak, biasa dilakukan di Mega Mall, BCS atau Nagoya Hill. Setelah itu ada waktunya menonton di bioskop (Step Up 3D dan Step Up: All In saya tonton di Batam), waktunya kopi susu gaya Indonesia, waktunya gunting rambut dan waktunya minum bir. Saya biasanya berangkat bersama teman-teman Indonesia, tapi tidak jarang juga berangkat membawa rombongan kawan-kawan Singapura yang ingin menikmati nuansa Indonesia. Batam sangat dekat dengan Singapura dan memiliki budaya dan makanan Indonesia yang otentik, jadi memang menawarkan sesuatu yang berbeda bagi mereka. Selain itu, lemahnya rupiah terhadap dolar Singapura juga menjadi daya tarik bagi turis, meskipun banyaknya nol dalam nilai rupiah terkadang membuat mereka bingung.

Keenan dan Bernard, main game sebelum nonton Oblivion di Mega Mall Batam Centre.
Foto oleh Franky Ng.

Yang tidak terasa seperti Indonesia justru adalah Bintan. Untuk memastikan bahwa kita memiliki persepsi yang sama, pulau di sebelah Batam bernama Pulau Bintan, tetapi yang saya bicarakan di sini adalah kawasan tetirah Bintan. Sejauh ini saya pernah menginap di Bintan Lagoon dan Canopi. Yang pertama memiliki pantai, yang kedua memiliki kolam luas dan kamar berbentuk tenda. Dua-duanya megah dan unik, tetapi juga terpencil sehingga kita sepenuhnya bergantung pada apa yang disediakan oleh hotel. Di dekat Canopi ada pusat perbelanjaan bernama Lagoi Plaza, tetapi tempat ini luar biasa sepi! Walau memiliki kekurangan, ini tidak berarti bahwa tempat-tempat seperti Canopi ini tidak layak dikunjungi. Anak-anak saya menikmati waktu mereka di sana.

Dari kiri: Angela, Lina, Yenni, Wawa dan Yani di pantai Bintan Lagoon.
Foto oleh Endrico Richard. 

Bagian dari Bintan yang lebih terasa seperti Indonesia adalah Tanjung Pinang. Kota kecil ini terlihat agak terbelakang, semrawutan dan kumuh sehingga ada kesan tidak masuk akal bahwa Tanjung Pinang ini adalah ibukota dari provinsi Kepri. Kenangan pertama kita di sana sangat monumental: kita berjalan kaki sambil bertanya arah saat tiba, kemudian seseorang berbaik hati menunjukkan arah ke mal terdekat. Berbekal petunjuk darinya, kita menelusuri sebuah lorong yang agak temaram. Ada cahaya terang di ujung lorong, persis seperti yang ada di film-film yang berakhir bahagia, jadi kita pun menaruh harapan tinggi, tetapi begitu kita melangkah keluar, apa yang menanti di sana membuat kita terperangah sampai ternganga. Saya sempat berhenti untuk mencerna kembali bahwa mungkin ini adalah mall yang dimaksud, tetapi saya gagal paham. Bukan saja bangunan di seberang jalan ini tidak terlihat seperti mal, tetapi juga gelap-gulita karena mati lampu. Meski saya berasal dari Pontianak yang notabene adalah kota kecil, saya tetap tidak pernah menduga bahwa pusat perbelanjaannya bisa separah ini, jadi bisa dibayangkan betapa terkejutnya teman-teman yang berasal dari Singapura. Ketika rasa tidak percaya kita mulai sirna, kita pun tertawa terpingkal-pingkal.

Tatkala kita mulai bisa menerima kota ini apa adanya, Tanjung Pinang sebenarnya tidak terlalu buruk. Transportasi di sana agak sulit dan mahal, tetapi makanannya murah dan enak. Kotanya sendiri agak aneh karena pembangunannya seperti terbagi dua. Daerah pasar di dekat pelabuhan sangat ramai, namun hotel kita terletak di kawasan baru yang berjarak sekitar 10km jauhnya dari sana. Tidak ada aktivitas yang bisa dikerjakan di sana sehingga kita akhirnya duduk di toko roti untuk menikmati roti dan minuman soda. Di malam hari, kita bersantap di restoran Sei Enam yang menyajikan makanan laut, lantas berkeliling kota di malam hari. Selain macetnya, saya sama sekali tidak ingat apa-apa, haha. Setelah itu kita mengunjungi Club Dope untuk beberapa gelas bir. Untuk kota kecil seperti Tanjung Pinang, Club Dope tergolong lumayan, tetapi agak sempit sehingga gemerlap lampunya terasa membutakan mata dan menimbulkan rasa mual. Saya rasa pengidap epilepsi tidak cocok ke sana.

Secara keseluruhan, Kepri bisa disimpulkan seperti ini: Bintan bagian utara adalah kawasan hotel mewah yang cocok untuk keluarga atau pasangan yang hanya memiliki dua atau tiga hari libur dan tidak keberatan untuk membayar mahal. Tanjung Pinang adalah tempat tujuan bagi mereka yang tidak keberatan untuk mengarungi lautan selama dua jam untuk keluar dari hirup-pikuknya kehidupan perkotaan. Batam bukan saja dekat dengan Singapura dan merupakan tempat transit yang ideal untuk menjangkau kota-kota lain di Indonesia, tetapi juga cocok untuk perjalanan singkat, baik pulang hari maupun akhir pekan, bagi mereka yang berminat menikmati ramahnya Indonesia...

Dari kiri: Franky, Bernard, Steven, Phil dan Anthony di Nagoya Hill.
Foto oleh Franky Ng.


Friday, November 10, 2017

Life Before Singapore

I wrote about life before marriage recently. It was fun to reminisce once in a while. It reminded me again that life had been kind to me. And the good vibe lingered, so I thought, "why stop there?" Hence I looked back one step further to the life before Singapore.

It was late 2002, 15 years ago. I was so young then, and while I never hated my hometown, I had it enough after 22 years of living there, so I didn't wish to stay a day longer (this deserves a story of its own, I reckon). Taking the first flight in the morning, I flew out of town with Jun Fui and Parno the day after my graduation.

Indra and I at our desks. 

The destination was Jakarta. Of course it had to be the capital city. It had so much to offer, so settling for anything lesser than the biggest city in Indonesia was definitely not an option. I was optimistic, but if I ever thought that I was ready, then I was in for a nasty surprise. Jakarta was clearly beyond my wildest imagination!

First of all, the sheer size of Jakarta and the time one required to travel. Jakarta was such a huge city that was jammed so badly. There was this saying, tua di jalan, which meant people grew old on the road while they were stuck for hours in the traffic jam. It was no joke. Those people who lived in Bekasi, Bogor and Tangerang, they had years of practice ahead of me, so they had the patience. For me, it was a culture shock. As I lived with my uncle in Bekasi, in order to reach office before 7.30am, I had to wake up at 4am, got myself ready and left house at 5am so that I could reach the bus terminal before 6am to catch the bus to Jakarta. After office hours, it was another hell of a journey. It was madness. After one week, I decided to rent a room at the house behind my office. It was a very hot and stuffy room with a really tiny fan trying all its might to make a difference. Parno, Suhendi, Jimmy, Endrico and other friends that came to stay overnight before surely had unforgettable moments, haha.

Suhendi came to stay for few nights. 

Work-wise, I was naive and none the wiser. Just because I was the first to pass my essay test in college, it didn't mean I was any good. I learnt it the hard way that I didn't know anything about what it took to be an IT staff. On top of that, I flunked my CCNA (it was a certification for Cisco switch and router configuration) and failed to understand Linux (and that event was the origin of susesucks, if you know what I mean). It was a humbling experience, really.

Lucky for me, there were good colleagues whom helped me along the way, so I started from the scratch and picked up the IT knowledge with a lot of help from my friends, Indra, Kent and especially Rusli. Then were vendors that I got to know very well, too, namely Supatno, Sugiowono (who eventually became Pheng iu) and Soedjoko. They were funny and helpful people (oh yeah, it has to be in this sequence: funny always comes before helpful). On the other hand, for the fact that we ended up becoming lifelong friends, I must be quite a decent chap, too, haha.

Soedjoko at the rooftop of Enseval building.

So there I was, working at a pharmaceutical company as a barely passable network engineer, but a natural problem solver. While I don't recall if being a helpdesk was part of my job description, I just loved doing that, a trait that brought me to where I am today. I liked it because troubleshooting was like doing puzzle: you wondered why the thing failed and you wracked your brain to solve it. Once done, the user would smile and thank you. Making people happy, now that was very rewarding, and one of my happy users is the mother of my two daughters now.

Truth to be told, I don't think I ever made a significant career progression there. My starting salary was IDR 1,250K (SGD 125) and when I left, my last drawn salary was only IDR 2,800K (SGD 280). Come to think of it, funny that it was ever enough. I could even send money back to my Mum. But that also probably explained why I was so skinny. More often than not, my dinner was either ketoprak @ IDR 3K (SGD 0.30) when I was really broke, fried rice @ IDR 4K (SGD 0.40) when I had a bit of extra cash, or two plates of nasi uduk with pecel lele @ IDR 8K (SGD 0.80) when I was feeling loaded. Lunch was provided by office, but sometimes I would still go for nasi padang with Sudarman (the guy who introduced beef tendon to me) or mie Bangka with Rusli and friends. Those were unnecessary expenses, but surely worth the money, haha.

Rusli and Kent.

I didn't get any richer, alright, but I did have good times during my stint in Jakarta. I wrote a lot of books during my time there and became a published writer later on in 2005, with Crazy Campus and Hong Kong Heroes under my resume. It was the royalty of the books, around USD 1,400 (I purposely saved it in a foreign currency so I couldn't spend it) that enabled me to finance my first few months in Singapore. During my spare time, I met my high school friends at either Taman Anggrek Mall or Citraland in West Jakarta. I would also go for CD hunting once a month to get the right dose of rock and roll.

That morning before the quiz show started. 

Apart from that, the office I worked at was quite fun. We celebrated the company's anniversary in a resort area called Anyer or Ayer, I can't really recall now, and I was suddenly part of the committee simply because of two things: I knew how to rock the stage and I owned a Sony Cybershot 3.2 Megapixels camera, a luxury in those days! We were once on TV, too, competing for a quiz show called Siapa Berani. I was also part of the IT team that went to Singapore and Hong Kong to check out the Juniper products, likely because I was one of the few that had a passport and was able to communicate in English and broken Chinese. I also traveled quite a fair bit with colleagues and friends, doing the Java-Bali roadtrip, the multiple visits to Bandung and a personal trip to Singapore via Batam.

Looking back, perhaps those three years of my life were just meant for me to discover the world, and in turn, to discover myself. I was from a small town, learning how to find my way and trying my best to survive the hardship. I met people, some I respected and looked up to. They were kind enough to impart their wisdom and knowledge, something that I picked up along the way, not really knowing that it'd be useful for me one day. I also learnt that happiness determined how you looked at the world. I chose to laugh at those that I did well and those that I failed. It gave me confidence and humility. Most importantly, I finally found someone that changed my life forever, someone that gave me the push I needed. I eventually mustered enough courage to end this chapter and began a new one in Singapore...

From left: Soedjoko, Sudarpo, Endrico and Jimmy.
The day when Soedjoko and I visited Singapore.


Kehidupan Sebelum Singapura

Baru-baru ini saya menulis tentang kehidupan sebelum menikah. Saya menikmati saat-saat mengenang masa lalu karena saya diingatkan kembali bahwa hidup saya cukup menyenangkan. Nuansa positif ini terngiang-ngiang di benak saya, membuat saya berpikir, "kenapa berhenti sampai di sini?" Lantas saya mundur selangkah ke belakang, ke masa sebelum saya pindah ke Singapura.

Kisah ini bermulai di akhir tahun 2002, sekitar 15 tahun yang lalu. Walaupun saya tidak membenci kampung halaman saya, tidak bisa dipungkiri juga bahwa setelah 22 tahun tinggal di Pontianak, saya merasa cukup dan sudah tiba waktunya bagi saya untuk keluar. Keinginan itu begitu menggebu-gebu sehingga begitu saya lulus kuliah, saya langsung terbang keesokan paginya bersama Jun Fui dan Parno.

Tujuan saya adalah Jakarta. Tentu saja saya harus ke ibukota. Jakarta terlihat begitu menjanjikan, jadi saya harus ke sana. Saya cukup optimis, tapi jika pernah saya mengira bahwa saya sudah siap, maka saya sudah pasti akan terkejut dengan kejamnya ibukota. Jakarta benar-benar lebih dari apa yang pernah saya bayangkan!

Calon dokter Hengky Hermanto yang berkunjung ke kamar kos saya.

Hal pertama yang membuat saya terpana adalah betapa besar dan macetnya Jakarta. Di sini saya belajar tentang pepatah tua di jalan. Mungkin lucu kedengarannya, namun orang-orang di sini senantiasa terjebak macet dan sungguh-sungguh tua tanpa terasa di jalan. Para karyawan dan karyawati yang tinggal di Bekasi, Bogor dan Tangerang jelas sudah terlatih untuk sabar, tapi ini bagaikan sebuah mimpi buruk yang tidak berkesudahan bagi saya. Karena saya tinggal di rumah paman saya di Bekasi, saya harus bangun jam 4 pagi untuk bersiap-siap supaya bisa meninggalkan rumah jam 5 pagi dan mencapai terminal bis sebelum jam 6 pagi sehingga bisa tiba di kantor sebelum jam 7.30 pagi. Setelah pulang kerja, sekali lagi saya harus terjebak macet. Sesudah satu minggu, saya putuskan untuk menyewa kamar di sebuah rumah yang terletak tidak jauh dari kantor. Kamarnya panas dan pengap, jadi saya lengkapi dengan sebuah kipas angin mini. Parno, Suhendi, Jimmy, Endrico dan teman-teman lain yang pernah menginap tentu memiliki pengalaman tak terlupakan dengan kipas angin yang mungil ini, haha.

Bicara tentang pekerjaan, saya sangat naif dan terlalu percaya diri. Hanya karena saya adalah yang pertama dalam menyelesaikan sidang skripsi, itu berarti saya sudah luar biasa pintar. Justru sebaliknya, saya tidak ada ide sama kali bahwa pekerjaan seorang IT itu seperti apa. Selain itu, saya juga tidak lulus CCNA (sebuah sertifikasi untuk konfigurasi perangkat jaringan Cisco) dan gagal mengerti sistem operasi Linux (dan dari situ lahirlah nama susesucks, jika anda paham apa artinya).

Parno, Junaidi, Soedjoko dan Sudarman di Stasiun Gambir, sesaat sebelum kita berangkat ke Bandung.

Kendati begitu, saya beruntung bahwa saya memiliki kolega-kolega yang membantu saya, jadi saya mulai lagi dari awal dan menimba ilmu dari mereka, terutama teman dekat seperti Indra, Kent dan Rusli. Selain itu ada juga para penyedia jasa IT yang bekerja sama dengan kantor dan akhirnya saya kenal dengan baik, misalnya Supatno, Sugiowono (yang akhirnya turut hijrah ke Singapura dan menjadi salah satu inspirasi Pheng iu) dan Soedjoko. Mereka adalah orang-orang yang lucu dan tidak sungkan untuk membantu (oh ya, yang penting bagi saya itu urutannya harus lucu dulu, baru gemar membantu). Di satu sisi, saya rasa saya juga cukup baik dan tulus, makanya kita bisa menjadi teman sampai hari ini, haha.

Selama di Jakarta, saya bekerja di sebuah perusahaan farmasi sebagai network engineer setengah jadi, tapi berbakat alami dalam menyelesaikan masalah komputer. Saya tidak ingat apakah menjadi helpdesk adalah bagian dari pekerjaan saya, tapi saya suka mengerjakannya dan menjadi kebiasaan sampai sekarang. Saya suka membantu karyawan yang sedang menghadapi masalah komputer karena rasanya seperti bermain puzzle. Intinya adalah saya harus amati sehingga paham, lalu cari solusinya. Setelah selesai, yang ditolong biasanya tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Nah, jikalau orang lain merasa senang dan terbantu, saya pun turut senang, dan salah satu dari banyak orang saya bantu dulu kini menjadi ibu dari dua putri saya.

Andreas, Dedy dan Jozef, sewaktu kita ke Hong Kong. Sebelum era Google Map, kita perlu lihat peta! 

Secara jujur saya akui, saya rasa karir saya tidak berkembang pesat selama di sana. Saya mulai dengan gaji sebesar 1,25 juta rupiah dan ketika saya berhenti kerja, gaji terakhir saya adalah 2,8 juta. Kalau dipikirkan lagi, sulit dipercaya rasanya bahwa gaji yang saya terima itu cukup untuk biaya hidup, namun nyatanya saya masih bisa mengirim uang kepada ibu saya. Gaji yang kecil ini juga mungkin menjadi penyebab kenapa saya sangat kurus dulu. Saat itu, makan malam saya biasanya adalah ketoprak seharga 3000 rupiah jika saya sedang penghematan, nasi goreng seharga 4000 rupiah jika saya ada sedikit uang, atau dua piring nasi uduk berikut pecel lele dengan total harga 8000 rupiah bila saya memiliki uang lebih. Makan siang disediakan oleh kantor, tapi terkadang saya keluar untuk menikmati nasi padang bersama Sudarman (yang memperkenalkan saya lauk bernama kikil) atau mie Bangka bersama Rusli dan kawan-kawan. Ya, itu adalah pengeluaran yang tidak perlu, tapi membuat perut kenyang dan hati senang, haha.

Artikel di Pontianak Post.

Tabungan saya seakan tidak bertambah selama bekerja di Jakarta, tapi hari-hari saya cukup menarik dan menyenangkan. Saya menulis banyak buku dan menjadi penulis yang berhasil menerbitkan Crazy Campus dan Hong Kong Heroes. Dari royalti buku tersebut, saya akhirnya mempunyai USD 1.400 (saya sengaja menabung dalam mata uang asing supaya tidak terpakai) yang akhirnya memungkinkan saya untuk membiayai hidup saya selama beberapa bulan pertama di Singapura. Di kala senggang, saya juga sering berkumpul dengan teman-teman SMA di Taman Anggrek atau Citraland. Selain aktivitas tersebut, saya juga menyempatkan diri sebulan sekali untuk pergi ke Pondok Indah demi berburu CD musik para mantan anggota the Beatles.

Saat kumpul bersama teman-teman SMA di Taman Anggrek.

Menarik untuk dicatat bahwa kantor tempat saya bekerja juga asyik lingkungannya. Kita pernah merayakan ulang tahun perusahaan di kawasan wisata Anyer atau Ayer, saya lupa-lupa ingat namanya, dan saya menjadi anggota panitia hanya karena dua hal: saya bisa bernyanyi rock and roll dan saya mempunyai kamera digital Sony Cybershot 3.2 Megapixels yang tergolong langka saat itu! Kita juga pernah masuk televisi, tampil di kuis Indosiar yang bertajuk Siapa Berani. Kenangan lainnya, saya juga pernah ikut serta dalam tim IT yang berangkat ke Singapura dan Hong Kong untuk meninjau perangkat jaringan Juniper. Saya rasa ini karena saya adalah salah satu dari sedikit karyawan yang memililki paspor dan bisa berbahasa Inggris serta sedikit Mandarin. Bicara soal jalan-jalan, saya juga sempat bertualang ke beraneka tempat bersama para kolega dan teman, mulai dari perjalanan darat Jawa-Bali, kunjungan berulang kali ke Bandung dan perjalanan pribadi ke Singapura melalui Batam

Kalau saya lihat kembali, mungkin tiga tahun dalam hidup saya ini adalah sebuah pengalaman bagi saya untuk menjelajahi dunia untuk pertama kalinya demi menemukan jati diri saya yang sebenarnya. Saya hanyalah seorang pemuda dari kota kecil yang berusaha menemukan jalan hidup sambil ditempa melalui berbagai cobaan. Dalam perjalanan saya, ada berbagai jenis orang yang saya temui. Saya menghormati beberapa di antaranya dan mereka juga berbaik hati untuk mengajarkan kebijaksanaan dan pengetahuan mereka kepada saya, sesuatu yang saya terima tanpa pernah menyadari bahwa semua ini akan berguna suatu hari kelak. Saya juga belajar bahwa kegembiraan berasal dari dalam hati dan menentukan bagaimana kita menyikapi dunia. Saya memilih untuk menertawakan keberhasilan yang telah saya capai dan kegagalan yang saya alami. Ini memberikan saya rasa percaya diri dan juga kebersahajaan. Akan tetapi yang paling penting dalam periode ini adalah, saya menemukan seseorang  yang mengubah hidup saya selamanya, seseorang yang memberikan dorongan yang saya butuhkan. Ketika saya mengumpulkan cukup banyak keberanian yang cukup, babak ini pun berakhir dan saya memulai kehidupan berikutnya di Singapura...

Linda dan... siapa namanya yang ini? Sewaktu kita di acara HUT Kalbe.