Total Pageviews

Translate

Thursday, December 29, 2022

Reputation, Pride Or Whatever It Is

Just when I thought we only had a few days left and this year seemed to end quietly, I was proven to be wrong. Apparently our group was capable enough to burn itself, even without the involvement of their favorite gas stove. The irony of democracy and free speech, I guess. Haha.

The fateful day began just like any other good morning. Unassuming, nothing looked suspicious and I was ignoring the incoming messages as I was busy re-watching Emily in Paris. By the time it caught my attention, the situation had gone bad drastically, with one party asking to be removed from the group. 

Not happening under my watch, of course. But by the time I joined the chaos, it had run its course. It then ended abruptly after the requestor figured out how to leave the group himself, but not before he left behind a trail of destruction that actually contradicted things he used to preach. 

It was silly that all this concluded in such a way, but it didn't happen overnight. If anything, the bitterness had been brewing for a year or two. Something must have gone awfully wrong after the Semarang trip. Then came the final blow today. 

But this wasn't important. My key takeaway from this incident was the reputation, pride or whatever you called it was indeed fragile and damning. That's what happened when one was trying too hard to rely upon it as the validation of his or her existence. Years of effort to build that and you had nothing left when it crumbled. I reckon that one could be emotionally distressed due to this, until you simply couldn't take it anymore.

I remember the time when I wrote about why people were different. I strongly believed that a happy childhood got a lot to do with the character development. When you grew up not lacking so many things in this material world, you tended to believe that money was all right, but not everything. This perspective was a privilege not many could have, I'm afraid. And in this case, that's when judging people based on how much they had started to happen.

To make it worse, the person who did this happened to be the same person who always glorified himself. Throughout the years, he always emphasised on how he was always true to his words, that not even 10 horses could pull them back the moment he has said things. The situation lasted for a while, until one fine day, the status quo was badly shaken. 

It was the day when the long waited grand plan became reality. He failed to deliver and suddenly couldn't prove what he said. Anything that came from him was undone by his own doing. One by one, until it all became a joke, something that you didn't take it seriously anymore. It was an eye-opener to see how a person of repute fell from grace like that. It was a mixed feeling to see him left with nothing: it was sad, funny at times, pitiful and there was also tremendous lost of respect. 

And that lasted for almost three months. You could sense that he tried to fight back for the last bits of his pride in many occasions, but there was nothing else to be salvaged. Then came today. Although he preached that he wouldn't leave the group out of respect to others, he left few minutes later. Life couldn't be more ironic than this. 

Now, make no mistake here. I still love the man. He's a good friend and his leaving the group is not the end of the world. But one important lesson here is the use of pride or reputation. It is never something we need to get so defensive about, that we feel the need to claim and disclaim in the process. By doing so, perhaps we are simply craving for validation, not exactly worthy of the respect given by others.

No, we use it to better ourself. For example, if you make a mistake, you own it up and you do it right next time, because you are proud to be someone who delivers. Before anybody else starts condemning, it already hurts your pride by the time you realize your mistake. And you'll remember that for life and emerge a better person because of it. That, I believe, is how it should be...

A better time...



Reputasi, Harga Diri Atau Apapun Namanya Itu

Sempat saya sangka bahwa tahun 2022 yang hanya tersisa beberapa hari ini akan berlalu dalam sunyi, tapi ternyata saya salah sangka. Grup WhatsApp SMA seringkali membara, dengan atau tanpa kompor gas favorit mereka. Mungkin ini adalah dampak dari demokrasi dan kebebasan berbicara, hehe.

Kisah kali ini dimulai seperti pagi di hari-hari biasa. Semuanya terlihat normal dan saya abaikan pesan-pesan yang masuk karena sedang menonton ulang Emily in Paris. Ketika saya menyadari bahwa sesuatu telah terjadi, situasinya sudah memburuk dan seorang anggota meminta untuk dikeluarkan dari grup. 

Tentu saja permintaan ini saya abaikan, hehe. Namun ketika saya mulai turut serta membuat ricuh, kegaduhan itu sendiri sudah hampir usai dan tiba-tiba berhenti ketika anggota yang selama ini mengaku tidak bisa meninggalkan grup itu akhirnya berhasil keluar sendiri. Yang agak kontroversial itu, sebelum keluar, dia masih sempat sesumbar tentang hal yang akhirnya dia langgar sendiri. 

Agak konyol rasanya bahwa pertikaian ini berakhir seperti ini, tapi semua ini tidak terjadi begitu saja. Kepahitan ini setidaknya sudah menggelegak setahun atau dua tahun silam. Sesuatu sepertinya terjadi setelah liburan bersama ke Semarang, lalu terjadilah percekcokan terakhir di hari ini. 

Keributan ini sendiri tidaklah terlalu penting. Hikmah yang bisa diambil dari kejadian hari ini justru adalah betapa reputasi, harga diri atau apapun namanya itu ternyata sangat rapuh dan mencelakakan. Ini bisa terjadi bila seseorang berusaha terlalu keras demi validasi tentang keberadaan dirinya. Bertahun-tahun reputasi itu dibangun, namun sirna begitu saja ketika runtuh. Saya rasa ini bisa menimbulkan ganjalan di hati yang lambat-laun tidak tertahankan. 

Saya ingat ketika menulis tentang kenapa setiap orang itu berbeda. Saya sepenuhnya percaya bahwa masa kecil yang bahagia itu sangat besar peranannya dengan perkembangan karakter. Bila anda tumbuh tanpa banyak kekurangan di dunia yang materialistis ini, anda mungkin percaya bahwa uang itu penting, tapi bukan segalanya. Ini adalah sudut pandang yang mungkin tidak dimiliki oleh mereka yang dulunya kekurangan. Oleh karena itu, seseorang bisa jadi tanpa sadar selalu menilai segala sesuatu dari uang. 

Yang lebih parah lagi, orang yang sama juga memiliki kebiasaan membanggakan diri sendiri. Dari tahun ke tahun dia menekankan bahwa dia selalu menepati kata-katanya. Bahkan 10 kuda pun tidak bisa menarik kembali apa yang sudah dia ucapkan. Situasi seperti ini terus berlanjut sampai hari di mana status quo ini terguncang hebat. 

Ini adalah hari di mana rencana ke Jepang yang sudah lama ditunggu itu akhirnya mulai dijalankan. Teman yang satu ini gagal mewujudkan apa yang dia ucapkan. Apa saja yang dikatakannya lantas menjadi batal karena ulahnya sendiri. Satu demi satu, sampai akhirnya terasa seperti lelucon yang tidak lagi kita tanggapi dengan serius. Melihat bagaimana seseorang yang selalu mengagungkan reputasinya menjadi terpuruk sedemikian rupa adalah sesuatu yang mencengangkan dan membuka mata. Ada beragam perasaan bercampur-aduk: ikut sedih, merasa geli, kasihan dan kehilangan rasa hormat terhadapnya. 

Dan situasi ini berlanjut hampir tiga bulan lamanya. Saya yakin yang di grup bisa merasakan bagaimana dia berusaha menggapai kembali apa yang tersisa dari reputasinya, tapi semua sudah luluh-lantak tak bersisa. Lalu tibalah hari ini. Meski dia masih berujar bahwa dia tidak akan meninggalkan grup karena masih banyak teman lain, tapi dia nyatanya keluar beberapa menit kemudian. Hidup tidak pernah terasa lebih ironis dari perisitiwa ini. 

Saya perlu jabarkan bahwa saya tetap menyayanginya sebagai teman. Dia sebenarnya orang yang baik dan keluarnya dia dari grup tidak berarti kiamat. Tapi yang ingin saya tekankan di sini adalah kegunaan dari reputasi atau harga diri itu sendiri. Ini bukanlah sesuatu yang perlu terlalu dibela sampai melibatkan banyak klaim dan pengecualian yang dibuat-buat. Kalau begitu caranya, mungkin yang bersangkutan hanyalah membutuhkan validasi dari perkataan dan perbuatannya, bukan benar-benar pantas dihormati oleh yang lain. 

Jadi bukan itu. Reputasi dan harga diri, menurut saya, adalah sesuatu yang kita gunakan untuk membuat kita menjadi lebih baik lagi. Sebagai contoh, ketika kita salah, kita mengaku dan berusaha untuk tidak mengulanginya lagi, sebab kita bangga sebagai orang yang tepat janji. Jadi sebelum orang lain mengeritik, kita sendiri sudah koreksi diri karena kita pun sangat kecewa dengan kesalahan yang kita perbuat. Kesalahan itu lantas akan selalu kita ingat dan kita akan menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya, yang berusaha untuk tidak lagi melakukan kesalahan serupa... 

Saturday, December 24, 2022

The Roles We Play

If it was entirely up to me, we wouldn't have been to Kuching at all. I didn't dislike it, but it wasn't exactly my most favorite place on earth as well. My perspective of Kuching changed over the years, from a city so impressive for a first time overseas traveller to a sleepy little town that offered nothing but kolo mee. I mentioned before about cities that I'd like to visit again, but Kuching was definitely not one of them. As luck would have it, Kuching became a neutral ground for family gathering, so off we went.

Looking back, the trips I had this year, from Bali, Gading Serpong, Desaru Coast to India, happened simply to satisfy my needs. For me personally, the wanderlust bottled up inside for so long that subconsciously I made it all about me. It was this trip to Kuching that humbled and reminded me of something that I knew all along, but had forgotten about for quite some time: the roles we play in life. 

Yes, it was easy to make things individualistic, that they were all about us. The idea of living arbritrarily, an innocent comment originally blurted out by Parno in our group chat, fueled that thought. But then we also played many roles in life. In Kuching, I witnessed that I was a husband, a father, a son, a brother, a cousin, a nephew, an uncle and a friend. 

I realized that it mattered to me to hear whether my wife enjoyed her time in Kuching and what my daughter's opinions were. It was their first time. I chuckled when I heard my daughter saying that Kuching was a better version of Indonesia. I grinned when she complained about how difficult it was to cross the street in Kuching.

I realized how good it was to see my Mum in person again for the first time ever since life in the time of corona. She dyed her hair black as per my suggestion. My brother had slimmed down a lot to the extent that he looked gaunt. When he came towards me, he was wearing a long sleeve sweater that was once mine. He looked like the skinny me in my 20s. And there we met again. In Kuching, not anywhere else in this world.

I met my auntie who took me in almost 30 years ago. She lost weight, but still looked as fine as she could be for a person in her late 60s. When I heard her son talking to her in a rather unpleasant tone, I smiled as I was reminded of the similar mistake I made a long time ago. He'd learn as he grew older, just like I did. I also met a cousin that was born the time when I moved to Jakarta. He was now in college. How time passed! And then I saw two nieces, one was too young to probably remember who I was when I first saw her in early 2020. I never met the younger one and at her tender age, perhaps she didn't even care about meeting his uncle, haha.

Then of course there was Harry and Novi. They picked me up when the last time I went to Pontianak. It was great to see them again. To smile and to laugh together. To speak in both Hakka and Teochew lingos that only our generation understood. To dine as friends and family. Happiness could be that simple, apparently. 

Like I said earlier, my perspective of Kuching changed over years. And it changed again for the past few rainy days in December 2022. It was not much of rediscovering the place, but rediscovering myself instead. And it was in Kuching, of all the places, that I re-learnt the phrase I often said: traveling is a humbling experience. Once again it was proven to be true.

The roles I play: a husband, a father, a son, a brother, a cousin, a nephew, an uncle and a friend. 




Peran Kita

Jika saja semuanya tergantung pada keputusan saya, rasanya kita tidak akan berangkat ke Kuching. Bukannya saya tidak suka, tapi Kuching bukanlah tempat favorit saya. Perspektif saya tentang kota ini berubah dari tahun ke tahun, mulai dari kota yang begitu mengesankan bagi pengunjung asal Pontianak sampai menjadi kota yang tidak ada apa-apa kecuali kolo mee. Kuching bahkan tidak termasuk dalam daftar kota-kota yang ingin saya kunjungi lagi, tapi siapa sangka akhirnya justru menjadi tempat berkumpul di penghujung tahun ini.

Jikalau saya lihat kembali, berbagai perjalanan saya di tahun ini, mulai dari Bali, Gading Serpong, Desaru Coast sampai India, semuanya terjadi karena keinginan pribadi. Telah begitu lama keinginan untuk berlibur itu tertahan, sampai-sampai semuanya direncanakan berdasarkan kemauan saya sendiri. Adalah perjalanan ke Kuching ini yang mengingatkan saya kembali tentang sesuatu yang sudah lama saya ketahui, tetapi terlupakan seiring dengan berjalannya waktu: peran kita dalam hidup ini. 

Ya, mudah untuk melihat dari sudut pandang individualistis, bahwa semuanya berfokus pada diri sendiri. Ide hidup semena-mena yang dicetuskan oleh Parno di grup SMA tanpa sadar menjadi validasi yang saya pegang teguh sampai saya akhirnya diingatkan kembali tentang peran saya dalam hidup ini. Di Kuching, saya mengalami pencerahan tentang peran saya sebagai seorang suami, ayah, anak, abang, sepupu, keponakan, paman dan teman. 

Saya menyadari bahwa pentingnya artinya bagi saya untuk mendengar apakah istri saya menikmati kunjungannya. Saya juga senang mendengarkan pendapat putri saya. Saya tergelak ketika dia menjabarkan bahwa Kuching ini mirip Indonesia, namun versi yang lebih baik. Saya tersenyum ketika dia menggerutu tentang sulitnya menyeberang jalan di Kuching. 

Saya menyadari betapa bersyukurnya saya karena bisa bertemu Mama lagi untuk pertama kalinya setelah korona. Rambutnya disemir hitam lagi karena ia mendengar masukan dari anaknya. Adik saya pun terlihat kurus dan terus wajahnya. Sewaktu saya melihatnya datang menghampiri, dia memakai baju yang saya tinggalkan dan terlihat seperti saya yang kurus di usia 20an. Dan di sana kita semua bertemu lagi. Di Kuching, bukan di tempat lain.

Saya bertemu lagi dengan tante yang menampung saya di rumahnya kira-kira 30 tahun silam. Dia pun tambah kurus, tapi masih terlihat sehat untuk seseorang yang sudah mendekati usia akhir 60an. Ketika saya mendengar putranya berujar dengan nada agak tidak sabar, saya tersenyum dan terkenang dengan kesalahan serupa yang pernah saya perbuat. Dia akan bertambah bijak sejalan dengan bertambahnya umur, sama halnya seperti saya. Selain itu, saya juga bertemu dengan sepupu yang baru lahir saat saya pindah ke Jakarta. Sekarang dia sudah kuliah. Sungguh cepat waktu berlalu! Dan kemudian ada lagi dua ponakan. Yang sulung mungkin tidak ingat lagi ketika saya bertemu dengannya di awal tahun 2020. Saya tidak pernah bertemu yang bungsu sebelumnya dan di usianya yang masih belia, dia mungkin tidak peduli dengan paman yang baru ditemuinya ini, haha. 

Lantas ada pula Harry dan Novi. Mereka yang menjemput saya ketika saya terakhir pulang ke Pontianak. Senang bisa melihat mereka lagi, tersenyum dan tertawa bersama. Berbicara dalam bahasa Khek dan Tiochiu dengan kosa kata yang khas dan hanya dimengerti oleh angkatan kami. Kita pun berkesempatan untuk bersantap malam sebagai teman dan keluarga. Terkadang kegembiraan hanyalah sesederhana itu. 

Seperti yang saya katakan sebelumnya, perspektif saya tentang Kuching senantiasa berubah. Dan di beberapa hari yang basah oleh hujan di Desember 2022 ini, sudut pandang itu berubah lagi. Kali ini bukan tentang menemukan tempat yang baru, tapi lebih cenderung tentang menemukan lagi diri sendiri yang sempat terlupakan. Dan semua itu terjadi di Kuching. Saya belajar lagi apa yang sering saya ucapkan: melanglang buana adalah sebuah pengalaman yang bersahaja. Sekali lagi frase ini terbukti benar... 

Sunday, December 11, 2022

The Love-Hate Relationship

I once wrote about the bathroom singer. That's pretty much how I would rate myself as a singer. Never brilliant, but could do well enough to carry a tune. More than that, I loved performing. I liked the sensation of how I was carried away and moved by the music. But yet I always hated the countdown that preceded show. It was dreadful, like a slow walk to the hanging pole. 

The story this time started when Dinner and Dance was announced a while ago, probably back in August. I could roughly tell how my fate would be. It was kind of my thing, so when a department was expected to participate, I knew that it was just a matter of time before I was nominated involuntarily. I knew for sure that the inevitable would come and true enough, closer to the date, that exactly what happened.

I'd grumble and say things like, "it's hard to earn this month's salary," but yet the artistic side of me would rise to the challenge. Observational comedy was what I did best (been doing that since I started writing my second short story back in 1996), long before I knew it was a real thing popularized by Jerry Seinfeld. So I wrote the scenario based on our day-to-day activities and the culture in office. The moral of the story was, if we wanted to make a change, we had to start with ourselves, hence the lyrics from Man in the Mirror were relevant. And since misery loves company, I dragged some colleagues to join the play, haha.

Back with the mic stand on stage!

I went to India for a short break and then came back for the rehearsal twice a week. Each session would last half an hour or 45 minutes. The first one was table read, something that I learnt after watching many comedy series. The actors would read their lines and once they were comfortable with it, I recorded the dialogues. By doing so, they just had to mime and act. There wasn't a need to memorize the lines anymore.

The rehearsal was actually quite fun. Lots of giggling. The craziest thing was, up till the time we tried out the whole thing on stage, we still had members that failed to attend the final rehearsal. The most stressful part had to be those trying times when I coached a fellow colleague to sing. I don't think I did a good job, which was why I resorted to a lousy mixing of pre-recorded vocals for my colleague instead, trying my best to make it less disastrous, haha.

Then came the moment when we took the stage. I remember saying repeatedly to my colleagues that I was 34 the last time I did this. I never expected to do this again in my 40s, when I was so much older than before. I had this mixed feeling. Partially excited but mostly numb after being nervous for too long that I just wanted to get it over and done with.

The playful banter after the show.

Thus began what was dubbed as the longest six minutes of our lives. The skit didn't go pretty well. I was told later on that nobody could actually hear the dialogues and therefore they didn't know what it was all about. But it felt right the moment I stepped onto the stage. I knew this feeling from long ago, so familiar, slowly coming back to me. I sang the first few lines as I looked around, still very much aware of my surroundings. I remember putting the mic on the stand. But then I heard the beats of the drums. The whole thing became so electrifying that I just had to follow the rhythms. 

Some people asked if my act was rehearsed. It wasn't. The performance was spontaneous. When you were a fan spending countless hours imitating your idol in front of the mirror back in your younger days, all this would just come naturally when the music played. You just knew it by heart. And that's what I did.

I couldn't say if I did great. As always, I couldn't even bring myself to watch the video recording again. But I could tell you this much: it was a journey, not necessary to my liking, but by the end of the day, I am glad that we did it. It's just funny how things you disliked could also be rewarding at the same. Apparently there was such a thing called love-hate relationship in life. Strange indeed!

With the whole team.




Antara Suka Dan Benci

Suatu ketika saya pernah menulis tentang penyanyi di kamar mandi. Seperti itulah penilaian saya tentang kapasitas saya sebagai penyanyi. Tidak hebat, tapi tidak sumbang dalam bernyanyi. Lebih dari itu, saya suka aksi panggung ketika tampil di pentas. Ada semacam sensasi yang selalu membuat saya terbuai dan tergerak oleh musik. Masalahnya adalah masa penantian sebelum hari-H. Rasanya tegang dan bikin mual, seperti tengah berjalan pelan menuju ke tiang gantungan. 

Cerita kali ini dimulai ketika acara Dinner and Dance diumumkan beberapa waktu lalu, kalau tidak salah di bulan Agustus. Kira-kira saya sudah bisa menerka nasib saya. Seni pertunjukan adalah sesuatu yang diasosiasikan dengan saya, jadi kalau departemen saya harus berpartisipasi, maka hanya masalah waktu saja sebelum saya ditunjuk untuk menciptakan sesuatu. Saya tahu hari itu akan tiba dan benar saja, ketika acara kian mendekat, apa yang saya khawatirkan pun terjadi. 

Saya pun menggerutu dan bergumam, "gaji bulan ini sungguh susah untuk diperoleh," namun sisi artistik saya sesungguhnya tertantang untuk melakukan sesuatu. Komedi berdasarkan pengamatan adalah sesuatu yang sudah saya lakukan dari sejak saya mulai menulis, jauh sebelum saya tahu bahwa ini ada sesuatu yang dipopulerkan oleh Jerry Seinfeld. Jadi saya pun menulis skenario berdasarkan kehidupan dan budaya di kantor. Moral dari cerita adalah, jika kita ingin membuat perubahan, maka kita harus mulai dari diri sendiri. Oleh karena itulah lirik lagu Man in the Mirror terngiang-ngiang di benak saya. Dan karena penderitaan selalu membutuhkan teman, maka saya libatkan kolega lain untuk turut serta, haha.

Kembali ke panggung lagi setelah delapan tahun!

Saya ke India dalam rangka liburan singkat dan mulai serius menggelar latihan dua minggu sekali setelah saya kembali ke kantor. Setiap sesi berlangsung selama setengah jam atau 45 menit. Yang pertama kita lakukan adalah membaca naskah bersama, suatu proses yang saya pelajari setelah menyaksikan banyak serial komedi. Para pemeran ini membaca dialog mereka dan saya rekam setelah nadanya terdengar seperti percakapan biasa. Dengan demikian mereka cukup berkomat-kamit dan beradegan sesuai dialog. Tak perlu lagi untuk menghafalkan dialog masing-masing.

Latihan ini sebenarnya cukup seru juga. Banyak tawa dan canda. Yang paling sulit untuk dipercaya adalah, sampai saat-saat terakhir mencoba pentas pun masih ada peserta yang tidak hadir. Namun hal yang paling memusingkan adalah melatih kolega untuk bernyanyi. Dari apa yang saya dengar, saya jadi merasa tidak becus jadi pelatih. Akhirnya saya putuskan untuk merekam suaranya dengan vokal asli dari lagu supaya hasilnya tidak terlalu hancur, haha. 

Kemudian tibalah waktunya bagi kita untuk naik ke panggung. Saya ingat saat berguyon degan kolega bahwa terakhir kali saya melakukan pertunjukan serupa adalah delapan tahun silam, saat saya berusia 34 tahun. Tidak terbayang bahwa saya akan kembali lagi ke panggung di usia 40an. Kegelisahan yang berkepanjangan membuat saya kini mati rasa. Pokoknya saya hanya ingin jalani pertunjukan ini secepat mungkin dan segera kembali ke meja makan. 

Obrolan santai setelah pertunjukan.

Kemudian mulailah apa yang saya dan rekan-rekan kerja sebut sebagai enam menit terpanjang dalam hidup kita. Drama yang saya tulis tidak menuai tawa seperti yang saya harapkan. Belakangan ini baru saya ketahui kalau penonton kesulitan mendengar dialognya sehingga mereka tidak paham apa ceritanya. 

Akan tetapi positif rasanya ketika saya melangkah ke panggung. Saya tahu perasaan yang tidak asing ini, seperti sesuatu yang saya kenal dari masa lalu. Ketika saya menyanyikan beberapa baris pertama, saya masih memandang penonton dengan sedikit tegang. Saya tahu bahwa saya akan baik-baik saja saat saya letakkan mikrofon di penyangganya. Lantas saya dengar ketukan drum di lagu. Segala sesuatu mendadak terasa begitu menggetarkan sehingga saya pun bergerak mengikuti lagu. 

Beberapa orang bertanya apakah saya berlatih untuk aksi panggung saya. Jawabannya adalah tidak. Semua itu terjadi secara spontan. Bila anda adalah seorang penggemar Michael Jackson yang di masa mudanya menghabiskan waktu berjam-jam di depan cermin untuk meniru gerakan idola anda, maka anda bisa bergerak tanpa sadar begitu terbawa oleh irama lagu. Itulah yang saya lakukan. 

Bersama para peserta satu tim.

Saya tidak bisa berkomentar apakah penampilan saya memukau. Terus-terang saya bahkan tidak pernah menonton kembali rekaman videonya, sebab konyol rasanya. Tapi saya dengan jujur katakan hal berikut ini: apa yang saya lalui ini adalah sebuah perjalanan yang tidak begitu saya sukai, namun pada akhirnya saya senang semua ini terjadi. Lucu rasanya ada hal yang begitu kontradiktif. Tidak disukai, namun di saat yang sama juga memuaskan. Ternyata ada yang namanya hal di antara rasa suka dan benci... 

Saturday, December 3, 2022

Writing 101

One great thing about ghostwriting is I end up reading what others have in mind. From time to time, what I read might get me thinking. When I did it recently, I came across this interesting topic about ideas and the process that molded them. This then led to a short discussion about how I had subconsciously applied the same concept on my writing style. 

Prior to this, I never thought of it that way, too. Inspired by all the greats that came before me, I'd romanticized the process by saying things like I was only a medium that picked up ideas and translated into something real. I always loved how vague the description sounded. It was like a pure nonsense that was artistically sugarcoated, haha. 

A friend of mine encouraged me to dig deeper. After some soul-searching, apparently there was indeed a distinct pattern that I always followed. But because I had been writing for the longest time, everything felt natural and seamless that the pattern wasn't immediately recognizable. 

The process often started with me toying with an idea, thinking how great it would be for me to pour it into writing. But regardless how excited I was, it was rare for me to act on it immediately. I'd wait instead to see if I still could remember them few days later. The habit was influenced by the Beatles: they only wrote songs they could remember and the result was great.

If an idea passed the test, it was quite a high chance that it'd be written. The more I entertained the idea, the better it got. It became a story I could roughly envision. Perhaps the idea matured as time went by. Perhaps I was just simply convinced that since it outgrew the initial excitement, it must be an idea worth telling. 

Thus began the writing process, best done on a BlackBerry and I had been doing it since 2017. My favorite part was the opening. We were taught at school to start with the classic line once upon a time, but I learnt eventually we had so much more freedom than that. You just had to tell it the way you liked it.

I'd normally take my own sweet time to have the satisfaction of telling the origin of the story, which was often a series of events linked together. And it was actually good to be in my 40s. I had lived long enough that some stories could start way back from 20 years ago or more! It was an amazing experience to look back only to realize that it finally happened.

Now, during the opening, I normally left behind a faint trace of unanswered question. Then I would proceed with the content. This was the part where I actually told the story. It didn't have to be long. It just had to be right. I'd have plenty of ideas to begin with, but by the time I finished writing, only the relevant points would make it to the final cut. Experience probably played a part here. You just instinctively knew what mattered for the story. Certain things that were fancy but immaterial would be filtered out automatically.

Then came the closure where you tied up loose ends. You got to conclude what the content had delivered so far. This was the part where it answered the original question I left dangling on the top, explaining how it was resolved by the content and what this was all about. 

Now that you had come so far, did you see how the pattern worked here? No? Okay. If you observed paragraphs 1, 2 and 3, that's my opening. You see how I playfully told the story before getting into the content? Then I subtly inserted the one thing in question: the distinct pattern that I discovered. What happened next was the content that ran all the way until the one before this paragraph. And here, the last bit of it, is where I had my closure by explaining how writing 101 according to Anthony really worked and this finally ended the story. Get it? Splendid!

Once upon a time...



Cara Menulis

Satu hal yang bagus dari profesi penulis bayangan adalah proses membaca apa yang ada di benak orang lain. Dari waktu ke waktu, apa yang saya baca lantas membuat saya berpikir. Baru-baru ini, ketika saya menulis berdasarkan sudut pandangan orang lain, saya menemukan topik tentang ide dan proses yang membentuk ide tersebut. Berkaitan dengan hal ini, saya berdiskusi dengan teman bahwa saya pun tanpa sadar menerapkan hal yang sama saat menulis.  

Sebelumnya saya tidak pernah berpikir serius tentang hal ini. Terinspirasi oleh para penulis handal sebelum saya, saya suka mendramatisir prosesnya dengan menjelaskan bahwa saya hanyalah medium yang dilintasi oleh inspirasi, yang kemudian saya tuangkan menjadi tulisan. Saya suka deskripsinya yang puitis tapi tidak jelas dan terasa seperti omong-kosong yang disamarkan secara artistik, haha. 

Seorang teman berpendapat bahwa mungkin saya hendaknya mengamati lebih lanjut lagi. Setelah introspeksi, saya temukan bahwa ternyata memang ada semacam pola yang selalu saya ikuti. Namun karena saya sudah menulis dari sejak lama, proses ini bergulir secara otomatis dan tidak lagi terasa. 

Tulisan saya sering berawal dari ide yang terngiang-ngiang di benak saya dan ingin rasanya saya tulis. Meski saya merasa terpacu oleh ide baru ini, saya jarang mengeksekusinya secara langsung. Saya justru cenderung menunggu beberapa waktu untuk melihat lagi, apakah saya masih bisa mengingat ide ini. Pengaruh ini berasal dari the Beatles: mereka hanya menulis lagu yang bisa mereka ingat dan hasilnya pun bagus. 

Bila ide tersebut berhasil melewati tes ini, maka kemungkinan besar akan saya tulis. Semakin saya pikirkan, semakin mantap pula idenya dan perlahan-lahan berubah menjadi satu cerita yang bisa saya bayangkan dari awal hingga akhir. Mungkin ini dikarenakan idenya menjadi semakin matang. Bisa juga karena saya merasa yakin bahwa jika ide ini sukses melewati kegembiraan sesaat yang saya rasakan saat mendapatkan inspirasi, maka ini adalah ide yang layak untuk diceritakan. 

Selanjut mulailah proses menulis yang paling nyaman untuk dikerjakan di BlackBerry, satu hal yang membuat saya ketagihan sejak tahun 2017. Bagian favorit saya dalam menulis adalah bagian pembukaan. Kita dulu diajarkan di sekolah untuk memulai cerita dengan pada suatu ketika, namun saya temukan bahwa ada kebebasan dalam menulis. Anda hanya perlu bercerita sesuai dengan cara yang anda sukai. 

Saya memiliki kebiasaan untuk bercerita panjang-lebar dalam mengulas asal mula cerita yang seringkali merupakan rangkaian dari berbagai peristiwa. Dan ada bagusnya pula telah berumur dan mencapai usia 40an. Kini saya sudah hidup cukup lama sehingga beberapa cerita bahkan bisa berawal dari kejadian sejak 20 tahun silam atau lebih! Adalah suatu pengalaman yang menakjubkan saat saya melihat kembali bahwa hal dari masa lalu akhirnya terwujud. 

Nah, di bagian pembukaan ini, saya sering menyisipkan satu pertanyaan yang belum terjawab, lalu saya mulai masuk ke bagian cerita sesungguhnya. Ini adalah cerita berdasarkan topik yang saya pikirkan. Tidak harus panjang, yang penting harus pas. Pada awalnya saya mungkin memiliki banyak hal yang ingin saya bahas, tapi setelah selesai, hanya bagian yang relevan yang akhirnya tertuang ke dalam cerita. Pengalaman mungkin ada pengaruhnya di sini. Secara naluriah saya tahu apa yang penting bagi cerita. Hal-hal kecil yang menarik tapi bukan merupakan bagian integral akan tersisih dengan sendirinya dari cerita. 

Kemudian tibalah bagian akhir di mana saya menuntaskan bagian-bagian yang masih belum terjawab. Cerita yang sudah membawa pembaca sampai sejauh ini perlu diakhiri dengan kesimpulan. Caranya adalah dengan menjawab pertanyaan yang saya samarkan dari sejak awal. Bagian penutup ini menjabarkan bagaimana semua ini diselesaikan oleh cerita barusan. 

Sampai sejauh ini, apakah anda temukan pola yang saya pakai? Tidak? Baiklah, saya jelaskan. Jika anda amati paragraf 1, 2 dan 3, itu adalah bagian pembukaan. Anda lihat bagaimana saya dengan santai berkisah sebelum memasuki inti cerita? Saya juga diam-diam menyelipkan satu pertanyaan, yakni pola yang hendak saya ceritakan.  Kita lantas memasuki isi cerita yang terus berlanjut hingga paragraf di atas. Di bagian terakhir ini, saya menutup cerita dengan menjelaskan bagaimana cara menulis menurut Anthony adalah satu pola dan cerita pun tamat. Mengerti sekarang? Bagus! 


Saturday, November 12, 2022

A Glimpse Of Thailand

Pattaya and Bangkok weren't originally part of the plan. It was meant to be a trip to Kolkata only, to and fro. But I couldn't help feeling that five days would be too long for a visit to Kolkata, but probably too short for me to go anywhere else in India. When I looked the return ticket price, it wasn't exactly cheap, too. About SGD 800 (or more, as days went by) for Singapore Airlines.

Hence I looked for alternatives. The flight time from Singapore to Kolkata was 4 hours 15 minutes. What if I split the duration into half? Where would that bring me? I was toying with idea of Penang and Phnom Penh as both have Hard Rock Cafe, but eventually the only route that fitted ideally into my plan was Kolkata to Bangkok. Based on my calculation, if I redeemed my Krisflyer points for my flight to Kolkata and took budget flights for my return leg via Bangkok, it'd cost me less than SGD 400. And since I planned but didn't make it to Pattaya back in 2020, I'd go there this round.

The trip, as compiled by Google Travel.

All seemed all right thus far, but apparently I made a mistake that I'd discover only a month later. Because the flight to Bangkok was at 00.30 am, I must have chosen a wrong date due to the am/pm thing. I felt disappointed when I first discovered that. I even scrambled to change the date only to back off after I saw the newly revised price. Btw, a note to us all, it was a nightmare when you got stuck in the midst of doing this on the app, because AirAsia only had Ava the chatbot. There was no hotline to call and I only managed to find out the email after using the keyword AirAsia Thai

Anyway, the mistake turned out to be a blessing, because three days three nights would have been too long to be in Kolkata and too rush for a trip to Pattaya and back. Since I now had an extra day in Thailand, I could spend a night in Pattaya, returned to Bangkok on the following day and flew back to Singapore the day after tomorrow. 

So there I was on Thursday night at Netaji Subhas Chandra Bose International Airport. When I was charging my phone, I met a fellow solo traveler on his first overseas trip to Thailand. We talked as I had momo for dinner, then we checked in together. After spending about six hours at the airport, the flight to Bangkok finally departed. 

With Pratunesh at Kolkata Airport.

I had a buffer time of one hour between my arrival and my ride to Pattaya, so I had a cup noodles in Don Mueang International Airport. It was good to have a hot soup after a long cold night! After that I looked for my ride that I booked via KKday. It turned out that there were names hanging on the fence of gate 5, so I just had to point to my name, waited for a while and then I was heading to Pattaya. Quite efficient, but I couldn't really fall asleep as I noticed that the driver kept rubbing his eyes, too! It was a good thing that he stopped at the rest area and got himself a cup of coffee.

I reached Pattaya at 7 am, but it was not a morning city. A lot of shops closed and the McDonald's breakfast was pretty much the same as the menu in Singapore, so I kept walking and looked for something local. After a long walk from Mera Mare Pattaya to Walking Street and back, I eventually settled with Thai basil pork rice. I went to Rock Shop and headed back to hotel to catch a much needed sleep.

On my way to Terminal 21.

I woke up again in late afternoon and walked to Terminal 21, a fancy shopping mall similar to the one in Bangkok. Being a boring man in his forties that I am, I ordered the same menu I had two years ago at Terminal 21 in Bangkok: pad thai with lots of white sugar, haha. Also ordered oyster eggs and spring rolls as the meal portion in Thailand was kind of small.

A night walk back to the hotel took place right after the heavy dinner. Pattaya became alive at night. It showed its true colors and it was wild! I passed by Sabai Dee Body Massage that literally offered body to body massage. At the beach, it was amusing to see prostitutes standing about three metres apart. It was almost as if they were lining up! Gogo bars were everywhere. There were also people selling marijuana on the road side. But after sightseeing, I went back to hotel and binged watching Netflix's Blockbuster, a new comedy show featuring Randall Park (from Fresh Off the Boat) and J.B. Smoove (from Curb Your Enthusiasm). 

Walking Street.

The next morning, Pattaya was again back to its sleepy state. I had my Strava time after breakfast, just walked around to have a glimpse of Pattaya. In the daytime, some places in Pattaya did look like my hometown. At night, it transformed into something else! Overall, if partying is not your scene, perhaps Bali is a much nicer place to be than Pattaya.

I returned to Bangkok after checkout, but instead of going to the usual districts such Pratunam, I decided to try out somewhere outskirts this time. I stayed in Bang Na. It is much nearer to Suvarnabhumi Airport, which made it easier for me to catch a morning flight. But much to my surprise, Bang Na was actually quite nice. There was this giant shopping mall called Mega Bangna, right next to Ikea. I spent the whole afternoon there, switching from Food Republic, McDonald's, Starbucks and Food Republic again.

Mega Bangna.

Now, if you had made it this far and you wondered why the story was almost normal and probably boring for a holiday in Thailand, that's because some semblance of normalcy was exactly what I needed. The trip to Kolkata, while exciting, was emotionally exhausting. It was like too much information and so... outlandish. The time in Thailand was like a detox, haha. There was this sense of relief to see the surroundings I was familiar with. In the end, it was good idea to visit both countries in one trip.

PS: my most memorable moment in Thailand this time? I had my first Taco Bell at the airport!

Taco Bell.




Thailand Dalam Sekejap Mata

Pada mulanya Pattaya dan Bangkok tidak termasuk bagian dari rencana. Liburan kali ini sebenarnya khusus untuk mengunjungi Kolkata saja. Akan tetapi saya merasa bahwa lima hari mungkin terlalu untuk Kolkata, tapi terlalu singkat untuk pergi ke tempat lain di India. Ketika saya lihat tiketnya, harga pun tidak terlalu murah. Sekitar IDR delapan jutaan (dan kian hari kian mahal) untuk tiket pergi-pulang Singapore Airlines rute Singapura-Kolkata. 

Oleh sebab itu saya mencari pilihan lain. Lamanya penerbangan dari Singapura ke Kolkata adalah 4 jam 15 menit, jadi bagaimana kalau saya membagi dua durasinya? Akan tiba di manakah saya? Penang dan Phnom Penh sempat terlintas di benak saya karena dua kota ini memiliki Hard Rock Cafe, tapi rute yang cocok hanya Kolkata ke Bangkok. Berdasarkan kalkulasi saya, jika saya menggunakan poin Krisflyer untuk penerbangan ke Kolkata dan menaiki maskapai budget dalam perjalanan pulang, biaya tiket bahkan tidak sampai IDR empat jutaan. Dan karena saya sempat berpikir untuk ke Pattaya namun batal di tahun 2020, saya bisa lanjut ke sana kali ini. 

Liburan yang dikompilasi oleh Google Travel.

Sejauh ini rencana tampak bagus, namun saya ternyata membuat kesalahan yang baru saya sadari sebulan kemudian. Karena jam terbang ke Bangkok adalah 00.30 subuh, saya salah memilih hari. Saya kecewa saat menyadari kesalahan ini. Saya bahkan berusaha mengganti tiket pesawat namun akhirnya berubah pikiran setelah melihat harga tiket yang telah naik berkali-kali lipat. Oh ya, sebagai catatan untuk kita semua, mendapatkan bantuan saat tengah mencoba mengganti tiket lewat aplikasi AirAsia adalah perkara sulit karena AirAsia hanya memilki chatbot Ava. Tidak ada nomor yang bisa dihubungi dan saya sendiri akhirnya baru menemukan alamat email setelah mencari dengan kata kunci AirAsia Thai

Kendati begitu, kesalahan saya ternyata adalah berkat terselubung karena tiga hari tiga malam pun terlalu lama untuk liburan ke Kolkata dan terlalu singkat untuk bolak-balik Pattaya. Karena kini saya memiliki ekstra satu hari, saya bisa menginap di Pattaya, kembali ke Bangkok di hari berikutnya dan pulang ke Singapura esok lusa.

Bersama Pratunesh di Kolkata Airport.

Jadi saya pun berada di Netaji Subhas Chandra Bose International Airport hari Kamis malam. Ketika saya sedang mengisi baterai telepon genggam saya, seorang pelancong tunggal yang akan ke luar negeri untuk pertama kalinya memulai percakapan dengan saya. Kita pun melanjutkan perbincangan di meja makan kedai masakan Cina yang menjual momo alias pangsit. Kemudian, setelah menanti enam jam di bandara, pesawat dengan tujuan Bangkok pun berangkat. 

Saya memiliki waktu satu jam sebelum saya melanjutkan perjalanan ke Pattaya, jadi saya membeli mie instan yang tinggal diseduh dengan air panas di Don Mueang International Airport. Enak nian menenggak sup hangat setelah malam yang panjang dan dingin! Setelah itu saya mencari mobil yang saya pesan lewat KKday. Di gerbang 5, semua nama penumpang digantung di pagar. Saya tinggal menunjuk nama saya, lalu menunggu sebentar sementara mobilnya disiapkan. Lantas meluncurlah saya ke Pattaya. Sistem ini cukup efisien, tapi saya ragu untuk memejamkan mata, sebab supirnya pun berjuang keras untuk tidak memejamkan mata! Untunglah sang supir akhirnya singgah sebentar di tempat peristirahatan di samping jalan tol untuk membeli kopi. 

Saya tiba di Pattaya jam 7 pagi. Pattaya ternyata bukan merupakan kota yang aktif di pagi hari. Banyak toko yang tutup, sedangkan menu sarapan di McDonald's pun mirip yang ada di Singapura, jadi saya lanjut berjalan mencari cita rasa lokal. Setelah berjalan jauh dari Mera Mare Pattaya ke Walking Street dan berbalik ke arah semula, saya akhirnya menyantap pad krapow, nasi dengan lauk daging babi dan daun kemangi. Dari situ saya ke Rock Shop dan kembali ke hotel untuk melanjutkan tidur yang terasa singkat dan tidak karuan di pesawat.

Menuju ke Terminal 21.

Saya terbangun ketika hari sudah sore menjelang senja. Dari hotel saya menuju ke Terminal 21, pusat perbelanjaan yang serupa dengan yang ada di Bangkok. Karena saya adalah pria umur 40an yang membosankan, saya pesan menu yang sama dengan apa yang saya santap di Terminal 21 di Bangkok dua tahun silam: pad thai dengan banyak gula pasir, haha. Saya juga memesan telur goreng tiram serta lumpia karena porsi makan di Thailand tergolong kecil.

Saya berjalan kembali ke hotel setelah makan malam yang berat. Pattaya menjadi hidup ketika matahari terbenam. Neon menyala mengundang pria ke Sabai Dee Body Massage yang menawarkan pijat plus-plus. Di pantai, para pelacur berdiri berjejer setiap tiga meter, seakan-akan mereka berbaris dengan rapi. Gogo bar ada di mana-mana. Penjaja ganja pun bebas bertransaksi dengan pelanggan. Namun setelah melihat-lihat, saya kembali ke hotel dan lanjut menonton Blockbuster, serial komedi terbaru di Netflix yang menampilkan Randall Park (dari Fresh Off the Boat) dan J.B. Smoove (dari Curb Your Enthusiasm). 

Walking Street.

Keesokan paginya, Pattaya kembali tertidur. Saya pun Strava setelah sarapan pagi, berjalan di sekitar hotel. Di pagi hari, beberapa sudut kota terlihat mirip Pontianak. Hanya di malam hari Pattaya berubah menjadi tempat yang sama sekali berbeda. Secara keseluruhan, bila anda tidak suka berpesta, mungkin Bali lebih menarik untuk dikunjungi.

Saya kembali ke Bangkok di siang hari. Alih-alih ke tempat biasa seperti Pratunam, kali ini saya ke tepi kota dan menginap di distrik bernama Bang Na. Lokasinya lebih dekat dengan Suvarnabhumi Airport sehingga lebih mudah bagi saya untuk terbang besok pagi. Kawasan Bang Na ternyata cukup bagus. Ada mal besar bernama Mega Bangna yang berada di samping Ikea. Saya berada di sana sepanjang hari, berpindah lokasi mulai dari Food Republic, McDonald's, Starbucks dan Food Republic lagi.

Mega Bangna.

Nah, jika anda sudah mencapai sejauh ini dan merasa heran kenapa cerita kali ini terasa nyaris normal dan cenderung membosankan untuk liburan di Thailand, ini karena saya butuh sesuatu yang normal menurut standar saya. Liburan ke Kolkata memang menarik, tapi juga melelahkan secara emosional. Rasanya seperti terlalu banyak info dan nuansanya jauh berbeda dengan apa yang menjadi ambang batas normal bagi saya. Waktu yang saya habiskan di Thailand ini jadi terasa seperti detoks, haha. Ada rasa lega ketika melihat apa yang terasa tidak asing lagi bagi saya. Pada akhirnya, saya senang telah mengunjungi dua negara yang kontras ini dalam satu liburan.

PS: apa yang paling saya senangi selama liburan di Thailand ini? Saya akhirnya berkesempatan mencicipi Taco Bell untuk pertama kalinya saat berada di bandara! 

Taco Bell.

Saturday, November 5, 2022

A Glimpse Of India

This story began when my friend Susan visited Singapore in July 2022. We planned to have a dinner in Boat Quay. When I passed by the UOB building, I bumped into Aru, a long time Indian friend of mine. For that split second, it suddenly dawned on me that even though I repeatedly mentioned to him that I wanted to go to India someday, the reality was I hadn't made it.

The fateful dinner that started all.

The idea to make it come true lingered. When my wife and I had a cup of coffee at Hard Rock Hotel in Desaru Coast, I told her that I'd go to India, especially since there wasn't any telltale sign of Japan opening soon. Though she might not understand why, she knew this meant a lot me. It's just something that I wanted to do.

Right after that, I started reading about the possible destinations. My selection criteria was easy: choose the cities that have Hard Rock Cafe and direct flights, so that left me with a handful of candidates such as Mumbai, Bangalore, Kolkata and a few more. Then I read about them on Wikivoyage. As I'd be probably going alone (and that turned out to be true), I paid attention to a section called Stay Safe. And we had a winner here: Kolkata.

I had this insecurity that I'd be stared at a lot since I was probably the only Chinese among the Indians, so I googled "local tour Kolkata" and it came back with the top ten on Tripadvisor. I remember using this website when I booked the Fab Four Taxi Tour in Liverpool and the experience was good, so I chose two tours from the list. One was with a car and it was suitable for sightseeing. The other was a walking tour, as I was curious to know more about the life and history of Kolkata.

My Indian colleagues were helpful in getting me ready for my trip. One told me to print out all the travel documents (I was used to things on the cloud and phone now), the other told me about how much I should tip people there (while INR 500 is only equal to about SGD 8.5, it was way too much for a tip) and at least one prepared me for the worst by saying I'd be robbed the moment I landed in India. 

So began my own journey to the west, as in West Bengal. The flight was about 4 hours 15 minutes, but because Kolkata is GMT+5:30, it is 2 hours 30 minutes behind Singapore Time. I departed around 9.20pm and arrived at 11.10pm local time. 

At the Kolkata Airport.

The immigration was slow, but I had managed the expectation the moment I stepped out from Singapore. About 20 minutes later, I was in the cab that I booked from airportstaxitransfers.com. I began my first car ride in Kolkata. At a first glance, in the dark of the night, Kolkata reminded me of those rundown buildings I saw in Jakarta and Bekasi.

The real adventure began the next morning. Vinod the driver picked me up and we met Leena the guide at the metro station. We drove around to see the colonial buildings, then we went to Mullick Ghat Flower Market. In hindsight, this was the highlight of the tour. I grew up in the market area, but even I never saw the likes of this before! 

At Mullick Ghat Flower Market.

The sheer number of people passing by and doing their things. The noise of people shouting and the incessant beeping of car horn. The colorful flowers in yellow, orange, purple, white and many more. The stinking smell of rubbish that confronted the fragrance of flowers. The order in chaos. All of these mixed together, overwhelming my senses. And behind my mask, I smiled. This is why I was there. Experiencing India.

From the market, we went to see where the god statues was built, then headed to Parshwanath, a Jain temple. After that we had a break at the Indian Coffee House that first opened its door in 1876. It was great, like entering into the past! The coffee somehow reminded me of the one from my hometown, too! I also had a great chat with Leena here as I enjoyed my first veggie cutlet.

The Indian Coffee House. Classic!

The last leg of the tour covered St. Paul's Cathedral, Victoria Memorial and the Mother House. The last destination gave me this melancholy feeling, not very different from the time I visited the house of each Beatle in Liverpool. I mean, there I was, right where a historical figure once lived. The bedroom of mother Teresa was so small and humble. A person so well known for her kindness and had done so much died there, leaving behind a lesson of humility for those who visited her place. 

Leena and I parted ways after that. She dropped me at Hard Rock Cafe, where I had my dinner and grabbed a new addition to my t-shirts collection. Then I recalled what I saw throughout the day: the people dipping into the river near Howrah Bridge, the statues for puja and the ceremony not very far from Prinsep Ghat bridge. The life in India and Ganges River were very much intertwined. The people lived, worked and symbolically died there. This is a culture that has been there long before Jesus. Amazing. 

A pint of Kingfisher at Hard Rock.

The next day, I was picked up by Manjit. We took Uber to Bow Barracks, an interesting small hub in Kolkata. It has Christianity, Buddhism, Hinduism, Islam, Jainism, Taoism, Zoroastrianism, Judaism living side-by-side. The tour began with a brief history of Kolkata and that certainly helped explaining why Kolkata became what it is today. 

As we walked, we met people from all walks of life, too. Up until then, I had been avoiding street food for fear of diarrhea, but I thought it'd be fine if Manjit was the one offering the snacks, so I gave it a try. Results? Dhalpuri, good. Chai, good. Peanuts, good. No diarrhea even though my friends had expected me to have one while in India.

Manjit, inside Seah Ip Church.

We walked quite a bit from Bow Bazar to Ganguly Street and, after passing by an alley, we reached Chinatown. It was interesting to see the Chinese speaking Bengali, haha. I also talked to a uncle. Told me that he was from Shanghai and the surname was Yu (余). As we walked towards Sea Ip Church, I realized what could be the reason I wasn't stared at. I reckon that it was due to the small population of Chinese here that the Indians are used to having them around.

After the visit to the Synagogue, the tour ended. I was like, "oh, we're done already?" Then I returned to hotel, checked out and headed to Quest Mall to have lunch. I couldn't help wondering that if this was the best mall in town, then it was still far cry from the usual ones found in Bangkok or Jakarta. But the KFC was good, though. Ordered pop corn Maggi and biryani. 

In the late afternoon, I realized that I haven't tried the metro. I felt so much secure after what I saw in Chinatown, so I walked to Maidan and took the train to Park Street. The train platform somehow reminded me of what I saw at Hakata Station in Fukuoka, haha. So I jumped into the train and... checked!

In the train.

At night, as I took Uber to airport, I started noticing high-rise buildings outside Kolkata. Upon seeing those, I was reminded again that it was my first time to see a city entirely built from old and rundown buildings. People told me that India is not for the faint-hearted, but after Kolkata, I realized that it was more than that.

You see, unlike places like London or Tokyo where you know for sure that great expectations await, you simply don't go to India because of that. Even I, who loved what I heard, watched and ate so far in Singapore, I still had no clue how it would be if I ever decided to visit India. That was the charm of it.

A friend told me, "why bother going there just to take a picture of a messy electric cable pole?" But he was missing the point. To think that it was the same reason why I went to Madura with him. I went there to soak in the history and the culture. To be there to understand its origin, to appreciate it with all my senses. I enjoyed experiencing that. And as I said earlier, while my wife might not understand why, she was right that this meant a lot to me...

With Pratunesh, a fellow solo traveler on his first overseas trip.




India Secara Sekilas

Cerita kali ini bermula dari kunjungan teman saya Susan ke Singapura di bulan Juli 2022. Bersama Taty dan Andiyanto, kita merencanakan santap malam di Boat Quay. Ketika saya melewati gedung UOB, saya berpapasan dengan Aru, seorang teman Indian yang sudah lama saya kenal. Tiba-tiba saja saya jadi kepikiran bahwa meskipun saya sering bergumam padanya bahwa suatu hari nanti saya akan ke India, nyatanya sampai detik itu saya belum pernah ke India.

Makan malam bersama Susan.

Kemudian ide tersebut muncul dari waktu ke waktu di benak saya. Sewaktu saya dan istri menikmati kopi di Hard Rock Hotel Desaru Coast, saya katakan padanya bahwa saya akan ke India, terutama karena tidak ada tanda-tanda bahwa Jepang akan segera buka untuk turis. Walau dia mungkin tidak mengerti kenapa saya ingin ke India, dia tahu ini adalah sesuatu yang besar artinya bagi saya. Pergi ke India adalah sesuatu yang ingin saya kerjakan. 

Segera setelah itu, saya membaca tentang beberapa tempat tujuan. Kriteria saya adalah seperti ini: kota tersebut harus memiliki Hard Rock Cafe dan penerbangan langsung, jadi yang memungkinkan adalah Mumbai, Bangalore, Kolkata dan beberapa kota lainnya. Saya lantas baca lebih lanjut tentang kota-kota ini di Wikivoyage. Karena ada kemungkinan bahwa saya akan pergi sendiri (dan ternyata benar saya akhirnya pergi sendiri), saya fokus ke bagian artikel yang bertajuk Stay Safe. Pada akhirnya Kolkata pun terpilih sebagai tempat tujuan. 

Saya memiliki rasa was-was bahwa keberadaan saya akan menarik perhatian banyak orang karena saya mungkin adalah satu-satunya etnis Cina di tengah-tengah orang Indian, jadi saya google frase "local tour Kolkata" dan hasil pencariannya menampilkan sepuluh besar di Tripadvisor. Saya pernah menggunakan Tripadvisor saat saya menemukan Fab Four Taxi Tour di Liverpool. Saya puas karena bagus hasilnya, jadi saya percaya dan pilih dua tur dari daftar Tripadvisor. Yang pertama adalah tur menggunakan mobil karena cocok untuk ke mana-mana. Yang satunya lagi adalah tur jalan kaki karena saya ingin tahu lebih lanjut tentang kehidupan sehari-hari di Kolkata.

Kolega-kolega Indian saya pun sangat membantu. Ada yang memberitahukan saya untuk mencetak semua dokumen perjalanan saya (saya cenderung menyimpan semua di cloud dan handphone sekarang), ada juga yang memberikan info tentang jumlah tips yang pas (Meski INR 500 hanya sekitar 90 ribu rupiah, tetapi saja masih terlalu banyak untuk tips) dan setidaknya ada satu orang pula yang selalu mengingatkan bahwa saya dirampok begitu saya tiba di India.

Maka mulailah perjalanan ke barat, lebih tepatnya lagi Bengal Barat. Penerbangan yang ditempuh berdurasi 4 jam 15 menit, tapi karena Kolkata memiliki zona waktu GMT+5:30, maka waktunya  2 jam 30 menit di belakang Singapura. Saya berangkat jam 9:20 malam waktu Singapura dan tiba di sana pukul 11:10 malam waktu India. 

Di Bandara Kolkata.

Petugas imigrasi di bandara Kolkata tidak cekatan kerjanya, namun saya sudah antisipasi ini begitu saya keluar dari Singapura. Sekitar 20 menit kemudian, saya sudah di dalam taksi yang saya pesan lewat airportstaxitransfers.com. Lalu mulailah perjalanan saya di Kolkata. Secara sekilas di tengah malam, Kolkata mirip bagian Jakarta atau Bekasi yang dipadati dengan gedung-gedung tua.

Petualangan sesungguhnya dimulai di pagi berikutnya. Vinod sang sopir menjemput saya dan kita bertemu dengan Leena sang pemandu wisata di stasiun metro. Saya dibawa berputar sejenak untuk melihat gedung-gedung kolonial, lalu kita bertolak ke Pasar Bunga Mullick Ghat. Kalau saya lihat kembali, ini adalah pengalaman yang istimewa dari tur ini. Saya tumbuh besar di dekat Pasar Mawar Pontianak, tapi saya tidak pernah melihat yang seperti di India ini!

Di Pasar Bunga Mullick Ghat.

Jumlah orang yang berlalu-lalang dan mengerjakan aktivitas mereka di tengah hirup-pikuk pasar. Suara orang berteriak dan juga bunyi klakson yang tiada henti. Aneka bunga berwarna-warni, mulai dari kuning, oren, ungu, putih dan sebagainya. Bau busuk sampah yang beradu dengan wanginya bunga. Keteraturan dalam kekacauan. Semua ini bercampur-aduk dan setiap indera saya bekerja keras untuk memproses apa yang saya lihat, dengar, cium dan rasakan. Di balik masker yang saya kenakan, saya jadi tersenyum sendiri. Inilah alasan kenapa saya ke sini. Untuk mengalami dan merasakan India. 

Dari pasar, saya dibawa ke tempat patung-patung dewa dibuat, kemudian dilanjutkan dengan kunjungan ke Parshwanath, sebuah kuil Jain. Sesudah itu, kita beristirahat sejenak di Indian Coffee House yang sudah dibuka sejak 1876. Rasanya seperti kembali ke masa lalu! Kopinya terasa mirip dengan yang ada di Pontianak. Sambil menikmati aneka sayuran yang dipipihkan dan digoreng menjadi satu, saya berbincang-bincang dengan Leena tentang sejarah, agama dan politik di India. 

Di Indian Coffee House yang klasik.

Tur berakhir setelah saya mengunjungi St. Paul's Cathedral, Victoria Memorial dan the Mother House. Destinasi terakhir memberi kesan melankolis, sama seperti yang saya rasakan saat mengunjungi rumah setiap anggota the Beatles di Liverpool. Ada suatu perasaan tersendiri saat berada di kediaman pelaku sejarah. Kamar Ibu Teresa terlihat kecil dan sederhana. Seorang tokoh besar yang telah berbuat banyak kebaikan wafat di ruangan itu, meninggalkan pelajaran tentang kebersahajaan bagi siapa pun yang berkunjung ke sana.  

Leena dan saya pun berpisah setelah itu. Saya minta diturunkan di Hard Rock Cafe untuk membeli kaos dan makan malam. Kemudian saya kenang kembali apa yang saya lihat sepanjang hari ini: orang-orang mandi dan menghantarkan sesajen bagi kerabat yang meninggal di dekat jembatan Howrah, patung-patung dewa yang dibuat dari lumpur sungai dan dibuang kembali ke sungai, serta upacara penguburan yang terjadi tak jauh dari jembatan Prinsep Ghat. Mereka yang hidup di India sungguh memiliki hubungan yang erat dengan Sungai Gangga. Mereka hidup, bekerja dan secara simbolis meninggal di sana, suatu budaya yang telah terjadi jauh sebelum Yesus lahir. Mencengangkan.

Satu gelas Kingfisher di Hard Rock.

Di hari berikutnya, saya dijemput oleh Manjit. Kita naik Uber ke Bow Barracks, sebuah kawasan kecil yang menarik di Kolkata. Di tempat ini Kristen, Budha, Hindu, Islam, Jain, Tao, Zoroastrian dan Yahudi hidup berdampingan. Tur dimulai dengan kisah asal-usul Kolkata yang membantu saya memahami kenapa Kolkata menjadi seperti hari ini. 

Sambil berjalan, saya bertemu dengan beraneka orang dari berbagai profesi. Sampai saat itu, saya menjauhi makanan tepi jalan untuk menghindari resiko diare, tapi saya lantas berpikir bahwa seharusnya yang ditawarkan Manjit itu aman, jadi saya coba cicipi. Hasilnya? Dhalpuri, lumayan. Chai, sedap. Kacang, enak. Tidak ada diare meski pun teman-teman sudah berharap saya kena minimal sekali sewaktu saya berada di India.

Pecinan di Kolkata.

Ada satu kejutan yang saya sukai saat saya tiba-tiba muncul di Jalan Sun Yat Sen setelah menyusuri Ganguly Street. Pecinan! Menarik rasanya melihat orang Cina berbahasa Bengali, haha. Saya juga bercakap sejenak dalam Mandarin dengan pak tua penjaga toko Pou Hing. Dia bercerita bahwa dia berasal dari Shanghai dan marganya adalah Yu (余). Selagi berjalan ke Sea Ip Church, saya menyadari bahwa populasi Cina di kota ini bisa jadi adalah alasan kenapa saya tidak dipelototi oleh orang Indian. Mereka pasti sudah terbiasa melihat orang Cina di tengah-tengah mereka. 

Setelah mengunjungi sinagog, tur pun berakhir. Tanpa sadar saya bertanya, "oh, sudah selesai?" Kemudian saya kembali ke hotel dan check out, lalu ke Quest Mall untuk makan siang. Setelah saya perhatikan, kalau ini yang namanya mal paling bagus di Kolkata, berarti masih jauh kemajuannya bila dibandingkan dengan Bangkok atau Jakarta. Tapi makanan di KFC cukup unik dan lezat: Maggi mie dan nasi biryani plus ayam pop corn dan kari! 

Di dalam metro.

Menjelang senja, saya lantas teringat bahwa saya belum mencoba metro di sana. Setelah mengunjungi Pecinan, saya merasa aman untuk berjalan kaki di Kolkata, jadi saya pergi menuju Maidan dan naik metro ke Park Street. Tempat menaiki metro ternyata mirip dengan apa yang saya lihat di Stasiun Hakata, Fukuoka, haha. Jadi saya pun akhirnya naik metro! 

Di malam hari, sewaktu saya berada di Uber menuju bandara, saya perhatikan gedung-gedung yang baru dan tinggi di luar Kolkata. Hal ini mengingatkan saya bahwa di Kolkata inilah saya pertama kalinya melihat satu kota yang isinya gedung-gedung tua. Dulu sering saya dengar bahwa India itu bukan untuk mereka yang tidak siap mental, tapi setelah melihat Kolkata, saya rasa pendapat tersebut tidak tepat. 

Sebagai contoh, berbeda halnya dengan kota-kota seperti London atau Tokyo di mana Anda memiliki ekspektasi yang tinggi tentang apa yang akan anda jumpai, anda tidak akan ke India dengan perasaan yang sama. Bahkan saya yang suka dengan apa yang saya dengar, lihat dan makan selama di Singapura, saya sendiri pun tidak tahu apa yang akan saya alami saat ke sana. Inilah daya tarik sesungguhnya dari India. 

Seorang teman berkata kepada saya, "kenapa ke sana hanya untuk memotret tiang listrik yang semrawut?" Tapi dia tidak mengerti, meski pun dia pernah bersama-sama saya dalam kunjungan serupa ke Madura. Saya ke India karena ingin menikmati sejarah dan budayanya. Saya ke sana untuk mencari tahu tentang asal-usulnya, lalu mengapresiasi semua itu dengan panca indera saya. Saya menyukai pengalaman tersebut. Dan seperti yang saya katakan sebelumnya, istri saya pun mungkin tidak mengerti alasan ini, tapi dia tahu bahwa semua ini berarti bagi saya...