I can't remember when I first heard of the Nanjing Massacre, but it felt like I had known about it for the longest time. Must have read it on Wikipedia years ago. The Memorial Hall in Nanjing was one of the best museums I ever visited. Right at the end of the gallery, I saw the words from survivor Li Xiuying hanging on the wall: remember history, but not with hatred. Not only it summed up what the museum was all about, but it was also a powerful reminder, one that I still vividly remember today.
Fast forward to five years later, I happened to read about the Nanjing Massacre again on Time magazine recently. It somehow brought me back the time when I passed by the statue of Iris Chang as I exited the museum. She died young, tragically killed herself as he was suffering from depression. For those who never heard of her, Iris was the author of a book called the Rape of Nanking. And this is how I ended up borrowing the book from the library.
The Rape of Nanking. |
Now, throughout the years, I had heard about how influential the book was. But none of this prepared me for what I was about to read. It was fast-paced and structured. Informative and disturbing at times due to the graphic description of the events.
It opened with historical moments in Japan that preceded the war. Once the prelude ended, it was like sitting on the front seat to watch how the Japanese troops made their way to Nanjing. A killing spree that happened next left not much to imagination. The choice of words used to describe the atrocities were beyond what I had ever read before!
It was one hell of a massacre, all right. But amidst the chaos and brutality, hope lingered and kindness did shine. Then came the aftermath and the story finally drew to a close as it examined the attempts to cover up and erase the event from history.
The whirlwind of information ended as fast as it came. Iris' storytelling style was as smooth as it could be. If not for its content, I would have called it an easy reading. But it isn't and it's never meant to be one. It is supposed to be a reminder, that no matter how bleak or shameful it was, the massacre did happen. Just like the slogan in the museum said, "bear history in mind, cherish peace."
When we visited the museum in Nanjing. |
But history aside, what's the key takeaway for me? All this while, I couldn't reconcile the two contradicting facts about the wartime Japanese troops' cruelty and the politeness of Japanese people when I visited the country. This book finally gave me the answer.
Almost a hundred years ago, the Japanese soldiers believed the emperor was divine and they lived solely to serve the emperor. If they themselves were worthless, then the Chinese were just a bunch of pigs that they could slaughter without blinking. That's the danger of a doctrine gone wrong. As I lived through the '98 riots and ethnic violence of Dayak-Madura, it's a plausible explanation that I can accept.
Ulasan Buku: Pemerkosaan Nanking
Saya tidak ingat lagi kapan pertama kalinya saya mendengar tentang Pembantaian Nanjing, tapi rasanya saya sudah lama tahu akan hal ini. Mungkin saya baca di Wikipedia bertahun-tahun silam. Memorial Hall di Nanjing boleh dikatakan sebagai salah satu museum terbaik yang pernah saya kunjungi. Di akhir galeri, saya melihat kata-kata dari Li Xiuying, korban yang selamat dari pembantaian: ingat sejarah, tapi tidak dengan dendam. Ucapannya itu menyimpulkan museum tersebut dengan baik dan juga menjadi nasehat yang selalu saya ingat hingga hari ini.
Lima tahun setelah kunjungan ke Nanjing, saya kebetulan membaca lagi kisahnya di majalah Time. Saya jadi terkenang dengan saat saya melewati patung Iris Chang saat saya keluar dari museum. Dia meninggal muda, bunuh diri karena depresi. Bagi yang tidak tahu siapa dia, Iris adalah pengarang buku the Rape of Nanking. Saya lantas meminjam buku karangannya dari perpustakaan.
Nah, sebelum ini, saya sudah sering dengar tentang pentingnya buku ini. Namun apa yang saya ketahui tidak membuat saya siap dengan apa yang saya baca. Cepat dan terstruktur, deskripsi di buku ini juga sangat detil dan mengerikan.
Tulisan Iris dibuka dengan sejarah di Jepang sebelum perang dimulai. Setelah itu, pembaca bagaikan duduk di kursi depan dan menyaksikan langsung bagaimana tentara Jepang menyerbu ke Nanjing. Pembantaian yang terjadi dijabarkan dengan detil, sampai-sampai tidak sulit untuk membayangkannya lagi. Kata-kata yang dipakai untuk melukiskan kekejaman Jepang benar-benar berbeda dengan kalimat dari buku-buku yang biasa saya baca.
Di tengah kebrutalan Jepang yang menimbulkan kekacauan, masih tersisa harapan dan kebaikan dari orang-orang asing yang bertahan di Nanjing dan mendirikan suaka untuk membantu dan melindungi orang Cina. Kemudian perang usai dan cerita pun diakhiri dengan pengamatan terhadap upaya menghilangkan jejak kekejaman ini dari catatan sejarah.
Gaya Iris dalam bercerita tergolong enak untuk dibaca, meski berat dan bertubi-tubi informasinya. Kalau bukan karena topiknya, saya bisa menyebutnya sebagai bacaan santai. Akan tetapi buku ini lebih merupakan rangkuman catatan dan peringatan bahwa tidak peduli seberapa kelamnya sejarah, pembantaian ini pernah terjadi. Ini sejalan dengan slogan di museum, "ingatlah sejarah, hargai perdamaian."
Di samping sejarah, apalagi yang saya dapatkan dari buku ini? Selama ini, saya selalu sulit membayangkan kenapa laskar Jepang di zaman perang sungguh kejam sementara keramahan orang Jepang saat saya datang sebagai turis sama sekali tidak tertandingi? Buku ini akhirnya menjawab pertanyaan saya.
Hampir 100 tahun silam, tentara Jepang percaya bahwa kaisar adalah titisan dewa dan mereka hidup untuk melayani kaisar. Jika nyawa mereka sendiri tidak berharga, maka orang-orang Cina lebih rendah lagi martabatnya, hanya sekumpulan babi yang patut dijagal. Inilah bahaya dari doktrin yang keliru. Karena saya pernah melewati Kerusuhan '98 dan perang etnis Dayak-Madura, saya bisa menerima penjelasan ini.