A watch can be many things, from fashion to a symbol of prestige. I certainly am the last person you'd call fashionable and I couldn't care less about being prestigious, but hey, surprise! I actually like wearing watch! No, it didn't have to be a fancy one that went into sleep mode when it wasn't being look at. Just the plain and simple good old fashioned one would do.
The funny story about my watch is, I didn't really buy the timepiece I'm wearing. The last time I ever bought one (or two, as the recent photos discovery showed, haha) for myself was easily two decades ago, when I was still living in Pontianak. It was a second-hand watch from Eday. Always a trendsetter among us, he got this funky-looking black watch that I liked. I think I wore it until the rubber strap gave way. Then I bought a new, boring-looking one from Yoviana, another friend that happened to be a watch shopkeeper at that time. It didn't last very long, I'm afraid.
That black watch from Eday, worn during Parno's 20th birthday in 1999. |
I don't recall wearing a watch again until 2008. Yani gave me one for my birthday when I visited her in the Philippines. I remember going to Greenbelt in Manila to have the metal strap resized. It was a Seiko 5 watch, one that I would wear almost every day, through thick and thin, be it rain or shine. It was with me wherever I went, from Indonesia to United Kingdom.
The automatic watch never gave me any problems since the day I wore it, but 10 years were probably long enough to wear it out. It might be coated with stainless steel, but it was still battle-scarred! Then, on the fateful Sunday, May 20, 2018, when I was carrying my younger daughter, one pin suddenly fell off, undoing the whole wrist strap, causing the watch to fall and smash on the pavement. The front glass cracked and my heart was broken.
That Seiko 5 moment in year 2009. |
The watch had already been with me for so long that I would have gotten it fixed just for a sentimental reason. But before I could do that, my wife gave me a birthday present: another Seiko watch! A slightly bigger one with more features (that I never use), because apparently it was worth investing more on her husband than on her boyfriend. Just kidding, haha.
From that moment on, I retired the old one and started wearing the new one instead. But 2018 was a different time, no pun intended, because people were talking about smartwatches now. I tried a step tracker, but I soon grew to dislike it. I hated tapping on the screen just to see the time and I was annoyed by the need to charge the watch. That's when I realized that what I liked best was the watch did its one and only job in no time (again, no pun intended).
Oh yes, if human is a creature of habits, then I love wearing the conventional watch due to the fact that it's the most practical way to tell time and date. Unlike my BlackBerry that may be hiding in my pocket or somewhere else, my watch is often right there on my wrist. I just have to tilt it a bit and voila! I know what time it is! Still the most elegant solution for an increasingly complicated life in a modern society!
Saat-Saat Bersama Seiko
Yang namanya jam itu bisa berarti apa saja, mulai dari gaya sampai gengsi. Saya jelas bukan orang yang paling bergaya dalam hal mode, bukan pula orang yang perlu mengenakan sesuatu yang bergengsi, tapi saya senang memakai jam tangan. Tidak, saya tidak perlu arloji pintar yang bisa "tertidur" saat tidak sedang ditatap. Cukup jam tangan biasa saja.
Ada satu cerita tentang jam yang saya kenakan sekarang ini. Seiko ini adalah hadiah ulang tahun. Sudah lama saya tidak membeli arloji. Kali terakhir saya membeli jam tangan mungkin sekitar 20 tahun yang lalu, ketika saya masih tinggal di Pontianak. Jam tangan ini adalah bekas milik Eday (bisa dilihat di foto ulang tahun Parno di atas). Dari sejak dulu, dia memiliki selera bagus yang menjadi standar bagi teman-temannya. Jam hitam yang modis ini saya pakai sampai putus tali (strap) karetnya. Setelah itu saya membeli jam tangan yang membosankan modelnya dari Yoviana yang kebetulan saat itu bekerja di toko arloji. Seingat saya, jam tangan ini juga tidak berumur panjang, haha.
Di Kuching, tahun 2000, dengan jam dari toko yang dijaga Yoviana. |
Semenjak itu, saya tidak pernah lagi memakai jam tangan. Di tahun 2008, Yani memberikan hadiah jam tangan saat saya mengunjunginya di Filipina. Saya ingat bahwa saya pergi ke kawasan perbelanjaan Greenbelt di Manila bersamanya untuk menyesuaikan tali jam dengan ukuran pergelangan tangan saya. Jam tersebut adalah Seiko 5 yang kemudian saya kenakan hampir setiap hari dan menyertai saya ke mana pun saya pergi, mulai dari Indonesia sampai Inggris.
Jam tangan otomatis ini tidak pernah bermasalah sejak pertama saya pakai dan 10 tahun adalah waktu yang cukup panjang untuk usia sebuah arloji. Seiko 5 memang dilapisi dengan baja anti karat, tapi penuh goresan setelah satu dekade lamanya! Pada hari Minggu tanggal 20 Mei 2018, ketika saya sedang menggendong putri saya, arloji ini akhirnya menyerah dan copot talinya sehingga jatuh menghantam lantai berubin. Kaca depan remuk, demikian juga hati saya.
Di Boracay, Filipina, bersama Seiko 5. |
Jam tangan ini sudah begitu lama bersama saya sehingga sempat terlintas di benak saya untuk memperbaikinya demi kenangan terindah. Sebelum saya sempat mengunjungi tempat reparasi Seiko, istri saya kembali memberikan hadiah ulang tahun yang serupa: sebuah jam Seiko yang lebih bagus dan memiliki beberapa fitur (yang tidak pernah saya pakai). Kalau saya pikirkan lagi, memang masuk akal untuk menghamburkan uang untuk suami dibandingkan untuk pacar, haha.
Sejak saat itu, jam yang lama akhirnya saya simpan dan yang baru pun mulai saya pakai. Akan tetapi tahun 2018 adalah era arloji pintar. Saya lantas mencoba memakai pengukur langkah yang juga berfungsi sebagai penunjuk waktu, namun saya merasa tidak nyaman karena harus menekan permukaan jam untuk melihat waktu. Selain itu saya juga tidak suka mengecas jam dari waktu ke waktu. Konyol rasanya. Dari situ saya jadi tambah yakin bahwa yang cocok untuk saya adalah penunjuk waktu yang tepat guna dan efektif dalam menunjukkan waktu.
Di Surabaya, 2019, saat mengenakan pengukur langkah. |
Oh ya, bila manusia adalah makhluk yang bergantung pada kebiasaannya, maka saya menyukai jam tangan biasa karena ini adalah cara paling praktis untuk mengetahui tentang waktu dan tanggal. Berbeda dengan BlackBerry saya yang biasanya disimpan di saku, arloji saya senantiasa berada di pergelangan tangan saya. Saya cukup memutar lengan saya sedikit dan segera bisa saya lihat pukul berapa sekarang. Jam tangan memang masih merupakan solusi paling elegan di kehidupan yang kian rumit di zaman modern ini!