Total Pageviews

Translate

Sunday, February 26, 2023

A Man Called Parno: The Moments Of Truth

And I thought I was done with A Man Called Parno series since I did two entries back in 2017. I never knew I'd have a story worth telling again until the trip to Japan. This particular trip had been many things: beautiful, chaotic, fast-paced, bloody cold, etc. But above all things, it was memorable because it featured Parno. I often jokingly said he was the main actor of the trip and I had to say he really delivered. 

This story began with Eday getting Parno to taste his own bad medicine. When we looked back, we realized that Parno never treated us any meal before. It's always us that paid the bill. So with all the nonsensical questions that would always have no as an answer (such as, "have you ever treated your friends dinner in Japan?"), he cornered Parno into buying us dinner.

And they shook hands as they reached the agreement.

It turned out that the dinner was cheaper than the budget allocated for each of us. I was entitled for 5,000 yen (for making it possible for him to visit Japan), but the bill was only 4,100 yen. Hence we dragged him around Ueno to find a spot for yakitori and sake.

I didn't know if it was the sake talking, but there Parno was, opening up to us about his insecurities. Yes, to a certain extent, Parno wasn't the brightest one in the room and always ended up as the butt of our jokes, but he always smiled and laughed things off. Not that night, though. There were a tinge of sadness and an almost childlike quality about the way he thought of what mattered. That made it all the more touching. 

In his mind, Parno had this idea that he wasn't any good, had nothing to be proud of, and he named one of our friends as the successful one in business. We then reminded him that despite what he said, he was the one with us that night. Not any other friends he compared himself with. He might not be the most handsome or the most eloquent speaker of our time, but he was surely determined enough to fulfill his dream while others simply didn't have the same determination. That was one of his strengths and that alone should have been counted as something. 

Cheers to many years of friendship!  

Anyway, it was quite a revelation to hear him opening up like that. I'd known him since secondary school and this was the first time I ever saw him being so vulnerable. Guys don't really confide like this, hence it was quite a moment that was responded surprisingly well by us with sympathy and encouragement. I just hoped that he'd feel more confident and adequate after our conversation. 

It could have ended there and it would still be a high note, but who knew it was just a prelude of what came next? On the following day, I went to Hard Rock Cafe in Roppongi Hills. After buying the t-shirt, I thought we could have a drink while waiting for Eday to finish his Teams call. It turned out that we were the only guests there. Eday seized the opportunity and became the MC to set up the stage for all of us. We were expected to share the reason of joining the trip and express our opinion spontaneously. 

To understand why this was a big deal, I need to highlight that such an event isn't part of our culture for us who grew up in Pontianak back in the 80s. Due to the nature of our upbringing, we became very reserved people. Displaying affection was generally frowned upon. Believe it or not, we were quick to mock, but rarely show appreciation in public. 

What Eday did was something beyond our comfort zone. Because I initiated the trip to Japan, I had to go first. As usual, I stuttered and it felt like I was all over the place. But the message was there: the grand plan was based on Parno's wish and it seemed to me that this was probably the biggest and the most random group of high school friends to ever visit a place as far as Japan. We were from all walks of life coming different places (Hong Kong, Singapore, Jakarta and Pontianak) and we weren't necessary close friends back in the days. I didn't think we could repeat or surpass this, so this might be our first and last trip in this lifetime.

The teary Parno took the stage.

Then the rest had their turns. I remember Taty saying that one of the reasons she joined was because of Parno, too. Cicilia, Shanti and others echoed the same sentiment. We saved the best for last and by the time it was Parno's turn, he was so emotionally overwhelmed. When I heard him sniffing and clearing his throat, I thought he caught a really bad flu, but no, he was actually crying.

You see, we are in our 40s now. Like I said earlier, I knew Parno since secondary school. Some of us knew him even longer since primary school. That's like more than three decades ago, but none of us ever saw him shaking in tears like this before. He was so emotional that for the first minute, he couldn't got any word out of his mouth as he fought to hold back his tears. 

It was a powerful moment. I thought I had known Parno so well, but nothing I knew had prepared me for a moment like this. When I turned to the left, I could see Ardian looking down and covering his eyes. When I glanced to the right, I saw Taty crying, too. I immediately reached for tissue as I barely held it together myself.

When he gained his composure, Parno was babbling about how grateful he was that each of us, in one way or another, had helped him to realize his dream. I remember smiling and looking around, absorbing the rare moment of genuine friendship. I remember thinking that this would be the shared memory we'd remember for the rest of our life. 

Looking back, it was like when all the stars aligned. So rare, so full of love and so beautiful. Yes, we bashed Parno on daily basis, but when we had to say it, it turned out that many of us loved him as well. It was so unbelievable, but yet he was the glue that brought us together. You don't get something as memorable as this very often in life. For 12 of us who were there, it took us 43 years, literally half or 3/4 of our life, to have a glimpse of such a moment. I am glad I was there to witness and be part of it...

And Eday wrapped it up.



Pria Bernama Parno: Sebuah Kenangan Terindah

Dan saya sempat mengira bahwa saya sudah lama selesai dengan serial A Man Called Parno sejak tahun 2017, setelah saya menulis dua episode tentang Parno. Saya tidak pernah menyangka bahwa masih akan ada kisah yang layak untuk diceritakan lagi, sampai apa yang saya alami di liburan ke Jepang. Liburan ini mencakup banyak aspek: indah, tergesa-gesa, cepat langkahnya, luar biasa dinginnya dan lain-lain. Namun di luar semua itu, liburan ini mengesankan karena ada Parno. Saya sering bercanda bahwa Parno adalah pemeran utama kali ini dan keikutsertaannya terbukti tidak mengecewakan. 

Kisah kali ini dimulai dari Eday yang membuat Parno akhirnya merasakan jurusnya sendiri. Sewaktu berbincang sambil bersantap malam, kita menyadari bahwa Parno tidak pernah traktir makan. Selalu kita berdua yang akhirnya membayar begitu bon datang. Jadi dengan beraneka pertanyaan menjebak yang selalu memiliki jawaban tidak pernah (misalnya, "sudah pernah traktir teman makan malam di Jepang, belum?"), Eday akhirnya memojokkan Parno untuk traktir.  

Dan mereka bersalaman setelah sepakat.

Anggaran untuk saya adalah 5.000 yen sementara tagihannya hanya 4.100 yen. Berhubung ongkos makan malam kita ternyata lebih murah dari apa yang dianggarkan Parno untuk kita, maka kita menyeret Parno mengelilingi Ueno untuk mencari tempat makan yang menyajikan yakitori dan sake. 

Saya tidak tahu apakah ini adalah pengaruh alkohol sake, tapi Parno lantas mengeluarkan kegundahan yang ia pendam selama ini. Ya, Parno memang bukan yang paling cerdas di antara kita dan seringkali menjadi bahan ejekan, tapi dia selalu tersenyum dan ikut tertawa setelah menjadi korban lelucon. Tapi tidak demikian halnya di malam itu. Ada nuansa sedih dan kepolosan seorang bocah sehingga beban pikiran yang dia ungkapkan terasa menyentuh. 

Di benaknya, dia senantiasa merasa bahwa dia tidak bisa apa-apa, pun tidak memiliki apa yang bisa dibanggakan, apalagi saat dibandingkan dengan seorang teman yang ia anggap sukses secara finansial. Mendengar semua itu, kita lantas mengingatkannya kembali bahwa di malam itu dia bersama kita di Tokyo sementara teman yang dia anggap hebat itu malah tidak hadir. Parno bukanlah yang paling tampan atau paling pintar bicara, tapi dia memiliki keteguhan hati untuk menggapai impiannya, suatu kualitas yang tidak dimiliki banyak orang. Itu adalah nilai positif darinya dan seharusnya masuk hitungan. 

Kampai ala Jepang untuk persahabatan yang sudah berpuluh-puluh tahun! 

Mendengarkan Parno mengutarakan isi hatinya adalah sesuatu yang mencengangkan. Saya sudah mengenalnya dari sejak SMP dan ini adalah pertama kalinya saya melihat Parno berbagi kerisauan seperti ini. Pria Pontianak biasanya tidak pernah mencurahkan isi hati saat berkumpul, jadi ini adalah peristiwa yang langka dan ditanggapi secara baik oleh kita yang memberikannya simpati dan dukungan. Saya berharap bahwa dia merasa lebih percaya diri setelah percakapan kita itu. 

Dan kalau saja kisah Parno kali ini berakhir di sini, kejadian ini masih akan menjadi sesuatu yang kita kenang. Di luar dugaan, ini hanyalah permulaan dari apa yang akan terjadi berikutnya. Di keesokan harinya, saya pergi ke Hard Rock Cafe di Roppongi Hills. Setelah membeli kaos, terpikir oleh saya bahwa kita bisa minum sebentar sambil menunggu Eday yang sedang ada rapat lewat Teams. Ternyata kita adalah satu-satunya tamu di Hard Rock Cafe yang masih sepi. Eday langsung menjadi MC dan menggunakan kesempatan ini untuk memberikan kita panggung. Kita lantas diminta untuk bercerita tentang alasan ikut serta dan beropini secara spontan. 

Untuk mengerti keistimewaan dari apa yang dilakukan Eday ini, perlu saya jelaskan bahwa acara seperti ini bukanlah bagian dari budaya kita yang tumbuh besar di Pontianak tahun 80an. Karena apa yang kita lewati, kepribadian kita cenderung tertutup. Mengungkapkan perasaan di depan umum adalah tidak lazim. Percaya atau tidak, kita cepat dalam mencibir, tapi jarang memberikan pujian. 

Jadi apa yang Eday lakukan adalah sesuatu yang di luar zona nyaman kita. Karena saya yang menggagas liburan ke Jepang, saya mendapatkan kesempatan pertama. Seperti biasa, saya terbata-bata dan apa yang saya sampaikan seperti loncat sana-sini. Tapi pesan yang tersirat bisa dijabarkan seperti ini: rencana saya ini berdasarkan impian Parno dan bagi saya, liburan bersama ini adalah yang paling ramai, paling acak dan paling jauh. Paling ramai karena ada 13 peserta. Paling acak karena datang dari tempat tinggal berbeda (Hong Kong, Singapore, Jakarta dan Pontianak) dan tidak semuanya adalah teman dekat baik waktu SMA maupun sebelum trip ini. Paling jauh karena Jepang adalah negara terjauh bagi banyak peserta. Saya rasa sulit untuk mengulang atau melampaui prestasi ini, jadi ini mungkin yang pertama dan terakhir dalam hidup ini. 

Parno yang terharu akhirnya tampil.

Kemudian peserta lain pun mendapat giliran. Saya ingat Taty berkata bahwa Parno adalah salah satu alasan kenapa dia ikut serta. Cicilia, Shanti dan yang lain pun memiliki pendapat serupa. Ketika Parno akhirnya mendapatkan giliran untuk berbicara, dia tak lagi bisa menahan perasaan haru. Saya sempat menyangka bahwa dia sedang flu, tapi segera saya sadari bahwa dia ternyata sedang menangis.

Seperti yang saya katakan sebelumnya, saya sudah mengenal Parno dari sejak SMP. Beberapa dari kita bahkan mengenalnya dari sejak SD. Di usia kita yang sudah 40an ini, berarti sudah tiga dekade terlampaui sejak kita pertama mengenal Parno, tapi kita tidak pernah melihatnya bergetar dalam tangisan seperti ini. Dia begitu terbawa oleh emosi, sampai-sampai dia tidak bisa berkata apa-apa di menit pertama karena berusaha keras membendung air matanya. 

Itu adalah suatu peristiwa yang luar biasa emosional. Saya sudah kenal Parno dengan cukup baik, tapi tetap saja tidak siap dengan momen ini. Ketika saya menoleh ke kiri, saya melihat Ardian memandang ke bawah sambil menutup matanya dengan tangan. Ketika saya melirik ke kanan, saya melihat Taty meneteskan air mata juga. Saya cepat-cepat meraih tisu untuk mengeringkan mata saya yang mulai basah.

Tatkala dia berhasil mengontrol emosinya, Parno bercerita tentang betapa bersyukurnya dia karena telah banyak dibantu oleh masing-masing peserta dalam berbagai cara. Saya turut tersenyum sambil memandang ke sekeliling, menikmati aura persahabatan yang begitu kental ini. Sempat melintas di benak saya bahwa kejadian ini akan menjadi kenangan bersama yang akan kita ingat selalu sampai akhir hayat kita. 

Kalau saya lihat kembali, peristiwa ini bagaikan rangkaian planet di tata surya yang kebetulan berjajar dalam satu garis lurus. Sangat langka, penuh kasih-sayang persahabatan dan begitu indah. Ya, kita sering mengejeknya dari dulu sampai sekarang, tapi ketika kita harus mengatakan sesuatu tentang Parno, ternyata banyak yang menyayanginya pula. Rasanya sulit untuk dipercaya, tapi Parno mempersatukan begitu banyak orang. Peristiwa seperti ini sangatlah jarang terjadi. Bagi 12 peserta yang berada di Hard Rock Cafe pada saat itu, butuh 43 tahun lamanya, mungkin setengah atau 3/4 dari hidup kita, untuk melihat sekilas nuansa kebersamaan seindah ini. Saya senang saya bisa berada di sana untuk menyaksikan dan menjadi bagian dari peristiwa ini...

Dan Eday pun menutup acara.

Monday, February 20, 2023

Tomorrow, The World!

To understand why I do what I am doing in the name of friendship, one has to read the Chronicler, the Impresario. Creating memory is what I do. That is simply me. And I had done quite a fair bit of things since we were graduated from high school: the original news feed long before Facebook existed, the reunion, the song, the photos, etc.

Then of course there was Robinson Travel. No, it wasn't a real tour and travel agency, haha, but holidays I organized since 2016. It was fun, but out of so many I did, the story today began with the trip to Semarang

The togetherness.

That trip was memorable. Nothing beats the feeling of traveling and hanging out with old friends who come from the same hometown and know your lingo so well. But Semarang was over. And while I was happy to see trips such as Prau and Karimunjawa happening, I wasn't going to repeat any domestic tour if I had to organize one more. 

I had a dream that we were going to somewhere far together at least once in our lifetime, hence Singapore was not even included in the destinations list this round. When Parno mentioned his wish to visit Japan, I made it my mission to see through it. While it seemed like I was making his dream came true, I was secretly fulfilling mine as well.

Parno giving a thumbs up!

So it all started in 2020, when things were dark and gloomy as we lived through life in the time of corona. It had been a long wait, long enough for me to sell the idea. That it wasn't just some joke, but it was quite doable. Some might have found it sickening for hearing it too often. I must have been hated by some for overselling the Japan trip, but in all honesty, I wasn't apologetic about it. 

Then came the fateful day of 12 October 2022, more than two years after the grand plan started. You'd think that things would be smooth-sailing once we bought the tickets, but no, we still got tons of dramas going on. Notable ones were the visa application saga (quite funny, though, as it involved gluing a passport-sizes photo with steamed rice on the application form) and a couple of cancellations (this one was both silly and unnecessary). 

17 minutes before landing.

Now, I'll have you know that this story is written as we're flying from Manila to Tokyo. As of now, it is 17 minutes before the landing at Haneda Airport. Looking back, it is crazy how we did it so far. But what many don't know is the reason I persevered. I'd kept quiet for the longest time, until now. The next paragraph is the reason why I did this trip.

The domestic trip to Semarang was fun and inspiring, but I wouldn't repeat it again. It was over and done with. If I had to do it, I wanted to go somewhere far together for once in my life, just like I said earlier. This is not to show off, but to prove that we can push it to the next level. You just have to dream about it and work on it. And it's better to do it now, while we can, than next time in the future.

And we made it. 13 of us!

I know that life is tough and money, to quote Ringo, don't come easy. But with a proper planning and perseverance, I know we can. True enough, people like Gunawan, Ardian and of course Parno prove it right. They went the longest distance, coming from Pontianak, and they made it to Japan. 

This is the learning curve that I'd been wanting to share since 2020. Now I can share it, because we finally made it. When I organized the Singapore trip in 2019, a friend commented that it was still a long way to go as the trip only happened in April. I remember that clearly, because it was this kind of mentality that I tried to get rid off. For those who went through this with me, welcome to Japan!

From Pontianak to Tokyo.



Melanglang Buana!

Bila anda ingin mengerti kenapa saya melakukan semua ini atas nama persahabatan, anda perlu membaca the Chronicler, the Impresario. Menciptakan kenangan bersama adalah hal yang saya lakukan. Inilah saya apa adanya. Dan saya sudah melakukan beberapa hal dari sejak lulus SMA: situs berita teman SMA jauh sebelum era Facebook, reuni, lagu We Are the World, koleksi foto dan lain-lain. 

Kemudian ada lagi yang namanya Robinson Travel. Tidak, ini bukan biro perjalanan, haha, tapi liburan yang saya organisir dari sejak tahun 2016. Memang seru, tapi dari banyak aktivitas yang saya pelopori, yang menjadi asal mula cerita kali ini adalah liburan ke Semarang.

Kebersamaan.

Liburan ke Semarang sungguh berkesan. Tidak ada yang mengalahkan perasaan bertualang dan berkumpul dengan teman seangkatan dari Pontianak yang mengerti bahasa dan jargon yang anda gunakan. Tapi Semarang sudah usai. Meskipun saya turut senang melihat liburan ke Prau dan Karimunjawa, saya tidak akan memprakarsai liburan domestik lagi. 

Saya ada impian bahwa saya akan pergi ke tempat yang jauh, minimal sekali seumur hidup bersama teman-teman. Oleh karena itu Singapura bahkan tidak masuk ke daftar destinasi kali ini. Tatkala Parno berkata bahwa dia ingin mengunjungi Jepang, saya jadi serius untuk mewujudkannya. Memang sepertinya saya membantu Parno mencapai impian, tapi sebenarnya saya juga berjuang menggapai impian saya sendiri.

Parno mengacungkan jempol di bulan Desember 2022.

Impian ini pun bermula di tahun 2020, ketika semua terlihat kelam dan kita berjuang melewati korona. Dua tahun ini adalah masa yang panjang, cukup panjang bagi saya untuk menjual ide ini. Saya meyakinkan teman-teman bahwa ini bukanlah lelucon, tapi sesuatu yang bisa diwujudkan. Mungkin ada beberapa yang muak mendengar "bualan" ini berulang-ulang. Saya bahkan mungkin dibenci karena dianggap berkoar-koar terus. Namun jujur saya katakan, saya tidak ada niat minta maaf, haha.

Lantas tibalah tanggal penentuan 12 Oktober 2022, lebih dari dua tahun setelah rencana disusun. Anda mungkin berpikir bahwa semuanya akan lancar jaya setelah kita membeli tiket, namun kenyataannya masih banyak drama yang terjadi. Beberapa kejadian penting antara lain saat aplikasi visa (cukup lucu, sebenarnya, karena melibatkan pasfoto yang ditempel dengan nasi di formulir aplikasi) dan juga pembatalan keberangkatan (kalau yang ini konyol dan sangat disayangkan). 

17 menit sebelum mendarat di Jepang.

Sebelum saya lanjut, perlu saya beritahukan bahwa cerita ini ditulis saat kita terbang dari Manila menuju ke Tokyo. Saat ini masih ada 17 menit sebelum kita mendarat di Bandara Haneda. Sewaktu saya melihat kembali, ada rasa tidak percaya bahwa kita akhirnya akan mencapai Tokyo. Dan mungkin saya tidak pernah bercerita kenapa saya berteguh hati mewujudkan impian ini. Saya telah lama menyimpan hal ini di dalam hati, sampai detik ini. Paragraf berikutnya akan mengulas kenapa saya mengkoordinir liburan ini. 

Liburan domestik ke Semarang memang seru dan menginspirasi, tapi saya tidak akan mengulangi hal serupa lagi. Bagi saya, itu sudah selesai dijalani. Jika saya harus melakukannya, saya ingin bepergian bersama ke tempat yang jauh, minimal sekali dalam seumur hidup. Ini bukan untuk pamer, tapi untuk membuktikan bahwa kita bisa ke level berikutnya. Kita hanya perlu bermimpi dan berusaha mewujudkan impian tersebut. Dan lebih baik sekarang waktunya, sebab kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. 

13 orang yang berhasil tiba di Jepang.

Ya, saya tahu hidup ini tidak mudah dan uang, bila saya mengutip Ringo, juga tidak datang dengan gampang. Namun dengan perencanaan dan kegigihan, saya tahu kita bisa. Dan akhirnya Gunawan, Ardian dan tentu saja Parno membuktikan bahwa apa yang saya yakini itu benar. Dari semua anggota rombongan, mereka yang menempuh jarak paling jauh. Dari Pontianak, mereka sampai di Jepang.  

Inilah pembelajaran yang ingin saya bagikan dari sejak 2020. Saya bisa bercerita sekarang, karena akhirnya terwujud. Ketika saya menggagas liburan ke Singapura di tahun 2019, seorang teman berkomentar kenapa sudah diumumkan padahal masih lama. Saya ingat betul akan hal ini, dan mentalitas santai seperti inilah yang ingin saya kikis. Jadi bagi yang akhirnya turut serta, saya ucapkan selamat datang di Jepang!

Dari Pontianak ke Tokyo.


Thursday, February 16, 2023

Reinventing Oneself

It must have been established by now that I love the plastics. While each of them is unique in its own way, I always have the soft spot for Diners Club. The story of its origin, the unusual name, its glorious past as the first and how the mighty had fallen... I just love every bit of it. 

Things looked gloomy for Diners and I thought it would stay that way, hence imagine my surprise when I saw the changes. Not only the mobile app was modernized and the company name was changed to DCS Card Centre, but it also released a new card under the UnionPay logo! 

When I got mine (obviously), I found it odd that this was purely a UnionPay card. I reckon the company wanted to show what it meant when the name was changed to Card Centre, but it could have retained the Diners network to broaden the acceptance. It'd be interesting to have a card that worked as both Diners and UnionPay.

Anyway, while it wasn't perfect, Diners' decision to reinvent itself was bold and commendable. It wasn't something that happened very often and it reminded me of the day BlackBerry exited the phone business. Good for the company to focus on security business and be profitable from it, but bad for those who loved the phone like me. 

As I traced back, fundamental changes did happen to things I like, even to an icon as popular as Godzilla. After the disastrous Godzilla 1998, Toho decided to try again with the Americans. The result was Monsterverse that eventually delivered Godzilla vs. Kong in 2021. For the uninitiated, a similar film was first produced by Toho in 1962 and it was wildly popular. To be able to watch a modernized version of it was like a dream came true. I was so impressed when I watched it in the cinema that I couldn't help thinking this is how as Godzilla movie should be done. I remember that particular moment vividly.  

And then we had the Beatles, the master of reinventing themselves. They were so good at it, so ahead of its time, that peers like the Beach Boys and the Rolling Stones were left behind. From Please Please Me to Let It Be, they never sounded the same. Just when the Beach Boys produced Pet Sounds, the Beatles topped the bill with Sgt. Pepper's. Rolling Stones could only hope for the best with Their Satanic Majesties Request. 

But of course not everyone could be like the Beatles. They are the benchmark, the perfection that people like us will always try to emulate and achieve. As for Godzilla, it's about the willingness to try even though we fail the first time. BlackBerry serves as a reminder that we can evolve into something different in order to survive, even though it may not be something that others know and love. And Diners, whatever they do now is definitely an improvement. It got me thinking that when you are already at the bottom of the pit, the only way to go from here onwards is up if we want to reinvent ourselves...

DCS, formerly known as Diners Club. 



Mengubah Diri

Dari berbagai artikel roadblog101.com sejak tahun 2017, rasanya sudah sering diceritakan bahwa saya memang suka koleksi kartu kredit. Setiap logo kartu memiliki keunikan sendiri, tapi saya selalu memiliki perasaan sentimentil terhadap Diners Club. Asal mulanya, namanya yang tidak lazim, sejarahnya sebagai kartu kredit pertama, sampai terpuruknya reputasi Diners sekarang. Saya suka semuanya.

Situasi terlihat sulit bagi Diners yang kalah saing dan saya kira Diners akan selalu terlihat ketinggalan zaman. Jadi bayangkan betapa kagetnya saya ketika Diners tiba-tiba berubah. Bukan saja perusahaannya berganti nama dan mobile app-nya pun berubah, tapi Diners juga mengeluarkan kartu baru dengan logo UnionPay! 

Ketika saya mendapatkan kartu saya, ada rasa heran kenapa kartu ini murni UnionPay. Saya menerka bahwa kartu ini dikeluarkan sebagai UnionPay karena perusahaan ini ingin menunjukkan kenapa namanya diganti jadi DCS Card Centre yang berarti pusat kartu, tapi saya sempat menyangka bahwa kartu ini akan tetap mempertahankan jaringannya sendiri. Akan sungguh menarik bila kartu ini bisa dipakai di jaringan UnionPay dan Diners.

Kendati tidak sempurna, aksi nyata yang ditunjukkan Diners untuk berubah adalah sesuatu yang berani dan patut dikagumi. Ini tidak sering terjadi dan mengingatkan saya kembali pada hari di mana BlackBerry memutuskan untuk keluar dari bisnis telepon genggam. Bagus untuk perusahaannya untuk sepenuhnya fokus pada bisnis keamanan komputer, tapi tidak bagus untuk pencinta telepon BlackBerry seperti saya. 

Ketika saya melihat kembali, perubahan mendasar seperti ini terjadi pada beberapa hal yang saya sukai, bahkan sesuatu yang sudah begitu ikonik dan populer seperti Godzilla. Setelah Godzilla 1998 yang gagal total, Toho memutuskan untuk mencoba lagi dengan produser film Amerika. Hasil kerja sama dari sejak Godzilla 2014 ini akhirnya melahirkan Godzilla vs. Kong di tahun 2021. Bagi yang tidak tahu, film serupa diproduksi oleh Toho di tahun 1962 dan sukses besar. Bisa menyaksikan kembali versi modern dari pertarungan Godzilla dan Kong sungguh bagaikan impian yang menjadi kenyataan. Saya begitu terkesan sampai berpikir bahwa seperti inilah film Godzilla seharusnya digarap. Saya ingat betul pikiran tersebut terlintas di benak saya saat di bioskop.

Dan kemudian ada the Beatles yang senantiasa berubah menjadi lebih baik dan menciptakan sesuatu yang baru. Mereka begitu pakar dalam hal ini, begitu jauh di depan, sampai-sampai grup lain seperti Beach Boys dan Rolling Stones tertinggal di belakang. Dari Please Please Me sampai Let It Be, the Beatles tidak pernah terdengar sama. Sewaktu Beach Boys merilis Pet Sounds, the Beatles menandinginya dan keluar sebagai pemenang dengan Sgt. Pepper's. Rolling Stones hanya bisa mengekor di belakang dengan Their Satanic Majesties Request

Akan tetapi tentu saja tidak semua bisa menjadi seperti the Beatles. Mereka adalah standar dan inspirasi bagi orang-orang seperti saya yang selalu mengejar dan mencapai impian seperti mereka. Akan halnya Godzilla, perlu dicatat bagaimana mereka mencoba lagi meski gagal di kali pertama. Kalau BlackBerry adalah sebuah kisah nyata bagaimana evolusi menjadi sesuatu yang sama sekali berbeda kadang diperlukan agar tidak lenyap oleh waktu, meskipun perubahan itu bukan lagi sesuatu yang digemari khalayak ramai. Dan apa pun yang mereka lakukan di Diners sekarang jelas merupakan peningkatan. Ini adalah contoh, bilamana kita sudah di bawah, maka satu-satunya yang akan terjadi bila kita mau berubah adalah peningkatan dan kemajuan...

Sunday, February 12, 2023

After Two Times

And I thought I wouldn't do it anymore! It was mentally draining the first time I went through it! But I did it and much to my surprise, I finished it faster than before. I took about six months to read the book. The second time wasn't that tough, though. Finished reading it within a month.

Confused? Let's put things in perspective. About a year ago, a friend of mine came up with the phrase at least twice. This happened after the heated discussion in our group chat. To paraphrase what he said, after reading about 600 books, he was still of the opinion that this was the best, life-changing book ever. But it wasn't easy to read, for it was so controversial. And instead of explaining what the book was all about, he brushed us off by saying we must read it ourselves, at least twice.

I took up the challenge and to a certain extent, he was right about the content of the book. It was hard to read. If you asked me, it felt like reading a badly written multiverse story mixed with the wisdom of ancient Chinese and Buddhism. It was just a bunch of things that I either wasn't interested in, didn't believe or failed to understand. Hence it was quite a torture to continue reading it. 

So why did I pick it up again? It was simply driven by the desire to fulfill what I set out to do the time I took up the challenge: to read it twice. I did promise that and I felt obliged to keep my words, even though I felt like giving up after reading it the time. I also wanted to know if it really made a difference if I read it twice. It also helped that, since I already knew what to expect from the book, it didn't feel overwhelming anymore. The first time I read it, there was this feeling that I couldn't believe I was reading such a mumbo jumbo. 

Anyway, back to whether there would be any differences if I read it twice or not, the answer is no. I didn't believe it the first time and this round, I subconsciously blocked the information that felt like utter nonsense. It just wasn't my cup of tea. Unless there was an epiphany, I doubted that things would be any difference if I read it for the third or fourth time.

However, I did learn two things from reading it twice. First of all, one might have missed some parts of the book that one read half-heartedly. You might have noticed it only if you re-read it again. The second thing was, what we were feeling at the time of reading. Our emotional state played a part here. This is when things suddenly felt relevant, as if they spoke to us directly at that particular moment. 

And this is exactly what the Beatles mean to me. I've listened to the songs not only twice, but many times for the past 27 years. I remember when I was sad and brokenhearted, Let It Be was my favourite. When I felt optimistic, I could relate with Here Comes the Sun. It is ever-changing, depends on the mood. So that's what reading does to us. It's not like the book is so magical that it provides an answer to our problem, but it's our mind that is deliberately finding something to cushion the emotion we are feeling. And this is especially true when we are feeling down.

So no, the controversial book is not doing any wonders. Even a bible is just an ordinary book if you don't believe in it. But the concept of experiencing things twice or more to better understand them is agreeable. But based on the test I just did, I have to add on that it'll only work well if you love it and believe in it. So, to quote the Beatles, all you need is love...

The clarity of it, after two times!




Setelah Dua Kali

Dan saya sempat mengira bahwa saya tidak akan mengulanginya lagi! Rasanya sungguh cape mental saat pertama kali saya membacanya. Namun saya coba lagi dan di luar dugaan, saya selesaikan lebih cepat dari sebelumnya. Sebelumnya saya butuh waktu enam bulan untuk menamatkan buku ini, tapi kali ini cuma kurang-lebih sebulan. 

Bingung? Saya ulangi lagi, kali ini lengkap dengan konteksnya. Kira-kira setahun yang lalu, teman saya memulai istilah minimal dua kali. Ini terjadi setelah diskusi sengit di grup SMA. Kalau saya jabarkan kembali apa yang terjadi, teman saya ini berpendapat bahwa setelah dia membaca sekitar 600 buku, yang satu ini masih merupakan buku terbaik yang bisa mengubah hidup seseorang. Akan tetapi, lanjutnya, buku ini tidak gampang dibaca karena sangat kontroversial. Dan bukannya menjelaskan apa sebenarnya isi buku ini, dia malah bungkam dan bersikeras bahwa kita harus baca sendiri bukunya, minimal dua kali.   

Saya terima tantangan tersebut dan ternyata dia tidak asal bicara tentang isi buku ini. Memang susah untuk dicerna. Menurut saya, rasanya seperti membaca cerita multiverse yang ditulis secara amatiran, lalu dikemas dengan budaya Cina kuno dan Budhisme. Buku ini merupakan perpaduan topik yang tidak menarik perhatian saya, yang juga tidak saya percayai dan sekaligus gagal paham. Ini alasannya kenapa buku ini sulit untuk dibaca.

Lantas kenapa saya baca lagi baru-baru ini? Saya terdorong untuk menyelesaikan apa yang saya mulai tahun lalu: baca dua kali. Singkat kata, walaupun saya sempat merasa tidak sanggup lagi saat saya selesai membaca untuk kali pertama, namun seiring dengan berlalunya waktu, saya jadi tergerak lagi untuk menepati aturan main tersebut. Lebih dari itu, saya juga ingin tahu, apa benar ada bedanya setelah membaca dua kali. Di kali kedua, tak ada lagi rasa sulit percaya bahwa ada yang sampai mengarang buku seperti ini. Pokoknya berbeda dengan kali pertama yang sungguh mengejutkan akal dan pikiran.  

Oh ya, kembali lagi ke rasa ingin tahu saya tentang apakah ada perbedaan setelah membaca dua kali, jawaban saya adalah tidak ada. Saya tidak percaya isi buku ini di kali pertama dan sekarang ini, saya tanpa sadar memblokir informasi yang terasa di luar nalar saya. Saya kini bisa berkesimpulan bahwa ini bukanlah buku yang tepat untuk saya. Tidak ada gunanya membaca berulang-kali. 

Kendati begitu, saya menyadari dua hal saat membaca dua kali. Yang pertama, kita mungkin tanpa sadar melewatkan beberapa bagian buku yang kita baca dengan setengah hati. Bagian ini mungkin baru kita perhatikan setelah kita baca ulang. Yang kedua adalah, apa yang kita rasakan saat sedang membaca. Emosi kita pada saat itu mempengaruhi kita dalam mencerna bacaan. Ini penjelasannya kenapa sesuatu tiba-tiba terasa relevan, seakan-akan kalimat tersebut berbicara langsung pada kita di saat itu juga.

Dan inilah alasannya kenapa the Beatles memiliki arti penting bagi saya. Saya tidak hanya dua kali mendengarkan lagu-lagu tersebut, namun berkali-kali dalam 27 tahun terakhir ini. Ketika saya sedih dan patah hati, saya merasa dihibur oleh lagu Let It Be. Ketika saya merasa optimis, saya merasa tergugah oleh Here Comes the Sun. Semua ini ada momen tersendiri, tergantung perasaan saya pada waktu itu. Hal serupa juga terjadi saat kita membaca. Bukan bukunya yang tiba-tiba menyediakan jawaban untuk masalah yang kita hadapi, tapi pikiran kita yang mencari solusi untuk meringankan beban emosi yang sedang kita rasakan. 

Jadi buku kontroversial ini tidaklah sakti. Bahkan kitab suci pun hanya merupakan buku biasa kalau anda tidak percaya. Akan tetapi konsep mengalami sesuatu minimal dua kali supaya kita lebih mengerti, ini benar adanya. Hanya saja, berdasarkan pengalaman saya ini, saya bisa tambahkan bahwa konsep ini hanya akan berhasil untuk hal-hal yang kita sukai dan percaya. Jadi, kalau boleh saya mengutip the Beatles, all you need is love...


Saturday, February 4, 2023

The Plastics II: Debit Cards

I had always loved the plastics since I got my first one in 2001, but the craze only started when I moved to Singapore. I'd been collecting credit cards since then. After almost two decades of doing the same thing, I'd naturally expect it to stay that way. Hence it was amusing when the scope changed recently. It expanded to debit cards as well, after I met my friend STV at Hilary's Christmas party

Talk about debit cards, I had Wise since it was still called TransferWise. I applied for it because the card design looked cool, but I never really paid attention to the usage. Then I got myself the Amaze card because it was highly recommended by Franky, the guy with a plenty of brilliant financial advices. It had been my go-to card for traveling and foreign exchange transactions for months, until the night STV shared the comparison between Amaze and YouTrip. He was of the opinion that YouTrip offered better exchange rates these days for selected currencies.

Now, I won't go in-depth on this topic. You could easily google it and find more qualified sources that showed the comparison of Amaze, Youtrip and other similar cards. I'd like to share my experience in testing out the cards instead. 

There was a reason why I ignored debit cards for the longest time. I disliked the fact that it immediately deducted your bank account the moment you used it. This was also the reason why Amaze card worked for me, because even though it was a debit card, I could link it to credit cards and I never had to worry if I still had any balances left or not.

Anyway, after that fateful night, I ended up trying out and comparing the big four in Singapore: Wise, Amaze, YouTrip and Revolut. I also explored less known cards such as Wirex, UOB Mighty FX, BigPay and DelytePay. That's when I learnt that some are really suitable for travelling purpose while others not so. 

The big four: YouTrip, Amaze, Revolut and Wise.

First things first, the account opening. The process for the big four were brilliant and seamless. Wirex was equally hassle-free, too. The application for Mighty FX, the only one from the bank that I tried, felt old-fashioned. It was as good as opening many accounts and it took weeks before the debit card was issued. BigPay application didn't work out well, too. It was stuck under the review status for more than a week, until I sent an email to give it a nudge. The customer service was surprisingly responsive, though. As for DelytePay by Matchmove, the interface worked well for account opening, but there was this lingering feeling that it was small fintech company. I mean, I'd usually receive a card in a mail with my address printed on it, but it was handwritten this round. Much to my chagrin, my name is also not engraved on the card.

In general, card activation is done in a similar method via mobile app. This is why it was quite shocking that Wise switched to a rather painstaking way for card activation. I don't even remember it was that difficult when I first had my TransferWise card. What happened was, the Wise card activation could only be done by checking the balance on the ATM. But what it didn't specify was, it could only be done using POSB ATM. Quite frustrating and I felt like I was doing User Acceptance Test for them. The other method of card activation was even more ridiculous. I was asked to use PIN to do a transaction, but this isn't even the practice in Singapore. I had travelled around the world quite a fair bit and only in Indonesia I was asked to use PIN.

Next, top-up. The best is, of course, Amaze by InstaRem. In term of practicality, no top-up is required for Amaze card as it will charge directly to a credit card that is linked to it. Revolut is right behind it on the second place. I like the fact that it leverages on Google Pay. Then, depends on the cards, some actually will incure charges when using Visa to top-up, but no extra charges when using Master (BigPay is an exception here). Wirex has fees for both Visa and Master whereas Wise still has the option to use Paynow. UOB Mighty FX relies on One Account, just like the traditional banking system. DelytePay is the weirdest among all as it has to be topped up at 7-Eleven.

In term of the interface, I like Revolut the best. It was well-thought, simple to understand and nicely animated. It is also the only one with a child account feature, just like what Get was doing before it went dysfunctional in August 2022. The rest were all right. I tried the Contact Us feature of almost all the cards, too. Again DelytePay felt like it was lagging behind because others already had a rather comprehensive FAQ and many ways for users to reach out.

Last but not least, not all are meant to be travel money cards. Only Wise, Revolut, Amaze and YouTrip easily fall into this category. Wirex is designed for cryptocurrency trading and its debit card is more of a by-product. Mighty FX felt like a half-hearted attempt to compete with others. BigPay is nowhere near the big four and DelytePay is clearly not on the same level playing field. 

I don't know if it's just me being out of touch or what, but as I discovered this, I realized that when it comes to travelling, credit cards seem to be lagging behind while these debit cards are competing to offer the best FX rates. The next trip will be quite different for me. Can't wait to put them in good use real soon!

Mighty FX, Wirex, DelytePay and BigPay.



Kartu Debit

Saya memperoleh kartu kredit pertama saya di tahun 2001 dan saya mulai mengumpulkan beraneka kartu kredit sejak pindah ke Singapura. Setelah hampir dua dekade lamanya  menekuni hobi ini dan melakukan hal yang sama, saya tertegun sendiri ketika cakupannya berubah baru-baru ini. Setelah bertemu dengan teman saya STV di pesta Natal Hilary, saya kini sibuk berburu kartu debit.

Berbicara tentang kartu debit, saya memiliki Wise dari sejak namanya masih TransferWise. Saya bikin kartu ini karena desainnya yang bagus, tapi saya hanya mencoba fiturnya belakangan ini. Di pertengahan tahun 2022, saya lantas mengajukan aplikasi kartu Amaze karena Franky sangat merekomendasikan kartu ini (dia selalu memiliki banyak nasehat bagus tentang hal finansial). Semenjak itu, kartu Amaze selalu saya pakai saat bepergian keluar negeri atau untuk transaksi yang menggunakan mata uang selain SGD. Namun itu semua berubah setelah STV memaparkan tentang perbandingan antara Amaze dan YouTrip. Menurut STV, YouTrip menawarkan kurs yang lebih bagus untuk mata uang tertentu. 

Saya tidak akan menjelaskan lebih rinci tentang hal ini, sebab anda bisa google dan cari tahu dari sumber yang lebih terpercaya tentang perbandingan antara Amaze, Youtrip dan kartu-kartu serupa. Apa yang ingin saya ulas di sini adalah pengalaman saya saat menguji-coba aneka kartu debit ini.

Ada alasan kenapa saya mengabaikan kartu debit dalam dua puluh terakhir ini. Saya tidak suka dengan konsepnya yang langsung memotong uang di rekening begitu kita bertransaksi. Satu-satunya alasan kenapa saya suka kartu debit Amaze adalah fiturnya yang langsung bertransaksi berdasarkan kartu kredit yang kita hubungkan sebagai sumber saldo. Dengan demikian saya tidak perlu memikirkan apakah saya masih memiliki dana yang tersisa di rekening kartu debit saya. 

Nah, setelah percakapan dengan STV, saya lantas mencoba empat nama besar yang mulai mencuat di Singapura: Wise, Amaze, YouTrip dan Revolut. Saya juga mengetes nama-nama yang jarang terdengar, namun sempat muncul di media sosial atau Google. Kartu-kartu tersebut adalah Wirex, UOB Mighty FX, BigPay dan juga DelytePay. Dari percobaan ini, saya pun mendapatkan ide bahwa beberapa kartu ini memang dirancang untuk liburan sedangkan yang lain beda kegunaannya. 

Empat besar di Singapura: YouTrip, Amaze, Revolut dan Wise.

Hal pertama yang saya coba adalah pembukaan rekening. Proses untuk empat nama besar tergolong sangat praktis dan tidak bertele-tele. Wirex pun bisa dikatakan ringkas. Akan halnya Mighty FX, satu-satunya kartu keluaran bank yang saya coba, terasa agak ketinggalan zaman. Kesannya seperti membuka banyak rekening dan butuh waktu beberapa minggu sebelum saya akhirnya menerima kartu debit. Pengajuan kartu BigPay pun sempat tersendat juga. Statusnya selalu under review sampai saya kirimkan email untuk bertanya lebih lanjut. Tapi pelayanan pelanggannya tergolong cukup responsif. Terakhir, DelytePay dari Matchmove, memiliki kesan perusahaan kecil. Biasanya kartu yang saya terima dikirim dengan amplop yang alamatnya tercetak secara komputerisasi, tapi yang satu ini masih ditulis tangan. Saya juga agak kecewa karena kartu yang saya terima sama sekali tidak mencantumkan nama saya. 

Secara keseluruhan, aktivasi kartu boleh dikatakan nyaris serupa dan lewat app. Inilah alasannya kenapa metode Wise sungguh mengejutkan dan repot. Seingat saya, aktivasi kartu TransferWise pertama saya pun tidak sesulit ini. Apa yang terjadi adalah, aktivasi kartu Wise hanya bisa dilakukan dengan cara mengecek saldo lewat ATM. Apa yang tidak dijelaskan secara spesifik adalah, metode ini hanya bisa dilakukan lewat ATM POSB. Saya sempat merasa frustrasi karena merasa seperti sedang membantu Wise menguji sistem. Metode lainnya bahkan lebih konyol lagi: transaksi menggunakan PIN. Padahal tidak ada yang menggunakan metode ini di Singapura. Sepanjang pengalaman saya dalam mengunjungi berbagai negara, hanya Indonesia yang memiliki pilihan menggunakan PIN saat pembayaran menggunakan kartu. 

Yang berikutnya adalah pengisian saldo. Yang terbaik tentu saja  Amaze dari InstaRem. Begitu praktis karena saldo tidak perlu diisi setelah kita menghubungkannya dengan kartu kredit. Revolut juga lumayan gampang karena terhubung dengan Google Pay. Tergantung jenis kartunya, ada yang terkena biaya bila mengisi saldo dengan Visa, tapi gratis jika kita menggunakan Master (pengecualiannya adalah BigPay yang juga gratis meski pakai Visa). Wirex memungut biaya untuk pengisian saldo dan Wise masih memiliki alternatif transfer tanpa biaya lewat Paynow. Mighty FX terasa seperti sistem tradisional karena masih mengandalkan rekening bank One Account. Yang paling tidak lazim adalah DelytePay karena saldo harus diisi di 7-Eleven.

Dari aspek aplikasi, saya paling suka Revolut. Aplikasinya mudah dimengerti dan memiliki animasi yang menarik perhatian serta informatif. Revolut juga satu-satunya yang memiliki rekening untuk anak, mirip seperti apa yang ditawarkan oleh produk Get sebelum kartu debitnya sama sekali tidak bisa digunakan lagi sejak Agustus 2022. Aplikasi kartu lainnya boleh dikatakan lumayan. Fitur Contact Us pun saya coba untuk hampir semua kartu. Sekali lagi DelytePay terasa ketinggalan karena yang lainnya memiliki FAQ yang komprehensif dan pelayanan pelanggan yang responsif. 

Yang terakhir dan paling penting adalah, tidak semua kartu dirancang sebagai kartu yang bagus kursnya untuk liburan. Hanya Wise, Revolut, Amaze dan YouTrip yang masuk di kategori ini. Wirex lebih dominan di jual-beli kripto dan kartu debitnya terasa seperti produk sampingan. Mighty FX terasa seperti usaha setengah hati untuk bersaing dengan produk lain yang serupa. BigPay masih jauh dari empat besar dan DelytePay jelas beda level. 

Jujur saya merasa seperti pemain baru di dunia kartu debit, tapi setelah saya uji dan alami, saya merasa bahwa untuk fasilitas liburan, kartu kredit ternyata kini kalah jauh dari kartu-kartu debit yang bersaing dalam menawarkan kurs paling kompetitif. Sungguh rasanya tidak sabar lagi untuk saya pakai lebih lanjut di liburan berikutnya!

Mighty FX, Wirex, DelytePay dan BigPay.