Total Pageviews

Translate

Showing posts with label Travel. Show all posts
Showing posts with label Travel. Show all posts

Saturday, April 26, 2025

11 Hours In Tianjin

I had only one reason to visit Tianjin: Hard Rock Cafe. This had been the plan since the first time I went to Beijing, but timing was an issue then. Learning from the past failure, it was different this round. 

Together with my colleague Fulton, I landed in Beijing two days earlier. This gave me the ample time to enjoy one night in Beijing before heading to Tianjin on the following morning. Departing from Beijing South Railway Station, I arrived in Tianjin about 10 AM. As we had about an hour before Hard Rock opened, we had our breakfast at McDonald's: a bowl of porridge!

At Tianjin Station.

After that, we headed to the metro station, bought our one way ticket and headed to Tianta. The metro station was linked to Luneng CC Plaza and it turned out that Hard Rock Cafe Tianjin was part of the mall. The Rock Shop was tiny and it had only limited selection. It didn't take long for me to get what I came here for. 

As we were paying at the cashier, Fulton figured out that Alipay could be used for metro ticket payment. It is amazing how integrated China is these days! We went for a bit of supermarket browsing, then jumped into the metro to go to Wudadao, which was one of the highlights according to AI.

Visting Minyuan Stadium.

The nearest metro station was still about 15 minutes walk to Wudadao. When we reached there, we only saw Minyuan Stadium. And, well, it was a stadium. The appreciation lasted only for a few seconds before we started wondering what Wudadao actually was. After a quick ice cream waffle, we circled the stadium and saw the map. So Wudadao is apparently a large area encompassing five lanes and housing a lot of colonial buildings. 

It would have taken us the whole afternoon if we really did the sightseeing, so we opted for lunch and left Wudadao instead, haha. On our way out, I saw Post Coffee, a unique combination of coffee stall and post office, similar to the one I saw in Chongqing. I quickly dropped by for a decade old tradition

The view from Dagu Bridge.

From Wudadao, AI recommended us to walk along the riverbank. Fulton refined the suggestion by heading to the last subway station before Tianjin Station, then it wouldn't be a long walk and yet we could still explore the riverside a bit. We did a slight detour for Pop Mart at the Tee Mall, then we crossed Dagu Bridge and headed to the Century Clock.

Tianjin Station is next to the clock. It was around 3 PM when we got there and we thought we would reach Beijing in no time. Much to my surprise, the next available tickets were the ones departing at 8.38 PM! Well, either that slot or train rides at later timing. I immediately secured them, then we headed to McDonald's to let the reality sink in. Once we had a break and accepted that we'd be here for another four hours, we decided to make good use of our time and walked towards the Ancient Culture Street.

Fulton explored the Ancient Culture Street.

It took us about an hour of walking at the riverside before reaching our destination. The experience somehow reminded me of Shanghai. It might be the river, I reckon. And I suddenly had a fatigue. It's like, after visiting four China cities in one year, Tianjin as the fifth one somehow looked pretty similar. 

And exploring the Ancient Culture Street clearly didn't help. It only enhanced the impression that cities in China are basically having the same layout: high rises buildings, the long and winding river, ancient street or town for tourists. After one round, we hopped onto the subway and returned to the train station. The last meal I had was spicy! But my last memory of Tianjin? Our business class seats! 

Fulton grinning on his business class seat.



11 jam Di Tianjin

Saya cuma memiliki satu alasan untuk mengunjungi Tianjin: Hard Rock Cafe. Ini sudah menjadi rencana saya sejak kunjungan pertama ke Beijing, tapi ternyata ada kendala waktu. Belajar dari pengalaman tersebut, kali ini beda pengaturannya. 

Bersama kolega saya Fulton, saya mendarat di Beijing dua hari lebih awal. Dengan demikian saya memiliki banyak waktu sebelum berangkat ke Tianjin pada keesokan paginya. Dari Beijing South Railway Station, saya tiba di Tianjin kira-kira jam 10 pagi. Karena masih ada satu jam sebelum Hard Rock buka, kita makan pagi di McDonald's: semangkuk bubur dan kopi pahit!

Di Stasiun Tianjin.

Setelah itu, kita naik metro menuju Tianta. Stasiun metro ini tersambung ke Luneng CC Plaza. Hard Rock Cafe Tianjin ternyata merupakan bagian dari mal. Rock Shop-nya mungil dan terbatas koleksinya. Tak butuh waktu lama untuk mendapatkan apa yang saya mau. 

Selagi kita melakukan pembayaran di kasir, Fulton menemukan bahwa Alipay bisa digunakan untuk membayar metro. Integrasi sistem di Cina memang luar biasa! Setelah mampir sejenak ke supermarket, kita kembali menaiki metro menuju Wudadao, salah satu destinasi turis menurut AI

Mengunjungi Minyuan Stadium.

Stasiun metro terdekat masih berjarak sekitar 15 menit berjalan kaki ke Wudadao. Saat tiba di sana, yang kita lihat hanyalah Minyuan Stadium. Dan, berhubung ini cuma stadion, apresiasi kita luntur dalam beberapa detik. Jadi Wudadao itu sebenarnya apa? Saya beli es krim sejenak, lalu kita berjalan mengitari stadion dan menemukan peta. Di situ terlihat bahwa Wudadao adalah sebuah kawasan lima jalur yang memiliki banyak bangunan peninggalan zaman kolonial. 

Butuh setengah hari bila kita hendak melihat semuanya, jadi kita memilih makan siang dan pergi, haha. Dalam perjalanan keluar, saya melihat Post Coffee, kombinasi warung kopi dan kantor pos, mirip seperti yang saya lihat di Chongqing. Saya lekas mampir menunaikan tradisi

Pemandangan dari Dagu Bridge.

Dari Wudadao, AI menganjurkan agar kita berjalan di samping sungai. Fulton menyarankan bahwa sebaiknya kita naik metro dulu sampai ke pemberhentian terakhir sebelum Stasiun Tianjin, baru jalan dari situ sehingga tidak terlalu jauh. Menuruti usulnya, kita juga sempat singgah sebentar ke Pop Mart di Tee Mall, lalu berjalan melewati Dagu Bridge dan menuju ke Century Clock.

Tianjin Station berada tepat di samping Century Clock. Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore saat kita sampai di sana. Berjalan santai menuju loket, saya sudah membayangkan bahwa kita akan segera tiba di Beijing. Siapa sangka tiket berikutnya adalah jam 8:38 malam? Pilihan kita cuma itu atau yang lebih malam lagi. Saya lekas membeli, kemudian kita duduk sejenak di McDonald's untuk meresapi kejutan yang baru saja terjadi. Setelah menerima kenyataan bahwa kita masih akan luntang-lantung di Tianjin selama empat jam, kita memanfaatkan waktu kita untuk mengunjungi Ancient Culture Street.

Di Ancient Culture Street.

Kita berjalan di samping sungai sekitar sejam lamanya sebelum mencapai destinasi. Pengalaman ini entah kenapa mengingatkan saya pada Shanghai. Mungkin karena sungainya. Dan mendadak saya merasa lelah dengan Cina. Rasanya seperti, setelah mengunjungi empat kota Cina dalam setahun, Tianjin sebagai kota ke-lima terlihat sama saja. 

Dan eksplorasi di Ancient Culture Street tidak membantu. Keberadaan kita di sana yang menguatkan kesan bahwa kota-kota di Cina memiliki tata kota yang sama: gedung-gedung tinggi, sungai yang panjang dan berkelok, kota lama atau jalan kuno untuk turis. Setelah satu putaran, kita naik metro dan kembali ke stasiun kereta. Makan malam saya terasa pedas nian. Tapi kenangan saya yang terakhir di Tianjin? Kursi kelas bisnis di kereta! 

Fulton tersenyum di kursi kelas bisnis.

Saturday, April 5, 2025

The Budget Airline

This story was inspired by a moment I experienced at the end of the Seremban trip. I was inside the plane, waiting for it to depart from KLIA. As I browsed the shopping magazine, I saw a t-shirt with a tagline that caught my attention: Seek adventure. Now everyone can fly. Since 2001.

How it rang true. Before AirAsia, it was a different time. Flying was a luxury in the late 90s. There was a time when my friends and I had to take Lawit, a passenger ship that sailed for four days three nights from Pontianak to Jakarta. It was the cheapest option then. 

My first encounter with AirAsia wasn't exactly a pleasant one. I first heard of it in 2005 from Yani when we worked together at Kalbe Farma. She told me about the IDR 0 promo. As online booking was so new then, I didn't know how it worked. I kept clicking next and entered my credit card number unsuspectingly. Lo and behold, I actually paid the full price instead! So off I went to Bali by myself

Only God knows how many times I had taken AirAsia since then. The memorable ones, such as trip to Laos, usually departed from KL. The furthest route I took, from KL to Hangzhou, was the AirAsia X flight. The last one before COVID-19 was the flight from Pontianak to Bangkok, with an overnight stay at KLIA. The rather unusual one was the flight to Bandar Seri Begawan in 2009. I flew from Johor Bahru and transit in Kota Kinabalu. Managed to see the town before I resumed my flight to Brunei.

Looking back, it'd been 20 years since I boarded my first AirAsia flight. While budget airlines may seem common now, AirAsia was revolutionary back when all this started. It was a game changer, that flying was no longer out of reach. AirAsia enabled people like me to see the world. That's when I called the steward, telling him that I needed the t-shirt that had just inspired me...

Seek adventure!
Photo by Linda Emily





Maskapai Penerbangan Murah

Cerita ini terinspirasi dari apa yang saya lihat di penghujung liburan ke Seremban. Saat itu saya berada di dalam pesawat, menanti lepas landas di KLIA. Selagi saya membolak-balik majalah, tiba-tiba saya melihat kaos dengan tulisan yang menarik perhatian saya: Seek adventure. Now everyone can fly. Since 2001.

Betapa benarnya kalimat tersebut. Dunia sebelum AirAsia adalah masa yang berbeda. Bisa naik pesawat adalah sebuah kemewahan tersendiri di akhir tahun 90an. Saat itu, saya dan teman-teman harus naik Lawit, kapal yang mengarungi laut selama empat hari tiga malam, hanya untuk bepergian dari Pontianak ke Jakarta. Itu adalah pilihan paling murah di zaman itu. 

Interaksi saya yang pertama dengan AirAsia sangat berkesan, tapi kurang menyenangkan. Kala itu tahun 2005 dan saya mendengar nama maskapai ini dari Yani, saat kita sama-sama bekerja di Kalbe Farma. Waktu itu dia bercerita tentang promo Rp. 0. Karena sistem pembelian tiket secara online masih baru, saya tidak paham cara kerjanya. Saya isi setiap bagian yang kosong, termasuk data kartu kredit, lalu klik next sampai usai. Siapa sangka tiket terbeli sesuai dengan harga yang tertera? Akhirnya saya pun ke Bali seorang diri.  

Sejak itu, entah berapa sering sudah saya menaiki AirAsia. Yang berkesan, misalnya perjalanan ke Laos, biasanya lewat KL. Rute saya yang terjauh, dari KL ke Hangzhou, dilayani oleh AirAsia X. Penerbangan saya yang terakhir sebelum COVID-19 melanda adalah rute Pontianak ke Bangkok, plus satu malam menginap di KLIA. Yang sedikit berbeda adalah petualangan Bandar Seri Begawan di tahun 2009. Saya terbang dari Johor Bahru dan transit dulu di Kota Kinabalu. Setelah berjalan-jalan sejenak, barulah saya lanjut ke Brunei.

20 tahun sudah berlalu sejak saya pertama kali menaiki pesawat AirAsia. Penerbangan murah mungkin terlihat lumrah sekarang, tapi AirAsia sangatlah revolusioner sewaktu semua ini bermula. AirAsia mengubah situasi pada saat itu dan memungkinkan orang-orang seperti saya untuk melihat dunia. Tersentak dari lamunan saat pramugara lewat di samping, saya pun memanggil dan berkata padanya bahwa saya perlu kaos yang baru saja membuat saya terinspirasi...

Monday, March 31, 2025

The Seremban Trip

I think it's fair to say that the Seremban trip began right at the tail end of the Pontian noodles trip in August 2024. We were at Johor Bahru City Square when I found a Negeri Sembilan postcard. I was telling Surianto that, "well, looks like we have to go to Seremban now."

So a plan was made. Nobody I know ever went to Seremban for holiday before. Further investigation using AI only confirmed that the sightseeing destination and food in Seremban could only sustain us for half a day. But at the same time, Seremban is not exactly far from Kota Kemuning.

The postcard that started the trip.
Photo by Linda Emily.

That's why the trip commenced with a bus ride. We had all the time to waste to compensate to make up for the little sightseeing we would do in Seremban. Then we'd go to meet Wiwi for breakfast. Months later, I also learnt that I could continue our way to Genting for a quick visit to buy the Hard Rock Cafe t-shirt. After a night in KL, we would fly back to Singapore. This trip was going to be packed with togetherness and adventures!

From then onwards, and especially after my India trip, the name Seremban appeared incessantly in our group chat. More often than not, it was either me or Jimmy asking people to join. If it was me, then I was simply gathering friends for a short togetherness. If it was Jimmy, it had to be a not-so-subtle mockery. Can't blame him, though. Because you had to be crazy enough to go where people don't go!

The departure.
Photo by Surianto.

In the end, only some of the regulars who had trusted Robinson Travel enough that joined willingly. Surianto, Cicilia and Taty, long time members since the Japan trip, boarded the bus at the Golden Mile Tower with me. Off we went to Seremban. About 5.5 hours later, we dropped off across Terminal 1. We were officially in Seremban!

First thing first, we went to our hotel and checked in. Then we headed to Quinn (Seremban Beef Noodles) for late lunch. If look can be deceiving, this unassuming eatery certainly fits the profile. The beef noodles was soft and tasty. A godsend to my liking! I personally loved it very much. As a comparison, if Hock Lam Beef in Singapore was good, then this one was way better!

Seremban beef noodles.

It was raining before and after our meal, so we got stuck at Palm Mall instead. Nothing special there, so we hopped onto Grab and went to Empayar Seremban Siew Paw. We shopped a bit, then quickly headed to Haji Shariff Cendol. Too bad, it was already closed when we got there, so we resumed our journey to Lorong Seni Seremban. 

After paying our homage to Abbey Road, we entered Lorong Seni. This area is covered with murals, quite similar to those you'd find in Chinatown Singapore, so pictures were taken there. The other end of the tunnel led us to Dataran Seremban, a landmark with the words SEREMBAN N9 on the grass patch. From there, we walked to Taman Tasik Seremban that was located next to our hotel. The night was ended with a dinner at TC Keong. 

Visiting Taman Tasik Seremban.
Photo by Angela Baby.

By then, we were basically done with Seremban. The next morning, we made our way to Kota Kemuning. After a short visit to Wiwi's house, we had breakfast at Samy and Min Bak Kut Teh. Good stuff, especially the dry bak kut. Then, much to Wiwi's surprise, her husband actually encouraged her to join us to Genting Highlands.

Thus began our ride to the mountaintop. I actually didn't realize that Rock Shop is not located in the main compound, but adjacent to it. But since we were already there, we explored a bit and that's when Surianto's beginner's luck won him some casino chips. Only after that we went to the tiniest Rock Shop I had ever seen so far. 

In Genting. Not very far from Rock Shop.

On our way down, we stopped at the Premium Outlet. Never a fan of shopping, I soon found myself sitting at Coffee Bean, enjoying ice blended coffee and ondeh cake. Both were equally sweet! When they were done, we went to the city and checked into our hotel. 

For dinner, we decided to visit Jalan Alor. Wiwi wasn't exactly a great host in KL as she didn't know much about public transport and the tourist area. Instead of being our guide, she joined us and became a tourist as well, haha. The food at Cu Cha Restaurant was decent. Good to eat the mud creeper snails again.

Jalan Alor.
Photo by Angela Baby.

We joined the crowd for sightseeing on Jalan Alor afterwards. It is amazing how crowded the first half of the street was! We made a U-turn when we reached the end, then walked towards Wiwi's car. Her husband had bought Musang King durian for my friends to enjoy. I stayed away from it because it doesn't matter if it is the king of fruits. To me, it was as smelly as it used to be. That horrible smell that got me running away when I was three years old! A good glass of tea c then finally ended both the night and Wiwi's worst nightmare of being remembered as the host who didn't serve tea c

The next morning, Surianto was keen on going to Batu Caves, but not before he persistently rang the door bell and woke me up as he forgot something. Few hours later, the rest of us were in the largely inactive Bazaar Baru Chow Kit. It was Hari Raya, so almost all the stalls were not open for business. 

At Bazaar Baru Chow Kit. 

As we looked around, I recalled what Wiwi said the night before, as we walked towards the monorail station. This area has a big Indonesian muslim population, hence the Nusantara food from nasi Padang to ayam penyet. That brought me back to the time when Surianto and I decided to book a hotel in Chow Kit to find out what's there. Now we know the answer. 

After check out, Cicilia moved to another hotel in Bukit Bintang as she is staying for another night before heading to Ipoh. As for Taty and I, we went to KLIA via KL Sentral. We had Uncle Roger's Fried Rice because I had to review it for Fried Rice Mania. Surianto joined us there and we eventually flew back to Singapore.

Uncle Roger's Egg Fried Rice.




Liburan Ke Seremban 

Saya rasa bisa dikatakan bahwa liburan ke Seremban mulai dicetuskan di akhir liburan ke Pontian di bulan Agustus 2024. Saat itu kita berada di Johor Bahru City Square dan saya menemukan kartu pos Negeri Sembilan. Saya lalu berkata pada Surianto, "wah, sepertinya kita harus ke Seremban sekarang."

Jadi rencana pun digarap. Setahu saya, rasanya tidak ada kenalan yang pernah ke Seremban untuk berlibur. Setelah saya cek dengan AI, sepertinya tempat wisata dan makanan Seremban hanya bisa menarik perhatian kita selama setengah hari. Tapi di satu sisi, Kota Kemuning tidaklah jauh dari Seremban. 

Kartu pos yang memicu liburan ke Seremban.
Foto oleh Linda.

Jadi inilah alasannya kenapa perjalanan dimulai dengan bis. Kita punya banyak waktu untuk menempuh perjalanan darat karena tak banyak yang bisa dilihat di Seremban. Setelah itu kita bisa sarapan pagi dengan Wiwi. Beberapa bulan kemudian, saya menyadari bahwa telah dibuka Rock Shop di Genting, jadi kita bisa ke sana juga. Setelah bermalam di KL, kita bisa pulang keesokan harinya dengan pesawat. Liburan kali ini akan dipadati dengan kebersamaan dan petualangan! 

Sejak itu, dan terutama setelah kepulangan saya dari India, nama Seremban dikumandangkan terus-menerus di grup SMA, biasanya oleh saya atau Jimmy. Bilamana saya yang berkoar-koar, ya karena saya suka berjalan-jalan dan berkumpul. Kalau Jimmy yang mengajak, biasanya cenderung karena olok-olok. Tapi keisengannya bisa dimengerti. Hanya yang sepaham dalam hal jalan-jalan dan kebersamaan yang akan pergi ke tempat yang bukan destinasi turis. 

Saat keberangkatan, foto ala Ghibli.

Pada akhirnya, hanya beberapa anggota lama yang sudah percaya dengan Robinson Travel yang turut serta. Surianto, Cicilia dan Taty, para anggota yang sudah turut serta dari sejak liburan ke Jepang, bersama-sama naik bis di Golden Mile Tower. Pergilah kita ke Seremban. 5,5 jam kemudian, kita turun di seberang Terminal 1. Akhirnya kita tiba! 

Pertama-tama, kita ke hotel dulu, lalu menuju ke Quinn (Seremban Beef Noodles) untuk makan siang menjelang malam. Jika penampilan bisa mengecoh, maka tempat makan ini adalah salah satunya. Mie sapinya lembut dan lezat. Benar-benar sesuai selera saya. Sebagai perbandingan, Hock Lam Beef di Singapura memang enak, namun yang ini jauh lebih lezat! 

Mie sapi Seremban.

Hujan turun sebelum dan sesudah kita bersantap, jadi kita pun berteduh di Palm Mall. Tidak ada yang istimewa di sini, jadi kita pun memanggil Grab dan melaju ke Empayar Seremban Siew Paw untuk berbelanja sejenak di sini, lalu lanjut lagi ke Haji Shariff Cendol. Akan tetapi kedai cendol ini tutup lebih awal, jadi kita berjalan ke Lorong Seni Seremban. 

Setelah menyeberang jalan dengan gaya Abbey Road, kita memasuki Lorong Seni. Kawasan ini memiliki banyak mural dan konsepnya mirip seperti yang bisa kita temukan di Chinatown Singapura. Ujung lorong ini mengarah ke Dataran Seremban yang memiliki tulisan SEREMBAN N9 di lapangan rumput. Dari sana, kita berjalan ke Taman Tasik Seremban yang bersebelahan dengan hotel kita. Malam tersebut pun berakhir dengan makan malam di TC Keong. 

Mengunjungi Taman Tasik Seremban.
Foto oleh Angela Baby.

Setelah itu, boleh dikatakan Seremban pun usai. Keesokan paginya, kita naik Grab ke Kota Kemuning. Setelah kunjungan singkat ke rumah Wiwi, kita sarapan pagi di Samy and Min Bak Kut Teh. Makanannya mantap, terutama bak kut kering. Setelah itu, suami Wiwi mengusulkan agar Wiwi turut ikut ke Genting. 

Lantas mulailah perjalanan ke puncak gunung. Saya berasumsi bahwa Rock Shop berada di kompleks yang sama, tapi ternyata lokasinya di hotel baru yang berjarak sekitar 15 menit jauhnya. Karena sudah terlanjur berada di situ, kita eksplorasi sejenak dan Surianto yang pertama kali mencoba peruntungan di kasino pun menang beberapa ratus ringgit. Setelah itu barulah kita pergi ke Rock Shop paling mungil yang pernah saya lihat sejauh ini. 

Di Genting. Tak jauh dari Rock Shop.

Ketika kita turun, kita mampir di Premium Outlet. Karena bukan orang yang suka berbelanja, saya icip-icip makanan dan minuman yang manis di Coffee Bean. Setelah mereka usai melihat-lihat dan berbelanja, kita lantas kembali ke kota dan menuju hotel. 

Untuk makan malam, kita mengunjungi Jalan Alor. Wiwi tidak berkutik di KL karena dia tidak paham transportasi umum dan Bukit Bintang. Bukannya jadi pemandu, dia akhirnya malah jadi turis bersama kita, haha. Makanan di Cu Cha Restaurant lumayan rasanya. Sedap rasanya bisa sedot-sedot kerang tengkuyung lagi. 

Jalan Alor.
Foto oleh Angela Baby.

Sesudah makan, kita sempat bergabung dalam keramaian dan menikmati suasana di Jalan Alor. Takjub juga dengan ramainya wisatawan yang berlalu-lalang! Kita berbalik arah setelah sampai di ujung jalan, lalu menuju ke mobil Wiwi. Suaminya membeli durian Musang King untuk teman-teman. Saya sendiri refleks menjauh karena raja buah atau bukan, baunya tetap sebusuk yang saya ingat sejak berumur tiga tahun. Satu gelas teh c akhirnya mengakhir malam dan juga kecemasan Wiwi yang tidak ingin dikenang sebagai tuan rumah yang gagal menyediakan teh c. 

Keesokan paginya, Surianto pergi ke Gua Batu, tapi dia lupa sesuatu dan terus membunyikan bel pintu sampai saya terbangun. Beberapa jam kemudian, kita berjalan menyusuri Bazaar Baru Chow Kit yang nyaris tidak ada ada aktivitas. Berhubung hari tersebut adalah hari pertama Lebaran, hampir semua kios tutup.  

Di Bazaar Baru Chow Kit. 

Setelah saya amati, saya ingat apa yang dikatakan Wiwi di malam sebelumnya, sewaktu kita berjalan menuju stasiun monorel. Kawasan ini memiliki populasi muslim Indonesia yang sangat besar, makanya ada banyak makanan Nusantara seperti nasi Padang dan ayam penyet. Saya jadi teringat saat saya dan Surianto memutuskan untuk tinggal di Chow Kit karena ingin mencari tahu tentang kawasan yang masih asing bagi kita ini. Sekarang kita tahu jawabannya. 

Setelah keluar dari hotel, Cicilia pindah ke hotel lain di Bukit Bintang karena dia masih bermalam lagi di KL sebelum berangkat ke Ipoh. Taty dan saya lanjut ke KLIA lewat KL Sentral. Kita sempat menyantap Nasi Goreng Paman Roger karena saya ingin mengulasnya di laman FB Fried Rice Mania. Surianto yang sudah tiba di bandara juga memesan satu porsi. Pada akhirnya kita pun terbang pulang ke Singapura... 

Nasi Goreng Telur Paman Roger.

Saturday, January 25, 2025

The Random Travel Buddies

Back in 2018, I ever wrote about friends and colleagues as travel buddies. Recently, a friend of mine listed down the ideal criteria she wanted from her travel buddies. It went like this: unpretentious, not easily offended, speak the same lingo, expressive, went to same school at the same time as us. Now that was specific!

Her remark happened while I was heading to Agra in India with random travel buddies. What I did was the exact opposite of what she just said! Apart from Surianto who was a friend since secondary school, I actually knew nothing my travel buddies! A recipe for disaster, eh?

In Bali with Darman, Pak Dul and Hartono.
Photo by Pak Chandra.

It got me thinking. The first time I ever did this was more than two decades ago in 2004, when I went to Bali with a bunch of Kalbe colleagues. Apart from our interaction at work, we didn't really know each other's characters. We were also of different races, age ranges, cultures and religions. But I could tell you that all I remember were good times.

And that, of course, was not the only time I did it. As much as I loved traveling with my high school friends, situation might dictate otherwise. In 2010, only Benny was willing to join me in my trip to Laos. Looking back, I only knew him as Benny the dealer and I knew nothing else about him! However, the trip turned out to be memorable, too.

In Yangoon with Joseph, Uncle Eddie and Heng.
Photo by Keith.

The trend of traveling with random travel buddies continued and as far as I could remember, it was the same for the trip to Pontianak in 2016, Myanmar in 2017, Tanjung Balai in 2024 and finally, destination India in 2025. It was fun while it lasted and, while I couldn't speak on their behalf, I'll always cherish the moments we had. 

To be frank, I am not sure if I was simply too naive, but I don't mind traveling with colleagues I don't really know. As long as we head to the same destination, we are united by that. Anything else is about adjustment and getting to know each other, which is an adventure by itself.

So far (and a period of 21 years is a long time for statistics) I don't recall any complaints. If there was ever any, the fun must have outweighed the bad that I don't have such recollection at all. Based on my experience, I can safely suggest this: just go! Don't hesitate but give it a try instead! 

With Jasper, Boon and Surianto as our India trip came to an end at Changi.
Photo by Surianto.

Teman Seperjalanan Yang Acak

Di tahun 2018, saya pernah menulis tentang teman dan kolega sebagai teman seperjalanan. Baru-baru ini, seorang teman membuat daftar kriteria teman seperjalanan yang ideal. Isinya seperti ini: tidak jaim, tidak sensitif, nyambung, ekspresif, teman angkatan '98. Spesifik nian kriterianya! 

Daftar di atas dicetuskan pas ketika saya dalam perjalanan ke Agra di India bersama teman seperjalanan yang acak. Apa yang saya lakukan sungguh bertolak belakang dengan pendapatnya. Selain Surianto yang merupakan teman dari sejak SMP, saya tidak tahu apa-apa tentang dua teman seperjalanan lainnya. Nampaknya gegabah, ya? 

Di Bali bersama Darman, Pak Dul dan Hartono.
Foto oleh Pak Chandra.

Dan ini membuat saya berpikir. Perjalanan serupa untuk pertama kalinya terjadi dua dekade silam di tahun 2004, saat saya ke Bali bersama rekan-rekan kerja dari Kalbe. Selain interaksi kita di kantor, saya tidak tahu apa-apa tentang kebiasaan mereka. Kita juga berasal dari suku, usia, budaya dan agama yang berbeda. Tapi saya bisa katakan bahwa apa yang saya ingat adalah hal-hal yang baik sepanjang perjalanan. 

Dan itu bukan sekali-kalinya saya menjalani liburan seperti ini. Meski saya paling suka berlibur bersama teman SMA, ada kalanya saya menyesuaikan diri terhadap situasi dan kondisi. Di tahun 2010, hanya Benny yang mau turut serta ke Laos. Kalau saya lihat kembali, saya hanya sebatas tahu profesinya di kantor dan tak pernah mengenalnya dengan baik. Namun liburan ke Laos itu pun berjalan lancar dan berkesan. 

Di Yangoon bersama Joseph, Uncle Eddie dan Heng.
Foto oleh Keith.

Pola berlibur bersama teman seperjalanan yang acak pun berlanjut. Ada lagi liburan ke Pontianak di tahun 2016, Myanmar di tahun 2017, Tanjung Balai di tahun 2024 dan akhirnya destinasi ke India di tahun ini. Semua asyik-asyik saja. Meski saya tidak bisa mewakili apa yang mereka rasakan, saya sendiri akan senantiasa mengenang semua perjalanan ini. 

Jujur saya katakan, saya tidak tahu pasti apakah saya yang terlalu naif atau apa, tapi saya tidak keberatan berlibur bersama para kolega yang cuma saya kenal selintas. Selama kita pergi ke tempat tujuan yang sama, maka kita dipersatukan pula oleh destinasi tersebut. Hal-hal lainnya hanya memerlukan penyesuaian dan kita akan mengenali satu sama lain dengan lebih baik, sebuah petualangan tersendiri yang terjadi selama liburan berlangsung. 

Sampai sejauh ini (dan 21 tahun adalah rentang waktu yang panjang untuk statistik) saya tidak memiliki keluhan. Jika pernah ada, pastilah asyiknya liburan terasa lebih kentara sehingga saya tidak ingat dengan adanya kesulitan yang mungkin pernah timbul. Berdasarkan pengalaman saya, ini yang bisa saya sampaikan: pergilah berlibur. Jangan ragu, namun cobalah bepergian dengan mereka yang mungkin tidak anda kenal dengan baik. 

Di Changi bersama Jasper, Boon dan Surianto di penghujung liburan ke India.
Foto oleh Surianto.

Sunday, January 19, 2025

One Week In India: Jaipur And Beyond

Our adventure in Rajasthan began 3.5 hours after we left Fatehpur Sikri Fort in Uttar Pradesh. We went to Abhaneri to see the Chand Baori step well. A very strange architecture that I hadn't seen before! Equally impressive were the birds that hung out there. From time to time, the flock would fly few rounds circularly and back to where they came from. Majestic. 

Two hours later, we reached Jaipur. It was late in the afternoon, but quite a number of kites were still roaming the sky. The festival reminded of me of the Kite Runner, a great book I read last year. It was eventually closed by the firework at night. We managed to watch it while waiting for our Uber. That night, we went to World Trade Park for dinner and I had biryani KFC again, haha.

At Hawa Mahal.

The real sightseeing began the next morning. It became clear to us why Jaipur was nicknamed Pink City. Every building inside the city wall is painted with this earthly red color. And our first stop was Hawa Mahal that can be translated as Wind Palace. It somehow reminded me of the Ruins of St. Paul in Macau, except this one was intentionally built as a one-sided wall! 

From the same spot, we picked up our guide, Gopal, then headed to Amer Fort. This is quite an impressive fort on the hill, complete with 12 apartments for 12 spouses. Also take note that Jaipur was ruled the maharajas, which meant it was mainly under Hinduism, but with a fair share of Islam influence because it was also under the Mughal Empire. 

Visiting Amer Fort.

There were two entrances to the fort. The Sun Gate could be entered by those who opted for the elephant ride. We went in via Moon Gate instead as we carried on with our car. Lots of couples taking pre-wedding picture that day. I think being in love kept the ladies warm as they wore so little for a pretty cold day in Jaipur!

Talk about the elephant, we visited Elejungle. They offered programs such as painting the elephant, feeding the elephant, the elephant ride, showering with the elephant and being lifted up by the elephant. Showering is not possible due to the cold weather, though. We opted for feeding and it was the first time I had the up, close and personal time with the elephants. The skin was rough and hairy!

The elephants of Jaipur. 

On our way out, we went to Jal Mahal, the Water Palace that stands in the middle of the lake. We could only take photos here as the palace isn't open to the public. Then, after a quick visit to see the textiles and gemstones industry, we had our lunch at the Royal Treat to try out Rajasthani food. To be frank, as a non-Indian, I couldn't tell the difference, haha. 

It started raining when we returned to the Pink City to begin the second half of the tour. It was cold and since some parts of the City Palace weren't sheltered, we had to run under the rain. The City Palace had an art gallery and it also offered us a glimpse of what the royal attires were like, back in the days of the maharajas. The last bit of it was the pashmina education at the store.

Inside the City Palace.

The last destination of the day was Jantar Mantar. It was supposed to be a traditional science centre, but since the sky was dark and cloudy, no sundial testing could be done there. On our way out, I grabbed a postcard and stopped for a while at the nearest post office. That, plus another round of dinner at the World Trade Park, closed the night in Jaipur. 

The next day was a ride to Neemrana. We checked in to a hotel that was originally a fort, so for the first time in our trip, the pace slowed down. We just had to relax, enjoying our stay at the fort. It was like experiencing medieval time with a tinge of modernization. We got a short guided tour, then high tea with a view in the late afternoon.

Relaxing in Neemrana. 

The magic happened when the night came. The whole fort lighted up, amplifying its brilliance. It somehow reminded me of Chongqing and the lightings that created the illusion around Yangtze river. The night eventually ended with a delicious Kung Pao chicken that made Jasper wondering if the cook was a Chinese.

The next day, we headed back to New Delhi and checked into WelcomHotel again. Looking back, it was probably the best hotel with the best breakfast throughout our one week in India. As recommended by Mitesh, we went to DLF CyberHub. For the first time ever, high-rise buildings! But it was not exactly in Delhi, but in a state called Haryana, so it didn't count, hehe. 

With Manish, our faithful driver. He's the best.

We walked a bit around here and decided to have late lunch at Chili's. Yeah, after a week of Indian food, something different was definitely welcome. After lunch and sightseeing, we made our way to Hauz Khaz Market. And we were stumped when we reached there. It didn't look like a tourist destination at all. 

Apparently the correct destination was Hauz Khaz Village. Not exactly near, so we hopped into Uber and headed there. We got it right this time, but for once in my life, it felt like visiting a place for a younger crowd. We didn't stay long. After exploring the area, we returned to our hotel. That officially ended our visit in India! Until next time! To the other cities with Hard Rock Cafe, probably Goa, Pune, Chennai or Hyderabad?

Crisscrossing the alley in Hauz Khaz Village.





Seminggu Di India: Jaipur Dan Kota Lainnya

Petualangan kita di Rajasthan bermula 3,5 jam setelah kita meninggalkan Benteng Fatehpur Sikri di Uttar Pradesh. Kita menuju ke Abhaneri untuk melihat sumur tangga Chand Baori. Saya tidak pernah melihat struktur aneh seperti ini sebelumnya! Yang tak kalah menakjubkan juga adalah burung-burung yang bertengger di atasnya. Dari waktu ke waktu, sekumpulan burung ini akan terbang mengitari sumur tangga dan kembali ke tempat semula. Mencengangkan! 

Dua jam kemudian, kita tiba di Jaipur. Saat itu hari menjelang senja, namun masih banyak layang-layang di langit. Festival ini mengingatkan saya pada Kite Runner, novel bagus yang saya baca tahun lalu. Kembang api pun bermunculan sewaktu malam tiba, saat kita sedang menanti Uber di depan hotel. Untuk makan malam, kita pergi ke World Trade Park dan saya menyantap  biryani KFC lagi, haha.

Di depan Hawa Mahal.

Tur baru dimulai keesokan paginya. Akhirnya kita tahu kenapa Jaipur dijuluki Kota Merah Muda. Semua bangunan di dalam tembok kota dicat dengan warna ini. Dan pemberhentian pertama kita adalah Hawa Mahal yang bisa diterjemahkan sebagai Istana Angin. Bentuknya mengingatkan saya pada Reruntuhan Santo Paulus di Macau. Bedanya Hawa Mahal yang berupa satu sisi tembok ini memang dengan sengaja dibangun seperti ini.  

Di tempat yang sama, pemandu wisata bernama Gopal datang bergabung dan kita lantas pergi ke Benteng Amer. Benteng yang lokasinya di atas perbukitan ini cukup mengesankan, luas juga dan memiliki 12 apartemen untuk 12 ratu dan selir. Perlu diketahui pula bahwa Jaipur ini dulunya dipimpin oleh maharaja, jadi berbudaya Hindu. Namun karena India dikuasai oleh Kekaisaran Mughal, pengaruh Islam pun terasa. 

Mengunjungi Amer Fort.

Ada dua pintu masuk ke benteng. Gerbang Matahari dikhususkan bagi mereka yang datang menaiki gajah. Kita sendiri masuk melewati Gerbang Bulan karena menggunakan mobil. Di hari itu, banyak pasangan muda yang berfoto pranikah. Saya rasa perasaan jatuh cinta membuat para gadis belia itu merasa hangat, meskipun minim pakaian pengantinnya di hari yang dingin di Jaipur! 

Bicara tentang gajah, kita juga pergi ke Elejungle. Mereka menawarkan aneka program seperti melukis gajah, jalan-jalan menaiki gajah, memberi makan gajah, mandi bersama gajah dan diangkat dengan belalai gajah. Berhubung cuaca yang tidak memungkinkan, mandi bersama gajah ditiadakan. Kita coba memberi makan gajah dan itu adalah kali pertama saya sedekat itu dengan gajah. Kulitnya kasar dan berbulu! 

The elephants of Jaipur. 

Dalam perjalanan keluar, kita singgah sejenak di Jal Mahal, Istana Air yang berdiri di tengah danau. Kita hanya bisa berfoto dari jauh karena istana ini tidak dibuka untuk umum. Kemudian, setelah kunjungan singkat ke industri tekstil dan batu permata, kita makan siang di Royal Treat dan mencoba masakan Rajasthan. Jujur saja, sebagai non-Indian, saya tidak bisa rasakan perbedaannya dengan makanan India yang biasa saya makan, haha. 

Hujan turun ketika kita kembali ke Kota Merah Muda untuk melanjutkan tur. Cuaca bertambah dingin dan karena Istana Kota merupakan tempat terbuka, kita harus berlari di bawah hujan. Kota Istana memiliki galeri seni dan juga museum yang berisi aneka pakaian maharaja dan pasangannya. Sebelum kita keluar, kita mendengar sedikit tentang pashmina di toko. 

Di dalam Istana Kota.

Destinasi terakhir adalah Jantar Mantar. Tempat ini merupakan pusat pengetahuan masa silam, namun karena langitnya mendung, jam matahari dan perangkat lainnya pun tidak berfungsi di sini. Di pintu keluar, saya membeli kartu pos dan berhenti sejenak di kantor pos terdekat. Setelah makan malam di World Trade Park lagi, malam di Jaipur pun usai.

Kita berangkat ke Neemrana pada keesokan harinya. Hotel kita kali ini dulunya adalah benteng, jadi untuk pertama kalinya sejak perjalanan dimulai, kita bersantai di hotel saja. Kesannya seperti abad pertengahan yang sudah tersentuh oleh modernisasi. Kita ikut tur singkat, lalu menikmati perjamuan teh dengan pemandangan yang lain dari biasanya.

Bersantai di Neemrana. 

Keindahan Neemrana kian terasa di malam hari. Benteng kini bermandikan cahaya lampu dan terlihat menakjubkan. Saya jadi teringat dengan Chongqing dan ilusi yang tercipta di sekitar sungai Yangtze berkat cahaya lampu. Malam itu akhirnya ditutup dengan ayam Kung Pao yang lezat dan Jasper membayangkan apakah kokinya adalah orang Cina.

Kita kembali ke New Delhi di hari berikutnya dan check in lagi di WelcomHotel. Kalau dilihat kembali, ini adalah hotel terbaik dengan sarapan pagi paling mantap selama kita berada di India. Mengikuti anjuran Mitesh, kita pergi ke DLF CyberHub. Akhirnya, gedung-gedung tinggi! Tapi kawasan ini bukan di Delhi, melainkan di negara bagian bernama Haryana, jadi tidak masuk hitungan, hehe. 

Bersama Manish, supir andalan kita.

Kita jalan-jalan sejenak dan makan siang Chili's. Ya, setelah seminggu menyantap makanan India, menu yang berbeda sungguh terasa sedap. Setelah makan dan mengitari kawasan CyberHub, kita lanjut ke Hauz Khaz Market. Dan kita merasa bingung saat tiba di sana, sebab tempatnya tidak terlihat seperti daerah turis. 

Ternyata tempat tujuan yang benar seharusnya adalah Hauz Khaz Village. Letaknya cukup jauh, jadi kita naik Uber menuju ke sana. Kali ini benar tujuannya, tapi rasanya tempat ini cocoknya untuk kalangan yang lebih muda. Alhasil kita tidak lama di sana dan kembali ke hotel. Liburan di India pun berakhir. Sampai berjumpa lagi di lain kali! Mungkin kota lain dengan Hard Rock Cafe, entah itu Goa, Pune, Chennai atau Hyderabad?

Di dalam gang di Hauz Khaz Village.