Total Pageviews

Translate

Saturday, July 31, 2021

Book Review: A Promised Land

This book is thick! If you read the blog post called Reading: Not Just a Hobby that was published in March, you'd have noticed this book lying next to a bowl of KFC porridge, haha. I couldn't finish reading it then. Had to return the book to the library and waited for my turn to borrow it again. Was on queue for about three months and finally got it when June was ending. 

Now, was it any good? Prior to this, I happened to read another book Obama wrote called Dreams from My Father. The previous book told about his childhood and younger days,  so A Promised Land was like the next chapter of his life, when he started campaigning and became president. It was like picking up where I left off.

I liked how Obama began the book with life before presidency. You could see how his life totally changed the moment he became POTUS. I mean, White House is not just an office. He really lived there with his family and everywhere he went, he was followed by Secret Service agents and reporters. It was a strange life with not much freedom that I don't think was envied by many. 

Then there were events that became movies, namely The Big Short, Captain Phillips and Deepwater Horizon. The subprime mortgages was explained based on what his saw and experienced right before the financial crisis happened. As a president, he never thought he had to deal with the pirates of Somalia. Certainly didn't see that one coming! Finally, there was the BP oil spill.

It was fun to read about Obama's overseas trips and how he described the countries and his counterparts. His description about China was interesting. He had a good impression about Singapore and I liked it when he mentioned about Indonesia from time to time. But it came to the Middle East, the US foreign policies were such a mess. As a non-American, I couldn't help feeling that the US had this habit of interfering other country's affair. More often than not, it didn't end well. Libya was a good example of how disastrous it could be.

Talk about being a non-American, it was interesting to learn the relationship between Democrats and Republicans. You'd think that a country as advanced as the US would know how to put aside their differences and worked together, but that wasn't always the case. In fact, it was kind of rare. Apart from certain exceptional figures such as John McCain, Republicans had this tendency to block whatever Obama was doing, haha. The relationship among Senate, House and President was also rather convoluted from the perspective of an outsider.

Overall, it was a good book that offered a glimpse of how busy a US President was. Talk about the responsibilities he had and the challenges he faced, Fox News, Republican, Putin and even Donald Trump certainly didn't make it easy for Obama, haha. But still, the book was a great reminder of how cool Obama was. His conscience was clear. If that didn't make him a great president in the eyes of some Americans, at the very least he was a very decent human being that ever became the president of the most powerful nation on earth. 

Books by Obama.




Ulasan Buku: A Promised Land

Buku ini tebalnya lebih dari 700 halaman! Kalau anda sempat membaca artikel berjudul Membaca: Bukan Sekedar Hobi, anda pasti melihat buku ini tergeletak di samping bubur KFC, haha. Saat itu saya tidak sempat membaca sampai habis, jadi terpaksa saya kembalikan ke perpustakaan karena tidak bisa diperpanjang. Buku baru ini banyak peminatnya dan saya harus menunggu kira-kira tiga bulan lamanya dan baru mendapatkan giliran lagi di akhir bulan Juni. 

Apakah ini buku yang bagus? Setahun sebelumnya, saya membeli buku berjudul Dreams from My Father yang juga ditulis oleh Obama. Buku ini bercerita tentang masa mudanya di Amerika, Indonesia dan Kenya. Nah, buku A Promised Land ini bagaikan kelanjutan dari buku yang saya sebutkan barusan. Kisahnya tentang masa kampanye dan periode pertamanya sebagai presiden. 

Saya suka dengan cara Obama mengawali ceritanya dengan kehidupan sebelum menjadi presiden. Pembaca jadi bisa membayangkan bagaimana hidupnya berubah drastis setelah dia menjadi POTUS. Gedung Putih itu ternyata bukan sekedar tempat kerja, tapi juga rumah dan tempat tinggal presiden dan keluarganya. Semenjak menjabat, setiap langkahnya selalu diikuti oleh agen rahasia dan wartawan. Hilang sudah kebebasannya. Rasanya tidak seperti kehidupan yang membuat orang lain iri. 

Setidaknya ada tiga peristiwa dalam periode pertama ini yang kemudian diangkat menjadi film-film berjudul The Big Short, Captain Phillips dan Deepwater Horizon. Obama bercerita tentang asal-mula krisis ekonomi dari apa yang dilihat dan dialaminya sebelum dan selagi menjabat. Sebagai presiden, tidak terbayangkan olehnya bahwa dia harus berurusan dengan bajak laut Somalia. Dan kemudian ada pula bencana tumpahnya minyak bumi di Teluk Meksiko.

Seru rasanya membaca tentang kunjungan kerja Obama ke luar negeri. Pendapatnya tentang Cina sangat menarik. Dia juga terkesan dengan Singapura dan ada rasa senang saat membaca cerita singkatnya tentang Indonesia. Akan tetapi terasa pula bahwa politik luar negeri Amerika itu menimbulkan kekacauan di negara-negara Timur Tengah. Ada kesan bahwa Amerika itu suka ikut campur urusan negara lain. Hasilnya seringkali malah tambah ricuh. Libia adalah contoh hilangnya kestabilan dalam negeri setelah Amerika mendepak Gaddafi. 

Sebagai orang luar, hubungan antara Demokrat dan Republican itu cukup rumit dan membingungkan. Saya sempat menyangka bahwa negara liberal semaju Amerika pastilah bisa mengesampingkan perbedaan pendapat dan bekerja sama, namun kenyataan seperti itu jarang terjadi. Hanya beberapa tokoh yang berjiwa besar seperti John McCain yang bisa membedakan kepentingan partai dan rakyat. Alhasil, Republican sering menghambat dan menolak kebijakan Obama, haha. 

Secara keseluruhan, buku ini menawarkan gambaran yang gamblang tentang betapa sibuknya kehidupan seorang Presiden Amerika. Berat tanggung jawabnya, banyak pula tantangannya. Fox News, Republican, Putin dan bahkan Donald Trump silih berganti mendatangkan kesulitan baginya. Tapi di sisi lain, kita diingatkan kembali dengan sosok Obama yang kharismatik. Sebagai seorang politisi, nuraninya masih jalan. Jika itu tidak membuatnya menjadi presiden yang hebat di mata rakyatnya sendiri, setidaknya dia tetap dikenang sebagai pemimpin yang apa adanya dari sebuah negara adidaya. 

Sunday, July 25, 2021

The Fusion

We had been living in a strange time. It was very fragile and uncertain. After a month of lockdown, we finally had a dine-in option again. But little did we know it'd only last for few days. Just when we thought the situation had gotten better, we went straight back to take-out again. 

Dinner time!

The last day before that happened, my wife asked me out for dinner, just the two of us. I thought it was a date night, but she quickly briefed me that it was an undercover mission for her online school project, haha. She said we were going to an Italian, Japanese meat-free fusion restaurant called Sufood. Bizarre, eh? But I reckon a restaurant related to Putien should have some standard, so I was game. 

So off we went. The restaurant was at Raffles City Mall. The ambience was alright and, at about SGD 30, the price was reasonable for a six-course meal. I think it was counted as six because of the inclusion of handmade rosemary breadsticks, but the first one on the platter was the Wholesome Trio. The appetizer consisted of matcha soba, plum tomato and sesame tofu. Nice presentation, but rather forgettable. 

The appetizers.

Next one was a big bowl of Caesar Salad. This was quite common and could be found elsewhere as well, but it was good and I kind of liked it. Same couldn't be said for the Cream of Pumpkin Soup, though. There was a bitter aftertaste for each spoonful that I gulped down, so after few tries, I simply put it aside.

The main course was Pan-Fried Tofu with Toona Rice. The name somehow reminded me of tuna fish, but it was vegetarian! After googling it, apparently toona was some leaves used for cooking, hehe. This was nice, but the portion was suitable only as part of six-course meal. Otherwise it's be too small. 

Main course.

The dinner was eventually concluded with Snow "Bird Nest" (Xue Yan) Beancurd. The sweetener, probably made of palm sugar, was not enough and I ended up eating a rather bland dessert. Needless to say, it didn't end on a high note! Still it was quite an experience. I mean, Japanese Italian vegetarian! That's a lot to be fused! But seriously, between Putien and this, I reckon the former is a better choice.

The dessert.


Restoran Fusion

Sekarang ini kita hidup di masa yang aneh. Rasanya begitu rentan dan penuh ketidakpastian. Setelah lockdown kurang-lebih sebulan lamanya, akhirnya kita memiliki kesempatan untuk makan di luar lagi. Tapi siapa sangka kebebasan ini hanya bertahan beberapa hari? Ketika kita berpikir bahwa situasi telah membaik, tiba-tiba kasus COVID-19 melonjak naik dan tempat-tempat makan pun dilarang menerima tamu lagi.

Di hari terakhir sebelum peraturan ini berlaku, istri saya mengajak saya makan malam berdua. Saya pikir boleh juga idenya, tapi kemudian dijelaskan oleh istri saya bahwa ini adalah dalam rangka tugas sekolah, haha. Dia berkata bahwa kita akan mencicipi menu fusion Itali-Jepang-vegetarian di restoran bernama Sufood. Kombinasi yang mencengangkan, bukan? Namun saya lantas berpikir bahwa restoran yang sama bosnya dengan Putien pastilah memiliki standar. 

Dinner time!

Jadi kita pun bertemu di Raffles City Mall dan pergi bersama. Suasana restorannya cukup enak dan harga SGD 30an untuk satu set dengan enam macam menu cukup rasional. Yang pertama dihidangkan adalah roti panjang tipis yang disebut handmade rosemary breadsticks dalam Bahasa Inggris, lalu disusul dengan hidangan pembuka bernama Wholesome Trio yang terdiri dari mie soba teh hijau, tomat mungil dan tahu wijen. Menarik penyajiannya, tapi biasa rasanya. 

Yang datang berikutnya adalah Caesar Salad. Menu ini sebenarnya biasa dan bisa ditemukan di tempat lain juga, tapi rasanya sedap dan saya suka. Beda ceritanya dengan Cream of Pumpkin Soup. Ada rasa pahit setelah sup ditelan, jadi setelah beberapa sendok, saya pun pinggirkan sup labu ini.

The appetizers.

Menu utamanya adalah Pan-Fried Tofu with Toona Rice. Namanya terdengar seperti ikan tuna, tapi harusnya ini menu vegetarian. Saya lantas cari di Google. Ternyata toona itu nama daun yang digunakan untuk masakan, hehe. Saya cukup menikmatinya, tapi porsinya hanya cocok sebagai bagian dari set dengan enam macam menu. Kalau hanya dipesan terpisah, kekecilan porsinya. 

Main course.

Santap malam pun berakhir dengan disajikannya Snow "Bird Nest" (Xue Yan) Beancurd. Pemanisnya yang mungkin terbuat dari gula kelapa tidaklah cukup sehingga hidangan pencuci mulut ini terasa tawar. Secara keseluruhan, rasanya tidak terlalu memuaskan. Akan tetapi ini tetap merupakan satu pengalaman unik. Maksud saya, tidak setiap hari kita bisa mencoba masakan Itali-Jepang-vegetarian. Namun kalau harus memilih antara Putien dan Sufood, saya rasa Putien adalah pilihan yang lebih logis.

The dessert.

Sunday, July 18, 2021

The Price Of Dignity

The high school chat group that we had, not only it could be quite funny, but it also made you think sometimes. This was one of such instances. One night, we talked about how wrong it was to deliberately do what was against the law. A friend was adamant that it was due to pure greed and lack of dignity. 

Then, the next morning, when I had a breakfast with Endrico, he said it was a rather complex situation and knowing this simple-minded friend from Pontianak, he wouldn't be able to say no to the request. It was a innocent remark, but one that was easily blown out of proportion. Being a good gas stove in the group, I was quick to pick it up and rephrase it to, "Endrico thinks Pontianak people are simpletons, therefore they don't break the law because they don't even understand it."

Thus began the bashing session. A friend from previous night insisted that the person who did it clearly had no dignity, but it turned out that he seemed to be the only one who thought so. One of our friends, a doctor, even gave an analogy that defended the accused. In the midst of all this, I kept suggesting that, unlike Endrico, the accuser clearly didn't understand the way Pontianak people think. What made it more hilarious was, the accused indeed felt no remorse. He didn't think it was wrong at all and he did it because he was promised a free trip and an iPhone.

It was a stunning outcome. When all was said and done, I couldn't help thinking that dignity was not for everyone. Some people were born with it. These people tend to be proud people and they have a clear conscience. Some, apparently, had to learn it. Dignity (or greed, as they are only separated by a thin red line) is what’s left after the fight between what you want and what you can afford. 

As much as I laughed about at the iPhone incident above, I could actually relate with it. I remember back in the days, when I was in Jakarta, I also downloaded comics and music. It was an act of piracy, but when you lived in a country where everyone else seemed to be doing it, it didn’t feel wrong. It was only later on, when I moved to Singapore, that I stopped doing what I did. I realised that piracy was a crime and it also helped that I was able to afford what I wanted.

Do take note that I didn’t condone what is wrong. I was merely explaining the thought process that might occur when one was in such a difficult situation. It was easy to talk about dignity when you could afford it, but the real challenge was when you were not financially able and yet had to resist the way of the world. 

In the end, both opinions had good points. Endrico was only being realistic when he made that comment. The other friend was emphasising on what’s right. You don’t go breaking the law, regardless how much you want things. Realistic and right. Combine these two principles and you’ll have a better understanding on how to navigate in life…

An iPhone, the price of dignity?



Harga Diri

Grup WhatsApp teman-teman SMA ini terkadang bukan cuma lucu, tapi juga bisa membuat saya melihat kembali dan berpikir lagi tentang hidup ini. Kisah berikut ini adalah salah satu contohnya. Suatu malam kita berbincang tentang betapa salahnya jika kita secara sadar melakukan sesuatu yang melanggar hukum. Seorang teman bersikeras bahwa semua ini terjadi karena pelaku serakah dan tidak memiliki harga diri. 

Keesokan paginya, sewaktu saya bersantap pagi dengan Endrico, dia bergumam bahwa ini adalah situasi yang rumit dan kalau dilihat dari sudut pandang teman yang pola pikirnya sederhana ini, dia tidak akan bisa menolak meskipun permintaan ini melanggar hukum. Pernyataan Endrico ini polos, tapi bisa dengan gampangnya disalahtafsirkan. Sebagai kompor gas di grup, saya dengan gesit menangkap kalimat ini dan menyampaikan ulang kepada teman-teman, "Endrico berkata bahwa orang Pontianak itu cetek pemahamannya, karena itu tidak melanggar hukum." 

Lalu berlanjutlah topik yang membuat panas grup. Seorang teman yang bersikeras di malam sebelumnya kembali mengulang bahwa pelaku ini tidak memiliki harga diri, tapi apa yang terjadi berikutnya sungguh di luar dugaan. Seorang teman lain yang berprofesi dokter justru menulis sebuah analogi yang membela pelaku. Di tengah kericuhan, saya dengan iseng kembali mengingatkan bahwa yang menuduh ini jelas tidak paham pola pikir orang Pontianak. Yang lebih kocak lagi, tertuduh ternyata sungguh tidak merasa bersalah. Dia melaksanakan permintaan yang dianggap melanggar hukum itu semata-mata karena dijanjikan liburan gratis dan iPhone. 

Ini adalah sebuah akhir yang mencengangkan. Seusai pembahasan, saya jadi berpikir bahwa yang namanya martabat itu bukanlah sesuatu yang dimiliki oleh semua orang. Ada yang terlahir dengan martabat. Orang-orang ini biasanya memiliki karakter yang terkesan angkuh (padahal apa adanya) dan mereka paham betul prinsip benar dan salah. Ada pula yang ternyata harus pelan-pelan mempelajari, apa sebenarnya harga diri itu. Martabat (atau keserakahan, karena tipis bedanya) adalah apa yang tersisa dari pergumulan antara apa yang anda inginkan dan harga yang sanggup anda bayar.

Meski saya tertawa geli saat mendengarkan tentang iming-iming iPhone, sedikit-banyak saya bisa mengerti kenapa konsep harga diri ini mungkin terasa asing bagi yang tidak terbiasa. Sewaktu saya berada di Jakarta dulu, saya juga sering mengunduh komik dan lagu. Ini adalah pembajakan, tapi bila anda hidup di negara dimana hampir semua orang yang anda kenal melakukan hal serupa, rasanya tidak seperti sebuah kesalahan. Setelah saya pindah ke Singapura, saya baru menyadari bahwa pembajakan adalah tindakan kriminal. Di saat yang sama, karena saya mulai mampu membeli apa yang saya mau, saya pun akhirnya berhenti mengunduh.

Saya tidak bangga dan juga tidak mendukung perbuatan yang salah ini. Saya hanya mencoba menjelaskan pola pikir yang mungkin terjadi saat seseorang berada di posisi yang sulit. Mudah untuk berbicara tentang harga diri ketika kita mampu, tapi tantangan sesungguhnya adalah tatkala kita tidak mampu secara finansial dan harus berjuang melawan arus yang salah.

Akhir kata, opini Endrico dan teman yang satu ini memiliki maksud yang baik. Endrico hanya bersikap realistis saat mengungkapkan pendapat, sedangkan teman lainnya ini menekankan pada prinsip benar dan salah. Pokoknya jangan melanggar hukum, tak peduli seberapa besar keinginan anda dalam mencapai sesuatu. Realistis dan benar. Kombinasikan dua ide ini dan semoga anda memiliki sudut pandang yang lebih baik dalam menjalani hidup ini...