Total Pageviews

Translate

Monday, October 28, 2019

The Domestic Flights

I was reading about Papua and Raja Ampat the other day. They were pristine, underdeveloped, far and expensive destinations. In short, they were exactly what I wasn't looking for, haha. I was simply reading about these places just to remind myself, what a vast country Indonesia is. 

As my life revolved mainly in Borneo and Java, it was easy to forget that Indonesia is such a big nation, so big that it has three time zones. Apart from Bali, all other regions within Central (GMT+8) and Eastern Standard Time (GMT+9) were uncharted territories to me! Yes, my travel buddies and I had been talking about the Makassar trip for years. My wife also mentioned about Sumba and Labuan Bajo from time to time. Then, there was this up and coming Raja Ampat, but no, not a single visit was ever materialised.

From Jakarta to Batam. At Batam Airport, 2005. 

In order to understand why it didn't happen, let's go back to the fact that Indonesia is an archipelago. This means the only fastest and logical choice to travel around is by airplane. The thought of taking domestic flights is, unfortunately, an uneasy one. More often than not, it was anything but pleasant. 

My first domestic flight was from Pontianak to Jakarta, when I was four. Since then, I had my fair share of bad experiences. Once was self-inflicted (I went to eat Indomie and missed my flight), the others were just my luck (or lack of it). I'd been delayed for more than six hours before I finally boarded my flight from Jakarta to Batam. Talk about Batam, my flight to Pontianak was cancelled, only for me to find out at the check-in counter (it was so unbelievable that I actually found it hilarious and laughed about it). I eventually paid a sky-high price for the last minute ticket.

At Batam Airport, 2018. The long wait for last minute tickets, after our flight to Pontianak was cancelled. 

Then of course we had to talk about the safety records. It was so patchy that many years ago, when the plane I took rocked violently during turbulence, I remember staring at the ceiling, pretty convinced that it would split open. Around me, people were praying according their own beliefs. I found myself doing the same thing, too, with both hands grabbing the seat tightly. It's funny how people suddenly became religious when the plane got extremely bumpy.

What's worse these days is the price one has to pay for such a harrowing experience. I couldn't remember when it started, but the ticket price for domestic flights had been ridiculously high for quite a long while. The most obvious example was the round-trip airfare for the Pontianak-Jakarta route. When compared with the return tickets from Singapore to Jakarta, oftentimes they were much more expensive! From what I observed, the farther the destination was, the higher the price would be. 

Round-trip fare to Hong Kong.

Back to Raja Ampat, one alternative was to fly from Jakarta to Sorong, then we could take the two-hour ferry to Waisai. The return fare of direct flight (4 hours 5 minutes) offered by AirAsia was, on average, around SGD 420. For a similar flight duration, I could have flown from Singapore to Hong Kong by paying only half the price. 

That was the very reason why I couldn't bring myself to go to East Indonesia. It just didn't make sense for me to pay so much and travel so far to go to an underdeveloped region that probably just felt like any other places in Indonesia (only Bali is distinctly different so far, thanks to its Hindu culture). That, coupled with the worst case scenarios that I would have to endure for taking domestic flights, were a buzzkill. I just couldn't shake it off.

Having said that, the local airlines and tourism board got a lot of homework to do. The airfare must be reasonably priced. The safety records and the customer experience had to be improved so that the passengers didn't feel as if they were wasting their time or risking their lives when they boarded the plane. If these prerequisites could be achieved, I'd say may be it's time for journey to the East!

The Singaporean friends at Jakarta airport, after the flight from Pontianak.


Penerbangan Domestik

Saya membaca tentang Papua dan Raja Ampat baru-baru ini. Tempat-tempat ini masih alami, belum begitu terjangkau oleh pembangunan, jauh dari Jakarta dan mahal pula biaya untuk ke sana. Secara singkat, boleh dikatakan sebagai tempat yang tidak termasuk tujuan wisata saya, haha. Saya hanya sekedar membaca untuk mengingat kembali, betapa luasnya Indonesia. 

Karena hidup saya yang berkutat di Kalimantan dan Jawa, mudah untuk lupa bahwa Indonesia itu sedemikian besarnya sehingga mencakup tiga kawasan waktu. Selain Bali, daerah lain yang termasuk WITA (GMT+8) dan WIT (GMT+9) adalah daerah-daerah yang belum pernah saya jelajahi. Ya, saya dan teman-teman seperjalanan sudah berbicara tentang kunjungan ke Makassar selama bertahun-tahun lamanya. Istri saya pun terkadang berbicara tentang Sumba dan Labuan Bajo. Kemudian ada Raja Ampat yang baru-baru ini mulai populer. Kendati begitu, tak satu pun kunjungan di atas yang terwujud hingga hari ini.

Endrico, Jimmy dan Ardian, dalam perjalanan dari Bali ke Jakarta.

Untuk mengerti kenapa demikian, perlu diingat kembali bahwa Indonesia adalah negara kepulauan. Ini artinya cara yang tercepat dan masuk akal untuk bepergian adalah dengan menaiki pesawat. Sayang sekali, yang namanya menumpang penerbangan domestik itu rasanya berat di hati. Yang sering terjadi adalah pengalaman yang tidak menyenangkan. 

Penerbangan domestik saya yang pertama adalah Pontianak ke Jakarta, sewaktu saya berumur empat tahun. Sejak saat itu, saya sudah melewati berbagai pengalaman buruk. Sekali karena salah sendiri (saya pergi makan Indomie dan ketinggalan pesawat), yang lainnya karena saya memang tidak beruntung. Penerbangan saya dari Jakarta ke Batam pernah ditunda enam jam lamanya. Bicara soal Batam, penerbangan saya dibatalkan dan baru saya ketahui ketika saya berada di depan loket untuk check-in (rasanya sulit dipercaya sehingga saya jadi geli sendiri dan tertawa). Akhirnya saya harus membayar tiket yang luar biasa mahal untuk pulang.

Ardian berjalan di landasan pacu bandara Bali.

Selanjutnya tentu saja kita harus berbicara tentang rekam jejak keamanan penerbangan domestik. Dari segi keamanan, penerbangan domestik Indonesia memiliki masalah dari waktu ke waktu. Tatkala pesawat yang saya tumpangi bergetar hebat melewati cuaca buruk, saya ingat betul bahwa saya tertegun menatap langit-langit pesawat, sebab saya merasa langit-langit tersebut akan terbelah dua. Para penumpang lain di sebelah saya sudah berdoa menurut ajaran masin-masing. Saya sendiri juga melakukan tindakan serupa sambil menggenggam sandaran tangan di kursi erat-erat. Hanya penerbangan udara yang seringkali mengingatkan manusia untuk mencari dan meminta perlindungan Tuhan.

Yang lebih buruk lagi belakangan ini adalah harga yang musti dibayar untuk penerbangan yang mungkin membuat anda mengalami pengalaman yang dijabarkan di atas. Saya tidak ingat kapan ini bermula, tapi tiket pesawat domestik sudah gila-gilaan harganya untuk jangka waktu yang lama. Yang paling jelas contohnya adalah rute Pontianak-Jakarta. Bila dibandingkan dengan tiket pulang-pergi Singapura-Jakarta, seringkali yang jurusan Pontianak itu lebih mahal! Dari apa yang saya amati, semakin jauh jarak tujuannya, semakin mahal pula harganya.

Harga pulang-pergi dari Singapura ke Hong Kong.

Kembali ke Raja Ampat, salah satu alternatif ke sana adalah dengan penerbangan dari Jakarta ke Sorong, kemudian dilanjutkan dengan feri berdurasi dua jam ke Waisai. Total harga tiket penerbangan langsung AirAsia (4 jam 5 menit) kira-kira sekitar IDR 4,2 juta. Untuk penerbangan dengan jangka waktu yang tidak jauh beda, saya bisa terbang dari Singapura ke Hong Kong hanya dengan membayar separuh harga. 

Alasan-alasan di atas menjelaskan kenapa saya tidak mau ke Indonesia Timur. Rasanya tidak masuk akal untuk membayar semahal itu dan bepergian sejauh itu hanya untuk mengunjungi tempat yang masih terbelakang dan mungkin saja bernuansa seperti daerah lain di Indonesia (hanya Bali yang terasa berbeda sejauh ini karena budaya Hindunya yang kental). Pemikiran tersebut, ditambah lagi pengalaman tidak sedap yang mungkin bisa terjadi bila menaiki penerbangan domestik, senantiasa membuat saya mengurungkan niat saya untuk menjelajah.

Endrico menaiki pesawat menuju Jakarta. 

Oleh karena alasan-alasan di atas, maskapai lokal dan badan pariwisata hendaknya berbenah. Harga tiket harus bersaing. Rekam jejak dan pengalaman penumpang sepatutnya dibina dan ditingkatkan mutunya sehingga penumpang tidak merasa membuang waktu atau mengambil resiko karena memilih penerbangan domestik. Jika hal-hal mendasar ini bisa diperbaiki, niscaya perjalanan ke Timur bisa saya lakukan. Dari situ saya mau ke Papua Nugini, haha...

Monday, October 21, 2019

Japanese Food

It might be hard to imagine now, but Japanese food was once a rarity and luxury in Pontianak. When I was in high school, my friend Eday introduced me to shabu-shabu (Japanese hotpot) and we had it at, of all places, the Italian restaurant. If I remember correctly, it was less than IDR 50K in 1997. Probably it was around 30K which, if we calculated the inflation, was equal to IDR 214K in 2019. That was a lot of money then!

Thanks to the initial experience I had, I always thought Japanese food was so expensive that I was barely able to afford it. When I was working in Jakarta, I remember that one of the happiest moments was when we had Hoka-Hoka Bento for lunch during company events (note: bento is basically a lunchbox). Also known as HokBen as Indonesians like to shorten anything into acronyms, it was easily the most popular Japanese food in early 2000s, best eaten when it was free, haha. Then, when I had extra money, I'd go to Hanamasa with my colleagues Rusli and Indra for yakiniku (grilled meat) and shabu-shabu. Hanamasa was a restaurant with all-you-can-eat concept and it offered appetizers, main course, side dish and dessert for a fixed price per person.

Linda and her plates of sushi.

My first plate of sushi (vinegared rice topped with other ingredients) came much later on, probably some time in 2006. I just came to Singapore and was living on a tight budget. For a reason that I can't remember now, my friend Jimmy and I were at Changi Airport. That's when he brought me to Sakae Sushi. Just like a child, I was impressed by the conveyor belt. I mean, it kept moving, bringing food to people sitting next to it! How amazing! 

Back to the sushi itself, yes, I liked it immediately, but I had only three plates (and not even the red plate because that would be more expensive). I remember ordering makimono (rolled sushi wrapped in nori, thin sheets of seaweed) simply because there were six pieces in one plate, haha. Personally, I like inari sushi the most. Love the taste of its seasoned deep-fried tofu pocket! 

Now, some of people I know were hesitant to eat sushi because of its raw fish. The idea of swallowing raw seafood nauseated them. In all fairness, sushi is alright. I assume what they had in mind was actually sashimi, the fresh raw fish sliced into thin pieces and eaten with soy sauce. It tasted really good, but the thought of eating something raw might have deterred many from trying.

Sashimi at Sushi Tei.

I remember ordering sashimi for my sister-in-law as she never tried it before. After her college days in Nanning, she'd been quite adventurous and keen to try something new, so there we were, all looked at her as she took a slice of salmon with her chopsticks. I could tell from her expression that she was struggling to eat something that was subconsciously rejected by her brain. She smiled when she was done eating and she politely declined when I offered her to have some more. 

Ramen was a Japanese cuisine that I used to like back then, before 2014. From time to time, my friend Bernard and I would go to Ajisen Ramen. The turning point was when I visited Tokyo with family. Throughout the visit, my daughter who was a picky eater would eat only ramen. As she was not yet two years old, she wasn't able to finish the whole bowl. I ended up eating ramen all the time until I became very sick of it! That's not to say that I wouldn't eat it at all, because ramen actually had a rich taste. In Fukuoka, my wife and I tried the famous Ichiran Ramen. The portion was just nice, not too much, and as Ichiran was specialised in serving tonkotsu (broth made from pork marrow) ramen, it tasted really delicious!

Tonkotsu ramen at Ichiran.

Talk about noodles, ramen was actually based on Chinese wheat noodles (this is probably the reason why ramen stalls also offer gyoza, the Japanese equivalent of the Chinese jiaozi). The real Japanese noodles were called soba (thin noodles) and udon (thick noodles). Both can be served in cold or hot dishes. Udon was rather chewy thanks to its texture, the odd feeling that I didn't really like. What's unique and worth trying is the cold dishes. It was only right for tourist to try out a bowl of chilled noodles in Japan! Both the dried and soup versions were quite enjoyable. My personal favorite? Omusoba, the stir-fried soba (or yakisoba) wrapped in omelette! Like the sweet taste of it. One last thing, when I was in Tokyo, I noticed that ramen stalls didn't sell soba and udon. It was the same for soba and udon stalls. They also didn't sell ramen. Coincidence?

If you preferred rice, donburi (a bowl of rice and meat) would be a good choice. When Dad and I visited Japan, we'd go to Yoshinoya for a quick and cheap breakfast or lunch. Their gyūdon, literally translated as beef bowl, was suitable for our taste. Another variety that I also liked was tendon. It was a bowl of rice served with tempura, the battered and deep-fried vegetables and seafood. Another alternative that we'd go for was the Japanese curry rice. Dad and I used to frequent this restaurant called CoCo Ichibanya in every city we visited. 

That's all for Japanese cuisines at a glance. If you explored further, you'd found a lot of goodness in chicken katsu, chicken teriyaki, okonomiyaki, chawanmushi and many more! One interesting fact that I observed was the excellent quality of Japanese food, regardless how obscure the eatery was. Even the neighbourhood ramen stall next to Mitsui Garden Hotel in Tokyo served a very good ramen. I came to a conclusion that the Japanese must be very proud and meticulous when it comes to their cuisines. But by the end of a long holiday in Japan, there was only so much Japanese food that we could eat. When Dad and I visited the Chinatown in Yokohama, we immediately stepped into the chicken rice restaurant. The food was terrible, alright, but it was still a relief! Finally we could eat something that our stomach had been longing for!

Japanese curry rice.



Masakan Jepang

Walau mungkin terdengar janggal sekarang, pernah ada suatu masa di mana makanan Jepang itu langka dan mahal di Pontianak. Saya mengenal masakan Jepang dari teman saya Eday. Di kala SMU, saya diajak makan shabu-shabu (daging dan sayur yang dimasak sendiri di dalam kuah kaldu yang mendidih) untuk pertama kalinya, tapi bukan di restoran Jepang, melainkan di restoran yang bernama Italian di Jalan Nusa Indah. Harga per orang pada tahun 1997 itu di bawah 50 ribu rupiah, mungkin sekitar 30 ribu, yang bila dihitung kembali berdasarkan inflasi, berarti seharga 214 ribu rupiah di tahun 2019. Jadi shabu-shabu ini jelas tergolong mahal untuk disantap oleh anak SMU! 

Berdasarkan pengalaman tersebut, saya selalu merasa bahwa masakan Jepang itu terlalu mahal untuk saya nikmati. Ketika saya bekerja di Jakarta, adalah suatu kegembiraan tersendiri bilamana perusahaan mengadakan rapat dan menyajikan Hoka-Hoka Bento sebagai makan siang (bento itu bisa diartikan sebagai bekal makan siang dalam wadah kotak). HokBen, nama singkatan yang sering dipakai orang Jakarta, adalah makanan Jepang yang populer di awal tahun 2000an, paling enak dimakan saat gratis, haha. Kemudian, bilamana saya memiliki uang lebih, saya akan ke Hanamasa bersama kolega saya Rusli dan Indra untuk bersantai sambil menyantap yakiniku (daging panggang) dan shabu-shabu. Restoran ini memiliki konsep all-you-can-eat. Setelah membayar harga pas per orang, kita bisa mencicipi hidangan pembuka, hidangan utama, hidangan sampingan dan pencuci mulut.

Rusli dan Indra di Hanamasa Gajah Mada Plaza. 

Sushi, gumpalan nasi yang dibasuh cuka dan disajikan bersama seiris bahan makanan lain, pertama kali saya santap di tahun 2006. Saat itu saya baru saja pindah ke Singapura untuk mencari kerja dan tabungan saya sangat terbatas. Suatu ketika di Bandara Changi, teman saya Jimmy mengajak saya makan di Sakae Sushi. Saya ingat betul bahwa saya terpana melihat ban berjalan yang membawa piring demi piring sushi ke pengunjung yang duduk di sampingnya. Canggih betul! Menakjubkan! Saya tidak pernah melihat yang seperti ini sebelumnya! Saya sendiri hanya berani mengambil tiga piring (dan saya hindari piring berwarna merah karena lebih mahal harganya). Saya ingat bahwa salah satu sushi yang saya ambil adalah makimono (sushi gulung berisi telur) karena ada enam biji sushi per piring, haha. Secara pribadi, saya paling suka makan inari sushi. Kulit tahunya yang manis sangat sedap!  

Beberapa orang yang saya kenal pernah bercerita bahwa mereka tidak menyukai sushi karena kandungan ikan mentah membuat mereka merasa mual. Sebetulnya aroma ikan mentah tidaklah terasa saat kita menyantap sushi. Saya rasa yang mereka maksudkan adalah sashimi, irisan daging ikan yang disajikan secara mentah, segar dan dingin, yang biasanya dimakan dengan kecap. Rasanya enak, tapi kesan geli untuk menyantap daging mentah membuat orang enggan untuk mencoba.

Sashimi di Shiro, Hong Kong.

Saya ingat ketika saya memesan sashimi untuk adik ipar saya. Setelah melewati masa kuliah di Nanning, dia tergolong berani untuk mencoba makanan baru, jadi saya pun mengamati reaksinya saat ia menjepit seiris daging salmon dengan sumpitnya. Saya bisa melihat bahwa dia berusaha untuk menelan sesuatu yang ditolak oleh alam bawah sadarnya. Dia tersenyum setelah usai mencicipi sashimi dan dengan sopan mempersilahkan saya untuk menghabiskan sashimi yang tersisa.  

Ramen cukup saya sukai dulu, sebelum tahun 2014. Dari waktu ke waktu, teman saya Bernard dan saya akan singgah dan makan di Ajisen Ramen. Titik baliknya adalah ketika saya mengunjungi Tokyo bersama keluarga. Sepanjang liburan, anak saya yang pemilih dalam soal makanan hanya mau menyantap ramen. Saat itu dia belum genap berusia dua tahun, jadi porsi makannya pun terbatas dan saya senantiasa menghabiskan ramen yang tersisa sampai saya merasa ampun dan jera! Meskipun demikian, ramen itu sebetulnya enak. Sewaktu berada di Fukuoka, saya dan istri mencoba Ichiran Ramen yang terkenal. Porsinya pas dan Ichiran terkenal dengan tonkotsu (kuah kaldu dari sumsum babi) ramennya, rasanya benar-benar lezat.

Omusoba di Don Don Donki.

Bicara soal mie, ramen sebenarnya berbahan dasar mie Cina (mungkin karena alasan yang sama pula restoran ramen biasanya juga menjual gyoza yang merupakan adaptasi dari pangsit Cina). Mie Jepang  yang sesungguhnya disebut soba (mie tipis) dan udon (mie tebal). Dua-duanya bisa disajikan dalam bentuk dingin dan panas. Udon agak kenyal dan tidak begitu saya sukai, namun unik dan layak dicoba saat disajikan sebagai mie dingin, baik yang kering maupun yang sup. Kalau soba, yang saya sukai adalah omusoba, soba goreng (alias yakisoba) yang dibungkus dengan telur goreng. Saya senang rasanya yang manis. Oh ya, sewaktu di Tokyo, saya perhatikan bahwa kedai ramen tidak menjual soba dan udon. Begitu juga sebaliknya. Toko udon dan soba tidak menjual ramen. Kebetulan? 

Jika anda tipe yang menyukai nasi, donburi (semangkok nasi dan daging) akan merupakan pilihan yang tepat untuk anda. Ketika Papa dan saya mengunjungi Jepang, kita sering mampir ke Yoshinoya untuk makan pagi dan siang yang murah dan cepat saji. Gyūdon yang artinya mangkok daging nasi dan daging sapi, cocok dengan selera. Variasi lain yang juga saya sukai adalah tendon, semangkok nasi yang disertai tempura, gorengan udang dan sayur. Alternatif lain yang kita sukai adalah nasi kari Jepang. Saya ingat bahwa kita selalu makan di CoCo Ichibanya di setiap kota yang kita kunjungi.

Tempura di Tendon Kohaku, Singapura.

Demikianlah cerita singkat tentang makanan Jepang. Bila anda gemar icip-icip, masih banyak lagi kelezatan makanan Jepang yang bisa anda jumpai lewat ayam katsu, okonomiyaki, chawanmushi dan lain-lain. Satu hal yang saya amati adalah kualitas cemerlang dari makanan Jepang, tidak peduli seberapa terpencil tempat makannya. Bahkan kedai ramen yang berada di jalan kecil di samping Mitsui Garden Hotel Tokyo juga menyediakan ramen yang sedap. Kendati begitu, setelah menjelajahi Jepang dari kota ke kota, rindu juga rasanya dengan makanan Cina. Tatkala Papa dan saya berjalan menyusuri Pecinan di Yokohama, kita langsung memasuki restoran yang menjual nasi ayam. Makanannya tidak enak, tapi lega rasanya bisa menikmati makanan Cina lagi! 

Monday, October 14, 2019

Abbey Road

50 years after it was first released in 1969, Abbey Road topped the chart once again. To quote Paul McCartney, "It’s hard to believe that #AbbeyRoad still holds up after all these years. But then again it’s a bloody cool album..." I totally agreed with it. There was so much one could talk about this album. I had my story, too.

I remember one afternoon at my friend's house in the mid 90s. Leo was playing Come Together from Michael Jackson's HIStory album. I just got to know the Beatles then and somehow I learnt that Michael was covering the Beatles' song. That prompted me to check out the original version, so I rode my bike to the music store. I remember feeling a bit embarrassed by my enquiry on such an old group from my father's generation when I should have been asking about Take That or Backstreet Boys, but I shouldered on. I bought the Abbey Road cassette that day, my first Beatles album.

Abbey Road.

When I reached home and played it for the first time, I couldn't help smiling when I heard Come Together. The intro felt... archaic. The drums pattern was, to put it mildly, unusual. Michael's version was more straightforward and rocking. As Michael was one hell of a singer, his voice made John's sound subdued. But still, there was this lingering feeling that this was how it meant to be listened to. Slowly but sure, it became the definitive version. Years later, I heard Dave Grohl saying that if one could do the groovy drumming on Come Together and had people dancing, then the drummer must be a badass. He was right!

Right after that, came Something. I had to say that apart from Come Together and Oh! Darling (more on this later), I had never heard of other songs from Abbey Road. However, as one of the greatest love songs ever written, Something felt right since the very first time I ever listened to it. There was a certain sadness that came with it and the guitar solo amplified the feeling right into the listener's heart.

Maxwell's Silver Hammer was one I'd refer to as easy listening. It had a playful melody disguising the rather dark lyrics about a medical student who went around and killed people with his silver hammer. It was arguably the most catchy tune in the album, one with unmistakable pop song quality. I thought it was alright, but apparently the other three Beatles hated it, haha.

Oh! Darling was the fourth track on the album. It sounded familiar, as if I had heard of it before in the past. The song had the 50s feeling and it relied heavily on the vocals as if the singer was screaming his heart out. Much later on, I learnt that it sounded more like John's way singing than Paul's. But Paul wrote it, so he sang it.

Oh! Darling

The next track was Octopus's Garden. It was a lovable song that sounded rich, thanks to the drums and electric guitars. It also came with under water sound effect. Kind of cool, almost childlike! The voice was notably different and I eventually learnt it was Ringo who sang it.

Closing side one was I Want You (She's So Heavy), the only Abbey Road song that I disliked. The music and lyrics were so repetitive. In hindsight, it sounded like a precursor to some songs that Lennon would write after the Beatles broke up. It was not easy on ears and to make it more puzzling, the song ended abruptly. At first, I thought it was a defect and the cassette was running out of tape!

Here Comes the Sun opened the side two. When it began, I could immediately sense the optimism in the air! It cheered me up simply because it was so beautiful. The acoustic guitars were so gorgeous and the drums flowed seamlessly. Easily the best song from the album! Loving it then, still loving it now!

Then there was Because, featuring the three-part vocal harmony. I never heard such a song before. It's kind of odd, like a thick wall of vocals. I'd say that I'd listen to it only to appreciate the Beatles' mastery in term of recording. I didn't find the song enjoyable, though.

The medley came in afterwards. I was a greenhorn then and I didn't know what a medley meant. I saw a list of song titles, but I seemed to be listening to a never-ending song that kept changing all the time!  In all fairness, You Never Give Me Your Money (I remember being amused by the lyrics out of college, money spent. See no future, pay not rent. All the money's gone, nowhere to go) did end with fade away. It was not immediately obvious that the cricket sound was the catalyst for the previous song to segue into Sun King. If not for the gibberish they sung (I couldn't figure out what the language was then, but I was pretty sure it wasn't English), Sun King was rather forgettable.

The other side of Abbey Road.
Photo by Evelyn Nuryani.

A drum fill by Ringo led into the next track, Mean Mr. Mustard. To me, it served as the first part of the real medley. I liked what I heard when the second part, Polythene Pam, began. It was exciting and fast-paced with a strange English accent (apparently it was Lennon singing in Liverpool accent). Then, as if, the Beatles were waiting for that one particular moment, John shouted, "look out!" and they jumped into another song called She Came In Through the Bathroom Window. The song, unfortunately, was not as interesting as its title.

What I'd always believed as another medley came right after that. The piano-based Golden Slumbers was a strong opening. I liked the tinge of melancholy feeling that was followed by the heartfelt screaming. The sing-along Carry That Weight fitted in nicely right after that, before the tune brilliantly changed back and forth into the reprise of You Never Give Me Your Money. Then came The End, which was mainly an instrumental piece showing each Beatle doing solo, including Ringo on drums solo! The song ended which the short but cosmical lyrics, "and in the end, the love you take is equal to the love you make."

It went silent after that, giving me time to digest how mind-blowing the album was, but just when I thought that was it, Her Majesty came crashing in and went away instantly. I was like, "what was that?" Then it was really over.  

I remember staring at the album cover. I could only figure out John was the first one on the right thanks to the glasses he was wearing. I couldn't tell who the other three were, haha. I only realised it years later that when the LP was released, neither the band nor the album name appeared on the cover! But it become iconic and it continued to inspire me for the next two decades. In 2016, I finally crossed the zebra-crossing myself! Oh no, it was no ordinary album. Like what Paul said, it was a bloody cool album!


Here Comes the Sun.


Abbey Road

50 tahun sejak album ini pertama kali dirilis di tahun 1969, Abbey Road kembali menjadi nomor satu. Mengutip apa yang dikatakan Paul McCartney, "sulit untuk percaya bahwa #AbbeyRoad masih bertahan meski tahun demi tahun berlalu, tapi album ini memang mengagumkan." Saya setuju dengan pendapatnya. Banyak yang bisa dibahas tentang album ini. Saya juga punya cerita. 

Saya ingat suatu sore di pertengahan dekade 90an. Teman saya Leo memutar lagu Come Together dari album Michael Jackson yang berjudul HIStory. Saat itu saya baru mengenal the Beatles dan dari nama penulis lagunya, saya tahu bahwa lagu yang dinyanyikan MichaeI itu adalah karya John dan Paul. Tergelitik untuk mencari tahu tentang versi the Beatles, saya lantas mengayuh sepeda saya ke toko musik di Jalan Nusa Indah. Saya ingat bahwa saya merasa agak malu untuk bertanya tentang grup musik yang berasal dari generasi ayah saya. Seharusnya yang saya cari itu grup musik seperti Take That atau Backstreet Boys. Akan tetapi saya meneguhkan hati dan bertanya. Saya akhirnya pulang dengan Abbey Road, album the Beatles saya yang pertama. 

Ketika saya tiba di rumah dan memutar kasetnya, saya tersenyum saat mendengar lagu Come Together. Pola drum yang membuka lagu tersebut terdengar tidak lazim. Versi Michael lebih terkesan modern dan berirama musik rock. Michael sendiri sangat berbakat dan caranya bernyanyi membuat versi John terasa... jinak. Meskipun demikian, lagu pertama di Abbey Road ini memiliki kesan bahwa seperti inilah lagu ini dikehendaki oleh penulisnya. Perlahan-lahan, versi ini menjadi versi yang saya kenal baik dan sukai. Di tahun 2015, saya mendengar perkataan  Dave Grohl bahwa jika ada yang bisa bermain drum seperti di lagu Come Together dan membuat orang menari, maka pemain drum ini pastilah hebat. Betapa benar perkataannya!


Versi gagalnya pun menarik untuk didengar!

Yang berikutnya adalah lagu Something. Selain Come Together dan OhDarling (kita akan bahas ini nanti), saya tidak pernah mendengar lagu lain di album Abbey Road. Walaupun begitu, sebagai salah satu lagu romantis yang pernah ditulis, Something memiliki pesona yang menarik perhatian mereka yang mendengarkan lagu ini untuk pertama kalinya. Ada suatu luapan perasaan yang mendayu bersama lagu, yang kemudian melantun menggetarkan kalbu lewat petikan gitar di tengah lagu.

Maxwell's Silver Hammer terasa ringan di telinga. Musiknya riang dan mengecoh mereka yang tidak memperhatikan kelamnya lirik yang bercerita tentang pelajar di bidang medis yang membunuh orang dengan palu perak. Lagu yang ditulis Paul ini bernuansa pop dan gampang dinikmati, tapi ternyata tiga anggota Beatles lainnya membenci lagu ini, haha. 

OhDarling adalah lagu keempat di album Abbey Road. Entah kenapa lagu ini terasa tidak asing, seperti pernah saya dengar di masa lalu. Lagu ini bagaikan lagu tahun 50an dan bergantung pada suara penyanyinya yang menjerit. Ketika saya telah lebih mengenal the Beatles, saya menyadari bahwa gaya bernyanyi seperti ini lebih merupakan ciri khas John daripada Paul. Akan tetapi karena Paul yang menulis lagunya, maka dia pula yang menyanyikannya.

Lagu selanjutnya adalah Octopus's Garden. Lagu ini kaya dengan suara drums dan gitar, lengkap pula dengan efek suara laut dan gelembung air, sesuai dengan liriknya yang bercerita tentang taman gurita. Oh ya, suara penyanyinya terasa sangat berbeda dengan lagu-lagu lainnya. Setelah saya baca, ternyata lagu ini dinyanyikan oleh Ringo

I Want You (She's So Heavy) menjadi lagu penutup sisi pertama di album Abbey Road. Lagu ini juga merupakan satu-satunya lagu Abbey Road yang tidak saya sukai. Musik dan liriknya terasa diulang-ulang. Kalau saya lihat kembali sekarang, lagu ini terdengar seperti basis dari beberapa lagu serupa yang Lennon tulis setelah the Beatles bubar. Yang lebih membingungkan lagi, lagu ini tiba-tiba berhenti begitu saja sehingga saya sempat mengira apakah kaset ini rusak atau kehabisan pita. Ternyata efek ini memang disengaja!

Sisi kedua dibuka dengan Here Comes the Sun. Lagu ini adalah tipe lagu yang langsung terdengar mantap begitu mulai melantun. Saya langsung bisa merasakan nuansa optimis dari musiknya. Gitar akustik dan drum berpadu, mengalir dengan demikian indahnya. Boleh dikatakan bahwa ini adalah lagu terbaik di Abbey Road. Saya menyukainya dulu dan lebih dari dua puluh tahun kemudian, saya masih menyukainya. 

Kemudian ada lagu yang berjudul Because dan menampilkan paduan suara John, Paul dan George. Saya tidak pernah mendengar lagu seperti ini sebelumnya. Lagu ini tidak ubahnya seperti tembok suara. Saya mendengarkan lagu ini semata-mata karena saya menikmati keahlian the Beatles dalam rekaman, tapi lagunya sendiri tidak terlalu istimewa. 

Rangkaian lagu-lagu pendek yang disebut medley mengisi sebagian besar sisi kedua album. Saat itu saya tidak paham dengan yang namanya medley. Saya lihat ada banyak judul lagu, tapi apa yang saya dengar mirip seperti sebuah lagu panjang yang berubah-ubah nadanya. Lagu pertama, You Never Give Me Your Money (saya ingat betul liriknya yang menarik perhatian: out of college, money spent. See no future, pay not rent. All the money's gone, nowhere to go) boleh dikatakan masih memiliki akhir yang cukup jelas. Suara jangkrik yang kian nyaring akhirnya menghubungkan lagu tersebut dengan Sun King. Jika bukan karena bahasa aneh yang mereka nyanyikan (saat itu saya tidak bahwa itu adalah bahasa Spanyol), Sun King boleh dikatakan biasa saja.

Tabuhan drum Ringo menjadi pembuka lagu Mean Mr. Mustard. Bagi telinga seorang awam dan pemula seperti saya, lagu ini terdengar seperti bagian pertama dari medley. Yang menarik adalah bagian kedua yang berjudul Polythene Pam. Lagunya berirama cepat dan dinyanyikan dengan aksen Inggris yang asing di telinga (beberapa tahun kemudian baru saya ketahui bahwa ini yang namanya aksen Liverpool). Kemudian, ketika saat-saat yang dinantikan tiba, the Beatles pun berpindah lagi ke lagu lain yang berjudul She Came In Through the Bathroom Window. Kendati begitu, lagunya tidaklah seseru judulnya. 

Golden Slumbers yang berbasis piano mengawali apa yang terdengar seperti medley berikutnya. Saya suka kesan melankolis yang dilanjutkan dengan teriakan yang menjiwai lagu tersebut. Carry That Weight yang dinyanyikan bersama kemudian melanjutkan lagu Golden Slumbers sebelum berganti ke penggalan lagu You Never Give Me Your Money. Lagu The End yang hampir merupakan lagu instrumental menjadi penutup medley tersebut. Semua Beatles bermain solo. John, Paul dan George bermain gitar, Ringo bermain drum! Lirik pendek pun mengakhiri lagu tersebut: "and in the end, the love you take is equal to the love you make."

Ruangan terasa sunyi saat lagu berakhir, memberikan saya waktu untuk mencerna apa yang baru saja saya dengar. Namun mendadak lagu pendek Her Majesty terdengar dan hilang begitu saja. Saya sempat terkejut, lalu menyadari bahwa album ini sudah benar-benar berakhir.

Di dekat studio Abbey Road.
Foto oleh Evelyn Nuryani.

Saya ingat bahwa saya memandang album yang baru saya dengar itu. Saya hanya bisa mengenali John karena kacamata yang dipakainya, haha. Lewat artikel di internet yang saya baca bertahun-tahun kemudian, saya baru menyadari bahwa saat piringan hitamnya dirilis, hanya foto mereka yang sedang menyeberang jalan itulah yang terlihat. Tak ada nama grup dan judul album di sampul depannya, tapi foto itu kelak menjadi sedemikian populernya sehingga album ini begitu gampang dikenali dan menjadi sumber inspirasi bagi saya. Akhirnya, di tahun 2016, saya pun menyeberangi zebra cross di album ini. Oh, saya setuju bahwa ini bukanlah album biasa. Seperti kata Paul, ini album yang teramat sangat mengagumkan! 

Sunday, October 6, 2019

Motivation, Hard Work And Talent

Believe it or not, church can be an inspirational place to be. Last Sunday I was simply captivated by a drummer that played throughout the praise and worship. His drumming was alright, not exactly spectacular, but it somehow reminded me that drumming was something that I always wanted to do.

I remember the younger days when I drummed a bit. I was inspired by Ringo and I wanted to play so badly that I built my own drum kit from boxes. The only thing I could afford then was the drumsticks. The skill was self-taught and I think I managed to learn basic. Another thing I'd also learnt was, based on the complaints I got from my uncle, I could assure you that drumming was a loud hobby that might annoy the people around you, haha.

Playing music with Jun.

Jokes aside, it was due to the right motivation that I ended up learning the skills willingly. When it got frustrating, I was passionate and persistent enough to carry on. But motivation could only bring me as far as I could. As I continued daydreaming, I thought of hard work and real talents.

The only time I ever picked up something new recently was probably when I got myself a ukulele. The inspiration was, of course, from the Beatles. George Harrison loved ukulele so much that he would bring an extra or two, just in case someone needed it. When I saw Paul playing Something on ukulele as a tribute to George, I thought I should give it a try, too.

The self-taught session didn't start well, I must say. I had a hard time changing chords, even the simple ones such as C to G. Strumming was also not as easy as it looked. The whole ordeal was painful, literally, until I developed calluses on my fingers. It took me probably weeks to be able to play nursery rhymes that went from C, G, F to C again, but it was worth it.

Only after learning the basic chord changes from the nursery rhymes that I began to appreciate how beautifully written Something was. The choice of chords and their progression was rather unusual compared with songs by John and Paul, let's say Imagine and Yesterday. It showcased George's calibre as a guitarist.

I can play ukulele and tune it by ear now, but I can't say that I am very good at it, because I am barely able to do E and I still can't do B. The whole journey of learning Something (and ukulele in general) was a hard work. For the fact that I played and sang a bit, I might be musically inclined, but I was never talented, and that's where the difference is.

That thought led me to the time when I watched Rocketman. My favourite scenes was when Elton slowly came up with the music of Your Song. It was magical. That's what talent really was. You see, my friend Ardian and I did it the other way around when we wrote songs. He did the music and when he was done, I just had to fill it in with lyrics. That was easy. What Elton did was, he fooled around on piano, felt his way through and instinctively figured out what worked and was right for the lyrics. That was genius at work!

A long time ago, when I said how good he was in 3D design, my friend Kent August replied me there were talented people out there that made him feel demoralised for being unable to catch up, regardless how hard he tried. Now that I looked back, I think he was right. Some people are just that talented. If that's the case, why do we even bother trying then?

Here are some thoughts: for one to appear talented, there has to be many untalented people around. If everyone is just as talented, noone will stand out, then. Having said that, the talented people are few and far between. They exist to inspire us and to make a world a better place, but it is us that make the world go round. While the best result of our hard work may not make a dent in the universe, we are the ones that collectively shape the world. Eventually, everybody has each part to play. It's okay if we're less talented. What's not okay is we don't give our very best when we could...

Motivasi, Upaya Keras dan Bakat

Percaya atau tidak, terkadang gereja bisa menjadi tempat yang inspirasional. Minggu lalu saya menikmati permainan drum sepanjang lagu-lagu pujian. Permainannya tidak terlalu luar biasa, tapi mengingatkan saya kembali bahwa bermain drum adalah sesuatu yang saya sukai. 

Saya ingat masa SMU dimana saya pernah bermain drum. Saat itu saya sangat terinspirasi oleh Ringo sehingga saya pun membuat formasi drum dari kotak-kotak bekas. Satu-satunya yang sanggup saya beli adalah tongkat penabuh drum. Saya belajar sendiri dari lagu the Beatles dan bisa bermain sedikit. Saya juga belajar bahwa bermain drum itu merupakan hobi yang berisik dan mungkin tidak disukai orang, terutama paman saya, haha. 

Inti dari cerita singkat di atas adalah motivasi yang tepat membuat saya mempelajari keahlian baru ini dengan sukarela. Ketika terasa sulit, saya tidak berhenti karena saya cukup bersabar dan bersemangat untuk tetap lanjut. Akan tetapi motivasi itu cuma sebatas dorongan untuk tetap belajar. Saya lantas jadi berpikir tentang ketekunan berlatih dan bakat.

Bermain ukulele di hadapan Audrey.

Sekali-kalinya saya mempelajari sesuatu yang baru dalam beberapa tahun terakhir ini adalah ketika saya membeli ukulele. Inspirasi saya tentu saja berasal dari the Beatles. George Harrison sangat suka bermain ukulele sehingga dia selalu membawa lebih dari satu supaya bisa diberikan pada orang lain yang ingin bermain juga. Ketika saya melihat Paul memainkan lagu Something di konsernya untuk mengenang George, saya jadi berpikir untuk mencobanya juga. 

Upaya saya untuk belajar sendiri tidaklah mulus. Saya mengalami kesulitan dalam pergantian kunci, bahkan dari yang sederhana seperti dari C ke G. Memetik dan mengocok senar juga tidak segampang yang kita lihat. Butuh beberapa minggu lamanya bagi saya untuk bermain lagu anak-anak yang berpindah dari C, G, F ke C lagi, tapi upaya itu tidak sia-sia.

Setelah menguasai teknik-teknik dasar, barulah saya menyadari betapa indahnya lagu Something. Kunci-kunci yang dipilih dan juga pergantiannya agak berbeda dengan lagu-lagu yang ditulis oleh John dan Paul, misalnya Imagine dan Yesterday. Lagu yang bernada melankolis ini menunjukkan kemahiran George sebagai gitaris.

Sekarang saya bisa bermain ukulele dan menyetem senarnya berdasarkan pendengaran, tapi saya tidaklah terlalu mahir, terutama karena saya masih kesulitan dalam berpindah ke kunci E dan tidak becus dalam menggenggam kunci B. Proses pembelajaran lagu Something (dan ukulele) adalah kerja keras. Fakta bahwa saya bisa bermain sedikit alat musik dan bernyanyi mungkin menunjukkan bahwa saya memang hobi bermusik, tapi saya tidak berbakat. Di sinilah letak perbedaan antara kerja keras dan talenta. 

Saya lantas jadi teringat dengan film Rocketman. Adegan favorit saya adalah ketika Elton menciptakan lagu Your Song. Prosesnya sungguh menakjubkan. Bagi saya yang pernah menulis lagu bersama teman saya Ardian, kita mulai dulu dengan musiknya. Setelah Ardian selesai, barulah saya merangkai liriknya. Ini tidak terlalu sulit, namun apa yang Elton lakukan adalah sebaliknya. Dia memainkan piano sambil bersenandung, meraba dan mencari nada yang cocok untuk lirik yang ditulis oleh Bernie. Ini baru yang namanya jenius!

Komentar teman saya, Kent August, pun terngiang kembali di benak saya. Waktu itu saya memuji karya 3D yang dibuatnya di komputer, lalu dia menjawab bahwa masih lebih banyak lagi orang jago di luar sana, yang karyanya begitu bagus sehingga membuatnya patah semangat karena tidak mungkin baginya untuk mengejar ketertinggalannya dari mereka. Kalau saya pikirkan lagi ucapannya, saya rasa dia benar. Beberapa orang memang terlahir dengan bakat luar biasmencapaiuntuk apa sebenarnya kita berusaha jika tidak bisa mencapai level mereka? 

Saya pikir begini: seseorang terlihat berbakat karena ada begitu banyak orang yang tidak berbakat di sekelilingnya. Bayangkan jika semua orang berbakat dan sama hebatnya. Siapa yang bisa dibilang berbakat kalau begitu? Bila kita telusuri lebih jauh lagi, yang namanya orang berbakat itu tidak banyak. Mereka ini ada di dunia untuk membuat kita terinspirasi dan membuat dunia ini menjadi lebih baik, tetapi mayoritas dari kita yang kurang berbakat inilah yang mengerjakan banyak hal dalam kehidupan sehari-hari. Ya, hasil terbaik dari kerja keras kita mungkin tidak menggetarkan dunia, tapi upaya bersama yang kita lakukan menentukan apa yang terjadi selanjutnya. Pada akhirnya, setiap manusia memiliki peran masing-masing. Tidak apa-apa jika kita kurang berbakat dalam beberapa hal. Yang menjadi masalah adalah apabila kita tidak memberikan hasil yang terbaik dari kemampuan kita...

Tuesday, October 1, 2019

The Land Of The Hui And The Mongol

As you might have known by now, one of my favourite pastimes was browsing the globe. When I looked at China, it occurred to me that I had only visited the coastal cities such as Guangzhou and Shanghai. The farthest I'd been to was Guilin and Nanjing. But the Middle Kingdom is such a big country and I was merely touching the tip of the iceberg. There are inland areas that I wish to visit one day, exotic places like Yunnan, Xinjiang and Inner Mongolia. Then, as I went through the map, I suddenly noticed a small, landlocked region called Ningxia.

I never heard of this place before, but apart from being amused by the name that reminded me of a product from Young Living, I didn't find it interesting. I skipped reading about Ningxia at that time, but little did I know that Ningxia refused to be skipped.

Ningxia.

On a separate occasion, I happened to see Susan's photos on Facebook. I was under impression that she visited Inner Mongolia, but it turned out that I was only partly correct. When I asked about her holiday, she told me that the first batch of her pictures were taken in a place called Ningxia. I was astounded. Sometimes life took its time to surprise me in a rather funny way!

It's not easy to visit the little known Ningxia. According to Susan, she had to transit in Xi'an before hopping onto another plane to Ningxia. It took her 10 hours from Jakarta to get there. By the way, Ningxia is an autonomous region, which means apart from the Han Chinese, there are other major tribes, too. In this case, they are Hui people that practice Islam.

The halal restaurant.

When Susan reached there, she was surprised by how clean the city was. I could relate with that, because there was this misconception that China cities were dirty. The truth is, they are much cleaner than cities in Indonesia and Yinchuan, the capital of Ningxia, was no exception. 

What made Yinchuan different than other China cities was the Islamic atmosphere. The shops there had a mosque-like dome as their roof and Arabic words were found everywhere. Halal food and mutton were common whereas pork was almost non-existent. Cuisines were edible, although Susan would prefer more varieties instead of having too much mutton on daily basis. The city was developed and neon lights were shining bright at night.

When Susan hit the road.

From Ningxia, Susan went to the border of Inner Mongolia just to have a glimpse of the Mongol people. It was a two-hour ride and based on the map, it was likely that the small town she visited was Wuhai. As Susan and Mum were invited by the bosses from Mainland, they were in for a grand dinner that came with authentic Mongolian dance and performance. The cuisines were mainly mutton-based. Báijiǔ, the famous Chinese liquor, was served all the time. Susan quickly learnt that the waiter would continue refilling the empty cups, so it was wiser to drink very slowly, haha. Later that night, they gathered around the bonfire to dance. The Mongols were surely a lively bunch, eh?

And that ended the story from Susan. I felt that the trip was kind of too short for places as exotic as Ningxia and Inner Mongolia, especially when there were many things that she could have explored there! But that's alright, I'd probably go there myself one day, since I ever planned for it before. Yeah, the trip to Beijing, Erenhot and Ulaanbaatar! Anybody keen?

A ger in Inner Mongolia.



Negeri Orang Hui Dan Mongol

Kalau anda sudah mengikuti Roadblog101 dari sejak awal, anda pasti tahu bahwa salah satu hobi saya adalah menelusuri peta dunia. Ketika saya melihat Cina, saya menyadari bahwa selama ini saya hanya mengunjungi kota-kota yang berada di pesisir seperti Guangzhou dan Shanghai. Kota terjauh dari laut yang pernah saya kunjungi adalah Guilin dan Nanjing. Cina adalah negara yang besar dan kalau diibaratkan sebagai bongkahan es di laut, sejauh ini saya hanya menjangkau permukaannya saja. Sebagai besar daerah di Cina jauh dari laut dan saya berharap bisa mengunjungi Yunnan, Xinjiang dan Inner Mongolia suatu hari nanti. Kemudian, selagi saya menyusuri peta, tiba-tiba saya melihat Ningxia, sebuah kawasan kecil yang diapit provinsi lainnya. 

Saya tidak pernah mendengar tentang tempat ini sebelumnya. Akan tetapi, selain namanya yang mengingatkan saya pada produk Young Living, saya tidak merasa tertarik dengan kawasan ini. Saya pun melewatinya. Tidak pernah terlintas di benak saya bahwa saya akan segera mengenalnya lebih jauh lagi.

Aneka masakan Ningxia.

Suatu ketika, saya melihat foto-foto Susan di Facebook. Saya lantas mengira bahwa tempat yang dikunjunginya adalah Inner Mongolia. Dugaan saya tidak keliru, tapi hanya separuh benar. Ketika saya bertanya padanya, ternyata sebagian dari fotonya dipotret di tempat bernama Ningxia. Saya pun tertegun karena tidak menyangka akan mendengar tentang Ningxia lagi. Terkadang hidup ini memang lucu dan mengejutkan. 

Tidak gampang bagi turis untuk mencapai Ningxia yang jarang terdengar ini. Menurut Susan, dia harus transit dulu di Xi'an untuk berganti pesawat yang menuju ke Ningxia. Butuh waktu 10 jam dari Jakarta untuk tiba di sana. Oh ya, sebagai informasi, Ningxia adalah daerah otonomi. Ini berarti selain etnis Han, masih ada lagi etnis mayoritas lainnya. Di Ningxia, etnis lain yang dominan adalah suku Hui yang rata-rata menganut agama Islam.

Pemandangan di Ningxia.

Ketika Susan tiba di sana, dia terperanjat melihat bersihnya kota yang dikunjunginya. Saya bisa memahaminya, sebab kita seringkali mendengar kabar bahwa kota di Cina itu kotor. Kenyataannya, kota-kota di sana, termasuk juga Yinchuan yang merupakan ibukota Ningxia, bahkan lebih bersih dari kota-kota di Indonesia. 

Apa yang membuat Ningxia berbeda dengan kota lain di Cina adalah suasananya yang Islami. Toko-tokonya memiliki atap kubah yang mirip seperti mesjid dan bertulisan Arab. Makanan di sana halal dan daging babi sangat sulit dijumpai. Rasanya masih cocok, walaupun Susan merasa bosan menyantap daging kambing setiap hari. Kotanya maju dan lampu neon menyala terang di malam hari, menambah keindahan kota.

Di luar kota.

Dari Ningxia, Susan pergi ke perbatasan Inner Mongolia untuk melihat budaya Mongol. Perjalanan dengan mobil itu berkisar dua jam dan berdasarkan peta, nampaknya kota yang dikunjungi Susan adalah Wuhai. Karena Susan dan ibunya berkunjung dalam rangka memenuhi undangan bos Cina, mereka disambut dengan makan malam dan pertunjukan khas Mongol. Makanannya cenderung berbasis daging kambing. Báijiǔ, arak putih Cina, disuguhkan tanpa henti. Susan langsung menyadari bahwa pelayan akan selalu mengisi kembali cawan yang kosong, jadi lebih bijak untuk minum secara perlahan, haha. Usai pertemuan, mereka pun berkumpul di sekeliling api unggun dan menari. Orang Mongolia memang menikmati hidup! 

Dan cerita singkat dari Susan pun berakhir. Saya merasa bahwa liburan Susan terlalu pendek untuk tempat yang eksotis seperti Ningxia dan Inner Mongolia. Seharusnya dia tinggal lebih lama karena masih banyak yang bisa dijelajahi. Namun tidak apa, saya sendiri mungkin akan ke sana, terlebih lagi karena saya sudah pernah merencanakan rute Beijing, Erenhot dan Ulanbator. Jadi? Ada yang berminat?

Pertunjukan nyanyi oleh para artis Mongol.