Total Pageviews

Translate

Sunday, July 18, 2021

The Price Of Dignity

The high school chat group that we had, not only it could be quite funny, but it also made you think sometimes. This was one of such instances. One night, we talked about how wrong it was to deliberately do what was against the law. A friend was adamant that it was due to pure greed and lack of dignity. 

Then, the next morning, when I had a breakfast with Endrico, he said it was a rather complex situation and knowing this simple-minded friend from Pontianak, he wouldn't be able to say no to the request. It was a innocent remark, but one that was easily blown out of proportion. Being a good gas stove in the group, I was quick to pick it up and rephrase it to, "Endrico thinks Pontianak people are simpletons, therefore they don't break the law because they don't even understand it."

Thus began the bashing session. A friend from previous night insisted that the person who did it clearly had no dignity, but it turned out that he seemed to be the only one who thought so. One of our friends, a doctor, even gave an analogy that defended the accused. In the midst of all this, I kept suggesting that, unlike Endrico, the accuser clearly didn't understand the way Pontianak people think. What made it more hilarious was, the accused indeed felt no remorse. He didn't think it was wrong at all and he did it because he was promised a free trip and an iPhone.

It was a stunning outcome. When all was said and done, I couldn't help thinking that dignity was not for everyone. Some people were born with it. These people tend to be proud people and they have a clear conscience. Some, apparently, had to learn it. Dignity (or greed, as they are only separated by a thin red line) is what’s left after the fight between what you want and what you can afford. 

As much as I laughed about at the iPhone incident above, I could actually relate with it. I remember back in the days, when I was in Jakarta, I also downloaded comics and music. It was an act of piracy, but when you lived in a country where everyone else seemed to be doing it, it didn’t feel wrong. It was only later on, when I moved to Singapore, that I stopped doing what I did. I realised that piracy was a crime and it also helped that I was able to afford what I wanted.

Do take note that I didn’t condone what is wrong. I was merely explaining the thought process that might occur when one was in such a difficult situation. It was easy to talk about dignity when you could afford it, but the real challenge was when you were not financially able and yet had to resist the way of the world. 

In the end, both opinions had good points. Endrico was only being realistic when he made that comment. The other friend was emphasising on what’s right. You don’t go breaking the law, regardless how much you want things. Realistic and right. Combine these two principles and you’ll have a better understanding on how to navigate in life…

An iPhone, the price of dignity?



Harga Diri

Grup WhatsApp teman-teman SMA ini terkadang bukan cuma lucu, tapi juga bisa membuat saya melihat kembali dan berpikir lagi tentang hidup ini. Kisah berikut ini adalah salah satu contohnya. Suatu malam kita berbincang tentang betapa salahnya jika kita secara sadar melakukan sesuatu yang melanggar hukum. Seorang teman bersikeras bahwa semua ini terjadi karena pelaku serakah dan tidak memiliki harga diri. 

Keesokan paginya, sewaktu saya bersantap pagi dengan Endrico, dia bergumam bahwa ini adalah situasi yang rumit dan kalau dilihat dari sudut pandang teman yang pola pikirnya sederhana ini, dia tidak akan bisa menolak meskipun permintaan ini melanggar hukum. Pernyataan Endrico ini polos, tapi bisa dengan gampangnya disalahtafsirkan. Sebagai kompor gas di grup, saya dengan gesit menangkap kalimat ini dan menyampaikan ulang kepada teman-teman, "Endrico berkata bahwa orang Pontianak itu cetek pemahamannya, karena itu tidak melanggar hukum." 

Lalu berlanjutlah topik yang membuat panas grup. Seorang teman yang bersikeras di malam sebelumnya kembali mengulang bahwa pelaku ini tidak memiliki harga diri, tapi apa yang terjadi berikutnya sungguh di luar dugaan. Seorang teman lain yang berprofesi dokter justru menulis sebuah analogi yang membela pelaku. Di tengah kericuhan, saya dengan iseng kembali mengingatkan bahwa yang menuduh ini jelas tidak paham pola pikir orang Pontianak. Yang lebih kocak lagi, tertuduh ternyata sungguh tidak merasa bersalah. Dia melaksanakan permintaan yang dianggap melanggar hukum itu semata-mata karena dijanjikan liburan gratis dan iPhone. 

Ini adalah sebuah akhir yang mencengangkan. Seusai pembahasan, saya jadi berpikir bahwa yang namanya martabat itu bukanlah sesuatu yang dimiliki oleh semua orang. Ada yang terlahir dengan martabat. Orang-orang ini biasanya memiliki karakter yang terkesan angkuh (padahal apa adanya) dan mereka paham betul prinsip benar dan salah. Ada pula yang ternyata harus pelan-pelan mempelajari, apa sebenarnya harga diri itu. Martabat (atau keserakahan, karena tipis bedanya) adalah apa yang tersisa dari pergumulan antara apa yang anda inginkan dan harga yang sanggup anda bayar.

Meski saya tertawa geli saat mendengarkan tentang iming-iming iPhone, sedikit-banyak saya bisa mengerti kenapa konsep harga diri ini mungkin terasa asing bagi yang tidak terbiasa. Sewaktu saya berada di Jakarta dulu, saya juga sering mengunduh komik dan lagu. Ini adalah pembajakan, tapi bila anda hidup di negara dimana hampir semua orang yang anda kenal melakukan hal serupa, rasanya tidak seperti sebuah kesalahan. Setelah saya pindah ke Singapura, saya baru menyadari bahwa pembajakan adalah tindakan kriminal. Di saat yang sama, karena saya mulai mampu membeli apa yang saya mau, saya pun akhirnya berhenti mengunduh.

Saya tidak bangga dan juga tidak mendukung perbuatan yang salah ini. Saya hanya mencoba menjelaskan pola pikir yang mungkin terjadi saat seseorang berada di posisi yang sulit. Mudah untuk berbicara tentang harga diri ketika kita mampu, tapi tantangan sesungguhnya adalah tatkala kita tidak mampu secara finansial dan harus berjuang melawan arus yang salah.

Akhir kata, opini Endrico dan teman yang satu ini memiliki maksud yang baik. Endrico hanya bersikap realistis saat mengungkapkan pendapat, sedangkan teman lainnya ini menekankan pada prinsip benar dan salah. Pokoknya jangan melanggar hukum, tak peduli seberapa besar keinginan anda dalam mencapai sesuatu. Realistis dan benar. Kombinasikan dua ide ini dan semoga anda memiliki sudut pandang yang lebih baik dalam menjalani hidup ini...

No comments:

Post a Comment