Total Pageviews

Translate

Sunday, November 29, 2020

The Final Lesson

I saw Dad's name on my phone's address book as I looked for other people's contact the other day. Dad used a prepaid card and of course the number wasn't his anymore by now. I wasn't sure why I still kept it, but I was somewhat reluctant to delete it away. Probably it was my way of honoring his memory or perhaps I just wanted to preserve the last link between us.

Whatever the reason was, seeing his name brought me back to our last moments together. I remember his voice. The tone was so normal and positive that he didn't sound like a sick man. I thought it was just me, but even my wife, Endrico and Alvin told me so when they spoke with Dad. It was kind of sad that I would never hear it again if I ever pressed that number. 

Then I remembered the new Xiaomi Redmi 7 phone that I bought for him. He only managed to use it for two weeks before he passed away, but he was so happy when I created a Facebook account on the phone for him. It was a childlike happiness. He was so amazed that he could find so many family and friends on Facebook. I remember him adding them excitedly while telling me the short story of each person he added. 

I never dreamed of Dad since he left us last June. I took it as a good sign, that he had left this world peacefully. I did speak with my wife about him from time to time, though. There and then, as all these good memories flashed back the moment I saw his name on phone, I couldn't help smiling. 

Even in his death, Dad still taught me one final lesson: the quality of your life would reflect on how your dearest ones spoke so fondly of it. Dad was not a saint and he made a plenty of mistakes, too, but he did a good job living his life. His greatest legacy? The time he spent for being my Dad. 

Dad's Facebook account.




Pelajaran Terakhir

Baru-baru ini, ketika saya mencari kontak di telepon genggam saya, secara kebetulan saya melihat nama Papa. Dulu beliau menggunakan kartu prabayar, jadi sudah pasti bahwa nomor yang saya simpan ini bukan lagi miliknya. Saya tidak tahu pasti kenapa saya masih menyimpannya, tapi saya juga agak sungkan untuk menghapusnya. Mungkin ini cara saya untuk mengenang ayah, mungkin juga karena saya ingin menyimpan sesuatu yang bersifat pribadi antara saya dan ayah. 

Apapun alasannya, saat melihat namanya, saya jadi terkenang dengan saat-saat terakhir bersama Papa sebelum dia tak sadarkan diri. Saya ingat suaranya. Nadanya begitu normal dan positif, sama sekali tidak terdengar seperti orang sakit. Saya sempat mengira bahwa hanya saya yang berpikir seperti itu, tapi istri saya, Endrico dan Alvin juga berpendapat sama saat mereka mengobrol dengan Papa. Agak sedih rasanya bahwa saya tidak akan bisa mendengar suara ini lagi bilamana saya menekan nomor yang tersimpan ini. 

Saya lantas teringat dengan Xiaomi Redmi 7 baru yang saya belikan untuknya. Papa hanya sempat menggunakannya selama dua minggu sebelum dia meninggal, namun dia begitu gembira saat saya membuatkan akun Facebook untuknya. Ya, kegembiraan yang polos dan tanpa beban seperti kanak-kanak. Dia sangat senang bisa menemukan kembali saudara dan teman-temannya di Facebook. Saat Papa menambahkan teman satu persatu di akunnya, dia pun bercerita singkat tentang mereka.  

Saya tidak pernah bermimpi tentang Papa sejak dia meninggal di bulan Juni lalu. Saya anggap ini adalah pertanda baik bahwa dia telah meninggalkan dunia ini dengan tenang. Kendati begitu, terkadang saya masih berbicara dengan istri saya tentang Papa. Ketika saya melihat namanya dan kembali terkenang tentang Papa, saya jadi tersenyum. 

Bahkan setelah dia wafat pun Papa masih meninggalkan satu pelajaran terakhir untuk saya: kualitas kehidupan kita akan tercermin dari apa yang dibicarakan oleh mereka yang mencintai kita. Papa bukanlah orang suci dan dia berbuat kesalahan semasa hidupnya, tapi dia hidup sebaik yang dia bisa. Peninggalannya yang paling berharga? Waktu yang dia gunakan untuk menjadi seorang ayah bagi saya.  

No comments:

Post a Comment