Total Pageviews

Translate

Sunday, September 22, 2024

Lovely Linda

My daughter Linda could be many things. She could be intentionally annoying at times. She could be hilariously funny, like the day she requested for drum roll before announcing her test result. Thinking she did well, she broke the news proudly, only to be told off by her mum. But once in a while, I was reminded again that she was a good daughter that loved her father in her endearing way.

This story began with what seemingly a normal Thursday. There was nothing dodgy about it, until  the last half an hour of the day that changed it all. An incident, something that was fairly common when you did an IT job, happened and, in total, it would last about five hours. By the time my friend/colleague Taty passed by, she snapped a picture and made fun of me in the group. Let's just call it karma as I normally did the same to her, too.

That fateful night.
Photo by Taty.
 

We were done with the disaster recovery two hours later, but that wasn't the end of story. There was something else going on and due to the uncertainty, I resumed the work the moment I reached home. I vaguely remember Linda sitting next to me for a short while. She was quiet, then she went back to her room. 

It was 11 PM when I was done. I passed by her room, seeing her fast asleep in her bed, before I noticed the scribbling on the iPad next to her. I picked it up to read the message and it said this: Papa, if you are reading this, you can sleep now because I already do your Duolingo streak for you. 

Message from Linda.

The message touched my heart, really. I don't know how she got the idea, but she definitely knows the little things that matter most. What she did was almost silly and movie-like, but it was also a defining moment that made life worth living. One that made me stop and smile. Yes, Linda could be many things, but she also never failed to surprise her father in a loving way. That's the daughter I know and am proud of...



Pesan Dari Linda

Putri saya Linda memiliki banyak sisi yang membuat saya gemas dan sayang padanya. Terkadang dia bisa dengan sengaja membuat saya jengkel. Ada kalanya dia kocak pula, misalnya ketika dia meminta drum roll (tabuhan drum sebelum pengumuman), lalu menyampaikan hasil ujiannya. Namun sekali waktu, saya diingatkan kembali bahwa dia adalah anak yang baik, yang menyayangi ayahnya dengan caranya yang unik. 

Cerita kali ini terjadi pada hari Kamis yang awalnya terlihat normal. Semuanya berjalan baik sampai setengah jam terakhir. Sebuah insiden, sesuatu yang cukup lumrah di dunia IT, terjadi dan berlangsung beberapa jam lamanya. Sewaktu teman sekaligus rekan kerja saya Taty lewat, dia iseng memotret dan mengunggah foto saya di grup SMA. Sebut saja ini karma karena saya pun sering melakukan hal yang sama, hehe. 

Kesibukan di malam Kamis.
Foto oleh Taty.
 

Insiden berhasil kita tanggulangi dengan solusi sementara dalam tempo dua jam, tapi ini bukanlah akhir cerita. Masih ada perkara lain yang terjadi dan saya pun lanjut bekerja begitu saya sampai di rumah. Seingat saya, Linda sempat duduk di samping saya untuk beberapa saat. Selama itu dia hening, lalu kembali ke kamarnya. 

Saya selesai bekerja jam 11 malam. Tatkala saya melewati kamarnya, Linda sudah tertidur, namun saya melihat ada semacam tulisan tangan di iPad yang menyala di sampingnya. Saya ambil iPad tersebut dan membaca pesan yang ia tinggalkan untuk saya: Bila Papa membaca pesan ini, Papa bisa tidur sekarang karena saya sudah mengerjakan Duolingo harian untuk Papa. 

Pesan dari Linda.

Pesan tersebut sungguh menyentuh hati saya. Entah dari mana dia mendapatkan ide tersebut, tapi dia tahu hal-hal kecil yang besar artinya. Apa yang dia lakukan itu hampir terasa seperti cerita film, namun hal-hal semacam inilah yang membuat hidup terasa berarti. Satu kenangan yang membuat saya berhenti sejenak dan tersenyum. Ya, Linda bisa saja memiliki beraneka karakter, tapi dia juga tidak pernah gagal mengejutkan ayahnya dengan cara yang penuh cinta. Ini adalah suatu kebanggaan yang hanya bisa dirasakan oleh seorang ayah terhadap putrinya dan saya bersyukur untuk itu... 

Friday, September 6, 2024

The Crossover

During our dinner and drinks last weekend, my friend Jimmy and I talked about traveling with old friends. He was right that when you had so much history with someone, you developed lingos that only both of you understood. That's exactly why I could be quite adamant about traveling with friends. As much as possible, I had a clean segregation among friends and colleagues so that all had the same frequency. Not even the spouse was allowed!

The night we hung out together. 

Case in point, the trip to Japan. Eday and I had known each other for so long that we had jokes that only both of us understood. However, friends who met for first time such as Taty and Gunawan could also interact seamlessly as if they had known each other since school days. That's the beauty of traveling with friends of the same origin. Oh yes, we grew up in Pontianak, we went to the same school and we speak the same language. The chemistry just worked. 

But there were always times when such rules were broken. The earliest crossover was probably Soedjoko and my high school friends. This happened long ago, since life before Singapore. He was originally a vendor of mine, but quickly became a friend because I like funny people

Jimmy (left) and Djoko (right) having a conversation in Jogja, 2019.

An older but likeable guy, perhaps it was Djoko's fate to befriend most of my friends. From Parno, Junaidi, Endrico to Jimmy and many more, Djoko knew them all. And we traveled together quite a fair bit for the past two decades, from Bandung, Pontianak to Bangkok.

So such a crossover did happen when I was the mutual friend. Yani was with us in Cambodia and Vietnam trip back in 2009. Setia and Bernard came together for a trip to Medan and we would travel again to Tanjungpinang in 2015. Even Alfan also tagged along to Surabaya and was hosted by Jimmy in 2013. 

Yani joining us in Phnom Penh. 
Photo by Endrico.

The latest addition was Lawrence. A man with a great sense of humor, Lawrence was well received by my high school friends since his Pontianak trip on 2016. Not only he blended in very well with the rest during the China trip and made us laugh a lot, he was also very helpful as he can speak Chinese fluently, haha. 

Also together with us on the same trip were Ezra and Angela. The two were in their early 20s and it was good to have them joining us. I learnt through them that young adults are fully functioning just like us, but with ideas and opinions of the future generation. And with these two, they'll always have Xi'An, if you know what I mean. 

The time we were at Starbucks in Chengdu.

The point is, while I love traveling with only my high school friends to preserve the memory of just us, having others crossing over into our midst is not necessarily a bad thing. Yes, I have my fear that, coming from different backgrounds, things could be less fun if they weren't compatible. However, I've been proven wrong in many occasions. So while it's still not my preference, I'll allow the crossover from time to time!



Persilangan

Tatkala kita makan dan minum di akhir pekan, teman saya Jimmy mengangkat topik berlibur bersama teman lama. Dia mengungkapkan pendapat bahwa akan beda rasanya bila kita berlibur dengan teman yang kita kenal sedari kecil. Saya setuju dengan pendapatnya. Kalau sudah kenal lama, tentunya kita ada bahasa dan isyarat yang hanya kita pahami sendiri. Ini alasannya kenapa saya kadang bersikeras tentang peserta liburan. Sebisa mungkin saya memisahkan teman dan kolega supaya yang ikut memiliki frekuensi yang sama. Bahkan pasangan pun tak boleh ikut! 

Bersama Jimmy (kanan depan) di the Westin. 

Sebagai contoh, liburan ke Jepang. Eday dan saya sudah kenal satu sama lain dari sejak lama dan kita memiliki lelucon yang hanya dimengerti oleh kita berdua. Namun menarik untuk diketahui bahwa teman-teman yang baru bertatap muka untuk pertama kalinya, misalnya Taty dan Gunawan, juga bisa akrab seakan-akan mereka sudah saling kenal sejak sekolah. Inilah yang unik dari liburan bersama teman-teman yang sama asal-usulnya. Kita sama-sama dari Pontianak, belajar di sekolah yang sama dan sama pula bahasanya. Frekuensinya pas. 

Kendati begitu, tidak cuma sekali prinsip ini diabaikan. Persilangan yang paling pertama mungkin terjadi pada saat Soedjoko dan bertemu dengan teman-teman SMA saya. Semua ini terjadi bertahun-tahun silam, jauh sebelum saya ke Singapura. Awalnya saya adalah klien Djoko, namun akhirnya jadi teman karena saya suka orang lucu yang becus. 

Jimmy (kiri) dan Djoko (kanan) berbincang di Jogja, 2019.

Lebih tua tapi kocak orangnya, mungkin memang sudah suratan takdir bagi Djoko untuk bertemu dan berkawan dengan banyak teman SMA saya. Mulai dari Parno, Junaidi, Endrico sampai Jimmy dan masih banyak lagi, Djoko mengenal hampir semuanya. Dan kita berlibur bersama ke beberapa tempat dalam dua dekade terakhir, dari Bandung, Pontianak sampai Bangkok.

Persilangan semacam ini terjadi ketika saya dikenal dua sisi yang berbeda. Yani berlibur bersama kita di Kamboja dan Vietnam di tahun 2009. Setia dan Bernard berjumpa saat liburan ke Medan dan bersama-sama kita berpetualang lagi ke Tanjungpinang di tahun 2015. Bahkan Alfan pun turut serta ke Surabaya dan dijamu oleh Jimmy di tahun 2013. 

Yani dan teman-teman di Phnom Penh. 
Foto oleh Endrico.

Yang turut bergabung baru-baru ini adalah Lawrence. Seorang pria dengan selera humor yang gila-gilaan, Lawrence disukai teman-teman SMA sejak kunjungannya ke Pontianak pada tahun 2016. Dia bukan saja membaur dan membuat kita tertawa saat kunjungan ke Cina, namun dia juga sangat membantu karena lancar dalam bahasa Mandarin, haha. 

Ezra dan Angela juga turut bersama kita pada waktu itu. Mereka masih muda belia, baru awal 20an umurnya, dan bagus juga ada mereka di tengah kita. Dari dua anak muda ini, saya belajar bahwa mereka cukup dewasa untuk berfungsi sepenuhnya seperti kita, tapi ide dan opini mereka mewakili generasi berikutnya. Dan mereka berdua akan selalu memiliki Xi'An, jika anda tahu apa yang saya maksudkan. 

Tim Cina di Starbucks, Chengdu.

Jadi inti cerita kira-kira seperti ini: saya suka berlibur secara eksklusif dengan teman-teman SMA untuk menciptakan kenangan bersama, tapi bukan ide yang buruk pula kalau kenalan lain turut bergabung. Ya, bila itu terjadi, ada kalanya saya berpikir, bagaimana kalau mereka tidak cocok satu sama lain karena latar belakang yang berbeda? Namun tidak cuma sekali saya terbukti salah dalam hal ini. Jadi walaupun ini bukan pilihan ideal saya, sekali waktu boleh saja terjadi persilangan!