Total Pageviews

Translate

Saturday, December 28, 2024

The League Of Extraordinary Businessmen

Recently, I met a couple of old friends from my hometown. We weren't that close back in the days, but are still close enough to keep in touch again, mostly thanks the group chat we had. I met them in different occasions, but here is the similarity: these people own businesses.

And after the ice breaker, the conversation soon revolved around money and assets. One told me how crowded his shop was, not to mention other things he has been doing. The other told me about how he calculated the assets of his best friend and the ballpark figure of the money his friend had made by now.

I mean, of course I'm happy for friends who made it in life, but should this be the only thing that dominated our conversation and discussed again and again? What about other hobbies such as art? Whatever happened to things we loved when we were younger? Or perhaps let's talk about rekindling the friendship and togetherness instead? 

This got me thinking again about why people are different. This got me thinking about myself, too. Throughout my life, if you could pick up Anthony from the late 90s and put him side by side with today's Anthony, I think you'll get pretty much the same person: the one that loves Godzilla, Zelda, and the Beatles, treasures friendship the most and has the same mindset that money is good to have, but it isn't everything. 

There area  few possibilities here. Maybe people changed. Maybe I was the one that didn't change much. I don't know. It could be a bit of both, perhaps. But I believe there are more things two old friends can talk about. If you try too hard on a subject that glorifies you as a businessman, then it's as good as a desperate attempt to have audience to hear you overcompensating. To quote a good friend of mine, perhaps it's due poor mindset, culture and lack of exposure. How about something light and funny for a change? Food for thought...

PS: my wife sometimes wondered why I spent time meeting all kinds of friends. First, we're the hosts in Singapore. No guest of ours shall be neglected. On top of that, I wouldn't be here today if it wasn't for my friends. Secondly, now this is fairly personal, meeting people actually inspires me. The interaction, the things they say, often made me think and write. And I like this very much.

Consistency: from there to eternity?



Liga Pedagang

Baru-baru ini saya bertemu dengan beberapa teman lama yang juga bersekolah di kampung halaman saya. Boleh dikatakan kita tidak berteman akrab dulu, tapi masih cukup dekat untuk saling bertemu lagi bertahun-tahun kemudian, terutama karena kita semua berada di grup SMA. Saya bertemu dengan teman-teman ini di kesempatan yang berbeda, tapi ada benang merah yang bisa ditarik: semua orang ini adalah pengusaha. 

Dan setelah basa-basi lama tidak bertemu, percakapan pun lekas berkutat di sekitar uang dan aset. Satu bercerita tentang betapa ramai usahanya dan juga aneka bisnis yang kini ditekuninya. Yang lain sempat membahas tentang bagaimana dia menghitung aset teman dekatnya dan menyimpulkan total harta yang telah terkumpulkan. 

Saya tentu saja senang mendengar kabar teman yang sukses secara finansial, tapi apa perlu topik ini mendominasi percakapan dan dibahas terus? Bagaimana dengan hobi lainnya, misalnya seni? Atau tentang hal-hal yang kita sukai sewaktu kita masih muda dulu? Bagaimana kalau kita bercerita tentang persahabatan dan kebersamaan? 

Pertemuan seperti ini membuat saya berpikir lagi, kenapa setiap orang berbeda. Pertemuan yang sama pun membuat saya melihat kembali diri saya. Sepanjang hidup saya, jika anda bisa menarik keluar Anthony dari era 90an dan menjajarkannya di samping saya sekarang, saya rasa anda akan menemukan orang yang serupa: orang yang mencintai Godzilla, Zelda, dan the Beatles, yang menghargai persahabatan dan juga memiliki pola pikir bahwa uang itu bagus untuk dimiliki, tapi bukan segalanya. 

Ada beberapa kemungkinan di sini. Mungkin orang berubah. Atau mungkin saya sendiri yang tidak berubah. Saya tidak tahu. Mungkin kombinasi keduanya. Tapi saya percaya bahwa masih ada banyak hal yang bisa dibicarakan oleh dua teman lama. Jika topik yang dibahas terus adalah kesuksesan sebagai seorang pengusaha, maka ini sama saja dengan upaya berlebihan untuk mendapatkan pendengar tentang kisah sukses anda. Mengutip seorang teman baik saya, ini terjadi karena minimnya budaya, pola pikir dan wawasan yang sudah dialami. Daripada bicara tentang sukses, bagaimana kalau sesuatu yang ringan dan lucu saja? Layak dipikirkan... 

PS: istri saya kadang heran, kenapa saya mau-maunya meluangkan waktu untuk bertemu berbagai teman. Pertama-tama, saya, Endrico dan yang lainnya adalah tuan rumah di Singapura. Tamu yang mampir tidak akan kita abaikan. Ini penting, sebab saya tidak akan memiliki hari ini pula jika bukan karena teman-teman. Yang kedua, dan ini condong bersifat pribadi, karena bertemu dengan orang lain membuat saya terinspirasi. Interaksi dan ucapan yang saya dengar sering membuat saya berpikir dan menulis. Ini yang saya sukai. 

Thursday, December 26, 2024

Tetralingo

This story began in July 2024, when I was waiting for my muifan. When I was browsing the news on my phone, I suddenly saw the ad of Duocards (the wooly mammoth was eye-catching). As I always had an interest in language learning, it piqued my curiosity. I checked with my friends on the group chat to see if anyone had tried learning language via app. Turned out that Surianto had already been using Duolingo, so I tested it out, too.

Duolingo felt natural whereas Duocards required much effort to understand what it was all about. I quickly dropped the latter and continued with Duolingo. As I worked at a Chinese company, it was a common sense to pick up Chinese. I also resumed studying French. Always love the language as it sounded sexy. 

The two accounts.

Because I started Duolingo on iPad using my Apple ID, I realized that I wouldn't be able to use it on my Google Pixel. This is how I ended up with two accounts. As I proceeded with my second account, I chose another two languages, this time Dutch and Russian. In total, I learnt four languages concurrently.

But how does learning four languages at one go feel like? The answer is, surprisingly, pretty seamless. First of all, thanks to the learning streaks, we see the words everyday. So often that they gradually grew on you. I was also amazed to discover how the brain could actually adjust to what I was learning. For example, doing one Chinese lesson and then switching to French immediately after that was actually not a problem.

Acing Chinese.

What could be challenging was the human nature to embrace the new language with what we already knew. In this case, my benchmark was English. I'd say something like, "I eat at the French restaurant," but in French, it became, "je mange au restaurant français." So français came after the word restaurant. The grammar could be confusing at times. 

As I picked up four languages at once, I noticed that the lessons created for each language could be quite different. French language has the most advanced features such as stories and games catered for listening and speaking skills. It even had a bit of pointers for grammar. But the other three, especially Dutch, had almost none, so you had to figure it out yourself.

About the languages, I am familiar with Chinese and I am able to read pinyin, so it is more of a refresher course for daily practice and also for knowledge expansion. 

French is my real love and it is fun learning it. Some parts, like how to differentiate le and la, have no proper explanation and you just have to memorize them. 

The word rekening is also used in Bahasa Indonesia.

Dutch is more for a historical reason, since Bahasa Indonesia took a lot of words from the Dutch language. As a matter of fact, the way we read the words is quite similar with Bahasa. But as I progress, I find that the grammar was very challenging! 

As for Russian, it was almost like encrypted alphabets. Every sentence was a riddle, but the structure somehow felt rudimentary. Instead of spelling them out word by word, the sentence could be very short instead. For instance, rather than saying, "Mark is a politician," you can say it like this in Russian: Марк — политик.

Now, after 149 days of learning, what's the result? Let's try out. Here goes nothing:

我是姓李. 我叫玉軒. 我每天学习汉语. 我会说, 也会听一点中文, 但死不会读. 可是我会懂拼音. 我用拼音慢慢写, 慢慢读. 还可以吧! 现在最总要的是跟你们说话!

J'apprends aussi le français. J'adore français. J'aime écouter Luc et Sylvie parler dans l'émission de télévision, Emily à Paris. Très bon, mais difficile à comprendre, haha.

Ik studeer ook Nederlands. Ik wil naar Amsterdam. Wil het eten proberen en het uitzicht gezien. Nederlands is makkelijk te lezen, maar moeilijk te schrijven. Het kan heel anders zijn dan Engels.

Русский язык не легкий. Я умею читать, но не умею писать. 

So there you go! My work in progress! Not sure how it is going to be, but it's surely fun while it lasts! 

2024 year in review.





Tetralingo

Cerita kali ini dimulai di bulan Juli 2024, sewaktu saya menanti muifan di That Coffee Place pada saat makan malam. Selagi melihat-lihat berita di telepon genggam saya, tiba-tiba tampak iklan Duocards (saya suka gajah purba yang menjadi logonya). Karena saya ada ketertarikan dengan belajar bahasa, saya jadi ingin mencari tahu lebih lanjut di grup SMA. Ternyata Surianto sudah mulai belajar menggunakan Duolingo, jadi saya pun ikut mencoba. 

Duolingo terasa lebih alami sementara Duocards memerlukan banyak upaya untuk memahami cara penggunaannya. Saya lantas berhenti menjajaki Duocards dan lanjut dengan Duolingo. Karena saya bekerja di perusahaan Cina, maka saya pun memilih pelajaran Mandarin. Selain itu saya juga meneruskan pelajaran Perancis. Saya suka bahasanya yang terdengar seksi.

Dua akun saya.

Karena saya memulai Duolingo di iPad menggunakan Apple ID, saya lantas menyadari bahwa saya tidak akan bisa lanjut berlatih dengan Google Pixel. Inilah sebabnya kenapa saya memiliki dua akun. Di akun kedua, saya memilih bahasa Belanda dan Rusia. Secara keseluruhan, saya belajar empat bahasa secara bersamaan. 

Namun bagaimana kesannya belajar empat bahasa sekaligus? Jawabannya, menurut saya, cukup lancar. Karena Duolingo memiliki fitur streaks yang membuat pengguna termotivasi untuk belajar setiap hari, lama-kelamaan kita jadi hafal dengan kata-kata yang sering diulang. Saya juga tertegun tatkala menyadari bagaimana otak kita ini bisa beradaptasi dengan baik sewaktu belajar. Sebagai contoh, saya bisa belajar satu pelajaran Mandarin dan pindah ke bahasa Perancis segera setelah itu. Tidak ada masalah. 

Nilai 100 untuk Mandarin.

Apa yang terasa menantang adalah bagaimana kebiasaan kita dalam menyikapi bahasa baru dengan apa yang sudah kita ketahui. Dalam hal ini, patokan saya adalah Bahasa Inggris. Sebagai perbandingan, saya mengucapkan, "I eat at the French restaurant," tapi dalam bahasa Perancis, kalimatnya berubah, "je mange au restaurant français." Jadi français berada di posisi setelah kata restaurant. Struktur kalimat yang berbeda ini bisa terasa membingungkan. 

Karena saya belajar empat bahasa, saya jadi bisa melihat bahwa pelajaran untuk setiap bahasa ini berbeda-beda. Bahasa Perancis paling beragam pelajarannya dan mencakup cerita dan game yang dirancang untuk melatih pendengaran dan pengucapan. Bahasa Perancis ini juga memiliki petunjuk untuk tata bahasa. Tiga bahasa lainnya boleh dikatakan tidak ada sehingga kita sendiri yang harus memperhatikan pola tata bahasa yang sedang dipelajari. 

Tentang bahasa yang saya pelajari, saya paling berpengalaman dengan Mandarin. Saya juga bisa membaca pinyin, jadi apa yang saya pelajari lebih cenderung untuk mengingat kembali dan juga menambah wawasan. 

Bahasa Perancis adalah bahasa yang saya sukai dan untuk dipelajari. Kendati begitu, beberapa bagian seperti mengidentifikasi penggunaan le dan la tidak memiliki penjelasan yang baik sehingga satu-satunya cara adalah harus dihafal. 

Kata rekening berasal dari Bahasa Belanda.

Bahasa Belanda saya ambil lebih condong karena sejarah Bahasa Indonesia yang menyerap kata-kata dari bahasa tersebut. Cara bacanya pun mirip. Namun setelah dipelajari, tata bahasanya cukup memusingkan juga! 

Akan halnya bahasa Rusia, huruf-hurufnya seperti sandi. Setiap kalimatnya jadi terlihat seperti teka-teki, namun uniknya Bahasa Rusia ini adalah tata bahasanya yang primitif. Bukannya kata per kata seperti lumrahnya bahasa lain, Bahasa Rusia ini kadang terasa ringkas. Misalnya dalam bahasa Inggris, kalimatnya lengkap seperti ini, "Mark is a politician," namun dalam Bahasa Rusia, cukup begini: Марк — политик.

Nah, setelah belajar selama 149 hari, bagaimana hasilnya? Mari kita coba: 

我是姓李. 我叫玉軒. 我每天学习汉语. 我会说, 也会听一点中文, 但死不会读. 可是我会懂拼音. 我用拼音慢慢写, 慢慢读. 还可以吧! 现在最总要的是跟你们说话!

J'apprends aussi le français. J'adore français. J'aime écouter Luc et Sylvie parler dans l'émission de télévision, Emily à Paris. Très bon, mais difficile à comprendre, haha.

Ik studeer ook Nederlands. Ik wil naar Amsterdam. Wil het eten proberen en het uitzicht gezien. Nederlands is makkelijk te lezen, maar moeilijk te schrijven. Het kan heel anders zijn dan Engels.

Русский язык не легкий. Я умею читать, но не умею писать. 

Jadi demikianlah hasilnya. Saya tidak tahu akan seperti apa nantinya, tapi yang jelas nikmati saja selagi seru! 

Hasil di tahun 2024.

Saturday, December 21, 2024

Tanjung Balai Karimun

When we did the Pontian trip in August, I had this vision that we could go to Kukup and continue to Tanjung Balai Karimun. However, since it was a magical mystery tour and the next destination was decided by majority, even the proud owner of Robinson Travel would have to follow the crowd. That's how we ended up returning to Johor Bahru and staying overnight in KSL area after our failed attempt to Batam. 

That didn't mean Tanjung Balai was forgotten, though. I still thought that perhaps I should go and take a look. Therefore another trip was planned, this time with my colleagues. The weekend getaway was to be done right after I came back from my Beijing trip. Ferry tickets were booked when I returned to Singapore, but I couldn't get the rooms at Aston, so I eventually settled with Holiday Karimun Hotel due to its proximity to the seaport. 

The arrival!

Together with me were Emerson and Nicholas. James was supposed to be there, too, but he had to cancel due to unforeseen circumstances. We met at Harbourfront and after the two-hour ferry ride, we reached Tanjung Balai in the afternoon. We queued for a while to get our passports stamped, then we stepped out... and travelled back in time.

In 2015, I went to Tanjungpinang. It was mind boggling because the town was so rundown. But at least it had a plaza or two. Fast forward to nine years later, here I was in Tanjung Balai. There was neither malls nor cinemas. The city centre is this tiny Chinatown area that consists of three main roads and it is about 1,5 KM from one end to another. 

Our late lunch at Andrew's Kitchen.

After check-in, as we walked from our hotel to Andrew's Kitchen, we literally covered the city centre in 20 minutes. We had lunch, walked back to Hotel Maximilian for massage, returned to hotel and showered, then called Gojek to Long Beach, which is like two minutes away from Hotel Maximilian. 

Long Beach is a seafood restaurant and at SGD 76 for three, it was the most expensive meal we had in Tanjung Balai. The crab in Padang sauce was especially nice. It was there that we noticed a lot of Indians visiting the town. Later on, when Agu the restaurant owner gave us a lift to Aston Hotel, he told us that Indians from Malaysia go to Tanjung Balai whereas the Chinese from Singapore will visit Batam instead.

At Long Beach.

We wanted to chill at this club called Champion Executive at Aston, but it turned out that the club was closed for renovation, so we called Maxim and headed to Hotel Satria. A bit about Maxim here, it was more popular than Gojek because the fee was cheaper. As a matter of fact, the two times I called Gojek, I got the same guy. He was probably the only Gojek driver in town! 

Now, Hotel Satria felt a bit dodgy. It had a club, but it was either the music was too loud or we were too old that we decided the scene wasn't for us. We asked if there was a place for us to sit and drink, then we were redirected to a table between entrance and receptionist desk. It was just odd to be there!

After finishing our beer, we moved to Wiko Star Club, which was just about 60 meters away. The club was equally loud, but it caught our attention that Wiko had a microbrewery, so we decided to sit outside and try out the beer. Quite decent, I'd say, but when the beer was downed, so our night was done, too. I fired up my Maxim and got a ride back to our hotel.

In front of Channel-U Bak Kut Teh.

The next day, the breakfast was so awful that we chose to replenish our food intake at Channel-U Bak Kut Teh that is located across the street. It was quite delicious and Channel-U was there to cover it a long while ago, hence the name. We ordered not only bak kut teh, but also mutton soup and, for me, pork porridge. 

After breakfast, we went for the one and only sightseeing for the day: Pelawan Beach. I contacted Pandy, our Maxim driver from the night before to bring us there. It was about 15 KM from where we were. We had a quick walk when we got there, then return to the city for foot reflexology for an hour. It was timed pretty well, just nice for us to check out, had our lunch at Restoran Sederhana and headed to the seaport for our ferry ride back to Singapore.

Pelawan Beach.

Looking back, I couldn't help finding it funny how Tanjung Balai overtook Tanjungpinang's reputation in my mind as the most rundown town in Indonesia. I like the mind blowing feeling. For Nicholas, the last time he went there was 27 years ago. We were kidding that if we were to go there again 20 years later, he'd be in his 70s by then. But hey, never say never!



Tanjung Balai Karimun

Ketika kita berlibur ke Pontian di bulan Agustus, saya membayangkan bahwa kita bisa ke Kukup dan lanjut ke Tanjung Balai Karimun. Namun karena liburan tersebut bertema perjalanan misteri, maka destinasi berikutnya pun ditentukan oleh mayoritas peserta. Bahkan Robinson Travel pun hanya bisa menurut. Kita akhirnya kembali ke Johor Bahru dan bermalam di kawasan KSL setelah upaya ke Batam gagal.

Akan tetapi ini tidak berarti Tanjung Balai telah terlupakan. Saya ingin melihat-lihat karena saya sudah begitu lama di Singapura, tapi tak pernah ke sana. Oleh karena itu liburan ke Tanjung Balai pun direncanakan lagi, kali ini bersama teman-teman kantor. Kita akan pergi setelah saya kembali dari Beijing. Tiket feri pun dibeli sehari sebelum keberangkatan, tapi Hotel Aston ternyata sudah penuh, jadi saya akhirnya memesan kamar di  Holiday Karimun Hotel yang dekat dengan pelabuhan.  

Waktu kita tiba!

Rekan-rekan seperjalanan saya adalah Emerson dan Nicholas. James juga seharusnya ikut, tapi dia akhirnya batal karena ibunya kurang sehat. Kita bertemu di Harbourfront dan setelah naik feri selama dua jam, kita tiba di Tanjung Balai pada sore hari. Setelah antri sejenak untuk cap paspor, kita melangkah keluar... dan kembali ke masa lalu. 

Di tahun 2015, saya pergi ke Tanjungpinang. Ini adalah satu pengalaman yang sangat membekas karena begitu terbelakangnya kota ini. Namun setidaknya Tanjungpinang memiliki satu atau dua pusat perbelanjaan. Sembilan tahun kemudian, saya berada di Tanjung Balai, kota yang bahkan tak ada mal dan bioskop. Pusat kotanya bernuansa Pecinan dan terdiri dari tiga ruas jalan, kira-kira 1,5 KM dari ujung ke ujung. 

Saat makan siang di Andrew's Kitchen.

Setelah menaruh tas, kita berjalan kaki dari hotel ke Andrew's Kitchen. Dalam 20 menit, pusat kotanya selesai kita jelajahi. Kita makan siang, mampir ke Hotel Maximilian untuk pijat, lalu kembali ke hotel kita dan mandi. Selanjutnya saya memanggil Gojek dan menuju ke Long Beach yang berjarak tempuh kira-kira dua menit dari Hotel Maximilian. 

Long Beach adalah restoran seafood dan dengan bon seharga 912.000 rupiah untuk tiga orang, ini adalah menu termahal kita di Tanjung Balai. Kepiting saus Padang-nya sedap nian. Selama bersantap malam, kita melihat banyak Indian. Setelah itu, selagi mendapat tumpangan dari Agu si pemilik restoran, dia bercerita bahwa Indian dari Malaysia biasanya ke Tanjung Balai sementara Tionghoa asal Singapura cenderung pergi ke Batam. 

Emerson dan Nicholas di Long Beach.

Kita maunya bersantai di klub yang bernama Champion Executive di Aston, tapi ternyata klub tersebut tutup karena renovasi. Oleh karena itu, kita pindah ke Hotel Satria menggunakan Maxim. Oh ya, bicara tentang Maxim, aplikasi ini lebih populer dari Gojek karena ongkosnya lebih murah. Berdasarkan pengalaman saya, dua kali saya memanggil Gojek, yang muncul selalu orang yang sama. Dia mungkin satu-satunya pengemudi Gojek di kota ini! 

Hotel Satria terasa agak janggal. Hotel ini ada klub, tapi entah musiknya yang terlalu keras atau kita yang sudah berumur, pokoknya terasa tidak cocok. Saya lantas bertanya, apakah ada tempat yang lebih santai buat kita untuk menikmati bir. Siapa sangka kita malah dibawa ke meja di antara pintu depan dan resepsionis yang penuh dengan orang berlalu-lalang. Janggal sekali rasanya! 

Setelah menenggak sekaleng Bir Bintang, kita berjalan ke Wiko Star Club yang berjarak sekitar 60 meter. Klub ini sama ributnya, tapi kompleks Wiko juga memiliki tempat pembuatan bir, jadi kita duduk di luar dan mencoba. Yang hitam cukup nikmat, namun berakhirnya bir juga berarti berakhirnya malam kita di Tanjung Balai. Saya menyalakan Maxim dan memanggil kendaraan untuk pulang. 

Di depan Channel-U Bak Kut Teh.

Di hari berikutnya, sarapan paginya begitu mengenaskan, sampai-sampai kita pindah ke seberang jalan untuk bersantap di Channel-U Bak Kut Teh. Kelezatannya bisa diacungi jempol dan beberapa waktu lalu memang sempat diliput oleh Channel-U Singapura. Kita memesan bak kut teh, sup kambing dan juga bubur babi untuk saya. 

Selesai bersantap, kita menuju ke Pantai Pelawan. Saya menghubungi Pandy, supir Maxim dari malam sebelumnya. Dia lalu membawa kita ke pantai yang berjarak 15 KM dari tempat kita. Setibanya di sana, kita mengitari pantai sejenak dan lalu kembali ke kota untuk pijat refleksi kaki. Estimasi saya cukup baik sehingga kita masih sempat check-out, makan siang di Restoran Sederhana dan akhirnya kembali ke Singapura. 

Pantai Pelawan.

Kalau dilihat kembali lagi, saya agak geli juga dengan prestasi Tanjung Balai yang mengambil alih reputasi Tanjungpinang sebagai kota paling terbelakang di benak saya. Rasanya seperti mengguncang pemahaman saya selama ini. Bagi Nicholas, terakhir kalinya dia ke Tanjung Balai adalah 27 tahun silam. Saya bercanda bahwa kita akan kembali lagi 20 tahun kemudian, saat dia berusia 70an. Dia turut tertawa, tapi siapa tahu sungguh terjadi nanti! 


Tuesday, December 17, 2024

Beijing At Last

I had been visiting China since 2009 and in the past 15 years, I had gone to many cities such as Nanning, Guangzhou, Hangzhou, Nanjing, Xi'An and many more. But Beijing was glaringly missing from the list. The truth is, the trip to Beijing was supposed to happen back in 2015 as part of the China-Mongolia adventure. However, the plan was immediately scrapped when I heard of Paul McCartney's return to Japan after his failed concerts a year before. 

The route from Beijing to Ulaanbaatar via Inner Mongolia was not mentioned again until the night Eday and I waited for our flight to depart from Phuket earlier this year. From the look of it, it wasn't going to materialize next year, though. It was safe to say that I didn't have a solid plan to Beijing so far, hence imagine my surprise when a plan was made for me instead.

I was never a fan of business trip and winter, but it was just my luck that both came together at the same time, haha. So off we went on the day John Lennon was shot 44 years ago. Call me superstitious, but I did find it unsettling to fly on that day! When we landed in Beijing, I volunteered to travel to the city with my Thai colleague Kun Bank as the car that picked us up was meant for four passengers only. I got to be sneaky, of course, so we took the metro instead!

One night in Beijing!

When we stepped out of the station, the sky had turned dark. It was my first experience of Beijing's winter. I remembered the snowy Gala Yuzawa, but it was nowhere as cold as the -2° Celcius windy night in Beijing! After check-in, we walked a bit to have dinner at Rhapsody. Our host Yinxue ordered the Peking Duck, my first in many years, and it was definitely better than ones I had before. The skin melted in my mouth, making the one I had at Gold Mine in London felt like a joke. 

Since business trip was about work, the next three days were filled exactly with that. Professionalism and hospitality of our Chinese counterpart were impeccable, but came the night and I experienced the culture of Beijing: the brilliant Chinese cuisines as well as the legendary drinking that I heard many times before. 

From left: baijiu, beer, huangjiu.

The first time I had baijiu, I was surprised by how tiny the glass was that I spontaneously made a remark about it. Only when it was poured for me that I realized why the locals used such a small glass to drink it. Baijiu was so potent because it contained 52% alcohol! That, together with the drinking etiquette, could get you high real quick!

Another one worth mentioning is huangjiu that looks like tea and has an acquired taste. The one I drank was seasoned with sliced ginger. Before it was served, it was heated up beforehand. Alcohol level was about 15%. Easier to drink than baijiu, I'd say. 

In front of Tiananmen with Edward, Fulton and Tay Hwee.

The last day we were there, we had a glimpse of Tiananmen and the Forbidden City. It was quite rush, but our host Zhao Yang did his best to provide the info as we walked through the historical site. One interesting fact was how a concubine was selected to accompany the emperor for the night. It was like drawing lots and the name that came out would have the honour to sleep with the emperor. 

After lunch and another round of the fearsome baijiu, we headed to the airport. While I managed to send a postcard and sample the KFC, the whole trip didn't feel right. I definitely need to do a proper visit to Beijing one day. And may be short visit to Tianjin, too, for a Hard Rock t-shirt. It's a wishlist that didn't happen this time...



Akhirnya Ke Beijing Juga

Saya sudah mengunjungi Cina dari sejak tahun 2009 dan selama 15 tahun terakhir, saya telah pergi ke cukup banyak kota seperti Nanning, Guangzhou, Hangzhou, Nanjing, Xi'An dan masih banyak lagi. Tapi Beijing tak ada dalam daftar kota yang telah dikunjungi. Sebenarnya liburan ke Beijing pernah dicanangkan di tahun 2015 sebagai bagian dari petualangan Cina-Mongolia. Namun rencana tersebut langsung bubar begitu saya mendengar bahwa Paul McCartney akan kembali ke Jepang setelah konser yang batal setahun sebelumnya.

Rute dari Beijing ke Ulanbator lewat provinsi Mongolia Dalam pun tak pernah disebut lagi hingga suatu malam di awal tahun ini, ketika saya dan Eday bercakap-cakap saat menantikan keberangkatan pesawat dari Phuket ke Singapura. Kendati begitu, tampaknya rute ini takkan terwujudkan tahun depan. Bisa dikatakan sejauh ini saya tidak memiliki rencana yang matang untuk Beijing, maka bayangkan betapa terkejutnya saya ketika semuanya justru direncanakan untuk saya.

Saya tidak pernah menggemari perjalanan bisnis dan musim dingin, tapi siapa sangka dua-duanya terjadi pada saat yang bersamaan? Haha. Jadi saya pun berangkat di hari John Lennon ditembak 44 tahun silam. Anda boleh anggap saya percaya takhayul, namun saya merasa tidak nyaman selama penerbangan. Ketika kita mendarat, secara sukarela saya menawarkan diri untuk menuju kota bersama rekan Thai saya yang dipanggil Kun Bank karena mobil yang hendak kita tumpangi hanya bisa membawa empat penumpang. Namun tentu saja saya tidak benar-benar patuh dan iseng menjajal metro dari bandara ke kota. 

Suatu malam di Beijing.

Tatkala kita melangkah keluar dari stasiun, langit sudah terlihat gelap. Dan angin pun berhembus, membuat saya teringat dengan Gala Yuzawa yang bersalju, tapi tidak sedingin malam bertemperatur -2° Celcius di Beijing! Setelah check-in, kita berjalan ke restoran Rhapsody. Tuan rumah kita, Yinxue, memesan Bebek Peking. Ini adalah Bebek Peking saya yang pertama setelah bertahun-tahun lamanya dan sungguh lebih lezat daripada apa yang pernah saya cicip sebelumnya. Kulit bebeknya bagaikan meleleh sebelum saya kunyah, begitu lezatnya sehingga apa yang saya makan di restoran Gold Mine di London terasa seperti lelucon.

Karena perjalanan bisnis adalah tentang kerjaan, maka tiga hari berikutnya diisi dengan banyak pertemuan dan diskusi. Profesionalisme dan keramahan rekan-rekan Cina sangat mengagumkan, namun tibalah malam dan say pun mengalami budaya Beijing yang telah saya dengar: aneka makanan Cina yang diselingi alkohol. 

Dari kiri: baijiu, bir, huangjiu.

Saat saya melihat baijiu untuk pertama kalinya, saya heran dengan kecilnya gelas arak, sampai-sampai saya spontan berkomentar. Baru setelah arak dituangkan, saya mengerti kenapa orang lokal menggunakan gelas kecil untuk menenggak minuman keras ini. Baijiu memiliki kandungan alkohol setinggi 52%! Hal ini, ditambah lagi dengan etiket minum di Beijing, bisa membuat anda cepat mabuk! 

Satu lagi yang juga layak disebutkan adalah huangjiu yang terlihat seperti teh dan memiliki rasa yang khas. Huangjiu yang saya minum sudah direndam dengan irisan jahe dan dipanaskan sebelum disajikan. Kandungan alkoholnya sekitar 15%. Lebih gampang diminum daripada baijiu, saya rasa.

Di depan Tiananmen bersama Edward, Fulton dan Tay Hwee.

Di hari terakhir saya di Beijing, saya berkesempatan untuk mampir ke Tiananmen dan Istana Terlarang. Waktu kita tidak banyak, tapi kolega kita Zhao Yang sigap memberikan informasi selagi kita melihat-lihat. Satu hal menarik adalah kisah tentang bagaimana selir dipilih untuk menemani kaisar tidur. Jadi sistemnya seperti cabut undi dan yang beruntung akan mendapatkan kehormatan untuk tidur dengan kaisar. 

Setelah makan siang dan satu ronde baijiu lagi, kita akhirnya berangkat ke bandara. Meski saya sempat mengirim kartu pos dan mencicipi KFC, perjalanan ini terasa tidak sedap. Saya harus berlibur ke Beijing lagi suatu hari nanti. Dan mungkin juga singgah ke Tianjin untuk membeli kaos Hard Rock. Ini adalah impian yang belum terwujudkan kali ini...

Sunday, December 15, 2024

Jony Wong: From Pontianak To Ningbo

It's not everyday you hear about a friend who's still living in your hometown getting a job in China, so I was happy and also quite intrigued when I heard the news from my friend Jony. It was like, wow, that was impressive. How did he get the job? What would he think about China?

But before we go further, let's have a proper introduction about Jony first. Good looking and popular since school days, Jony is a well-known MC and EO in Pontianak for the past 20 odd years. We got him to participate in our reunion as well in 2018 because who could do a better job than the local celebrity of our generation?

Jony the MC.

The story of Jony's journey to Ningbo began roughly two years ago, when a China company called Deli expanded their business to Pontianak. It happened that our friend Hendry, who's also one of Jony's closest buddies, was the main distributor. Thanks to the relationship, any Deli events organized in Pontianak were entrusted to Jony. The success were eventually recognized first by Jakarta and then China. 

Then came the day when he was asked to host an event at Deli's headquarter in Ningbo. Of all the possible candidates from Indonesia, the one from Pontianak was selected! It was almost unbelievable. So you could imagine how excited Jony was. But then... How about language? Did he need to host in Chinese?

He got a ticket to ride!

Luckily the organizer confirmed that Bahasa Indonesia was the main prerequisite. English and Chinese were good to have. So off he went, after he finished doing a meticulous preparation. In fact, I got to know about this because he asked about a couple of things related to his preparation. I informed him about the internet data and told him that he could ask Gunawan further as we just came back from China earlier this year. 

And the hype was built. When Jony posted the good news on his social media account, those who knew him were supportive. It was his first and farthest overseas job to date! And from Pontianak, Jakarta, Shenzhen to Ningbo, it was far indeed! When the event finally took place, Jony got by with a little help from Google Translate. Speaking Chinese was unavoidable!

Traveling to Ningbo.

But result was good. While he was there, Jony was offered another job in Jakarta. He texted me about it as I arrived in Tanjung Balai Karimun. Good for him! But of course I was curious the most about how did it feel for a fellow from Pontianak to see China for the first time ever?

And Jony witnessed another myth busted. The gossip about how dirty and smelly China had been around forever, but Jony encountered nothing like that. To be there himself was an eye opener. It also certainly helped to convince him to work harder, save more money and bring his family to travel and see the world!

Exploring China at night.





Jony Wong: Dari Pontianak Ke Ningbo

Tidak setiap hari anda mendengar tentang seorang teman yang masih tinggal di kampung halaman anda tiba-tiba mendapatkan pekerjaan di Cina, jadi saya turut bergembira dan tergelitik untuk bertanya lebih lanjut ketika Jony memberi kabar. Saya merasa terkesan, penasaran tentang asal mula cerita dan apa pula pendapatnya tentang Cina. 

Akan tetapi, sebelum kita membahas lebih jauh, mari saya perkenalkan sedikit dulu tentang Jony. Teman saya ini tampan dan populer pula di zaman sekolah. Selama dua dekade terakhir, dia juga dikenal sebagai MC dan EO di Pontianak. Di tahun 2018, kita juga mengundangnya untuk mengisi acara reuni, sebab siapa lagi yang lebih cocok kalo bukan selebritis lokal dari generasi kita sendiri? 

Jony sang MC.

Nah, kisah petualangan Jony ke Ningbo ini bermula kira-kira dua tahun silam, ketika perusahaan Cina bernama Deli mulai ekspansi ke Pontianak. Seorang teman bernama Hendry yang juga merupakan karib Jony ini menjadi distributor utamanya. Berkat hubungan kerja ini, acara Deli di Pontianak pun dipercayakan pada Jony. Suksesnya kemudian bergaung, pertama di Jakarta, lalu ke Cina. 

Lantas tibalah harinya di mana dia diminta untuk memandu acara di markas besar Deli di Ningbo. Dari sekian banyak kandidat yang berbakat di seantero Indonesia, yang terpilih justru yang berasal dari Pontianak. Jadi bisa anda bayangkan betapa terperanjat dan senangnya Jony. Tapi bagaimana pula dengan kendala bahasa? Apakah dia harus bercakap-cakap dalam bahasa Mandarin sepanjang acara? 

Siap bertugas!

Pihak perusahaan meyakinkannya bahwa Bahasa Indonesia tetap merupakan syarat utama. Inggris dan Mandarin cuma nilai tambah. Jadi berangkatlah Jony setelah persiapan yang matang. Saya sendiri tahu kabar ini karena dia menghubungi saya untuk menanyakan beberapa hal tentang Cina. Saya ceritakan tentang data internet dan berujar bahwa dia bisa tanya Gunawan untuk tahu lebih lanjut karena kita baru saja ke Cina awal tahun ini. 

Dan kabar tentang kiprah Jony pun berhembus. Sewaktu Jony pos di akun media sosialnya, para kenalan sangat suportif dengan prestasinya. Ini adalah pekerjaan di luar negeri yang pertama dan terjauh baginya! Dan dari Pontianak, Jakarta, Shenzhen ke Ningbo, perjalanannya sungguh jauh! Ketika tiba hari-H, Jony mencetak sukses dengan sedikit bantuan Google Translate. Bicara Mandarin di Cina memang tidak terelakkan! 

Perjalanan ke Ningbo.

Tak disangka hasil yang baik ini membuahkan kejutan lain pula. Selagi berada di Ningbo, Jony juga ditawarkan acara lain di Jakarta! Dia memberikan kabar saat saya berlabuh di Tanjung Balai Karimun. Sekali lagi saya ikut bersuka-cita. Namun saya juga penasaran, apa sudut pandang orang Pontianak yang melihat Cina untuk kali pertama? 

Apa yang dialami Jony adalah mitos yang terkuak. Telah beredar sejak lama bahwa Cina itu kotor dan bau, tapi Jony tidak melihat yang seperti itu. Berada di sana dan melihat sendiri adalah satu hal yang membuka wawasan. Selain itu, Jony juga tambah yakin bahwa dia perlu bekerja lebih keras dan menabung lebih banyak lagi untuk membawa keluarganya melihat dunia! 

Jalan-jalan malam di Cina.

Saturday, December 7, 2024

A Different Exposure

My daughter graduated from her primary school recently. As she moved on to the next phase, we went through quite a fair bit of processes and eventually my wife shared that she felt I was barely involved in a lot of things. And anything about education, in general. That got me thinking for a while: what gives? 

And I immediately thought of the time when I wrote about why people are different. I remember the moment when I got into secondary school. It was quite a straightforward decision I made after checking with my friend Rudy. Years later, long after I completed my education in my hometown Pontianak, here I am, speaking English and doing just fine in Singapore. 

Now that I really thought of it, indeed it was a different kind of exposure. A rather unusual one, if compared with what most of my peers had gone through. It turned out well for me, but at the same time, I ended up having a very different view in life. 

I failed to see why the secondary school registration was a big deal. I also had this mindset that, if I could do it with only education from a small town that didn't speak English at all, I couldn't see how my daughter who studied here in Singapore could fare any worse. I don't think I'm stubborn, but I am just not convinced that I should worry a lot about her education. She definitely has it better than me. 

The question now is more of how she responds to and appreciates the education she has here. In this case, my role model as a Dad is Lawrence. Oh yes, the same Lawrence who visited Pontianak and went to China with me. I think he did great with his kids. And he told me back in December 2020 that he always encouraged the kids to dig deeper and think. Now that they all grew up, they look all right, cheerful and they love their father dearly. 

Lawrence's experience makes sense to me. I can certainly relate with that. If my daughter Linda is anything like me, then encouragement is the way to go. She just needs to love what she's doing and she'll excel. Throughout the first twelve years of her life, I already tried my best to give her the happiest childhood I could provide. I allow her to fail and learn from her mistakes, too. I guess the next step is to help her learning and loving what matters for her in the next phase of her life...

Father and daughter.



Pengalaman Yang Berbeda

Putri saya baru-baru ini lulus SD. Dia naik ke jenjang berikutnya dan kita pun ikut sibuk dengan proses pendaftaran sekolahnya. Suatu hari, istri saya berkomentar bahwa saya hampir tidak terlibat apa-apa dalam hal ini dan juga perihal edukasi secara umum. Saya jadi tertegun dan berpikir: kenapa begini, ya? Apa yang salah? 

Dan saya lekas teringat dengan tulisan saya tentang kenapa setiap orang berbeda. Saya juga terkenang dengan saat saya masuk SMP. Kala itu saya cuma bertanya pada Rudy, apakah kita daftar ke Petrus. Bertahun-tahun setelah saya menyelesaikan pendidikan di Pontianak, di sinilah saya berada, berbicara dalam bahasa Inggris dan baik-baik saja di Singapura. 

Kalau saya pikirkan kembali, sepertinya pengalaman saya ini berbeda. Proses yang saya lalui ini boleh dikatakan tidak lumrah pula apabila dibandingkan dengan apa yang rata-rata dialami oleh teman dan kenalan saya. Walau baik hasilnya untuk saya, di saat bersamaan, saya jadi memiliki pandangan yang berbeda. 

Alhasil saya tidak paham kenapa pendaftaran SMP perlu dikerjakan dua orang tua. Saya juga memiliki pola pikir bahwa bila saya yang hanya berbekal pendidikan dari kota kecil yang tidak berbahasa Inggris pun bisa bersaing di Singapura, maka tidak ada alasan kenapa putri saya yang lahir dan sekolah di sini bisa lebih buruk hasilnya. Saya rasa saya tidak keras kepala, tapi saya tidak yakin saya harus sedemikian khawatirnya dengan pendidikan anak saya. Dia jelas memiliki pendidikan yang lebih baik dari saya. 

Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana dia menyikapi pendidikan yang ada. Dalam hal ini, teladan saya sebagai seorang ayah adalah Lawrence. Ya, Lawrence yang sama, yang pernah ke Pontianak dan ke Cina bersama saya. Suatu ketika di bulan Desember 2020, dia bercerita bahwa dia selalu mendorong anak-anaknya untuk berpikir dan memahami tentang manfaat pendidikan bagi diri mereka. Sekarang mereka sudah dewasa dan mereka terlihat baik, gembira dan menyayangi ayahnya. 

Pengalaman Lawrence ini masuk akal bagi saya dan saya bisa merasakan relevansinya. Jika Linda memiliki karakter yang sama seperti saya, maka dukungan adalah apa yang dia butuhkan. Dia hanya perlu menyukai apa yang dia kerjakan dan dia akan berhasil di bidangnya. Selama 12 tahun pertama dalam hidupnya, saya sudah sedaya upaya memberikan masa kecil yang gembira untuknya. Saya juga mengawasi dan memberikannya kesempatan untuk berbuat salah dan belajar dari kegagalannya. Saya kira langkah berikutnya adalah membantunya belajar dan mencintai apa yang penting baginya di fase selanjutnya...