Total Pageviews

Translate

Saturday, February 1, 2025

Twelve Going On Thirteen

I have a confession. When your daughter is living under the same roof for the past 12 years with you and you see her everyday, it's easy to forget that she actually grows up and isn't always the same person you think you know. 

When I sat on my working desk at home and an older photo of Linda suddenly popped up on Google Nest Hub, I was reminded that she used to have a bang. Upon seeing that, it felt like, "oh my, when did her hairstyle change again?"

Things like this happened gradually that it escaped my attention. It also didn't help that Linda looked much younger than her peers. To put it mildly, elle est petite. On top of that, she was so comical that I could have failed to notice she did a good job growing up. 

Until the situation dictated otherwise. That's when I found out and felt so proud of her. Case in point, during the recent Chinese New Year's Eve. As I was about to leave office late in the afternoon, there was an emergency at home. Her younger sister Audrey looked seriously ill and Linda was the first to realize that. Then, when her mum got busy taking care of Audrey, Linda immediately called 999 for ambulance and reached out to me afterwards. 

It went well thanks to Linda. Now that I got time, I looked back, talked to her and thought about it. And I smiled. My daughter wasn't a kid anymore. She was going to be a teenager soon and in the time of need, she was calm and dependable, apparently. She remembered the number to call, she could handle a conversation with a police officer and she knew her own address. Well, not entirely, but she walked out of the front door to check our unit number.

In short, she got the job done singlehandedly. I never expected that, so it was a really nice surprise. Despite her antics, she was reliable. And I couldn't be more impressed. She might not be academically genius, but I somehow had a feeling that she'll be doing just fine in life...



Linda and her Gen Alpha lingo. 


Usia 12 ke 13

Saya ada sebuah pengakuan. Bila putri anda tinggal bersama anda dan anda melihatnya setiap hari, kadang kita bisa lupa bahwa dia tumbuh kian dewasa dari hari ke hari dan tidak selalu merupakan orang yang sama seperti yang anda ingat. 

Ketika saya duduk di meja kerja saya di rumah dan foto lama Linda tiba-tiba muncul di Google Nest Hub, saya diingatkan kembali bahwa dulunya dia memiliki poni. Saat melihat foto tersebut, rasanya seperti, "oh, sejak kapan model rambutnya berubah, ya?" 

Hal-hal kecil yang terjadi secara perlahan ini yang terkadang luput dari perhatian saya. Selain itu, Linda juga tampak lebih mungil dari teman-teman seusianya. Elle est petite! Dia juga kocak nian dalam kehidupan sehari-hari, sampai-sampai saya tidak memiliki gambaran bahwa karakternya tumbuh dan berkembang dengan baik. 

Semua ini baru ketahuan ketika dia terlibat dalam situasi genting. Dari situlah saya tahu dan ada rasa bangga tersendiri dengan anak ini. Beberapa hari lalu, di malam sebelum Tahun Baru Cina, sesuatu yang gawat terjadi di rumah. Adiknya Audrey terlihat sangat tidak sehat dan Linda yang pertama menyadari hal ini. Kemudian, ketika ibunya sibuk dengan Audrey, Linda lekas menelepon 999 untuk memanggil ambulan, lalu menghubungi saya yang kebetulan baru beranjak dari kantor. 

Semuanya berjalan lancar berkat Linda. Setelah memiliki waktu untuk melihat kembali, saya berbincang dengannya dan merenungkan apa yang telah ia perbuat. Lantas saya tersenyum. Putri saya tidak lagi bocah. Dia menjelang usia remaja dan di saat kritis, dia ternyata tenang dan bisa menyikapi masalah. Dia ingat nomor darurat yang bisa dihubungi, juga bisa menangani percakapan dengan polisi dan memberikan informasi alamat rumah. Meski tidak ingat sepenuhnya, dia bisa keluar pintu dan melihat nomor rumah. 

Tanpa perlu disuruh, dia seorang diri mengerjakan semuanya dengan baik. Saya tidak pernah tahu bahwa dia bisa seperti ini, jadi ini adalah sebuah kejutan yang menyenangkan. Meski seringkali terlihat konyol, dia bisa diandalkan. Dan saya sangat terkesan. Linda mungkin bukanlah jenius di bidang akademis, tapi saya jadi merasa bahwa dia akan baik-baik saja dalam hidup ini... 

Wednesday, January 29, 2025

Book Review: Just Go

This story started in early January, when I saw a video about what 100 USD could do in Kuwait. That's when I found out about a guy named Drew Binsky. Oh, another globe-trotter who made videos, I thought. And he reminded me of Nas Daily who was quite popular with his one-minute videos a few years ago. 

Nas wrote a book, so that was also probably a reason why I searched for Drew's name on the library app. I couldn't remember for sure, to be frank. Turned out that indeed he wrote one, so I reserved and borrowed the book. Oh yes, in a country where books collection at the library is extensive, borrowing for free is definitely a good option, haha. 

Drew's book is the adventures and experiences documented with a single intention: telling us to travel and make friends. He had literally visited all the countries in the world and his story was beautiful, one that almost didn't happen due to COVID-19. But he quickly resumed his journey when the world was opening up and the rest is history.

I was expecting a book that told me the story about each country Drew had visited, but this wasn't the case. Such stories only served as a narrative for the points he'd like to convey. The part where he mentioned about Syria was actually almost the same as my friend Eday had gone through. They even met the same people, Fadi and Ghaidaa! His story about Afghanistan that happened before Taliban was like being lifted up from the pages of the Kite Runner

Other than that, the book talked a lot about tips and tricks of traveling. It covered many things, from safety, local friends, visa application, understanding the country you are visiting, monetizing the experience as a YouTuber, etc. But if we're to sum it up, I think the motto of Drew Binsky says it all: just go!

One more thing, since both are avid travelers, I couldn't help comparing between Nas Daily's book and this one. The former felt like reading the recaps of the videos he did whereas this one was more of a proper book peppered with stories of his trips. Along with a classic called Around the World in Eighty Days, this one surely encouraged me to travel the world, too!



Just Go. An easy reading!



Ulasan Buku: Just Go

Cerita kali ini dimulai di awal bulan Januari, ketika saya melihat video tentang apa yang bisa dibeli dengan USD 100 di Kuwait. Tokoh di video tersebut adalah Drew Binsky, seorang pengelana yang sudah keliling dunia. Dia mengingatkan saya pada Nas Daily yang sempat populer beberapa tahun silam dengan video satu menitnya. 

Nas ada menulis buku, jadi mungkin karena itulah saya iseng mencari nama Drew di aplikasi perpustakaan. Saya tidak ingat pasti, tapi mungkin itulah alasannya. Ternyata dugaan saya benar. Ada bukunya, jadi saya pinjam. Oh ya, di negara di mana koleksi buku di perpustakaan tergolong lengkap, meminjam buku secara gratis adalah sebuah pilihan bagus, hehe. 

Buku Drew Binsky adalah petualangan dan pengalaman yang didokumentasikan dengan satu tujuan: mengingatkan kita untuk berkelana dan berteman. Dia sudah mengunjungi semua negara di dunia dan pengalaman yang mengesankan ini hampir tidak terwujud karena COVID-19. Drew gerak cepat dan lekas menyelesaikan beberapa negara yang tersisa ketika dunia mulai membuka diri lagi di penghujung pandemik. 

Saya mengharapkan buku yang bercerita tentang setiap negara yang telah Drew Binsky kunjungi, tapi ternyata tidak demikian isinya. Beberapa negara dijabarkan hanya sebagai narasi dari apa yang hendak dia sampaikan. Kisah tentang Suriah memiliki kemiripan dengan cerita teman saya Eday. Mereka bahkan bertemu dengan orang-orang yang sama, Fadi dan Ghaidaa! Ceritanya tentang Afghanistan, yang terjadi sebelum era Taliban, bagaikan cuplikan buku the Kite Runner

Selain itu, buku ini banyak mengupas tentang petunjuk dan cara bertualang. Banyak aspek yang dirangkum di sini, mulai dari segi keamanan, teman lokal di negara tujuan, aplikasi visa, pentingnya memahami situasi negara yang hendak dikunjungi, cara menghasilkan uang sebagai YouTuber dan lain-lain. Bila mau disimpulkan dua kata, maka moto Drew Binsky terasa tepat sasaran: just go!

Satu hal lagi, karena dua-duanya adalah petualang, saya jadi tanpa sadar membandingkan buku Nas Daily dan yang satu ini. Tulisan Nas terasa seperti membaca rangkuman video yang dibuatnya dalam bentuk tulisan. Buku karangan Drew terasa lebih menyerupai bacaan ringan yang isinya dibumbui dengan kisah petualangannya. Seperti halnya dengan novel klasik Mengelilingi Dunia Dalam 80 Hari, buku yang satu ini membuat saya terinspirasi untuk berjalan-jalan juga! 

Saturday, January 25, 2025

The Random Travel Buddies

Back in 2018, I ever wrote about friends and colleagues as travel buddies. Recently, a friend of mine listed down the ideal criteria she wanted from her travel buddies. It went like this: unpretentious, not easily offended, speak the same lingo, expressive, went to same school at the same time as us. Now that was specific!

Her remark happened while I was heading to Agra in India with random travel buddies. What I did was the exact opposite of what she just said! Apart from Surianto who was a friend since secondary school, I actually knew nothing my travel buddies! A recipe for disaster, eh?

In Bali with Darman, Pak Dul and Hartono.
Photo by Pak Chandra.

It got me thinking. The first time I ever did this was more than two decades ago in 2004, when I went to Bali with a bunch of Kalbe colleagues. Apart from our interaction at work, we didn't really know each other's characters. We were also of different races, age ranges, cultures and religions. But I could tell you that all I remember were good times.

And that, of course, was not the only time I did it. As much as I loved traveling with my high school friends, situation might dictate otherwise. In 2010, only Benny was willing to join me in my trip to Laos. Looking back, I only knew him as Benny the dealer and I knew nothing else about him! However, the trip turned out to be memorable, too.

In Yangoon with Joseph, Uncle Eddie and Heng.
Photo by Keith.

The trend of traveling with random travel buddies continued and as far as I could remember, it was the same for the trip to Pontianak in 2016, Myanmar in 2017, Tanjung Balai in 2024 and finally, destination India in 2025. It was fun while it lasted and, while I couldn't speak on their behalf, I'll always cherish the moments we had. 

To be frank, I am not sure if I was simply too naive, but I don't mind traveling with colleagues I don't really know. As long as we head to the same destination, we are united by that. Anything else is about adjustment and getting to know each other, which is an adventure by itself.

So far (and a period of 21 years is a long time for statistics) I don't recall any complaints. If there was ever any, the fun must have outweighed the bad that I don't have such recollection at all. Based on my experience, I can safely suggest this: just go! Don't hesitate but give it a try instead! 

With Jasper, Boon and Surianto as our India trip came to an end at Changi.
Photo by Surianto.

Teman Seperjalanan Yang Acak

Di tahun 2018, saya pernah menulis tentang teman dan kolega sebagai teman seperjalanan. Baru-baru ini, seorang teman membuat daftar kriteria teman seperjalanan yang ideal. Isinya seperti ini: tidak jaim, tidak sensitif, nyambung, ekspresif, teman angkatan '98. Spesifik nian kriterianya! 

Daftar di atas dicetuskan pas ketika saya dalam perjalanan ke Agra di India bersama teman seperjalanan yang acak. Apa yang saya lakukan sungguh bertolak belakang dengan pendapatnya. Selain Surianto yang merupakan teman dari sejak SMP, saya tidak tahu apa-apa tentang dua teman seperjalanan lainnya. Nampaknya gegabah, ya? 

Di Bali bersama Darman, Pak Dul dan Hartono.
Foto oleh Pak Chandra.

Dan ini membuat saya berpikir. Perjalanan serupa untuk pertama kalinya terjadi dua dekade silam di tahun 2004, saat saya ke Bali bersama rekan-rekan kerja dari Kalbe. Selain interaksi kita di kantor, saya tidak tahu apa-apa tentang kebiasaan mereka. Kita juga berasal dari suku, usia, budaya dan agama yang berbeda. Tapi saya bisa katakan bahwa apa yang saya ingat adalah hal-hal yang baik sepanjang perjalanan. 

Dan itu bukan sekali-kalinya saya menjalani liburan seperti ini. Meski saya paling suka berlibur bersama teman SMA, ada kalanya saya menyesuaikan diri terhadap situasi dan kondisi. Di tahun 2010, hanya Benny yang mau turut serta ke Laos. Kalau saya lihat kembali, saya hanya sebatas tahu profesinya di kantor dan tak pernah mengenalnya dengan baik. Namun liburan ke Laos itu pun berjalan lancar dan berkesan. 

Di Yangoon bersama Joseph, Uncle Eddie dan Heng.
Foto oleh Keith.

Pola berlibur bersama teman seperjalanan yang acak pun berlanjut. Ada lagi liburan ke Pontianak di tahun 2016, Myanmar di tahun 2017, Tanjung Balai di tahun 2024 dan akhirnya destinasi ke India di tahun ini. Semua asyik-asyik saja. Meski saya tidak bisa mewakili apa yang mereka rasakan, saya sendiri akan senantiasa mengenang semua perjalanan ini. 

Jujur saya katakan, saya tidak tahu pasti apakah saya yang terlalu naif atau apa, tapi saya tidak keberatan berlibur bersama para kolega yang cuma saya kenal selintas. Selama kita pergi ke tempat tujuan yang sama, maka kita dipersatukan pula oleh destinasi tersebut. Hal-hal lainnya hanya memerlukan penyesuaian dan kita akan mengenali satu sama lain dengan lebih baik, sebuah petualangan tersendiri yang terjadi selama liburan berlangsung. 

Sampai sejauh ini (dan 21 tahun adalah rentang waktu yang panjang untuk statistik) saya tidak memiliki keluhan. Jika pernah ada, pastilah asyiknya liburan terasa lebih kentara sehingga saya tidak ingat dengan adanya kesulitan yang mungkin pernah timbul. Berdasarkan pengalaman saya, ini yang bisa saya sampaikan: pergilah berlibur. Jangan ragu, namun cobalah bepergian dengan mereka yang mungkin tidak anda kenal dengan baik. 

Di Changi bersama Jasper, Boon dan Surianto di penghujung liburan ke India.
Foto oleh Surianto.

Sunday, January 19, 2025

One Week In India: Jaipur And Beyond

Our adventure in Rajasthan began 3.5 hours after we left Fatehpur Sikri Fort in Uttar Pradesh. We went to Abhaneri to see the Chand Baori step well. A very strange architecture that I hadn't seen before! Equally impressive were the birds that hung out there. From time to time, the flock would fly few rounds circularly and back to where they came from. Majestic. 

Two hours later, we reached Jaipur. It was late in the afternoon, but quite a number of kites were still roaming the sky. The festival reminded of me of the Kite Runner, a great book I read last year. It was eventually closed by the firework at night. We managed to watch it while waiting for our Uber. That night, we went to World Trade Park for dinner and I had biryani KFC again, haha.

At Hawa Mahal.

The real sightseeing began the next morning. It became clear to us why Jaipur was nicknamed Pink City. Every building inside the city wall is painted with this earthly red color. And our first stop was Hawa Mahal that can be translated as Wind Palace. It somehow reminded me of the Ruins of St. Paul in Macau, except this one was intentionally built as a one-sided wall! 

From the same spot, we picked up our guide, Gopal, then headed to Amer Fort. This is quite an impressive fort on the hill, complete with 12 apartments for 12 spouses. Also take note that Jaipur was ruled the maharajas, which meant it was mainly under Hinduism, but with a fair share of Islam influence because it was also under the Mughal Empire. 

Visiting Amer Fort.

There were two entrances to the fort. The Sun Gate could be entered by those who opted for the elephant ride. We went in via Moon Gate instead as we carried on with our car. Lots of couples taking pre-wedding picture that day. I think being in love kept the ladies warm as they wore so little for a pretty cold day in Jaipur!

Talk about the elephant, we visited Elejungle. They offered programs such as painting the elephant, feeding the elephant, the elephant ride, showering with the elephant and being lifted up by the elephant. Showering is not possible due to the cold weather, though. We opted for feeding and it was the first time I had the up, close and personal time with the elephants. The skin was rough and hairy!

The elephants of Jaipur. 

On our way out, we went to Jal Mahal, the Water Palace that stands in the middle of the lake. We could only take photos here as the palace isn't open to the public. Then, after a quick visit to see the textiles and gemstones industry, we had our lunch at the Royal Treat to try out Rajasthani food. To be frank, as a non-Indian, I couldn't tell the difference, haha. 

It started raining when we returned to the Pink City to begin the second half of the tour. It was cold and since some parts of the City Palace weren't sheltered, we had to run under the rain. The City Palace had an art gallery and it also offered us a glimpse of what the royal attires were like, back in the days of the maharajas. The last bit of it was the pashmina education at the store.

Inside the City Palace.

The last destination of the day was Jantar Mantar. It was supposed to be a traditional science centre, but since the sky was dark and cloudy, no sundial testing could be done there. On our way out, I grabbed a postcard and stopped for a while at the nearest post office. That, plus another round of dinner at the World Trade Park, closed the night in Jaipur. 

The next day was a ride to Neemrana. We checked in to a hotel that was originally a fort, so for the first time in our trip, the pace slowed down. We just had to relax, enjoying our stay at the fort. It was like experiencing medieval time with a tinge of modernization. We got a short guided tour, then high tea with a view in the late afternoon.

Relaxing in Neemrana. 

The magic happened when the night came. The whole fort lighted up, amplifying its brilliance. It somehow reminded me of Chongqing and the lightings that created the illusion around Yangtze river. The night eventually ended with a delicious Kung Pao chicken that made Jasper wondering if the cook was a Chinese.

The next day, we headed back to New Delhi and checked into WelcomHotel again. Looking back, it was probably the best hotel with the best breakfast throughout our one week in India. As recommended by Mitesh, we went to DLF CyberHub. For the first time ever, high-rise buildings! But it was not exactly in Delhi, but in a state called Haryana, so it didn't count, hehe. 

With Manish, our faithful driver. He's the best.

We walked a bit around here and decided to have late lunch at Chili's. Yeah, after a week of Indian food, something different was definitely welcome. After lunch and sightseeing, we made our way to Hauz Khaz Market. And we were stumped when we reached there. It didn't look like a tourist destination at all. 

Apparently the correct destination was Hauz Khaz Village. Not exactly near, so we hopped into Uber and headed there. We got it right this time, but for once in my life, it felt like visiting a place for a younger crowd. We didn't stay long. After exploring the area, we returned to our hotel. That officially ended our visit in India! Until next time! To the other cities with Hard Rock Cafe, probably Goa, Pune, Chennai or Hyderabad?

Crisscrossing the alley in Hauz Khaz Village.





Seminggu Di India: Jaipur Dan Kota Lainnya

Petualangan kita di Rajasthan bermula 3,5 jam setelah kita meninggalkan Benteng Fatehpur Sikri di Uttar Pradesh. Kita menuju ke Abhaneri untuk melihat sumur tangga Chand Baori. Saya tidak pernah melihat struktur aneh seperti ini sebelumnya! Yang tak kalah menakjubkan juga adalah burung-burung yang bertengger di atasnya. Dari waktu ke waktu, sekumpulan burung ini akan terbang mengitari sumur tangga dan kembali ke tempat semula. Mencengangkan! 

Dua jam kemudian, kita tiba di Jaipur. Saat itu hari menjelang senja, namun masih banyak layang-layang di langit. Festival ini mengingatkan saya pada Kite Runner, novel bagus yang saya baca tahun lalu. Kembang api pun bermunculan sewaktu malam tiba, saat kita sedang menanti Uber di depan hotel. Untuk makan malam, kita pergi ke World Trade Park dan saya menyantap  biryani KFC lagi, haha.

Di depan Hawa Mahal.

Tur baru dimulai keesokan paginya. Akhirnya kita tahu kenapa Jaipur dijuluki Kota Merah Muda. Semua bangunan di dalam tembok kota dicat dengan warna ini. Dan pemberhentian pertama kita adalah Hawa Mahal yang bisa diterjemahkan sebagai Istana Angin. Bentuknya mengingatkan saya pada Reruntuhan Santo Paulus di Macau. Bedanya Hawa Mahal yang berupa satu sisi tembok ini memang dengan sengaja dibangun seperti ini.  

Di tempat yang sama, pemandu wisata bernama Gopal datang bergabung dan kita lantas pergi ke Benteng Amer. Benteng yang lokasinya di atas perbukitan ini cukup mengesankan, luas juga dan memiliki 12 apartemen untuk 12 ratu dan selir. Perlu diketahui pula bahwa Jaipur ini dulunya dipimpin oleh maharaja, jadi berbudaya Hindu. Namun karena India dikuasai oleh Kekaisaran Mughal, pengaruh Islam pun terasa. 

Mengunjungi Amer Fort.

Ada dua pintu masuk ke benteng. Gerbang Matahari dikhususkan bagi mereka yang datang menaiki gajah. Kita sendiri masuk melewati Gerbang Bulan karena menggunakan mobil. Di hari itu, banyak pasangan muda yang berfoto pranikah. Saya rasa perasaan jatuh cinta membuat para gadis belia itu merasa hangat, meskipun minim pakaian pengantinnya di hari yang dingin di Jaipur! 

Bicara tentang gajah, kita juga pergi ke Elejungle. Mereka menawarkan aneka program seperti melukis gajah, jalan-jalan menaiki gajah, memberi makan gajah, mandi bersama gajah dan diangkat dengan belalai gajah. Berhubung cuaca yang tidak memungkinkan, mandi bersama gajah ditiadakan. Kita coba memberi makan gajah dan itu adalah kali pertama saya sedekat itu dengan gajah. Kulitnya kasar dan berbulu! 

The elephants of Jaipur. 

Dalam perjalanan keluar, kita singgah sejenak di Jal Mahal, Istana Air yang berdiri di tengah danau. Kita hanya bisa berfoto dari jauh karena istana ini tidak dibuka untuk umum. Kemudian, setelah kunjungan singkat ke industri tekstil dan batu permata, kita makan siang di Royal Treat dan mencoba masakan Rajasthan. Jujur saja, sebagai non-Indian, saya tidak bisa rasakan perbedaannya dengan makanan India yang biasa saya makan, haha. 

Hujan turun ketika kita kembali ke Kota Merah Muda untuk melanjutkan tur. Cuaca bertambah dingin dan karena Istana Kota merupakan tempat terbuka, kita harus berlari di bawah hujan. Kota Istana memiliki galeri seni dan juga museum yang berisi aneka pakaian maharaja dan pasangannya. Sebelum kita keluar, kita mendengar sedikit tentang pashmina di toko. 

Di dalam Istana Kota.

Destinasi terakhir adalah Jantar Mantar. Tempat ini merupakan pusat pengetahuan masa silam, namun karena langitnya mendung, jam matahari dan perangkat lainnya pun tidak berfungsi di sini. Di pintu keluar, saya membeli kartu pos dan berhenti sejenak di kantor pos terdekat. Setelah makan malam di World Trade Park lagi, malam di Jaipur pun usai.

Kita berangkat ke Neemrana pada keesokan harinya. Hotel kita kali ini dulunya adalah benteng, jadi untuk pertama kalinya sejak perjalanan dimulai, kita bersantai di hotel saja. Kesannya seperti abad pertengahan yang sudah tersentuh oleh modernisasi. Kita ikut tur singkat, lalu menikmati perjamuan teh dengan pemandangan yang lain dari biasanya.

Bersantai di Neemrana. 

Keindahan Neemrana kian terasa di malam hari. Benteng kini bermandikan cahaya lampu dan terlihat menakjubkan. Saya jadi teringat dengan Chongqing dan ilusi yang tercipta di sekitar sungai Yangtze berkat cahaya lampu. Malam itu akhirnya ditutup dengan ayam Kung Pao yang lezat dan Jasper membayangkan apakah kokinya adalah orang Cina.

Kita kembali ke New Delhi di hari berikutnya dan check in lagi di WelcomHotel. Kalau dilihat kembali, ini adalah hotel terbaik dengan sarapan pagi paling mantap selama kita berada di India. Mengikuti anjuran Mitesh, kita pergi ke DLF CyberHub. Akhirnya, gedung-gedung tinggi! Tapi kawasan ini bukan di Delhi, melainkan di negara bagian bernama Haryana, jadi tidak masuk hitungan, hehe. 

Bersama Manish, supir andalan kita.

Kita jalan-jalan sejenak dan makan siang Chili's. Ya, setelah seminggu menyantap makanan India, menu yang berbeda sungguh terasa sedap. Setelah makan dan mengitari kawasan CyberHub, kita lanjut ke Hauz Khaz Market. Dan kita merasa bingung saat tiba di sana, sebab tempatnya tidak terlihat seperti daerah turis. 

Ternyata tempat tujuan yang benar seharusnya adalah Hauz Khaz Village. Letaknya cukup jauh, jadi kita naik Uber menuju ke sana. Kali ini benar tujuannya, tapi rasanya tempat ini cocoknya untuk kalangan yang lebih muda. Alhasil kita tidak lama di sana dan kembali ke hotel. Liburan di India pun berakhir. Sampai berjumpa lagi di lain kali! Mungkin kota lain dengan Hard Rock Cafe, entah itu Goa, Pune, Chennai atau Hyderabad?

Di dalam gang di Hauz Khaz Village.

Tuesday, January 14, 2025

One Week In India: Agra

Our trip to Agra in Uttar Pradesh started at 8am. It took us 4.5 hours of road trip from Welcomhotel in New Delhi to a hotel called Clarks Shiraz in Agra. After check in and quick lunch, the tour began with Agra Fort. That's when the history was slowly connected.

You see, back in Delhi, we went to Humayun's Tomb. Then at the Agra Fort, I started hearing about Jahangir, the grandson of Humayun. The fort itself was as impressive as it could be. Three other historical sites appeared in my mind when I was there: the Tower of London, the Forbidden City in Beijing and Kraton in Yogyakarta

At Agra Fort.

I suddenly could relate with what my friend Tuty had told me before. The Kraton was dwarfed in comparison. Agra Fort looked so sturdy that Kraton felt... flimsy. It stood tall, a reminder of a civilization from the past that was once as grand as the British and the Chinese. 

And from the window of Agra Fort, we could see Taj Mahal, probably the last thing Shah Jahan saw before he died. When history crossed over with a love story, this is where it got interesting. So while we were on our way to Taj Mahal, I began reading extensively about it.

At Taj Mahal.

It was actually quite a sad story. A king so loved the wife that he eventually built Taj Mahal for her when she died. Yet it didn't end well for Shah Jahan himself. His son imprisoned him and also killed all his own brothers. On top of that, he turned out to be the greatest king of Mughal Empire. Oh, the irony. 

But Taj Mahal itself was a wonder. I remember walking towards the front gate and as I got closer, Taj Mahal was revealed in all its glory. It was so brilliant, so beautiful that I stood there for quite a while in the afternoon, admiring the meaning of Taj Mahal. That long after the Mughal Empire was gone, Taj Mahal still stands the test of time and continues telling a great love story to the future generations. 

I just couldn't help admiring Taj Mahal!
Photo by Surianto.

By the time we left, Surianto said something like, "now that we have seen the Taj, what else is left for us to admire?" Emotionally exhausted, I tended to agree. And we went back to hotel, having seen enough for the day. We didn't go out again. We had a delicious mutton biryani at the hotel instead. 

The next morning, I thought we'd go straight to Jaipur. Apparently there was one more destination: Fatehpur Sikri Fort. We reached there after an hour drive from our hotel. Then the history lesson resumed. We learnt about King Akbar, Shah Jahan's grandfather. Before moving to Agra, he and his three wives, including one that was allegedly Christian, lived here. The last gate was pretty impressive.

In front of the last gate of Fatehpur Sikri Fort.

But all good things must come to an end. As we finished the sightseeing and drove away from Fatehpur Sikri Fort, we left behind the Mughal Empire. Heading into the new chapter now: Rajasthan, the Land of the Kings!



Seminggu Di India: Agra

Perjalanan kita ke Agra di negara bagian Uttar Pradesh dimulai jam 8 pagi. Durasi jalan darat dari Welcomhotel di New Delhi sampai ke hotel Clarks Shiraz di Agra adalah 4,5 jam. Setelah mendapatkan kamar dan makan siang sejenak, tur pun dimulai dengan Agra Fort. Perlahan-lahan sejarah yang kita dengar pun mulai berkesinambungan. 

Jadi sewaktu berada di Delhi, kita mampir ke Makam Humayun. Lalu di Agra Fort, saya mulai mendengar tentang Jahangir, cucu Raja Humayun. Benteng merah ini cukup berkesan, sampai-sampai saya jadi teringat dengan tiga situs sejarah lain yang telah saya kunjungi: Menara London, Istana Terlarang di Cina dan Kraton di Yogyakarta

Di Agra Fort.

Tiba-tiba saya bisa memahami apa yang teman saya Tuty ceritakan sebelumnya. Kraton terlihat mungil bila dibandingkan dengan Agra Fort. Benteng ini juga kokoh sehingga Kraton terlihat rapuh. Agra Fort berdiri megah, membuat saya membayangkan tentang sebuah kebudayaan yang setara dengan Inggris dan Cina. 

Dan dari jendela di Agra Fort, kita bisa melihat Taj Mahal di kejauhan. Mungkin ini adalah pemandangan terakhir yang dilihat oleh Shah Jahan sebelum dia meninggal. Ketika sejarah bercampur dengan cerita cinta, daya tariknya pun bertambah. Sewaktu kita menuju Taj Mahal, saya pun kian intensif membaca kisahnya. 

Di Taj Mahal.

Cerita Taj Mahal sebenarnya agak sedih. Seorang raja begitu mencintai istrinya dan ketika maut merenggut sang permaisuri, Shah Jahan pun membangun Taj Mahal sebagai bukti cintanya. Namun nasib sang raja sendiri tidaklah baik. Ia dipenjarakan oleh anak yang juga membunuh semua saudara laki-lakinya, lalu menjadi raja terhebat di Kekaisaran Mughal. Sungguh ironis. 

Namun Taj Mahal adalah sebuah keajaiban. Saya masih ingat betul saat saya berjalan menuju ke gerbang depan. Semakin saya mendekat, semakin Taj Mahal terlihat utuh. Begitu menakjubkan dan indah, sehingga tanpa sadar saya berdiri cukup lama mengagumi makna yang tersirat dari Taj Mahal: bahwa lama setelah Kekaisaran Mughal lenyap dari muka bumi, Taj Mahal masih berdiri tegak, tak lekang oleh waktu, dan menjadi saksi bisu bagi generasi mendatang tentang sebuah kisah cinta di masa lampau. 

Terpesona oleh Taj Mahal.
Foto oleh Surianto.

Saat kita beranjak pergi, Surianto berkata seperti ini, "setelah kita melihat Taj Mahal, selanjutnya apalagi yang masih berkesan?" Saya yang masih terngiang-ngiang dengan Taj Mahal cenderung setuju dengan ucapannya. Dan kita pun kembali ke hotel dan tidak ke mana-mana lagi setelah melihat sebuah keajaiban dunia. Untuk makan malam, kita menyantap nasi biryani di hotel.

Keesokan paginya, saya menyangka kita langsung ke Jaipur. Ternyata masih ada satu destinasi: Fatehpur Sikri Fort. Kita mencapai tempat tujuan kira-kira satu jam lamanya dari hotel. Lantas pelajaran sejarah pun berlanjut. Kini kita belajar tentang Raja Akbar, kakek Shah Jahan. Sebelum pindah ke Agra, dia dan tiga permaisurinya yang masing-masing beragama Islam, Hindu dan konon Kristen tinggal di sini. Gerbang terakhir yang kita lewati menjulang tinggi dan mengesankan. 

Di depan gerbang Fatehpur Sikri Fort.

Namun segala sesuatu ada akhirnya. Setelah selesai dan pergi dari Fatehpur Sikri Fort, kita meninggalkan Kekaisaran Mughal dan lanjut ke bab berikutnya: Rajasthan, negeri para raja! 

Monday, January 13, 2025

One Week In India: New Delhi

My third trip to India wasn't solely my idea. About a year ago, I was simply inspired by my colleague Jasper when I saw him going for a long trip to Egypt in January. He was taking a break right after New Year's day, but before CNY! It felt like a good idea that I hadn't done before, so I told him that. 

As Jasper and I talked, it turned out that he was keen on visiting Taj Mahal. For me, I never travelled with anyone to India before. My first two trips, Kolkata and Bangalore, was done solo because nobody wanted to join me. So a chance to travel with a buddy to an exotic destination with Hard Rock Cafe was too good to be missed! 

Around July 2024, we hung out with Mitesh, our colleague from New Delhi. We discussed about the trip and the itinerary was more or less done. The trip was on! I asked Surianto and he was excited. Boon would be the fourth guy to join. And since India is nothing like Japan, Mitesh recommended us to use Jetsave Holidays, a travel agency he knew about. 

While waiting for our flight to depart.

Fast forward to wee hours on 11-Jan-2025, there we were at Gate B5, waiting for our flight to depart. It was Surianto's first time flying with SQ and it was delayed for 1.5 hours. An experience to remember! The night sky was dark as we flew northwest across the time zone. Then the plane descended into the foggy, greyish sky of New Delhi.

Indira Gandhi International Airport was... unassuming. Immigration was smooth, luggage collection was all right, toilet was clean, but as Boon put it, there was no visible landmark for us to take a photo. Our driver Manish met us at gate 4 and, after a car ride of 30 minutes, we reached Welcomhotel in Dwarka Sector 10 area.

The photo taken by the professional photographer.

The hotel was booked from the night before, so we got our rooms immediately, including the breakfast! It was fantastic, as one could expect from the Indian cuisines. Right after that, we headed to our first destination: Swaminarayan Akshardham. It's dedicated to a holy man that we as tourists had never heard of before. 

What I can tell you is this: no phone allowed. And that caused us to have a digital detox involuntarily. The withdrawal symptoms immediately showed. With no ability to google or to take pictures, we were quite unsure how to appreciate the meticulously built temple. On top of that, both Boon and I were sent back to the parking lot as our belongings contained cables and powerbank, haha. 

As we headed to the Lotus Temple.

Second destination was the Lotus Temple. This was again another culture lost in translation. I mean, it is grand, all right, but since we didn't speak Hindi, I totally had no idea why we queued only to enter a quiet hall that had no attraction inside. 

We had our dinner at Gulati, a recommendation from Mitesh. Great butter chicken and mutton biryani! From there, we headed to Hard Rock Cafe. Up until then, I had visited a total of three Hard Rock Cafes (Bangalore had two when I was there) and the t-shirts collection had been a letdown. Apparently Hard Rock Cafe New Delhi was no exception, too. 

Having dinner at Gulati.

That rainy night, after a futile attempt to queue for KFC, we took Uber back to hotel. We were soon reminded again of what our driver said earlier that day. Three things were required to drive in Delhi: good horn, good brake and good luck. The honking never stopped and the traffic jam was worse than what I encountered in Jakarta! Even when an ambulance was blaring its sirene behind us, it seemed like none understood the urgency to give way! 

The vehicle that had a better success in parting the crowd was the rickshaw. The experience was equal to sitting on the front seat to see Moses parting the Red Sea. The sea of people in Old Delhi market would just give way to our rickshaw. One pedestrian was clumsy enough to get his banged by the rickshaw and they all just moved on like nothing happened! How incredible!


When Surianto entered the door at Jama Mosque.

Anyway, we took the rickshaw because we were visiting Jama Mosque. For the third time in a row since yesterday, we took off shoes to visit the site. For this one, we even gotta fork out INR 100 to pay for the thin sandals that had the name J.W. Marriott written on them. But the mosque, said to be the third biggest in the world after the Blue Mosque and the one in Mecca, was indeed quite impressive. I like the part where Surianto spontaneously opened the door, creating a gap for a faint ray of light to shine in.

Once we were done with Jama Mosque, we skipped the Red Fort and headed to Rajghat and India Gate. We also drove around to see the Presidential Palace and other government offices. Then came the time for lunch at Connaught Clubhouse. The place was classy. We opted for light lunch and German Beer. Soon we were in the car again, going to Humayun's Tomb. 

Lunch at Connaught Clubhouse.
Photo by Boon.

One of the emperors from Mughal Empire, Humayun died at the age of 47 after he fell down from the stairs. He was the great, great grandfather of Shah Jahan, the one that built Taj Mahal. His mausoleum was like a palace, but as I walked into the centre of it, there was this anticlimactic feeling when I saw the marble tomb. In the end, the king was still a human that only occupied the human-sized tomb like any of us. 

The last attraction of the day was Qutub Minar. I found this very uniquely carved. The surface combined the shapes of round and square, making it very unusual. No wonder it was featured in Tintin, too, when he visited India during Tintin in Tibet

Qutub Minar, the impressive minaret behind me.
Photo by Jasper.

As the tour ended, we asked our driver to drop us in Khan Market. An interesting place, it felt like high-end shophouses for the riches. We had our dinner here at Breadtalk of all places! Boon and Jasper tried the laksa and they thought it tasted more like tomyum.

Then we walked to the metro station and experienced the 1.5 hours that included the slight confusion of the train detour. The train we were taking turned back before reaching our stop! Turned out that the concept was similar to Circle Line. Certain trains only reached Stadium whereas others would bring you all the way to Harbourfront. 

Taking the metro to Vegas Mall.

We stopped at a station called Dwarka Sector 14 and walked to Vegas Mall. Not bad. Probably one of the higher buildings and I finally got my localized KFC there! That pretty much ended the journey of our second day in Delhi. At the time of writing this, we were on our way to Agra and up until now, I hadn't seen any CBD area with tall buildings like Raffles Place in Delhi! 



Seminggu Di India: New Delhi

Liburan ke India untuk kali ketiga ini bukanlah sepenuhnya ide saya. Kira-kira setahun silam, saya terinspirasi oleh kolega saya Jasper saat saya melihat dia libur panjang ke Mesir di bulan Januari. Dia cuti setelah tahun baru berlalu, sebelum Tahun Baru Cina tiba! Saya katakan padanya bahwa ide bagus ini belum pernah saya coba sebelumnya. 

Tatkala Jasper dan saya berbincang, ternyata dia berminat mengunjungi Taj Mahal. Bagi saya sendiri, saya belum pernah berlibur bersama siapa pun ke India. Dua perjalanan sebelumnya, Kolkata and Bangalore, saya lakoni sendiri karena tidak ada yang mau ikut. Jadi petualangan bersama orang lain ke destinasi yang eksotis dan memiliki Hard Rock Cafe rasanya tak boleh dilewatkan! 

Sekitar bulan Juli 2024, kita minum bersama Mitesh, kolega kita yang berasal dari New Delhi. Kita berbincang tentang liburan dan rencana perjalanan pun lekas tersusun. Saya tanyakan pula pada Surianto dan dia juga ingin ke sana. Boon lantas menjadi orang ke-empat yang turut bergabung. Karena India bukanlah Jepang yang praktis, Mitesh menyarankan agar kita sebaiknya memakai tur dan ia perkenalkan Jetsave Holidays.

Saat menunggu keberangkatan pesawat.

Setengah tahun kemudian, di subuh hari pada tanggal 11-Jan-2025, kita berkumpul di Gate B5, menanti penerbangan kita. Ini adalah pertama kalinya Surianto terbang dengan SQ dan penerbangan kita tertunda 1,5 jam! Pasti jadi kenangan tak terlupakan. Langit tengah malam terlihat gelap sewaktu kita terbang menuju ke arah barat laut melintas zona waktu. Kemudian, saat pesawat turun dari ketinggian, terlihatlah langit New Delhi yang berkabut dan senantiasa abu-abu. 

Bandara Internasional Indira Gandhi tidaklah istimewa. Imigrasinya lancar, pengambilan bagasi tergolong cepat dan toiletnya pun bersih, namun seperti kata Boon, tak ada bagian yang menarik untuk berfoto. Kita dijemput oleh Manish di Gate 4 dan setelah berada di mobil selama 30 menit, kita tiba di Welcomhotel yang berlokasi di Dwarka Sector 10.

Foto di Swaminarayan yang diambil oleh fotografer resmi.

Karena hotel sudah dipesan semalam sebelumnya, kita langsung mendapatkan kamar dan juga makan pagi. Menunya lezat, sesuai harapan penggemar makanan India. Sesudah sarapan, kita menuju ke tempat wisata pertama: Swaminarayan Akshardham. Kuil ini dipersembahkan untuk orang kudus yang tak pernah kita, sebagai turis, dengar sebelumnya. 

Pengalaman yang bisa saya jabarkan adalah seperti ini: tak boleh ada telepon selama di sana. Jadi kita pun dipaksa berwisata tanpa teknologi. Dampaknya langsung terlihat. Tanpa kemampuan untuk google dan berfoto, kita kesulitan untuk menikmati kuil yang dibangun dengan banyak ukiran detil ini. Selain itu, saya dan Boon juga disuruh kembali ke mobil di pelataran parkir karena tas kita ternyata berisi kabel dan powerbank, haha. 

Sewaktu kita berjalan ke Lotus Temple.

Destinasi berikutnya adalah Lotus Temple. Yang berikut ini adalah kasus budaya yang gagal dipahami. Ya, bangunannya memang megah, tapi karena kita tidak mengerti Hindi, kita tidak tahu untuk apa kita antri masuk ke aula yang sepi dan tidak ada atraksi. 

Kita lantas makan malam di Gulati yang direkomendasikan oleh Mitesh. Ayam mentega dan biryani daging kambing terasa empuk dan sedap! Dari Gulati, kita lanjut ke Hard Rock Cafe. Sampai sejauh ini, saya sudah mengunjungi tiga Hard Rock Cafe (Bangalore memiliki dua kafe sewaktu saya berada di sana) dan koleksi kaosnya terasa mengecewakan. Ternyata yang di Delhi pun sama saja tanpa pengecualian. 

Makan malam di Gulati.

Di malam yang rintik-rintik itu, setelah kita sia-sia mengantri di KFC, kita pulang ke hotel menggunakan Uber. Perjalanan itu mengingatkan kita kembali dengan ucapan supir kita. Ada tiga hal yang penting untuk mengemudi di Delhi: klakson yang bagus, rem yang bagus dan keberuntungan yang bagus. Klaksonnya tiada henti di tengah kemacetan! Bahkan ketika ambulan di belakang kita membunyikan sirene pun tak ada yang peduli dan memberikan jalan. 

Kalau ada kendaraan yang berhasil melewati keramaian, maka itu adalah riksaw. Pengalaman ini serupa dengan duduk di kursi paling depan dan menyaksikan Musa membelah Laut Merah. Lautan manusia di pasar Old Delhi memberi jalan bagi riksaw. Satu pejalan kaki yang ceroboh langsung terbentur kepalanya oleh riksaw, tapi semua biasa saja seakan tak ada apa pun yang terjadi. Memang menakjubkan! 

Ketika Surianto membuka pintu di Mesjid Jama. 

Oh ya, kita naik riksaw karena kita mengunjungi Mesjid Jama. Untuk ketiga kalinya sejak kemarin, kita melepaskan sepatu untuk mengunjungi situs. Khusus yang satu ini, kita mengeluarkan INR 100 untuk membayar sandal tipis yang bertulisan J.W. Marriott. Namun mesjid yang konon merupakan ketiga terbesar di dunia setelah Mesjid Biru dan yang di Mekah ini memang mengagumkan. Saya suka dengan siraman cahaya yang masuk ketika Surianto kebetulan membuka pintu. 

Sesudah Mesjid Jama, kita tidak mampir Red Fort dan langsung pergi ke Rajghat dan India Gate. Selain itu kita juga melewati Istana Presiden dan gedung pemerintah lainnya. Lantas tibalah waktunya untuk makan siang di Connaught Clubhouse. Tempat ini klasik dan berkesan. Kita makan pizza ayam tanduri dan Bir Jerman. Tak lama sesudah itu, kita pun berangkat lagi, kali ini ke Makam Humayun. 

Makan siang di Connaught Clubhouse.
Foto oleh Boon. 

Humayun adalah raja kedua dari Dinasti Mughal yang jatuh terpeleset dari tangga dan akhirnya meninggal di usia 47 tahun. Dia adalah leluhur Shah Jahan, raja yang membangun Taj Mahal. Makamnya besar seperti istana, tapi ketika saya masuk ke tengah ruangan, ada perasaan antiklimaks saat melihat peti marmernya. Pada akhirnya, seorang raja tetaplah manusia biasa dengan peti seukuran rakyat biasa pula.  

Atraksi terakhir pada hari tersebut adalah Qutub Minar. Saya terpesona dengan arsitekturnya. Permukaan menara ini dipahat dalam bentuk melingkar dan persegi sehingga benar-benar terlihat unik. Tak heran bahwa Tintin pun mengunjungi situs ini dalam petualangan Tintin di Tibet

Qutub Minar, menara mengesankan di belakang saya.
Foto oleh Jasper.

Tatkala tur berakhir, kita minta pada supir agar diturunkan di Khan Market. Tempat ini menarik dan kesannya seperti deretan ruko klasik untuk orang-orang kaya. Dan kita makan Breadtalk karena tergelitik dengan keberadaannya di India. Boon dan Jasper mencoba laksa dan ternyata rasanya lebih mirip tomyum.

Selanjutnya kita berjalan ke stasiun metro dan kembali ke arah hotel. Perjalanan pulang itu memakan waktu 1,5 jam, termasuk kebingungan yang terjadi karena keretanya tiba-tiba berbalik arah sebelum mencapai stasiun yang hendak kita tuju. Setelah ditelaah lagi, konsepnya sama dengan Circle Line di Singapura. Kereta tertentu hanya mencapai Stadium sedangkan yang setelahnya akan membawa anda sampai ke Harbourfront.

Naik metro ke Vegas Mall.

Kita turun di Stasiun Dwarka Sector 14 dan berjalan ke Vegas Mall. Bangunannya tergolong tinggi. Selain itu, akhirnya kesampaian pula niat saya untuk mencoba KFC di India. Dan malam itu pun mengakhiri petualangan kita di Delhi. Saat tulisan ini ditulis, saya sudah dalam perjalanan menuju Agra. Sampai sekarang, saya masih tidak melihat gedung-gedung tinggi yang menjulang seperti di Sudirman, Jakarta!