Total Pageviews

Translate

Sunday, October 27, 2024

The Family Dynamics

As I accompanied my wife to the airport and watched her checking in her luggage from afar, it dawned on me that our family dynamics were quite unique: we could actually travel separately and the other spouse would be fine. One could take care of the family when the other half wasn't around. 

Yani at Terminal 4, Changi Airport. 

Now, to give a context, I came from a rather traditional background where, with the exception of business trip, husbands were expected to be with around the family 365 days a year. If you did otherwise, it'd be perceived as neglecting family. It'd be frowned upon. Or, like how we saw it earlier this year, one would probably be consumed by the guilt trip afterwards. 

This mindset or culture is as ridiculous as it gets. And to carry on thinking this way in 2024 is unfathomable. But yet it was a tradition that seemed to be brought forward to the next generation. In our group chat, we had this sticker saying get restrained. I'm just thankful that such a thing is not a problem to me.

In the past 13 years, we had been quite independent. Of course we had a family trip, the recent one was the trip to Taiwan. But my wife and I, we also got chances to travel just the two of us, from the Philippines, Europe to China and Japan. Then there were the kids with mum or dad. My wife had her mother-and-daughter trip to Japan last year. I also had similar experiences, though the last one was rather unexpected. Then we had trips with friends. For example, she and I both went to Thailand with separate groups this year. 

Clockwise, from left: Tongli 2018; Mae Kampong, Taichung and Changi Airport, 2024. 

I guess the point I want to emphasize is, just because we travel separately sometimes, it doesn't mean we love each other less. To me, it's in-line with what Ringo had said before, "maybe I haven't always been there just for you. Maybe I try but then I got my own life, too." I had also described it in the Roles We Play, that we'll always be somebody else to someone, but then we need to be ourselves, too. 

I can't speak for our parents' generation, but in the end, I think it all comes down to a conscious decision. If you think 365 days a year with family is the way to go, so be it. But don't do it just because you are afraid of being frowned upon. Search your heart and if you think you actually don't subscribe to the 365 days concept, then perhaps you should do something about it instead of suffering in silence...



Dinamika Keluarga

Sewaktu saya menemani istri ke bandara dan melihat dia check-in bagasi dari kejauhan, tiba-tiba terpikir oleh saya tentang uniknya dinamika keluarga saya ini: kita bisa bepergian secara terpisah dan salah satu pasangan akan baik-baik saja. Pasangan yang ditinggal bisa mengurus keluarga selagi yang satunya tidak di tempat. 

Yani di Terminal 4, Changi Airport. 

Sebagai konteks, saya berasal dari latar belakang yang tradisional di mana para suami cenderung wajib bersama keluarga 365 hari setahun, kecuali saat sedang dinas kantor ke luar kota. Jika anda bertindak di luar kebiasaan, maka besar kemungkinan akan muncul anggapan bahwa anda telah mengabaikan keluarga. Perbuatan ini bisa jadi pergunjingan. Atau, seperti yang pernah diceritakan awal tahun ini, yang bertindak seperti ini nantinya akan dikonsumsi rasa bersalah

Pola pikir dan budaya ini sangatlah konyol. Sangat mencengangkan bahwa masih ada yang berpikir seperti ini di tahun 2024, namun tradisi ini sepertinya masih akan diteruskan ke generasi berikutnya. Di grup SMA, kita memiliki stiker yang bertulisan kena kekang. Saya hanya bisa bersyukur bahwa semua ini tidak terjadi pada saya. 

Dalam 13 tahun terakhir ini, boleh dikatakan kita memiliki kebebasan dalam keluarga. Tentu saja kita ada liburan keluarga, misalnya liburan ke Taiwan pada bulan Juni lalu. Namun saya dan istri juga memiliki kesempatan untuk pergi berdua saja, misalnya saat kita ke Filipina, Eropa, Cina dan Jepang. Kemudian ada pula waktu anak dan orang tua. Istri saya bepergian dengan putri sulung saya ke Jepang tahun lalu. Saya juga memiliki beberapa kesempatan serupa, meskipun perjalanan yang terakhir bukanlah sesuatu yang saya harapkan. Lalu ada pula liburan bersama teman-teman. Yani dan saya ke Thailand bersama grup yang berbeda tahun ini.

Dari kiri, searah jarum jam: Tongli 2018; Mae Kampong, Taichung dan Changi Airport, 2024.

Inti dari cerita saya ini adalah, hanya karena kita bertualang secara terpisah, tidak lantas berarti kita jadi kurang mencintai keluarga. Bagi saya, semua ini persis seperti yang Ringo Starr katakan sebelumnya, "maybe I haven't always been there just for you. Maybe I try but then I got my own life, too." Saya juga telah mendeskripsikan hal serupa dalam The Roles We Play, tentang bagaimana kita selalu memainkan berbagai peran berbeda bagi setiap orang, namun pada akhirnya kita juga perlu menjadi diri sendiri juga. 

Saya tentu tidak bisa berbicara mewakili generasi orang tua kita, tapi saya kira semua ini akhirnya kembali lagi pada keputusan yang kita ambil secara sadar. Jika anda berpikir bahwa konsep 365 hari bersama keluarga cocok bagi anda, maka jalanilah sesuai kehendak anda. Namun jangan lakukan ini hanya semata-mata karena takut dengan pendapat orang lain. Tanya pada diri anda sendiri dan bilamana anda sebenarnya tidak setuju dengan konsep 365 hari, maka sepatutnya anda melakukan sesuatu dan bukannya menderita dalam diam. Akan jauh lebih baik jika kita bisa hidup sesuai dengan apa yang sungguh kita inginkan... 

Thursday, October 17, 2024

Day Tripper

I talked about Johor Bahru and Batam as the short getaway destinations before. I had quite a fair bit of stories featuring both cities. Off the top of my head, I remember the Great Crossing, Rediscovering Your Way and the latest one called the Pontian Noodles Trip. But never before I visited one city after another within two days. 

The trip to JB was planned much earlier. We bought the train tickets back in May for the 5-minute rides that would happen in early October. If you wonder why, that's because the tickets would be sold out long before the travel dates. This is just how it is if you wish to travel by train from Singapore to JB. 

Taking the Shuttle Tebrau train to JB.

And the one and only time I ever did so was in August 2017, when my friend Wawa and I visited Endrico's father in JB. Seven years later, after I arrived at Woodlands Checkpoint, I had no recollection where the queue for train was, even when we walked past it, haha. 

While it was a family trip, I split a cab with my old buddy Sugi instead. I've known Sugi since Jakarta days and we were together as well when we first started in Singapore. Hence it was nice to hang out with him again. When we reached JB, he introduced to us his favorite eatery, Ho Seng Kee noodles at City Square. 

With Sugi.

And that started my longest day at the mall. After breakfast, we walked one round, met my wife's friends and then dropped the kids at the indoor playground. As the ladies went shopping, we stayed back and had our lunch at Hailam Kopitiam in front of the playground. As a fan of fried rice, I tried the kerabu fried rice. Can't say it was great, but still edible. 

The only time ever Sugi and I ever walked outside was when we headed to Hiap Joo Bakery because he'd like to buy banana cake. As we returned, my wife friend's told me that it was odd that my wife needed to call and asked me to buy the cake. She assumed that I would have bought it, but I told her it went to show that my wife knew me well. I don't buy stuff I don't need, unless I'm being asked to. That's why I could go to Japan with only a small cabin luggage, haha. 

Pontianak chicken rice.

We returned to Singapore in the evening. The next morning, my wife and I boarded the ferry to Batam. Instead of the usual routine, we went to Kedai Kopi Aan this time. I had a craving for Pontianak chicken rice and it felt great to eat it again. Every bite tasted like a blast from my childhood. But it was just a small plate, so I went next door for second round: Mr. Lucky's Singkawang noodles!

My wife went for massage as I had my meals, so once I was done, I went to the Grand Batam Mall and waited for her there. She had her late lunch at Daun Pisang and ordered gurame, so I accompanied her by having pempek. My third meal in three hours. We also thought of watching Joker as my wife likes Lady Gaga, but the timing wasn't right, so we eventually left the mall and went to Restoran Sederhana! Oh yes, no visit to Indonesia is complete without nasi Padang! We had to buy back!

We left Batam via Sekupang after that, officially ending our two-day journey. Now, between the two, how was it like? I'd say I love Batam more. I felt at ease when I was there. Not only the food was great, but I also enjoyed the familiarity. Batam was relaxing whereas JB always kept me on my toes...

Before the departure...



Petualangan Per Hari

Tak cuma sekali saya membahas tentang Johor Bahru dan Batam sebagai tujuan wisata akhir pekan. Saya punya cukup banyak cerita tentang dua kota ini. Secara sepintas, saya bisa sebutkan beberapa judul, misalnya saja: Jalan Pagi Lintas Negara; Menemukan Jalan yang Terlupakan; Perjalanan ke Pontian. Walaupun demikian, saya belum pernah mengunjungi dua kota yang berbeda dalam dua hari berturut-turut. 

Perjalanan ke JB sudah direncanakan dari jauh hari. Saya membeli tiket kereta berdurasi lima menit ini dari sejak bulan Mei. Jika anda jadi bertanya-tanya, ini karena tiket kereta biasanya telah terjual habis jauh sebelum tanggal keberangkatan. Ini adalah sesuatu yang lumrah untuk kereta Shuttle Tebrau. 

Menaiki kereta Shuttle Tebrau ke JB.

Dan saya menaiki kereta ini pada bulan Agustus 2017 untuk pertama dan sekali-kalinya, ketika saya dan Wawa mengunjungi ayah Endrico di JB. Tujuh tahun kemudian, sewaktu saya tiba di Woodlands Checkpoint, saya tidak ada gambaran di mana antrian jalur kereta meskipun kita berjalan melewatinya, haha. 

Walau ini adalah liburan keluarga, saya naik Grab bersama teman saya Sugi. Saya sudah kenal Sugi sejak saya tinggal di Jakarta dan bersama-sama kita memulai di Singapura. Jadi senang rasanya bisa berkumpul lagi. Saat tiba di JB, dia membawa kita ke toko mie favoritnya, Ho Seng Kee di City Square. 

Bersama Sugi.

Lantas mulailah hari yang panjang di mal. Setelah sarapan pagi, kita berkeliling sejenak, lalu berkumpul dengan teman-teman istri saya dan anak-anak pun ditinggal di taman bermain. Ibu-ibu berbelanja sementara saya dan Sugi bersantap siang di Hailam Kopitiam Komtar. Sebagai penggemar nasi goreng, saya memesan nasi goreng kerabu. Ternyata tidak begitu enak, tapi masih bisa dimakan. 

Sugi dan saya sempat keluar sejenak dari mal ketika kita menuju ke Toko Roti Hiap Joo karena dia hendak membeli kue kek pisang. Saat kita kembali ke mal, teman istri saya berkomentar sungguh aneh bahwa istri saya perlu menelepon dan meminta saya untuk membelikan kek. Dia berasumsi bahwa saya akan juga membeli, mumpung sudah di sana, tapi saya jelaskan bahwa istri saya mengenal saya dengan baik. Saya tidak membeli barang yang tidak saya butuhkan, kecuali bila ada yang titip. Ini alasannya kenapa saya bisa ke Jepang hanya dengan membawa koper kabin yang kecil, haha. 

Nasi ayam Pontianak.

Kita kembali ke Singapura di malam hari. Keesokan paginya, saya dan istri menaiki feri ke Batam. Namun berbeda dengan biasanya, kali ini saya mampir ke Kedai Kopi Aan. Saya ingin menyantap nasi ayam Pontianak yang sedap rasanya. Setiap sendok persis terasa seperti kenangan masa kecil. Tapi kecil porsinya, sehingga saya pun lanjut ke sebelah: Mie Pangsit Pak Lucky Singkawang.

Istri saya menikmati sesi pijat selagi saya bersantap siang, jadi saat saya selesai, saya berangkat ke Grand Batam Mall dan menunggunya di sana. Dia lantas memesan gurame di restoran Daun Pisang dan saya menemaninya dengan pempek, menu ketiga saya dalam tiga jam terakhir. Selanjutnya kita ingin menonton Joker, terutama karena istri saya juga menyukai Lady Gaga, tapi jam pertunjukannya juga tidak tepat, jadi kita pergi ke Restoran Sederhana! Oh ya, kunjungan ke Indonesia tidak akan lengkap tanpa nasi Padang! Kita bungkus dan bawa pulang. 

Lewat Sekupang, kita meninggalkan Batam dan kembali ke Singapura. Perjalanan dua negara dalam dua hari pun usai. Nah, di antara dua kota ini, harus saya katakan bahwa saya lebih suka Batam. Bukan saja makanannya yang lebih cocok, suasananya pun lebih cocok. Batam senantiasa lebih santai sementara JB selalu membuat saya berjaga-jaga...

Di Sekupang, sebelum kembali ke Singapura.

Wednesday, October 2, 2024

Visa

My friend Jimmy is notoriously allergic to visa application. Instead of applying one, he'd make up all sorts of excuses. He'd say things such as, "there are still a lot of countries that can be visited without visa." Quite amusing, actually. To think that his passport, which is turning red next year, is quite weak to begin with. 

And of course I know, for I used to hold the same passport, too. I got my first visa in April 2009, when we crossed from Vietnam to Cambodia. The process of obtaining the visa on arrival (VOA) was quite unique. We were actually asked to have lunch at the nearby noodle shop while the visa was issued. 

My next one was the visa to China. The Nanning trip happened five months after the visit to Cambodia. I was new to all this and travel agency was still quite a big deal then. Since my tickets were booked via Muhibbah Travel, I got the agency to take care of my visa, too. However, things had improved drastically since 2012 that for my subsequent visas, I'd go directly to the Chinese Visa Application Service Center. 

The green and the red.

I got my third visa during my visit to Laos in 2010. I remember queuing behind a Malaysian when I landed in Vientiane. Much to my surprise, I was routed to the counter for visa. That's when I learnt the Malaysian passport was much more stronger than the one I was holding. It turned out that Cambodia was not the only exception. Apparently VOA was also required for me to enter Laos.

The visit to Japan also needed visa. The application, and I went through it three times in 2014, 2015 and 2018, was the most effective and efficient one. You just had to follow the document list to a tee and you should be fine. The precision was... very Japanese. Nothing more, nothing less. 

UK visa, on the other hand, was not only complicated, but also mysterious. The form had so many things to fill in that I almost gave up. My wife and I also had to go down to VFS for submission, then our passports were mailed to the Philippines. They'd send you an email saying that the application has been processed, but there was no telling if it was approved. You'd only find out after you received and opened your passport.

The visas.

The thing is, after going through UK visa application, the Schengen visa felt like a piece of cake. We only needed to fill in two pages, then went down to the French Embassy because we were going to Paris. I remember that we missed a travel document, so I booked and attached my Eurostar train tickets on the email when I reached home. 

The Indonesian passport had its limitation, all right. But that's not to say the Singapore passport doesn't need visa, too. I had applied for India visa twice so far for my visit to Kolkata and Bangalore. The first time I did it was quite unforgettable. Firstly, the online payment actually went through, but the page was showing an error, hence the very misleading impression. Secondly, I assumed the visa would be valid for three months, so imagine my surprise when it wasn't the case. I'd be in trouble if my flight was delayed, so I sent them the email below, haha:

The query.

The reply, I'd say, was not helping at all: the applicant can arrive on any date till 11:59 PM of expiry date as mentioned in the visa. E-visa will be valid for 30 days from the date of arrival in India. So lesson learnt. No rush when it comes to India visa application.

So overall, how annoying is visa application? I'm not going to sugarcoat it. Traveling is much more convenient when you don't have to worry about visa. But more often than not, the visa application itself ain't that difficult, too. Yes, some do require the applicants' bank statements for the past three months, but once you get passed that, you are likely to be fine. So don't be discouraged, okay? If it gets you to the place you wish to be, then it's definitely worth the effort!



Visa

Teman saya Jimmy paling alergi kalau bicara soal visa. Bukannya mencoba, dia malah lebih senang berdalih. Ada saja yang alasannya, misalnya, "masih banyak negara yang bisa dikunjungi tanpa perlu memohon visa." Sikapnya ini cukup mencengangkan. Padahal paspornya, yang sebentar lagi berganti menjadi sampul merah, sebenarnya tergolong lemah. 

Dan tentu saja saya tahu, sebab saya pun dulunya memegang paspor yang sama. Visa pertama saya diperoleh di bulan April 2009, saat saya menyeberang dari Vietnam ke Kamboja. Proses mendapatkan visa on arrival (VOA) ini cukup unik. Kita disuruh makan siang dulu di kedai mie sementara visanya diurus di pos imigrasi yang tak jauh dari kedai tersebut.

Yang berikutnya adalah visa ke Cina. Liburan ke Nanning ini terjadi lima bulan setelah kunjungan ke Kamboja. Saya masih baru dalam hal jalan-jalan dan biro perjalanan masih dominan pada saat itu. Karena tiket ke Cina saya pesan dari Muhibbah Travel di Singapura, saya minta agar visa saya sekalian diurus pula. Setelah itu situasi berkembang pesat dan aplikasi visa berikutnya saya urus sendiri di Chinese Visa Application Service Center. 

Hijau dan merah.

Visa ketiga saya berkaitan dengan kunjungan ke Laos di tahun 2010. Saya antri di belakang orang Malaysia saat saya mendarat di Vientiane. Di luar dugaan, saya diarahkan ke loket visa. Di situ saya menyadari bahwa paspor Malaysia jauh lebih kuat dari yang saya pegang. Kamboja ternyata bukanlah satu-satunya pengecualian. Bahkan Laos pun perlu VOA. 

Kalau Jepang memang perlu visa (atau visa waiver, tergantung paspornya). Berdasarkan permohonan visa yang saya jalani di tahun 2014, 2015 dan 2018, bisa dikatakan bahwa proses visa Jepang adalah yang paling efektif dan efisien. Anda hanya perlu melampirkan berkas dokumen sesuai dengan yang tertera di daftar dan anda akan baik-baik saja. Pokoknya sangat... Jepang. Kedetilannya tidak lebih, tidak kurang. Pas.  

Aneka visa.

Visa Inggris jelas lain cerita. Bukan saja rumit, tapi juga misterius. Banyak yang harus diisi di formulirnya, sampai-sampai saya hampir menyerah. Saya dan istri lantas pergi ke VFS untuk menyerahkan dokumen, lalu paspor kita pun dikirim ke Filipina. Setelah itu saya menerima email bahwa aplikasinya telah selesai diproses, namun tak ada kejelasan bahwa visanya dikabulkan atau tidak. Saya hanya tahu hasilnya setelah menerima kembali dan membuka paspor saya. 

Kendati begitu, setelah melalui proses permohonan visa Inggris, visa Schengen terasa mudah. Hanya dua halaman yang perlu diisi, lalu kita datang ke Kedutaan Perancis karena tujuan kita adalah Paris. Saat itu ada dokumen yang kurang, tapi bisa dikirimkan lewat email. Saya pun memesan tiket Eurostar untuk dilampirkan. 

Ya, paspor Indonesia memang memiliki banyak kekurangan, tapi ini tidak berarti bahwa paspor Singapura sama sekali bebas visa. Saya sudah dua kali memohon visa India lewat internet untuk kunjungan ke Kolkata dan Bangalore. Kali pertama adalah pengalaman yang tidak terlupakan. Meski pembayarannya berhasil, tapi situsnya menampilkan kegagalan sehingga saya kebingungan. Selanjutnya ada lagi asumsi saya tentang visa yang biasanya berlaku tiga bulan, tapi tidak demikian halnya dengan visa India. Bila pesawat malam saya ditunda, bisa-bisa saya tiba di India setelah visa saya tak berlaku lagi. Jadi saya pun kirimkan email dan bertanya, hehe: 

Pertanyaan tentang visa.

Jawaban yang saya dapatkan sama sekali tidak membantu: the applicant can arrive on any date till 11:59 PM of expiry date as mentioned in the visa. E-visa will be valid for 30 days from the date of arrival in India. Artinya pemohon visa harus tiba paling lambat pada jam 11:59 malam di hari terakhir sebelum tanggal kadaluwarsa visa. Jadi hikmahnya adalah, tak perlu terburu-buru jikalau perlu memohon visa India.

Jadi secara keseluruhan, saya bisa katakan bahwa persyaratan visa ini memang menyebalkan. Jalan-jalan terasa jauh lebih praktis bila anda tidak memerlukan visa. Akan tetapi perlu disampaikan pula bahwa proses visa ini seringkali tidaklah serumit yang dibayangkan. Ya, ada yang terkadang memerlukan rekening bank selama tiga bulan terakhir, tapi anda cukup lampirkan seperti yang diminta dan seharusnya tidak akan ada masalah. Jadi jangan putus asa duluan. Jika visa itu bisa membawa anda ke tempat yang anda inginkan, niscaya upaya anda tidak akan sia-sia!