Total Pageviews

Translate

Sunday, November 24, 2024

The Three Wise Men

Throughout our lives, we continued evolving. For the betterment of ourselves, we learnt from the experience and exposure that shaped us. Along the way, some might gain a certain reputation as a wise person, knowledgeable and so forth. It was all fine and dandy, until you clung to it as if it was the only thing that mattered.

Reputation here could be defined as how a person was highly regarded by others. It must be great to reputable, therefore when cornered, one would defend his or her reputation fiercely. Asians in general had the mindset of giving face, saving face, anything that had to do with face, so excuses would be made up. They often sounded wise to the uninitiated, seamlessly sugarcoating the actual problem: the unwillingness to listen and get things done. They were also especially constructed to gain sympathy, the last resort to save the failing reputation. 

The craziest thing was, it would actually work on the audience that felt represented. Those who dared not to dream and take actions. Those who felt the world had been unfair and failing them. So you see the chain reaction here? In their attempt of saving their own skin, this first type of wise men had discouraged their followers under the pretext of being realistic. 

Then there were the second wise men. Ones that would come across as know-it-all. The people who either knew this or knew someone who knew that. They just had this insatiable need to constantly show that they knew more. But dug deeper and you'd realize that it was all superficial. Simply no substance. The funniest part was, apparently being confronted could be traumatizing. In the end, they chose not to speak up, worried that people would ask further. If something was accidentally blurted out, it would be recalled or deleted.

If the previous type was paranoid, The third group of wise men was perhaps over confident. They looked respectable and admirable until proven to be weren't as decent as they seemed. But they were patience enough to wait until opportunity knocked. Then they'd hop on anything that worked towards their advantage just to make a point. It'd be like field days, the moment they had been waiting for. You know, I'd been writing since high school, but even I was surprised to hear the story they were able to spin out!

Now, why am I telling you this? Like I said before, I am the chronicler. It is my thing to observe, ponder and write about it. I'm neither wise nor smart, but through what I did, I learnt from the wise men about what I don't want to be. They served as a reminder how human beings were susceptible to the reputation they built throughout the years. What was once an achievement had also become the weakness.

And I was also reminded that self-actualization, as preached by Bruce Lee many years ago, was better. Be yourself, not what people think or expect you to be. It's easier that way, for we don't always know or have all the answers. 

And be contented, too. Pursue reputation and you are at mercy of constant approval from others. But by being contented, something peaceful blossoms from within. That's the one thing that makes you smile and happy. 

Contented. I'd like to think I already am.
Photo by Yani.



Tiga Orang Bijak

Sepanjang hidup ini, kita akan senantiasa terus berevolusi. Dalam upaya kita untuk menjadi lebih baik, kita belajar dari pengalaman dan apa yang kita alami pun membentuk karakter kita. Beberapa di antara kita yang melewati proses pendewasaan ini bisa jadi meraih predikat orang bijak, berwawasan dan sebagainya. Semua ini baik adanya, sampai kita mendekap erat predikat yang kita sandang, seolah-olah ini adalah satu-satunya hal paling penting di dunia. 

Reputasi yang dimaksudkan di sini bisa dijabarkan sebagai cara bagaimana seseorang dipandang tinggi oleh orang lain. Tentunya hebat bila memiliki reputasi, namun tidak jarang orang menjadi defensif ketika reputasinya terancam. Kebanyakan orang Asia masih berkutat di pola pikir memberi muka, menyelamatkan muka, pokoknya segala sesuatu yang berhubungan dengan muka. Demi semua itu, segala macam alasan pun dibuat-buat. Bagi yang hanya menyimak secara sekilas, alasan tersebut bukan saja terdengar bijak, tapi juga menyamarkan masalah sesungguhnya: ketidakrelaan untik mendengar dan melakukannya. Dan alasan-alasan itu dirancang sedemikian rupa untuk menarik simpati, satu upaya terakhir untuk menyelamatkan reputasi yang goyah. 

Yang paling menarik adalah betapa semua alasan ini terdengar masuk akal bagi mereka yang merasa terwakilkan. Mereka yang tidak berani untuk bermimpi dan melakukan sesuatu. Mereka yang merasa dunia tidak adil dan telah mengecewakan mereka. Jadi bisa anda lihat siklus yang berkesinambungan ini. Dalam rangka menyelamatkan reputasi mereka, tipe pertama orang bijak ini secara tidak langsung memadamkan semangat pengikutnya dengan dalih realistis.

Kemudian ada pula orang-orang bijak yang berbeda. Kategori yang kedua ini adalah mereka yang kesannya serba tahu. Mereka tahu hal ini atau kenal dengan orang yang tahu akan hal itu. Sepertinya ada kebutuhan yang tidak terpuaskan, sampai-sampai mereka setiap waktu ingin menunjukkan bahwa mereka lebih tahu. Tapi tanya lebih lanjut dan maka akan anda temukan bahwa pengetahuan mereka cuma kulitnya saja. Tak ada isinya. Yang lucunya lagi, ternyata dicecar dengan pertanyaan bisa membuat trauma. Pada akhirnya orang bijak ini justru tak mau berkomentar lagi karena khawatir akan ditanya lebih lanjut. Jika sesuatu tanpa sengaja terucapkan, maka akan ditarik balik atau dihapus.

Jika tipe di atas adalah paranoid, maka yang ketiga ini justru terlalu percaya diri. Orang-orang tampak terhormat dan mengagumkan, sampai anda lihat sendiri bahwa mereka tidaklah seperti apa yang mereka proyeksikan. Namun mereka sabar menanti sampai munculnya kesempatan. Begitu hari tersebut tiba, mereka mengaitkan apa saja demi apa yang hendak disampaikan. Dan anda tahu, meski saya sudah menulis dari sejak SMA, saya tetap terkesima mendengar cerita karangan mereka.  

Sekarang, kenapa saya menceritakan semua ini? Seperti yang pernah saya ceritakan sebelumnya, saya adalah seorang pencatat di generasi saya. Apa yang saya lakukan adalah mengamati, merenungkan dan menuliskan apa yang saya lihat. Saya tidaklah pandai ataupun bijak, tapi dari apa yang saya lakukan, dari orang-orang bijak ini saya belajar tentang kelakuan yang sedapat mungkin saya hindari. Tiga orang bijak ini adalah bukti nyata bahwa manusia itu lemah dalam menyikapi reputasi yang mereka bangun selama bertahun-tahun. Apa yang pada awalnya adalah sebuah prestasi pada skhirnya hanya sebuah kelemahan. 

Dan saya juga turut diingatkan kembali bahwa aktualisasi diri, seperti yang dicetuskan oleh Bruce Lee, jelas lebih cocok. Jadilah diri kita sendiri, bukan menjadi seperti apa yang orang lain bayangkan tentang kita. Akan lebih mudah menjadi diri sendiri, sebab kita tidak selalu tahu semua hal dan memiliki semua jawaban. 

Dan bersyukur serta bergembiralah pula. Mengejar reputasi membuat anda senantiasa tergantung pada pengabsahan orang lain. Namun bila anda bisa bersenang hati, sesuatu yang damai lahir dari dalam. Itu adalah ,satu-satunya hal yang membuat anda tersenyum, tenang dan bahagia. 

Saturday, November 9, 2024

Passing The Torch

This story about passing the torch had been lodging in my mind since July, actually. I got the idea after the dinner with my ex-colleagues Jerold and Suresh. I let it sink in, knowing that if it ever got matured, it would resurface again after some time. Meanwhile, I moved on, but only to reminded of it through things I experienced at work and at home. The inspiration to write about it finally came when I was listening to a sermon last week. 

I remember specifically the conversation that happened as we took the escalator up. The gist of it is about the changes we can make if we are in the right position. The context is like this: at work, we may not always like the ideas or how we were being treated by our predecessors or supervisors. Hence when you are in the right position to change all that, you should put a stop so that it won't be passed down to the next generation anymore. 

Talk about the next generation, from time to time I would ask my daughter Linda if I had been a good Dad to her and whether she's happy with her life and family. While it is always nice to hear that she is appreciative of her funny Dad, it is far more important to know that she actually digs deeper and is grateful to be our daughter. She understands that things are tougher for those who came from a broken home whereas she has a relatively happy childhood. 

So now that I am in my forties, I learn that I am in that position where things I did are not only observed by the next generation, but would also have an impact in their lives, regardless how big or small it would be. 

This leaves us with only two choices. If you are being petty about life, you do exactly the same way your predecessors did to you. Know that by doing so, you are instrumental in extending the vicious cycle. Alternatively, what's not good end should with you so that the next generation doesn't have to experience it anymore. They'll start anew by not inheriting the mistakes from the past. 

We could make a difference. 

It's a matter of choice. 

And doing it right.

With Jerold and Suresh.



Untuk Generasi Berikutnya 

Cerita tentang apa yang kita wariskan untuk generasi berikutnya ini sudah muncul di benak saya sejak bulan Juli. Saya dapat ide ini setelah makan malam bersama mantan rekan kerja saya, Jerold dan Suresh. Akan tetapi saya acuhkan ide tersebut supaya matang bersama waktu. Bisa sudah tiba masanya, ide itu akan muncul lagi. Sementara itu, tak jarang saya diingatkan kembali tentang ide ini, baik di kantor maupun di rumah. Inspirasi akhirnya muncul saat saya mendengarkan khotbah pada hari Minggu lalu.

Saya ingat betul dengan perbincangan yang terjadi saat kita menaiki eskalator di Waterway Point. Inti dari percakapan tersebut adalah bagaimana kita bisa membuat perubahan saat berada di posisi yang tepat. Konteksnya seperti ini: di lingkungan kerja, ada kalanya kita tidak menyukai ide atau perlakuan senior kita yang berasal dari generasi sebelumnya. Oleh karena itu, bilamana kita berada di posisi yang tepat, anda bisa menghentikan semua itu supaya tak lagi berlanjut ke generasi berikutnya. 

Bicara tentang generasi setelah kita, terkadang saya bertanya pada putri saya Linda, apakah saya telah menjadi ayah yang baik baginya dan juga apakah dia bahagia dengan hidupnya dan sebagai bagian dari keluarga. Tentu saja senang rasanya mendengar bagaimana seorang anak menghargai orang tuanya, namun yang lebih penting lagi, di usianya yang tergolong muda, dia sebenarnya mengerti dan bersyukur telah terlahir di keluarga ini. Dia paham bahwa teman-temannya yang diasuh oleh orang tua tunggal yang mengalami perceraian itu melewati kesulitan yang jauh berbeda dengannya. Dan dia tahu bahwa masa kecilnya sudah cukup baik. 

Jadi di usia 40an ini, saya belajar bahwa saya kini berada di posisi bahwa apa yang saya lakukan bukan saja diamati oleh generasi berikutnya, tapi juga memiliki dampak dalam hidup mereka, entah itu besar atau kecil. 

Dan pada akhirnya hanya ada dua pilihan. Jika kita berpikir secara picik, kita bisa saja meneruskan hal yang sama seperti yang telah kita rasakan dari generasi sebelumnya. Tapi ketahuilah bahwa jika itu yang kita lakukan, maka kita punya andil dalam meneruskan lingkaran setan. Alternatif lainnya, apa yang tidak baik itu hendaknya berakhir bersama kita supaya generasi berikutnya tak lagi perlu mengalaminya. Mereka bisa memulai tradisi yang baru karena tidak mewarisi kesalahan dari masa lalu. 

Kita bisa membuat perbedaan. 

Ini hanyalah masalah pilihan. 

Dan juga melakukannya dengan baik. 

Saturday, November 2, 2024

The Culture

As I was talking with my wife about my upcoming trip to India, I was reminded again why I love traveling. No, it's not much about the nature, as I am always a city person and I thrive well when my cards work best. If there's one thing I like the most, it has to be this: the culture. 

The staycation where the inspiring talk took place. 

And it started long before I even realized it. Looking back, that's why Bali felt so different and charming. Because it is the only place in Indonesia with a thick Hindu influence. It's the culture that makes Bali so beautiful and welcoming. 

Same goes for India. I'd normally describe my experience like this: the colors, the noise, the smell, never before my senses had to work this hard! But it's the way the people carry on the age-old traditions, the delicious bannur mamsa chops I had in Bangalore, how all the religions come together in Kolkata, how I smashed the clay cup after drinking chai, that'll always be the incredible India I remember. 

The bannur mamsa chops that washed away the bland European taste.

If traveling is a humbling experience, then it's the culture that gets you thinking. I remember walking in Paris, seeing people enjoying life under the red awnings of the cafe and restaurant. For all the time we spent working, it was nice to see it with our own eyes that there was another option out there. 

And that boat ride from Interlaken to Iseltwald got me thinking, despite all the hard work we Asians did, we would never be as rich as the Swiss who woke up everyday to this heavenly view anyway. It opened up your mind and filled it with many questions: how rich is rich enough? Where are we in this life? What's the point of all this? 

Audrey and Yani in the breathtaking Iseltwald.

This is a break that most of us never know we need. We can be so focus in what we are doing to the extent that we believe this is it and the only way. In their ignorance, some even tell me that instead of travelling, you can just see it on YouTube. 

But it doesn't work that way. How the Indians still practice their 5000 years old belief in daily basis, how the Chinese is so advanced in their technologies such as Alipay, how the Japanese can be so hospitable, the magnitude of all this can only be appreciated when you are there. 

The guy who prepared the chai for me. He is the master! 

And embracing the culture helps you to reset your point of view. Every time you are skewed, the humbling experience brings balance to the force. The humility of it. That's the greatest part. People talk about healing. This is one. But don't let me bluff you. Try it yourself. 



Budaya

Sewaktu saya berbincang dengan istri saya tentang liburan saya ke India di bulan Januari 2025, saya jadi teringat kembali kenapa saya suka jalan-jalan. Tidak, ini bukan tentang alam, karena saya lebih menyukai kota dan saya berfungsi dengan baik di tempat di mana saya bisa mengibaskan kartu kredit. Jadi jika ada satu hal yang paling saya sukai dari berlibur, maka itu adalah budaya. 

Staycation tempat kita berbincang tentang topik yang membuat saya terinspirasi.

Dan semua ini sudah berlangsung lama, bahkan jauh sebelum saya menyadarinya. Bila saya lihat kembali, ini alasannya kenapa Bali terasa berbeda dan memikat. Bali memiliki daya tarik luar biasa karena inilah satu-satunya tempat di Indonesia yang begitu kental budaya Hindunya. Adalah budaya yang membuat Bali terasa indah dan ramah. 

Sama halnya dengan India. Saya seringkali menggunakan ilustrasi berikut ini: warna-warni, aroma dan volume suara di India, belum pernah panca indra saya bekerja sekeras ini! Namun budaya ribuan tahun yang masih dijalani warganya, daging kambing bannur mamsa yang kaya rempah-rempah di Bengaluru, beraneka ragam agama yang berdampingan di Kolkata, hingga hal kecil seperti saat saya membanting cawan tanah liat setelah menenggak chai, inilah India akan selalu terkenang di benak saya. 

Daging kambing bannur mamsa yang super lezat.

Jika berlibur melihat dunia adalah sebuah pengalaman yang bersahaja, maka budaya yang kita alami adalah apa yang membuat kita berpikir. Saya ingat saat berjalan di Paris, melihat bagaimana orang-orang duduk santai menikmati hidup di bawah tenda merah di depan kafe dan restoran. Saat teringat bagaimana kita menghabiskan waktu untuk bekerja, lega rasanya melihat sendiri bahwa ada opsi lain dalam hidup ini. 

Dan di kapal yang menyusuri danau dari Interlaken ke Iseltwald itu saya berpikir, seberapa keras pun kita yang di Asia bekerja, kita tidak akan pernah sekaya orang Swiss yang bangun dengan pemandangan seindah ini setiap hari. Semua ini lantas membuat saya bertanya: jadi seberapa kaya baru cukup? Di mana posisi kita sekarang dalam kehidupan ini? Apa makna dari semua yang kita jalani ini? 

Audrey dan Yani sewaktu kita tiba di Iseltwald.

Keluar dari rutinitas dan masuk ke lingkungan yang sama sekali baru ini adalah sesuatu yang kita perlukan, meski tak banyak yang menyadari, apalagi mencoba. Terkadang kita bisa terlalu fokus pada apa yang kita lakukan, sampai-sampai kita percaya bahwa hidup hanyalah seperti ini dan ini adalah satu-satunya cara. Dalam ketidaktahuan mereka, ada saja yang dengan naifnya berkata bahwa semua ini bisa dilihat di YouTube. 

Tapi tentu saja caranya tidak seperti itu. Bagaimana orang India masih berpegang teguh pada kepercayaan yang sudah 5000 tahun lamanya dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana orang Cina bisa begitu maju dan canggih dengan teknologi seperti Alipay, bagaimana orang Jepang bisa begitu ramah, anda hanya bisa mengapresiasi budaya mereka saat berada di sana. 

Sang penyaji teh di cawan tanah liat!  

Dan mengalami sendiri budaya asing membantu kita meluruskan kembali sudut pandang kita. Setiap kali kita mulai oleng, pengalaman bersahaja ini menyeimbangkan kita kembali. Kerendahan hati dan ide yang kita dapatkan, itu adalah hal yang berharga. Orang-orang sering berkata tentang healing. Inilah hasilnya. Tapi jangan percaya begitu saja dengan apa yang saya katakan. Anda harus coba sendiri.