Throughout our lives, we continued evolving. For the betterment of ourselves, we learnt from the experience and exposure that shaped us. Along the way, some might gain a certain reputation as a wise person, knowledgeable and so forth. It was all fine and dandy, until you clung to it as if it was the only thing that mattered.
Reputation here could be defined as how a person was highly regarded by others. It must be great to reputable, therefore when cornered, one would defend his or her reputation fiercely. Asians in general had the mindset of giving face, saving face, anything that had to do with face, so excuses would be made up. They often sounded wise to the uninitiated, seamlessly sugarcoating the actual problem: the unwillingness to listen and get things done. They were also especially constructed to gain sympathy, the last resort to save the failing reputation.
The craziest thing was, it would actually work on the audience that felt represented. Those who dared not to dream and take actions. Those who felt the world had been unfair and failing them. So you see the chain reaction here? In their attempt of saving their own skin, this first type of wise men had discouraged their followers under the pretext of being realistic.
Then there were the second wise men. Ones that would come across as know-it-all. The people who either knew this or knew someone who knew that. They just had this insatiable need to constantly show that they knew more. But dug deeper and you'd realize that it was all superficial. Simply no substance. The funniest part was, apparently being confronted could be traumatizing. In the end, they chose not to speak up, worried that people would ask further. If something was accidentally blurted out, it would be recalled or deleted.
If the previous type was paranoid, The third group of wise men was perhaps over confident. They looked respectable and admirable until proven to be weren't as decent as they seemed. But they were patience enough to wait until opportunity knocked. Then they'd hop on anything that worked towards their advantage just to make a point. It'd be like field days, the moment they had been waiting for. You know, I'd been writing since high school, but even I was surprised to hear the story they were able to spin out!
Now, why am I telling you this? Like I said before, I am the chronicler. It is my thing to observe, ponder and write about it. I'm neither wise nor smart, but through what I did, I learnt from the wise men about what I don't want to be. They served as a reminder how human beings were susceptible to the reputation they built throughout the years. What was once an achievement had also become the weakness.
And I was also reminded that self-actualization, as preached by Bruce Lee many years ago, was better. Be yourself, not what people think or expect you to be. It's easier that way, for we don't always know or have all the answers.
And be contented, too. Pursue reputation and you are at mercy of constant approval from others. But by being contented, something peaceful blossoms from within. That's the one thing that makes you smile and happy.
Contented. I'd like to think I already am. Photo by Yani. |
Tiga Orang Bijak
Sepanjang hidup ini, kita akan senantiasa terus berevolusi. Dalam upaya kita untuk menjadi lebih baik, kita belajar dari pengalaman dan apa yang kita alami pun membentuk karakter kita. Beberapa di antara kita yang melewati proses pendewasaan ini bisa jadi meraih predikat orang bijak, berwawasan dan sebagainya. Semua ini baik adanya, sampai kita mendekap erat predikat yang kita sandang, seolah-olah ini adalah satu-satunya hal paling penting di dunia.
Reputasi yang dimaksudkan di sini bisa dijabarkan sebagai cara bagaimana seseorang dipandang tinggi oleh orang lain. Tentunya hebat bila memiliki reputasi, namun tidak jarang orang menjadi defensif ketika reputasinya terancam. Kebanyakan orang Asia masih berkutat di pola pikir memberi muka, menyelamatkan muka, pokoknya segala sesuatu yang berhubungan dengan muka. Demi semua itu, segala macam alasan pun dibuat-buat. Bagi yang hanya menyimak secara sekilas, alasan tersebut bukan saja terdengar bijak, tapi juga menyamarkan masalah sesungguhnya: ketidakrelaan untik mendengar dan melakukannya. Dan alasan-alasan itu dirancang sedemikian rupa untuk menarik simpati, satu upaya terakhir untuk menyelamatkan reputasi yang goyah.
Yang paling menarik adalah betapa semua alasan ini terdengar masuk akal bagi mereka yang merasa terwakilkan. Mereka yang tidak berani untuk bermimpi dan melakukan sesuatu. Mereka yang merasa dunia tidak adil dan telah mengecewakan mereka. Jadi bisa anda lihat siklus yang berkesinambungan ini. Dalam rangka menyelamatkan reputasi mereka, tipe pertama orang bijak ini secara tidak langsung memadamkan semangat pengikutnya dengan dalih realistis.
Kemudian ada pula orang-orang bijak yang berbeda. Kategori yang kedua ini adalah mereka yang kesannya serba tahu. Mereka tahu hal ini atau kenal dengan orang yang tahu akan hal itu. Sepertinya ada kebutuhan yang tidak terpuaskan, sampai-sampai mereka setiap waktu ingin menunjukkan bahwa mereka lebih tahu. Tapi tanya lebih lanjut dan maka akan anda temukan bahwa pengetahuan mereka cuma kulitnya saja. Tak ada isinya. Yang lucunya lagi, ternyata dicecar dengan pertanyaan bisa membuat trauma. Pada akhirnya orang bijak ini justru tak mau berkomentar lagi karena khawatir akan ditanya lebih lanjut. Jika sesuatu tanpa sengaja terucapkan, maka akan ditarik balik atau dihapus.
Jika tipe di atas adalah paranoid, maka yang ketiga ini justru terlalu percaya diri. Orang-orang tampak terhormat dan mengagumkan, sampai anda lihat sendiri bahwa mereka tidaklah seperti apa yang mereka proyeksikan. Namun mereka sabar menanti sampai munculnya kesempatan. Begitu hari tersebut tiba, mereka mengaitkan apa saja demi apa yang hendak disampaikan. Dan anda tahu, meski saya sudah menulis dari sejak SMA, saya tetap terkesima mendengar cerita karangan mereka.
Sekarang, kenapa saya menceritakan semua ini? Seperti yang pernah saya ceritakan sebelumnya, saya adalah seorang pencatat di generasi saya. Apa yang saya lakukan adalah mengamati, merenungkan dan menuliskan apa yang saya lihat. Saya tidaklah pandai ataupun bijak, tapi dari apa yang saya lakukan, dari orang-orang bijak ini saya belajar tentang kelakuan yang sedapat mungkin saya hindari. Tiga orang bijak ini adalah bukti nyata bahwa manusia itu lemah dalam menyikapi reputasi yang mereka bangun selama bertahun-tahun. Apa yang pada awalnya adalah sebuah prestasi pada skhirnya hanya sebuah kelemahan.
Dan saya juga turut diingatkan kembali bahwa aktualisasi diri, seperti yang dicetuskan oleh Bruce Lee, jelas lebih cocok. Jadilah diri kita sendiri, bukan menjadi seperti apa yang orang lain bayangkan tentang kita. Akan lebih mudah menjadi diri sendiri, sebab kita tidak selalu tahu semua hal dan memiliki semua jawaban.
Dan bersyukur serta bergembiralah pula. Mengejar reputasi membuat anda senantiasa tergantung pada pengabsahan orang lain. Namun bila anda bisa bersenang hati, sesuatu yang damai lahir dari dalam. Itu adalah ,satu-satunya hal yang membuat anda tersenyum, tenang dan bahagia.