As my ex-housemates and I had our dinner on Sunday night, we talked about how long we had stayed in Singapore. We came here when we were in our twenties. With the exception of
Endrico's younger sister, we are in our forties now.
How time flies!
But most importantly, as I looked at them, I saw family and friends. Yes, I see them less now, but there was a time when they were the permanent fixtures in my life. Our lives intertwined until we outgrew that relationship. The thought of this prompted me to look back and discovered the four stages of family and friends in my life.
 |
Before the dinner. Photo by Surianto. |
First and foremost, I was part of my Dad's family. As his firstborn, I had the best of 80s and
early 90s had to offer
in Pontianak.
My Dad was never the award winning type, but in his imperfection, he was still the greatest Dad a son could have.
 |
Many years ago in Pontianak. |
Even when he didn't do well later on in his life, Dad's absence still shaped my life forever in a good way. It set the stage for the second phase of my life. That's when I learnt how to be independent. I met
the Beatles at the same time. I had neither
regret or anger. Looking back, it was just meant to be this way.
And also equally important was
Eday and the
high school friends. When you had friends that helped discovering
your talent, gave you your sweet seventeen birthday and went through something as haunting as
Temajoh with you, life had to be good indeed! Poor though I was financially, I was very rich at heart. Hey, I was in the band as a
rock and roll singer! It couldn't get any better than this!
 |
The sweet seventeen birthday. |
That's also probably why I was never close with
college friends. It was a different time. I gotta work seven days a week. But I remained close with those from high school such as
Ardian and HM. Yes, just like what
Ringo said, I got by with a little help from my friends. And when Eday, Endrico and others returned from
Yogyakarta or Kuching, we would hang out.
From high school, college, to
those days in Jakarta, the friendship withstood the test of time. The dawn of technology such as mobile phone, emails and Yahoo! Messenger certainly helped. We even traveled a bit to
Bandung and
Bali. Along the way, I met some people that would become lifelong friends, too.
Soedjoko, Sugiowono and, of course, Yani.
 |
Soedjoko (right) in Pontianak, 2006. |
Meeting Yani was the push factor I never knew I needed. Up until then, I was happy where I was. But even a happy-go-lucky guy could sense that it was time for a change. That's why
Singapore happened. That's why
Pheng iu, as Sudarpo would affectionately call us, happened. Thus began the third stage of my life.
I wish I could tell you a story about how hard my life was in Singapore. That would make it more dramatic. But no,
living in a foreign country with friends like them was so much fun. It was just the right time for us who were in our mid twenties then.
 |
Prata with Pheng iu, after Wawa's performance. |
We hung out together, we
laughed a lot, we earned enough for us to save and spend. That's why we could make short movies and we could also travel. But most importantly, we had each other. I don't think we were ever really alone throughout those years.
From them, I learnt that you could dream of something and achieve it. That's how the
short movies were made. From them, I learnt how fun traveling is. I just told Alfan again the time we sat behind the lorry
in Bangkok and he laughed. From them, I learnt that the line between family and friends was blurry, so blurry that it felt the same to me.
 |
Visiting Melacca, 2009. |
They were the closest and dearest people I had during this period. But in all fairness, Endrico, Surianto, Andy William and Jimmy Lim were there, so it didn't feel like losing touch with my high school friends. Again, it was just a different time, when we were trying to make a living and technology wasn't advanced enough yet for us to keep in touch. While
BBM was wildly popular as we headed to 2010, it was only during
WhatsApp era that we got together again.
In the meantime, people came and went.
Colleagues such as
Bernard became good friends, too. But the
Pheng iu gang was always there right till the end of an era: when I was ready for the fourth stage of my life. Surrounded by them in Singapore, Yani and I began our journey together. It was
a long way home, if you knew what I meant.
 |
ROM day, 2011. Photo by Endrico. |
In the past 15 years, some of us had gotten married. Kids were born. The good work we did continued until it became manageable. I could tell you this much: if you did
your role well, then work life balance wasn't a myth! In my case,
group chat was formed and high school friends were reacquainted again.
The lockdown, the travels, we went through them all and lived to tell the story.
And the same life story brought us to that fateful night. There I was, having dinner together with those familiar faces. As I stared at the ever talkative
Wawa, I recalled the good old days we had. We all had a pretty good time, didn't we? And I was thankful. Though not all of us were there that night, in my life, I'd loved them all.
 |
For a better tomorrow! |
Keluarga Dan Teman
Sewaktu para mantan teman serumah dan saya menikmati makan malam bersama, kita juga bercakap tentang berapa lama sudah kita tinggal di Singapura. Kita datang ketika berumur 20an. Kecuali adik
Endrico, kini kita di kisaran usia 40an. Betapa cepat
waktu berlalu.
Di tengah riuhnya suasana, saya memandang ke sekeliling. Yang saya lihat adalah keluarga dan teman. Ya, saya mungkin sudah jarang bertemu dengan mereka sekarang, namun ada suatu masa dalam hidup saya ketika kita selalu bersama. Hubungan kita begitu erat dan tak terpisahkan. Apa yang terlintas di benak saya ini membuat saya mengenang kembali dan menemukan empat fase berbeda dalam hidup saya.
 |
Sebelum makan malam. Foto oleh Surianto. |
Pertama-tama, saya tentulah merupakan bagian dari keluarga ayah saya. Sebagai anak pertama, saya mendapatkan yang terbaik dari tahun 80an hingga
pertengahan dekade 90an di
Pontianak.
Ayah saya bukanlah tipe ayah paling ideal, namun di dalam ketidaksempurnaannya, dia adalah ayah terbaik yang bisa diharapkan oleh putranya.
 |
Bertahun-tahun silam di Pontianak. |
Bahkan tatkala dia tidak berhasil dalam hidupnya, ketidakhadiran ayah saya pun masih membentuk hidup saya dengan baik. Fase kedua dalam hidup saya adalah dampak dari kegagalannya. Saya belajar mandiri. Saya juga berkenalan dengan
the Beatles di saat yang sama. Alhasil, saya tidak menyimpan
penyesalan ataupun kemarahan. Kalau saya lihat kembali, sepertinya inilah yang harus terjadi dan saya jalani.
Dan yang tak kalah pentingnya juga adalah
Eday dan teman-teman
SMA. Bilamana anda memiliki para sahabat yang membantu anda menemukan
bakat anda, sedaya upaya merayakan ulang tahun ke-17 anda dan melewati pengalaman yang menghantui anda secara harafiah seperti
Temajoh, maka hidup anda pastilah baik! Meski saya miskin secara finansial, hati saya kaya-raya. Hei, saya juga di grup musik sebagai seorang
penyanyi rock and roll! Hidup takkan bisa lebih bagus dari ini lagi!
 |
Ulang tahun ke-17. |
Mungkin karena ini pula makanya saya tidak dekat dengan teman-teman
kuliah. Itu adalah masa yang berbeda. Saya harus bekerja tujuh hari seminggu. Tapi saya tetap dekat dengan mereka yang berasal dari satu SMA, misalnya
Ardian dan HM. Ya, seperti kata
Ringo, saya melewati semuanya dengan bantuan teman-teman saya. Dan saat Eday, Endrico dan yang lainnya kembali dari
Yogyakarta atau Kuching, kita pun berkumpul lagi.
Dari zaman SMA, kuliah sampai saat saya
hijrah ke Jakarta, persahabatan ini bertahan dan tak lekang oleh waktu. Munculnya teknologi seperti telepon genggam, email dan Yahoo! Messenger tentunya membantu. Kita bahkan sempat main ke
Bandung dan
Bali. Seiring dengan berjalannya waktu, saya juga bertemu dengan mereka yang menjadi karib juga. Ada
Soedjoko, Sugiowono dan tentu saja Yani.
 |
Soedjoko (kanan) di Pontianak, 2006. |
Pertemuan dengan Yani menjadi dorongan yang ternyata saya butuhkan. Sampai sejauh ini, saya senang dengan hidup saya di Jakarta. Tapi bahkan pria yang riang dan santai pun tahu bahwa sudah saatnya berubah. Karena itulah saya
ke Singapura. Karena itulah saya bertemu dengan
Pheng iu, panggilan akrab yang dicetuskan oleh Sudarpo, yang artinya adalah teman. Fase ketiga dalam hidup saya pun dimulai.
Sampai di sini saya sebenarnya berharap bisa bercerita tentang sulitnya nasib saya merantau di Singapura. Pasti efeknya akan lebih dramatis. Tapi kisahnya tidaklah begitu.
Hidup di negeri asing bersama teman seperti mereka sangatlah seru. Usia pertengahan 20an adalah masa yang tepat bagi bujang dan dara untuk hidup dalam kebersamaan.
 |
Prata bersama Pheng iu, setelah pertunjukan Wawa. |
Kita selalu berkumpul dan
tertawa. Penghasilan kita cukup untuk ditabung dan juga dihamburkan. Karena itulah kita bisa membuat film dan berlibur bersama. Namun yang lebih penting lagi adalah, kita memiliki satu sama lain. Saya rasa kita tidak pernah benar-benar kesepian di tahun-tahun tersebut.
Dari mereka, saya belajar bahwa kita bisa bermimpi dan menggapai impian tersebut. Dari situlah kita bisa
membuat film. Dari mereka, saya juga belajar bahwa berlibur itu sangat menyenangkan. Di malam itu saya mengenang kembali saat duduk bersama Alfan di belakang lori yang mengelilingi
Bangkok. Dia pun tergelak. Dari mereka, saya belajar bahwa teman dan keluarga itu tak jauh beda. Begitu miripnya sampai terasa sama bagi saya.
 |
Mengunjungi Melaka, 2009. |
Mereka semua adalah teman-teman terdekat saya di periode ini. Akan tetapi tentu saja Endrico, Surianto, Andy William dan Jimmy Lim juga merupakan bagian dari
Pheng iu sehingga saya tidak sepenuhnya putus hubungan dengan teman SMA. Masa itu bisa dijabarkan sebagai saat kita berjuang meniti karir dan teknologi yang ada belum memadai untuk menjangkau teman lain yang terpisah entah di mana. Meski
BBM populer di tahun 2009-2010, baru di
era WhatsApp semuanya bisa berkumpul lagi.
Sementara itu, aneka kenalan datang dan pergi.
Para kolega seperti
Bernard pun menjadi teman baik. Namun
Pheng iu senantiasa bersama hingga saya siap menempuh fase ke-empat dalam hidup saya. Dikelilingi oleh mereka sebagai saksi, Yani dan saya memulai hidup bersama. Satu
perjalanan panjang menuju rumah, jika anda tahu maksud saya.
 |
Di hari registrasi pernikahan, 2011. Foto oleh Endrico. |
Dalam 15 tahun terakhir, beberapa di antara kita menikah. Anak-anak pun lahir. Kerjaan berlanjut sampai berjalan lancar. Saya bisa bersaksi tentang hal ini: jika anda mainkan
peran anda dengan baik, keseimbangan antara kerjaan dan hidup bukanlah hal mustahil. Dalam kasus saya,
grup SMA terbentuk dan waktu luang pun diselingi oleh kehebohan SMA lagi. Masa
pandemik dan kebebasan berlibur sesudahnya kita lalui bersama dan semua menjadi cerita.
Dan cerita kehidupan ini membawa kita kembali berkumpul di malam itu. Saya duduk di sana, bersantap dengan mereka yang akrab wajahnya. Saya menatap
Wawa yang cerewet, lalu terkenang kembali ke masa-masa di Kembangan. Penuh cerita menyenangkan, bukan? Dan saya bersyukur. Meski tidak semuanya bisa berkumpul di malam itu, dalam hidup ini, saya menyayangi mereka semua.
 |
Untuk hari esok yang lebih baik lagi! |