Manga, the equivalent of comics books in western world, is part of Japan's culture. I remember visiting Akihabara and was amazed by the collection of manga there: a whole building, basement included, full of mangas. It's big in Japan, alright, but the imported culture is thriving in Indonesia, too!
As far as I can remember, it was all started with Candy Candy. Remember that cheerful blonde girl that fell in love for the first time with Anthony? I let you in for a little secret: I actually collected the whole series, haha. That manga was then followed by Doraemon and Tekken Chinmi. From that point onwards, manga was unstoppable, flooding in and claiming it's rightful place in our daily life. It quickly replaced American and European comics, then pushed Hong Kong manhua to the brink of extinction.
There were a lot of good stuff back then, ranging from Ranma 1/2, Dr. Slump and Crayon Shin Chan for comedy genre, Break Shot for sport, Detective Conan for mystery, Sailor Moon for the girls, Captain Kid for seafaring adventure (and it was my personal favorite), Hokuto no Ken for martial arts, etc. The biggest of them all then was, of course, Dragon Ball by Akira Toriyama. Do take note that I only named a few that I read. There were plenty more that I didn't read but were popular among friends, such as Slam Dunk. We were a very well-read generation, weren't we? The internet hadn't arrived yet, so reading was what we did.
All good things must come to an end, though. Personally, the end of Dragon Ball Z felt like the end of an era. At that time, Ranma 1/2 and Hokuto no Ken had ended as well and I was also graduating from college. In a way, it was a time to move on, time to grow up like any other ordinary adult. Life could have been boring, eh? Lucky for me, it was during this period that I started reading One Piece. I think it was my younger brother who influenced me, because he was already a fan then. I hesitated for the longest time, because the drawings looked weird, hence how good could the story be? But the moment I picked it up, the rest was history.
With main characters such as Luffy and his nakama, One Piece was hilariously funny. However, One Piece would have been just another manga if that was the only good thing about it. No, the biggest draw was the relationship among the Straw Hat pirate crews. Eiichiro Oda was a genius when it came to such epic scenes. It was first seen in Arlong Park arc, when the upset and desperate Nami pleaded for help. Luffy, who was uncharacteristically quiet, symbolically responded by placing his straw hat on her, then he was on his way to fight Arlong.
If a picture painted a thousand words, that was when Eiichiro Oda did it brilliantly. No words required, yet as a reader, one couldn't help feeling how heroic that particular scene was. It was the first, but definitely not the last. Oda would do it again later in a more powerful scene about nakama when Nico Robin was captured during the Enies Lobby arc. With his crews standing on his side, Luffy nonchalantly asked Sogeking to shoot down the World Government flag, showing how far he was willing to go for his nakama. It was the best and most memorable scene ever.
And One Piece is just full of such moments. When the Straw Hat had their last ride on Going Merry, you could feel how sad the inevitable farewell was. When Ace died, you could sense it was a very painful loss for Luffy. When Whitebeard was defeated, it was a defeat worthy of his title as one of the Four Emperors and you'd have nothing but respect for the man.
It's been 20 years since Luffy began his incredible journey. I remember first reading it at home in Pontianak, and I'm still reading it, but at my own home in Singapore now. In this ever-changing world, One Piece constantly provides us the laughter we don't know we need. It keeps our hearts beating fast, subconsciously touched and motivated by their nakama bond and boundless optimism, no matter how dire the situation is. Up until know, nobody knows what One Piece actually is, but for me, the greatest pirate treasure everybody was looking for is the joy it brings and inspires me for the past 20 years...
The Straw Hat Pirates - Happy Meal version. |
Komik Jepang Yang Sudah Dua Puluh Tahun Itu...
Manga adalah bagian dari budaya Jepang. Saya ingat akan kunjungan saya ke Akihabara dan terpukau dengan koleksi manga di sana: satu gedung, termasuk lantai bawah tanah, penuh dengan komik. Manga benar-benar heboh di Jepang, tapi budaya impor ini juga berjaya di Indonesia!
Sejauh saya bisa mengingat, manga di Indonesia bermula dari Candy Candy. Anda ingat tentang gadis pirang nan riang yang jatuh cinta dengan Anthony? Saya bocorkan rahasia kecil untuk anda: saya dulu pernah memiliki koleksi lengkap serial ini, haha. Setelah Candy Candy, Doraemon dan Kungfu Boy pun menyusul. Semenjak itu, invasi manga pun tidak terbendung lagi. Komik Amerika dan Eropa dengan cepat dilibasnya, lalu komik Hong Kong pun perlahan-lahan kalah pamornya.
Banyak manga bagus ketika itu, mulai dari Ranma 1/2, Dr. Slump dan Crayon Shin Chan dari kategori komedi, Break Shot untuk kategori olahraga, Conan untuk serial detektif, Sailor Moon untuk para anak gadis, Kapten Kid untuk kategori petualangan (dan merupakan komik favorit saya), Tinju Bintang Utara untuk kategori bela diri dan masih banyak lagi. Yang termashyur waktu itu tentu saja Dragon Ball, karangan Akira Toriyama. Judul-judul di atas hanya sedikit dari apa yang beredar di saat itu. Masih ada lagi yang lain, yang tidak saya baca, tapi populer di kalangan teman-teman, misalnya Slam Dunk. Sebagai generasi yang tumbuh di masa sebelum internet, kita sungguh banyak membaca!
Akan tetapi semua hal yang baik harus berakhir. Secara pribadi, saya sering merasa bahwa tamatnya Dragon Ball Z adalah akhir dari sebuah era. Saat itu, Ranma 1/2 dan Tinju Bintang Utara pun sudah berakhir. Saya sendiri juga sudah hampir lulus kuliah, jadi memang terasa seperti sudah saatnya memasuki jenjang kehidupan berikutnya, tumbuh dewasa seperti layaknya seorang pria. Kedengarannya suram dan membosankan, ya? Saya beruntung karena di saat itulah saya menemukan One Piece. Adalah adik saya, yang sudah menggemari One Piece ketika itu, yang mempengaruhi saya untuk mulai membaca. Saya sempat ragu karena gambarnya yang aneh, jadi saya berpikir, akan sebagus apa ceritanya? Namun begitu saya mulai membacanya, sejak itu pula saya selalu mencari edisi berikutnya.
Dengan karakter seperti Luffy dan para nakama-nya, One Piece benar-benar kocak. Kendati begitu, kalau hanya sekadar lucu, maka One Piece tidak ubahnya seperti komik-komik biasa. Apa yang membuatnya menarik adalah hubungan erat antara Luffy dan teman-temannya. Sang pengarang, Eiichiro Oda, adalah seorang jenius dalam menulis dan menggambar adegan yang menggugah. Saya ingat betul ketika Nami yang sedih dan putus asa meminta bantuan Luffy. Sang Kapten tidak mengucapkan apa-apa dan hanya memberikan topi jeraminya kepada Nami, lantas beranjak ke kediaman Arlong.
Jika sebuah lukisan menggambarkan ribuan kata, maka karya Eiichiro Oda itu benar-benar luar biasa. Meski tanpa dialog, pembaca bisa merasakan inspirasi kepahlawanan dari adegan tersebut. Oda kembali mengulang adegan yang serupa ketika Nico Robin ditangkap dan dibawa ke Enies Lobby sehingga Luffy dan kawan-kawan pun menyerbu ke sana untuk menyelamatkannya. Berangkat secara terpisah, masing-masing menemukan jalannya dan bergabung dengan Luffy di atas atap. Ketika ia ditantang untuk menyelamatkan Nico Robin, Luffy tanpa emosi menyuruh Sogeking menembak dan membakar bendera lawan. Dengan ciri khasnya Luffy menunjukkan bahwa dia tidak pernah segan untuk menyelamatkan nakama-nya.
Dan One Piece penuh dengan adegan mengharukan seperti itu. Ketika mereka bertualang bersama Going Merry untuk terakhir kalinya, anda bisa merasakan betapa sedihnya mereka saat berpisah dengan kapal pertama mereka. Tatkala Ace meninggal, anda bisa turut merasakan kepedihan Luffy yang sulit menerima kenyataan ini. Ketika Whitebeard dikalahkan, itu adalah kekalahan yang seagung namanya sebagai salah satu dari Empat Kaisar sehingga semua pun kagum dan menghormatinya.
Sudah 20 tahun berlalu sejak Luffy berlayar menuju Grand Line. Saya ingat saat saya pertama kali membacanya di rumah orang tua saya di Pontianak dan sekarang saya masih mengikutinya, kini di rumah saya sendiri di Singapura. Di dunia yang senantiasa berubah, One Piece secara konsisten membuat kita tergerak dan juga termotivasi oleh optimisme dan kerelaan mereka untuk berkorban satu sama lain. Sampai sekarang, tidak ada yang tahu apa sebenarnya One Piece, tapi bagi saya pribadi, harta bajak laut yang diburu semua orang ini adalah suka-cita dari sebuah cerita yang menginspirasi saya selama 20 tahun terakhir ini...
Luffy dan kawan-kawan, hadiah dari McDonald's. |
No comments:
Post a Comment