Total Pageviews

Translate

Saturday, January 12, 2019

My Dear Hometown

In our little chat group community of Generation '98 (that's the year we graduated from high school), I was well-known as the one who disliked going back to our hometown. The impression was so strong that after a while, they simply believed that I hated Pontianak (one even suggested that I must have a horrible childhood there). Whenever the topics of going back to our hometown cropped up and I resisted the idea, my friends would have a fields day and take their turn to bash me. Since they looked so happy in hurling verbal abuse, I just let them be, haha.

But what's with the mystery, actually? Do I really hate my hometown because I had a horrible childhood? Let's break the myth. First of all, I never hated my hometown, but I truly disliked the fact that the power plant was unreliable, there'd be brackish water during dry season and then came the hazy days when they started burning the forest. After 22 years of living in such conditions, I was pretty convinced that I had it enough. That's why I left and moved to Jakarta to start anew.

Now, how about the childhood? In all honesty, I had the most memorable childhood a kid could have asked for. I had a father who told me I was good and a mother who loved me all she could. I had a younger brother to grow up with, my first audience when I started storytelling using action figures, long before Roadblog101. I had close friends during my formative years, and as we turned from boys to men, I still called them friends. I played games from the conventional ones such as hide and seek or fish catching in the ditch. I played the state-of-the-art games, too, such as Nintendo and Sega at home or arcade games at Orbit Wonderland. I shared what I had with others and I visited them to play together as well. I had turtle pets and it was my favorite animal since then. I was driven around when we were well-to-do and I took the public transport when we were poor. I walked under the scorching sun with Parno and I rode the road bike that I loved under the heavy rain. Fluctuating at school, I'd been the number one and the lousy student. I'd been praised and I'd been punished, too. I got to know the Beatles and join a band. I had the best food money could buy and I had the simple meals cooked wholeheartedly by my friend's Mum. I had loved and been disappointed. I traveled and almost died. I had my happiest laughter and I cried my saddest tears there. Looking back, I had neither complaints nor regrets of growing up in Pontianak. It was meant to be. It took the whole journey to transform me into who I am today.

The last time I went to Pontianak.
From left: Harry, Anthony, Parno and Eday.
Photo by Eday Ng.

Now, Pontianak is not known as a tourist destination, but the town sure had a lot of cuisines sold at the road side or eateries. When my friends went back to Pontianak, the culinary tour was definitely in their agenda. The typical behavior they'd do was, they'd be doing the food hunting spree and post the local delicacies on Facebook. The same charm didn't really work for me, though. I always thought that Pontianak food was overrated. Yes, some were indeed delicious, but sentimental reason also played a big part in building the urge to eat them again. I loved the food mostly because I grew up with it, but I certainly could do without the cuisines. Some of my friends, such as Bakmi Alit, did a good job in replicating the taste of Pontianak and I could visit their stalls when I went to Jakarta. Since I didn't miss it that much, I wouldn't go back to Pontianak just for the food.

How about friends and family and traditions, such as Chinese New Year? Well, I chat with friends every day, so often that I must have used up the quota for the entire lifetime. As for family, sometimes they'd come to Singapore, too, and I loved playing host and tour guide when they were in town. Talk about traditions, I did went back once for Chinese New Year to show my wife and daughter how the celebration looked like down there. But after the initial visit, I realised that we weren't big fans of such tradition. For me personally, the enthusiasm simply wasn't there anymore, so no point doing it. I brought my parents to China during CNY before and to be frank, it was much more fun.

Up until here, you'd see that there was no reason or anything that was encouraging enough for me to go back. The main reason behind my reluctance, however, was the fact that the town had changed so much and not for the better. When I went back, there was always this lingering feeling that it wasn't Pontianak that I knew. It looked somewhat different and less friendly than it used to be. Remember when I mentioned about catching fish in the ditch? The water was stale and smelly now. That was just one small example of how my fondest memories of my hometown felt like taken away from me. Yes, you could see new development going on, but it seemed like not much thought was spent on it and the result looked mediocre. I felt like a stranger in my own hometown and it was just sad.

That was the real reason why I disliked the idea of going back to Pontianak. I'd rather preserve the good ol' memories about the place where I spent my childhood than became disillusioned by the fact that it had changed for the worse. I loved Pontianak still. Didn't I proudly bring foreign tourists to come and visit? I even thought of doing justice to my hometown by encouraging my friend to run for Mayor of Pontianak. If he did that and got elected, I'd go back to work with him in rebuilding our hometown. If it was our destiny, this would certainly happen in our lifetime...

Crab noodles by Bakmi Alit. 


Kampung Halaman Yang Tercinta

Di grup WhatsApp komunitas Angkatan '98 (ini adalah tahun kita lulus SMU), saya cukup tersohor sebagai orang yang paling tidak suka pulang ke kampung halaman. Kesan tersebut begitu kentara sehingga setelah beberapa lama, mereka beranggapan bahwa saya membenci Pontianak (setidaknya satu di antara mereka bahkan berasumsi bahwa masa kecil saya pastilah sangat buruk). Ketika topik pulang kampung mendadak muncul saat chatting dan saya menolak untuk pulang, teman-teman mendapatkan kesempatan emas untuk menyudutkan saya secara bergilir. Karena mereka terlihat bahagia dalam memberikan komentar pedas, saya biasanya rela jadi bulan-bulanan, haha.

Akan tetapi ada apa gerangan sebenarnya? Apakah benar saya membenci kampung halaman saya karena masa kecil saya yang tidak bahagia? Mari kita bedah kasus ini. Pertama-tama, saya perlu jelaskan bahwa saya tidak pernah membenci Pontianak, tapi saya tidak menyangkal bahwa saya tidak suka dengan listrik Pontianak yang sering padam. Saya juga tidak suka kondisi Pontianak yang payau airnya di musim panas dan juga kabut asap yang menutupi kota saat pembakaran hutan terjadi. Setelah 22 tahun hidup dalam kondisi seperti itu, saya yakin bahwa itu sudah lebih dari cukup. Karena inilah saya meninggalkan Pontianak dan pindah ke Jakarta begitu saya lulus kuliah.

Lantas bagaimana dengan masa kecil saya? Dengan jujur saya katakan bahwa saya memiliki masa kanak-kanak yang paling indah. Saya memiliki ayah yang selalu memberikan pujian dan ibu yang menyayangi saya. Saya juga memiliki seorang adik untuk tumbuh bersama. Dia adalah penggemar saya yang pertama ketika saya mulai bercerita lewat permainan action figures, jauh sebelum saya mulai menulis dan berpuluh-puluh tahun sebelum Roadblog101. Saya memiliki teman-teman dekat dan setelah kita tumbuh dari bocah menjadi pemuda, saya masih memanggil mereka teman dan rutin bertegur-sapa. Saya bermain sepuasnya, mulai dari yang tradisional seperti petak umpet dan menangkap ikan di parit, sampai permainan yang paling canggih di masa itu, baik Nintendo, Sega maupun game di Orbit Wonderland. Saya kadang mengajak teman ke rumah untuk bermain bersama dan di lain waktu, giliran saya yang mengunjungi mereka untuk bermain. Saya memiliki beraneka kura-kura dari sejak kelas 4 SD dan akhirnya satwa tersebut menjadi peliharaan favorit saya. Saya diantar sana-sini dengan menggunakan mobil saat keluarga berkecukupan dan saya naik oplet saat keluarga jatuh miskin. Saya berjalan kaki di bawah panas matahari bersama Parno dan saya mengengkol sepeda balap kebanggaan saya di bawah hujan. Saya adalah juara pertama dan saya juga murid yang buruk prestasinya selama di sekolah. Saya dipuji dan dihukum. Saya mengenal the Beatles sejak di Pontianak dan akhirnya turut serta dalam grup musik. Saya menikmati makanan paling enak yang bisa dibeli dengan uang dan saya juga menyantap masakan sederhana yang dimasak dengan sepenuh hati oleh orang tua teman. Saya mencintai dan dikecewakan. Saya berkelana dan nyaris tidak kembali. Saya tertawa keras karena terlampau senang dan meneteskan air mata paling sedih di Pontianak. Saat saya lihat kembali, saya tidak memiliki keluhan ataupun penyesalan karena lahir dan tumbuh dewasa di Pontianak. Saya memiliki kepribadian seperti hari ini karena menjalani semua yang saya paparkan di atas.

Kunjungan ke Bakmi Alit.

Perlu diketahui bahwa Pontianak bukanlah termasuk tempat tujuan wisata, tapi kota kecil ini menawarkan banyak makanan yang dijual di tepi jalan atau restoran. Tatkala teman-teman kembali ke kampung halaman, wisata kuliner pasti menjadi bagian dari agenda mereka. Apa yang biasa terjadi adalah, mereka akan berburu makanan untuk makan sepuasnya dan tidak lupa pula mereka akan memotret makanan-makanan tersebut untuk dipos di Facebook. Pesona kuliner Pontianak yang luar biasa itu ternyata tidak terlalu manjur bagi saya. Saya selalu berpikir bahwa kelezatan makanan Pontianak sebenarnya terlalu dilebih-lebihkan. Ya, benar bahwa ada yang memang sedap, tapi rasa kangen makanan kampung halaman juga berperan besar dalam penilaian kita. Saya sendiri suka makanan Pontianak, tapi lebih cenderung karena saya menyantap makanan tersebut sedari kecil. Beberapa teman saya, misalnya Bakmi Alit, sukses dalam mengolah makanan dengan cita rasa Pontianak dan saya cukup mengunjungi kedai mereka jika saya kebetulan berada di Jakarta. Dengan demikian saya tidak perlu pulang ke kampung halaman hanya demi mencicipi makanan lokal Pontianak. 

Bagaimana pula dengan teman, keluarga atau tradisi seperti Tahun Baru Cina? Saya sudah berbincang dengan teman-teman lewat WhatsApp secara rutin tiap hari, begitu seringnya seakan-akan kita tidak pernah berpisah setelah lulus SMU. Akan halnya keluarga, terkadang mereka datang berkunjung ke Singapura dan saya senang menjadi tuan rumah sekaligus pemandu wisata bagi mereka. Bicara tentang tradisi, setelah berkeluarga, saya pernah pulang sekali pas Tahun Baru Cina untuk menunjukkan pada istri dan anak saya, seperti apa perayaan di sana. Seusai itu, saya menyadari bahwa kita bukan penggemar tradisi seperti itu. Bagi saya pribadi, antusiasme menyambut Tahun Baru Cina tidak lagi membara, jadi tidak ada gunanya bila dipaksakan. Saya pernah membawa orang tua saya merayakan tahun baru di Cina dan terus-terang saya merasa itu lebih praktis dan menyenangkan. 

Sampai di sini, anda pasti sudah melihat bahwa saya tidak memiliki motivasi apa pun yang mendorong saya untuk pulang. Kendati begitu, alasan utama di balik keengganan saya untuk pulang adalah fakta bahwa Pontianak telah berubah, namun tidak ke arah yang lebih baik. Ketika saya pulang, saya selalu merasa bahwa ini bukan lagi Pontianak yang saya kenal. Kota ini terlihat agak berbeda dan tidak lagi seramah dulu. Kalau anda lihat lagi di paragraf sebelumnya, anda akan melihat bahwa saya menulis tentang menangkap ikan di parit. Sekarang air di parit sangat bau dan tidak mengalir. Itu adalah contoh kecil kenapa saya merasa bahwa kenangan terindah saya tentang kampung halaman seperti direnggut begitu saja. Ya, pembangunan memang terjadi, tapi sepertinya tidak dipikirkan dengan baik dan hasilnya terlihat asal-asalan. Saya merasa seperti orang asing di kampung sendiri dan ini sangat menyedihkan. 

Itu alasannya kenapa saya tidak suka pulang. Saya lebih suka mengenang Pontianak tempat saya menghabiskan masa kecil saya dulu daripada melihat kenyataan bahwa kota itu telah berubah menjadi lebih buruk. Tapi saya tetap mencintai Pontianak. Bukankah saya dengan bangganya membawa turis luar negeri untuk datang berkunjung? Saya bahkan sering berpikir untuk melakukan sesuatu untuk Pontianak suatu hari kelak. Inilah alasannya kenapa saya sering meminta teman saya mencalonkan diri menjadi walikota. Kalau dia terpilih, saya tidak keberatan untuk pulang dan mengabdi sebagai bawahannya dalam membangun kota Pontianak. Jika kita memang ditakdirkan untuk itu, maka apa yang saya bayangkan ini mungkin terjadi dalam kehidupan ini...

Turis-turis Singapura di Bandara Supadio.

No comments:

Post a Comment