Total Pageviews

Translate

Sunday, April 17, 2022

Bitterness

A recent coversation between some of my high school friends and I revealed a lovely surprise that they also enjoyed to be in WhatsApp group for the same reason: it was kinda like a sanctuary for us. In a world where we were expected to play many other roles, the group chat allowed us to be ourselves. 

At the same time, having so many different personalities in one group was not without its fair share of problems. The chemistry could be so volatile sometimes that it threw the group off balance. As a long time member, I had seen some ugly truth happening from time to time. 

Bitterness was one of them. The pattern, as I observed it, was typical. The resentment bottled up throughout a certain period of time. As it wasn't let go, it was bound to erupt one day. Whether the victims realized it or not, the bitterness clouded their judgement unnecessarily. Before they knew it, whatever the other person said or did, it just seemed wrong and annoying. That eventually led to a clash.

When that happened, more often than not I was partly blamed for making it worse as I thrived in chaos. As the one nicknamed gas stove, I just loved roasting them when opportunities knocked, haha. But in more calm and thoughtful moments, I actually pitied those who were trapped in bitterness. It was sad, really.

I remember talking to one friend, theorizing that perhaps it got to do with the upbringing. I was no expert, but the bitterness was, perhaps, the unsettled trauma that happened in someone's childhood. It lodged in there, laying dormant, never truly forgotten nor let go. Deep down inside, you still hated it for happening and you'd subconsciously try compensate it now. In this context, it was at the cost of somebody else you decidedly didn't like.

Oh yes, that happened, too. This bitterness could be so problematic that some of us actually nursed the hatred towards somebody else, be it intentionally or not. In the two cases that happened, those guys never interacted with each other for the longest time and started off on the wrong foot in the group. The first impression was awful, it only got worse, then came the day when it blew up.

I'd say it was a petty mindset. I failed to understand why a person would harbour such thoughts and, back to what I said earlier, it was probably because I had a carefree attitude and happy upbringing that I didn't feel the need to hate the world. Oftentimes, I just simply laughed it off while muttering my favourite mantra from John Lennon: "how do you sleep at night?"

But my perspective aside, what I'd like to emphasize here was the danger of how toxic bitterness was. You nurtured it, oblivious to the fact that the bitterness ate you inside out. The reality was, for all the energy and thoughts you spent, did all this make you a better person than the one you condemned? 

I somehow doubted that, but what mattered here is how the person in question saw it. If you were humble enough to realize that it wasn't right, that it didn't make you a better person, then perhaps it's time to let the bitterness go. You were definitely better off without it...

Probably the only bitterness you need in life...



Kepahitan

Baru-baru ini, percakapan dengan beberapa teman SMA membuat saya menyadari bahwa mereka ternyata juga menyukai grup WhatsApp SMA karena alasan yang sama: grup ini bagaikan suaka yang aman bagi kita semua. Di dunia di mana kita memainkan begitu banyak peran, mulai dari pasangan hidup, orang tua sampai aneka profesi di lingkungan kerja, hanya grup ini yang memberikan kesempatan sejenak bagi kita untuk menjadi diri sendiri. 

Meskipun demikian, di saat yang sama, menyatukan berbagai macam kepribadian di dalam satu grup juga bisa melahirkan beragam masalah. Dinamika hubungan di dalam grup yang bebas mengutarakan pendapat bisa dengan cepat berubah bilamana yang satu tersinggung oleh perkataan yang lain. Sebagai anggota yang sudah lama di grup, saya sudah cukup sering menyaksikan peristiwa seperti ini. 

Ada kalanya kepahitan menjadi awal dari sengketa ini. Pola yang saya amati sejauh ini biasanya kurang-lebih sama. Ada rasa tidak senang yang disimpan di dalam hati dalam kurun waktu tertentu. Karena selalu dipendam, lama-lama pasti meluap. Entah disadari atau tidak, kepahitan cenderung mempengaruhi sudut pandang seseorang dalam menilai sesuatu. Alhasil, apa pun yang dikatakan orang lain selalu terdengar salah dan menyebalkan. Pada akhirnya ini hanya masalah waktu sebelum pertikaian itu terjadi. 

Saya akui, terkadang saya terlibat dalam kemelut yang terjadi karena banyak kesempatan untuk berbuat konyol di tengah kekacauan. Sebagai orang yang dijuluki kompor gas, saya sulit melewatkan peluang untuk turut berpartisipasi, haha. Akan tetapi, ketika saya memiliki waktu untuk melihat kembali apa yang terjadi, misalnya saat saya sedang menulis seperti sekarang, saya sebenarnya kasihan dengan mereka yang terperangkap dalam kepahitan. Sejujurnya ini sungguh sebuah perkara yang sedih. 

Saya ingat saat berbincang dengan seorang teman. Saya merasa bahwa kepahitan ini ada hubungannya dengan masa lalu. Saya bukan pakar, tapi tampaknya kepahitan ini bisa jadi bermula dari trauma yang terjadi di masa kecil seseorang. Kepahitan ini begitu membekas, tidak terlupakan dan malah dipendam. Di dalam lubuk hati terdalam, ada rasa tidak terima, kenapa ini bisa terjadi, sehingga tanpa sadar sampai hari ini pun anda masih berusaha melakukan sesuatu untuk menebus kepahitan di masa lalu. Di dalam konteks cerita kali ini, terkadang semua ini dilampiaskan kepada orang yang tidak anda sukai. 

Oh ya, ini adalah sesuatu yang nyata dan sungguh terjadi. Kepahitan bisa terasa sangat pedih sehingga seseorang bisa menyimpan rasa benci kepada orang lain, baik dengan sengaja atau tidak. Di dalam dua kasus yang pernah terjadi, sesungguhnya dua orang yang bertikai ini tidak begitu mengenal satu sama lain dan juga tak pernah berinteraksi lagi dari sejak lama. Ketika mereka kembali bertemu di grup, awal hubungan ini tidak mulus karena sesuatu dan lain hal. Karena kesan pertama sudah buruk, selanjutnya menjadi kian buruk dan akhirnya tiba hari di mana rasa tidak suka yang terpendam pun mencuat ke permukaan. 

Terus-terang saya rasa ini adalah pola pikir yang picik. Saya gagal memahami kenapa orang bisa berpikir seperti itu, tapi ini mungkin karena saya memiliki watak yang riang dan masa kecil yang bahagia sehingga saya tidak merasa perlu untuk tidak menyukai orang lain. Seringkali saya hanya tertawa sambil mengucapkan mantra favorit saya dari John Lennon: "bagaimana mereka bisa tidur dengan nyenyak di malam hari?" 

Selain sudut pandang saya di atas, yang lebih ingin saya tekankan adalah bahaya dari kepahitan itu sendiri. Kalau sampai anda pelihara kepahitan itu, anda mungkin tidak menyadari bagaimana kepribadian anda berubah karena digerogoti dari dalam. Kenyataannya adalah, apakah energi dan beban pikiran anda dalam memupuk kepahitan ini membuat anda menjadi pribadi yang lebih baik dari orang yang tidak anda sukai? 

Saya jujur merasa ragu, tapi yang penting di sini adalah bagaimana anda sendiri melihatnya. Jika anda cukup rendah hati untuk mengakui bahwa ini tidaklah benar dan tidak membuat anda menjadi lebih baik, mungkin sudah waktunya untuk merelakan dan mengikhlaskan kepahitan ini. Buat apa lagi? Saya yakin anda akan lebih baik tanpa kepahitan di hati...

No comments:

Post a Comment