Total Pageviews

Translate

Tuesday, May 3, 2022

The First Trip After Corona

At last! It finally happened! In a way, destination: Bali was a historical moment in many levels. It was the first trip after two years of isolated life in the time of corona. It was also a return to Bali after 17 years. If you recalled the last time I saw Nagasaki, there were places I thought I'd never visit again simply because once was enough. Yes, even Bali fell into the same category, especially after I visited the world-famous island three times in a row, from 2004 to 2005. 

Anyway, let's rewind a bit, starting with the title of this blog post. I used the phrase after corona because it was dealt with and done. COVID-19 finally got me and I survived, so let's call it even and part ways. The travel regulation was ever changing (two doses of vaccine and one dose of booster and you are good to go for now) and it only got better since then, so hopefully it stayed that way. 

The corona legacy, or what's left of it, was the PCR test that had to be done within 2x24 hours before the departure time. Since my flight was at 4:10pm on Wednesday, I paid the price of SGD 115 and did it at 4:45pm on Monday. The travel insurance, which was now covering COVID-19, was purchased several weeks earlier. I just loved to be prepared.

So happy that I could travel again!

On the day itself, I was very excited. I shut down my laptop after the lunch hour meeting and happily headed to Changi Airport. It was my first time using the red passport and if it ever felt awkward, it only got weirder when I landed as a foreigner in a country I knew so well and spoke the language fluently. It was surreal. Felt so different and yet the same at the same time.

I don't know if it's just me or due to the fact that I hadn't traveled for quite some time, but it just didn't meet the expectation the moment I arrived. The Bali airport looked below par for what's supposed to be the first impression for a popular tourist destination. It was not chaotic, but the amenities were bare minimum. On top of that, the waiting time to collect the luggage was about 25 minutes, long enough for the excitement to fade away.

As if that wasn't irritating enough, the local number on my BlackBerry phone also didn't work. I happened to retain one prepaid number from long ago and it was able to call and send SMS when I was in Singapore. However, when in Indonesia, the phone failed to get any connection because the IMEI was blocked. This was a rather interesting but quite an unfortunate way to find out how the IMEI blocking works in Indonesia. 

I was lucky that I activated the international roaming (it was SGD 20 and 3GB was more than enough) so I still had the mobile internet connection in Bali. I l eventually learnt that there was actually a tourist prepaid card from Telkomsel (valid for 30 days), but it was way more practical to use the international roaming. People call from WhatsApp these days and Grab drivers call from their app, so throughout my stay in Bali, I didn't have the need to make a call or send SMS.

The hotel view from the restaurant.

Anyway, back to our story, I was tired and hungry by the time I reached Alantara Hotel in Sanur, but the sight of the family was a wonder to behold. It was great to meet uncles, aunties and cousins again. That, plus a plate of fried rice for my dinner and few bottles of Singaraja beer shared among us, surely rejuvenated and prepared me for the next morning, as in quite early in the morning, before sunrise.

Oh yes, we woke up early to get ready for the wedding. There was this Balinese attire we needed to wear and we clearly had no idea how to dress up. Hence a team was mobilised to help us out. Pak Putu then drove us to the wedding venue, which turned out to be a very spacious yard containing Balinese houses here and there. It seemed like the whole immediate family stayed within the same compound. 

Sporting the Balinese attire!

Then began the Balinese wedding. Both the bride and groom were in the traditional attires. My cousin, the bride, had this intricate headgear (and she revealed later on that it was heavy). A priest did the ceremony with two voice actors on stage, narrating the events in Balinese, unknowingly leaving us Chinese wondering what was going on. 

But the situation was eventually rectified. Right after I whispered to my uncle that they should have gotten a MC to translate all this, one of the coordinators came to apologise that they'd just realized we might be confused. It was their first time having a non-Balinese marrying into their family, therefore it took them a while to notice the language issue. 

With my uncles.

Personally, I liked how very friendly and welcoming they were. Balinese wedding was grand and elaborate. Witnessing such a cultural event was an eye-opener. When I couldn't help wondering why the banquet in the late afternoon was kind of quiet, I was told that it lasted for days and some guests might have attended the banquet yesterday. Cool, huh? 

We left when the night came, heading back to hang out in my hotel room. Bali was hot and humid, so it was really nice to hang out in an aircon room. Bottles of beer, this time Bintang, were quickly produced by my uncle. Potato chips and fish crackers were also passed around. It was a fun and memorable family gathering. But now that the wedding was done, tomorrow would be a new adventure, one that would bring me Kuta and Ubud. That, of course, is a story for another time...



Liburan Pertama Setelah Korona

Akhirnya terjadi juga! Liburan ke Bali ini adalah sebuah momen bersejarah. Ini adalah liburan pertama setelah dua tahun terisolir dalam hidup di tengah wabah korona. Selain itu, saya pun kembali ke Bali lagi setelah 17 tahun lamanya. Jika anda ingat dengan kisah kali terakhir saya melihat Nagasaki, ada tempat yang kiranya tidak akan pernah saya singgahi lagi karena sekali saja sudah cukup. Ya, bahkan Bali masuk ke kategori yang sama, terutama setelah saya kunjungi tiga kali berturut-turut di tahun 2004-2005. 

Sebelum kita masuk ke cerita, mari kembali ke judul. Saya gunakan frase setelah korona karena bagi saya sudah selesai. Saya akhirnya terjangkit COVID-19 namun telah pulih kembali, jadi semua yang perlu terjadi pun sudah terjadi. Peraturan mengunjungi Indonesia juga kian hari kian dipermudah (dua kali vaksin dan satu kali booster sudah cukup untuk saat ini) dan semoga saja terus begitu sampai normal kembali. 

Peninggalan korona yang tersisa adalah tes PCR yang harus dilakukan 2x24 jam sebelum jam keberangkatan. Karena jadwal penerbangan saya adalah hari Rabu jam 4:10 sore, maka saya bayar ongkos PCR sebesar SGD 115 dan melakukan tes pada pukul 4:45 sore di hari Senin. Asuransi perjalanan yang kini sudah mencakup perlindungan untuk COVID-19 sudah saya beli beberapa minggu sebelumnya. Saya cenderung lebih suka bersiap-siap dari awal. 

Senangnya bisa jalan-jalan lagi!

Di hari keberangkatan, saya sangat gembira. Saya matikan laptop saya setelah meeting jam makan siang usai, lantas bergegas ke Changi Airport. Ini adalah kali pertama saya menggunakan paspor merah. Ada perasaan janggal dan kian aneh lagi rasanya setelah saya mendarat sebagai orang asing di negeri yang saya kenal baik dan kuasai dengan lancar bahasanya. Rasanya campur aduk, berbeda tapi sama.

Saya tidak apakah ini hanya ekspektasi saya atau karena saya sudah lama tidak berlibur, tapi sejak saya tiba, rasanya tidak sesuai harapan. Sebagai tempat pertama yang dilihat turis saat menginjakkan kaki di Bali, bandara udara Ngurah Rai tidak terlihat mengesankan. Untuk destinasi sepopuler Bali, bandaranya malah tampak biasa. Lumayan teratur, tapi fasilitasnya hampir tidak ada. Selain itu, butuh waktu 25 menit untuk mengambil bagasi. Setelah menunggu cukup lama, kegembiraan di hati pun pudar. 

Seakan-akan ini masih belum cukup menjengkelkan, masih ada lagi masalah dengan nomor lokal di BlackBerry saya. Kebetulan saya memiliki nomor prabayar dari sejak lama dan saya bisa menelepon serta mengirimkan SMS sewaktu berada di Singapura. Kendati begitu, saat berada di Indonesia, saya tidak mendapat sinyal karena nomor IMEI BlackBerry saya diblok. Meski tidak menyenangkan, dari pengalaman ini saya akhirnya memahami cara kerja blokir IMEI di Indonesia.

Saya beruntung karena telah mengaktifkan layanan jelajah internasional (harganya SGD 20 dan 3GB sudah lebih dari cukup), jadi saya tetap memiliki koneksi internet di Bali. Saya akhirnya mengetahui bahwa Telkomsel menjual kartu prabayar khusus turis yang berlaku selama 30 hari, tapi lebih praktis menggunakan layanan jelajah internasional. Sekarang orang cenderung menelepon dari WhatsApp dan para pengemudi Grab bisa menelepon dari aplikasinya, jadi selama saya di Bali, saya tidak memiliki keperluan untuk menelepon secara konvensional atau mengirim SMS.

Pemandangan hotel dari restoran.

Kembali ke cerita, saya sudah lelah dan lapar ketika tiba di Alantara Hotel yang berada di kawasan Sanur. Kendati begitu, senang rasanya bisa bertemu dengan para paman, tante dan sepupu lagi. Pertemuan tersebut, dan juga sepiring nasi goreng dan beberapa botol bir Singaraja yang diminum bersama, membuat saya merasa segar kembali. Saya siap untuk acara besok pagi yang dimulai sebelum matahari terbit.

Oh ya, kita bangun saat hari masih gelap-gulita untuk bersiap-siap. Ada pakaian adat Bali yang harus kami pakai, tapi kami tidak tahu caranya, makanya perlu bantuan para penata rias. Pak Putu kemudian mengantar kami ke tempat pernikahan yang diselenggarakan di sebuah kawasan dengan halaman luas dan rumah-rumah yang saling berdekatan. Sepertinya seluruh keluarga dekat dari pihak suami tinggal di tempat ini. 

Mengenakan busana Bali.

Kemudian prosesi pernikahan pun dimulai. Pengantin pria dan wanita pun menggunakan pakaian adat Bali. Sepupu saya yang menjadi pengantin wanita mengenakan perhiasan kepala yang rumit dan berwarna emas (dan setelah saya tanya, dia bilang perhiasan kepalanya cukup berat). Seorang pemuka agama duduk di tengah dan memimpin jalannya upacara sementara dua orang lain membacakan semacam narasi dalam bahasa Bali.   

Saya terus-terang tidak mengerti apa yang sedang terjadi dan lantas bergumam kepada paman saya, mungkin akan sangat membantu kalau mereka menyewa seorang MC yang bisa menerjemahkan semua ini. Seorang koordinator acara lalu menghampiri kami dan meminta maaf karena mereka baru menyadari bahwa kami mungkin tidak mengerti rangkaian acara ini. Ternyata ini adalah kali pertama mereka menerima menantu yang bukan orang Bali, jadi lupa bahwa ada kendala bahasa. 

Bersama paman-paman saya.

Secara pribadi, saya sangat terkesan dengan keramahtamahan orang Bali. Pernikahannya pun sangat kental dengan budaya lokal yang khas Hindu. Ada satu momen di mana saya merasa bingung, kenapa resepsinya terlihat sepi. Kemudian saya mendapat penjelasan bahwa resepsi ini sudah berlangsung beberapa hari dan tamu-tamu lain mungkin sudah datang sebelumnya. Dahsyat, ya? 

Kami kembali ke hotel ketika hari sudah malam. Bali sungguh panas dan lembab, jadi enak rasanya berkumpul di ruangan ber-AC. Bir Bintang pun beredar. Keripik kentang dan kerupuk ikan juga berpindah tangan saat kita berbincang. Senang rasanya berkumpul, sebab kita jarang bertemu. Namun pernikahan pun selesai sudah. Hari esok akan membawa saya ke Kuta dan Ubud. Petualangan ini akan mengisi cerita berikutnya... 

No comments:

Post a Comment