The beauty of reading is the new things that we discovered by the time we finish it. The previous article, Feel the Point, was written by Brick. I always like his writing style as I find it witty and sharp with a tinge of deadpan humour. However, what I loves most is how different it is as compared with, let's say, mine. His writing is very American. I mean, if you read his story, which was about the cancer awareness event, it was a great experience that only Americans go through.
I'll tell you why I find it inspiring and refreshing. I often joke with my friends that we never get to see a Chinese being featured on a documentary channel for catching crocodiles in the name of science or whatsoever. Another great example is, if we leave it to the Chinese, I'm pretty sure that bungee jumping wouldn't be invented. Those activities are just so out of characters for us.
This, I believe, is the result of the our culture, upbringing and surrounding. It may be changing now, but back then, being a Chinese Indonesian meant I just listened to our parents. No questions asked or there'd be a severe punishment. In my case, I was being told that I should study well so that I could get a good job later on in life. I should also scrimp and save, so that I would have enough saving for a rainy day.
There is nothing wrong with that, of course. Parents, with their own limitations (and they didn't even have Google back then), only ever want the best for their children. Such upbringing, however, may or may not contribute to the fact that Indonesian Chinese, or Chinese in general, tends to be more reserved and less adventurous as compared with others. This also explains why Chinese normally excels in study and does well financially. With what little chances we have, we make do and work hard towards our goals. The result, more often than not, is fruitful.
It's worth emphasizing that it doesn't make us more superior than others. On the contrary, being good in the few things mentioned above is not without any downsides, if you asked me. Such exclusivity can lead to a very cautious mindset and in extreme cases, people end up being petty. When I have casual talks with friends, I can see that stereotyping does happen. From their point of views, some complained about how lazy the non-Chinese are and so forth, the comments that were made based on few unlucky encounters. I disagree with all this because it's never about the whole race, but rather about certain individuals. Who's to say that there isn't any bad Chinese or good non-Chinese, anyway?
That's why staying in melting pot countries like Singapore is enlightening. We learn how to coexist here. Getting to know other cultures is a humbling experience, really.
I once had an Italian lunch with a French and he told me about how he grew up in a small village of a few hundreds people where they almost knew each other. His activities back then included horseback riding. That was fascinating, because in the place where I came from, riding a horse was unheard of. Another French brought me to a Middle Eastern restaurant, which was my introduction to this rather exotic cuisines such as hummus and kebab. I grew to like it since then. My family and I were also invited by a very down-to-earth French to his son's birthday party. It was quite the same as any other Asian boy's birthday party, apparently.
Another time, I met this soft spoken British guy for coffee. We talked about work, we talked about life. It was amusing that worlds apart though we were, literally, we could talk about stuff like Oasis, the famous band from Manchester. On a different occasion, I had lunch with an American who was old enough to have a memory about the day John Lennon died.
Then there are the Indians, people with a culture as old as civilization itself (let's not forget that Indonesia was heavily influenced by the Buddhism and Hinduism). They are charming and those that I normally drink with (be it beer or masalah tea), they are really smart. Usually I would bring up a subject and let them share their opinions. We discuss about anything, from Hindu Gods, Gandhi to corruption that happens in both countries (only Indians can relate with this topic!). I discovered that Indians can't really differentiate Chinese, Japanese and Korean, just like how I can't really differentiate Pakistani, Bangladeshi, Sri Lankan, Indian and Nepalese. Oh, much to my surprise, they also don't know Doraemon.
Talk about Sri Lankan, I was invited to a traditional wedding last December. It was held in a temple where people would touch fire as a cleansing act (if you are Catholics, imagine the holy water you dip your hand into when you enter the church). The attendees were in traditional attires. The procession had the blessing and chanting, with the music from some sort of trumpet blaring loudly while percussionist was tapping his drum frantically. A mind-blowing experience, I must say.
Even the Chinese from Singapore, Malaysia, Indonesia and Mainland China can be so different. I'm always impressed by how well the Singaporeans are in expressing themselves in a meeting and making a speech. It comes naturally for them whereas it's a struggle for me (as students back in Pontianak, we were not groomed to do so). That only means I have to try harder. My ex-boss always told me to speak slowly and clearly, an advice that I always remember and practice.
Now, back to Brick's story, I love reading it because his stories broaden my horizon, that there are other people doing things differently out there and some are surely good things that I can learn from others. Some people will have characters that are the exact opposite of ours, but once you get past that, most of the time it'll be alright. In life, you either get to know others or misunderstand them (them as in normal people, not the extremists, fanatics, radicals and nutcases). The differences we have, they are good differences that are going to stay for the fact that we are all the children of the world...
Anak-Anak Dunia
Hal yang paling menarik dari kebiasaan membaca adalah pengetahuan yang kita dapatkan setelah kita selesai membaca. Artikel sebelumnya, Feel the Point, adalah sebuah tulisan orang Amerika bernama Brick. Saya selalu menyukai tulisannya yang tajam dan bergaya humor cerdas, namun yang paling menarik dari karyanya adalah betapa berbedanya tulisan Brick dan saya. Jika anda baca artikelnya, anda akan menemukan bahwa tulisannya sangat khas Amerika. Ceritanya yang mengisahkan kegiatan amal tentang kanker adalah sesuatu pengalaman unik yang tidak lumrah di Asia, namun biasa bagi mereka di Amerika.
Saya akan jelaskan lebih lanjut kenapa tulisannya sangat menginspirasi. Saya sering bercanda bahwa kita tidak pernah melihat orang Tionghoa menangkap buaya di film dokumenter. Saya juga berpikir bahwa hal-hal seperti bungee jumping tidak akan pernah dicetuskan oleh orang Tionghoa. Aktivitas seperti itu bukanlah sesuatu yang akan kita coba lakukan, jadi kita tidak akan pernah mengikat kaki dan melompat ke jurang, lalu menciptakan bungee jumping.
Karakter kita terbentuk dari budaya, cara kita diasuh dan lingkungan kita. Saya rasa kondisinya mungkin telah berubah sekarang, tapi orang Tionghoa di Indonesia dulunya sangat menuruti perkataan orang tua. Kita tidak banyak bertanya pada ayah, sebab kebanyakan bertanya bisa menyebabkan kita dihukum. Bila saya menggunakan diri saya sebagai contoh, saya seringkali dinasehati untuk sekolah baik-baik supaya nantinya memperoleh pekerjaan yang baik pula. Saya juga harus berhemat sehingga mempunyai tabungan di saat tak terduga.
Tentunya tidak ada yang salah dengan bimbingan seperti itu. Orang tua kita, dengan segala kekurangannya (zaman dulu tidak ada Google), membesarkan kita tanpa pamrih dan hanya menginginkan yang terbaik buat kita. Didikan seperti itu mungkin secara tidak langsung membuat kita lebih menutup diri dan tidak terbiasa dalam mengekspresikan diri bila dibandingkan etnis lain. Hal yang sama juga mungkin menjadi alasan kenapa orang Tionghoa biasanya lebih berhasil dalam sekolah dan finansial. Karena tidak banyaknya pilihan yang tersedia, kita berupaya sebisanya dalam mencapai tujuan dan hasilnya cenderung sukses.
Perlu ditekankan pula bahwa ini tidak berarti orang Tionghoa adalah etnis yang paling unggul. Justru sebaliknya. Bila tidak hati-hati, kita justru bisa terjebak dalam pola pikir yang tidak sehat. Sebagai contoh, saat sedang berbincang, terkadang saya merasa bahwa ada lawan bicara yang cenderung mengelompokkan etnis lain dalam pandangan negatif, misalnya yang non-Chinese itu malas adanya. Saya tidak setuju dengan sudut pandang demikian karena kemalasan itu bukanlah sifat satu etnis, melainkan individu tertentu. Siapa yang berani menjamin bahwa semua Tionghoa pasti baik dan etnis lain pastilah buruk?
Inilah alasannya kenapa tinggal di Singapura adalah suatu pengalaman yang membuka wawasan. Di negeri yang memiliki berbagai etnis ini, kita belajar untuk saling toleransi dan menghargai. Kesempatan untuk mengenal kebudayaan asing adalah suatu pengalaman yang membuat kita bersahaja.
Sebagai ilustrasi, suatu ketika, saya pernah menikmati masakan Italia bersama orang Perancis. Dia bercerita tentang masa kecilnya di desa berpopulasi ratusan orang yang saling kenal satu sama lain. Salah satu kegiatan yang digemarinya ketika itu adalah menunggang kuda. Betapa mencengangkan, sebab tak seorang pun yang tumbuh besar di Pontianak seperti saya berpeluang untuk berkuda di kampung halaman. Seorang Perancis lainnya membawa saya ke restoran Timur Tengah dan memperkenalkan saya pada masakan yang eksotis seperti hummus dan kebab. Di lain kesempatan, saya dan keluarga juga sempat diundang oleh Perancis lainnya ke ulang tahun anaknya. Hampir sama dengan ultah anak Asia, ternyata.
Saya juga pernah berbincang sambil minum kopi bersama orang Inggris. Kita berbicara tentang pekerjaan hidup di Singapura, sampai hal-hal seperti Oasis, grup musik terkenal dari Manchester. Di waktu yang berbeda, saya sempat makan siang dengan orang Amerika yang bercerita tentang kenangannya di hari John Lennon ditembak mati.
Dan ada lagi orang Indian yang memiliki budaya setua peradaban itu sendiri (jangan lupa bahwa Indonesia sangat dipengaruhi oleh Budhisme dan Hinduisme). Mereka ini orang-orang yang menarik dan seringkali kita berdiskusi tentang beraneka topik, mulai dari dewa-dewi Hindu, Gandhi sampai korupsi yang merajalela di India dan Indonesia. Saya juga menyadari bahwa Indian tidak bisa membedakan orang Cina, Jepang dan Korea, sama halnya seperti kita tidak bisa membedakan orang Pakistan, Bangladesh, India, Sri Lanka dan Nepal. Oh, satu hal yang agak mengejutkan saya, mereka juga tidak tahu apa itu Doraemon.
Berbicara tentang orang Sri Lanka, saya juga sempat diundang ke pernikahan yang diadakan di pura. Seperti halnya tradisi Katolik yang mencelupkan jari ke air untuk tanda salib saat masuk gereja, mereka mendekatkan dua tangan ke api sebagai tanda pembersihan diri. Para undangan datang dengan pakaian tradisional. Pernikahan mereka diiringi dengan musik trompet yang membahana dan penabuh genderang yang luar biasa sibuk. Sungguh suatu pengalaman yang mengesankan.
Bahkan orang Tionghoa di Singapura, Malaysia, Indonesia dan Cina pun berbeda karakter dan budayanya. Saya selalu kagum dengan kemampuan orang Singapura dalam mempresentasikan idenya pada saat rapat. Mereka melakukannya dengan alami sementara saya tidak pernah terbiasa dengan hal ini (sebagai murid sekolah di Pontianak dulu, kita tidak pernah dibiasakan berbicara di depan orang banyak). Ini berarti saya harus berupaya lebih keras. Mantan bos saya selalu mengingatkan saya untuk berbicara lebih pelan dan jelas, suatu hal yang senantiasa saya ingat dan terapkan saat memimpin rapat.
Kembali lagi ke cerita yang ditulis Brick, saya suka membacanya karena dari ceritanya, saya tahu bahwa ternyata orang lain di belahan bumi ini melakukan sesuatu dengan cara yang berbeda dan tentu saja saya bisa ambil sisi baiknya. Tidak setiap orang memiliki karakter yang sama dengan kita. Tidak sedikit yang justru bertolak belakang karakternya, tetapi jika kita bisa menerima perbedaan ini, biasanya hubungan yang harmonis akan terjalin. Di dalam hidup ini, penting bagi kita untuk saling memahami atau salah paham akan terjadi karena perbedaan yang ada. Namun perlu diingat bahwa perbedaan harusnya indah karena kita semua hendaknya saling melengkapi...
I'll tell you why I find it inspiring and refreshing. I often joke with my friends that we never get to see a Chinese being featured on a documentary channel for catching crocodiles in the name of science or whatsoever. Another great example is, if we leave it to the Chinese, I'm pretty sure that bungee jumping wouldn't be invented. Those activities are just so out of characters for us.
This, I believe, is the result of the our culture, upbringing and surrounding. It may be changing now, but back then, being a Chinese Indonesian meant I just listened to our parents. No questions asked or there'd be a severe punishment. In my case, I was being told that I should study well so that I could get a good job later on in life. I should also scrimp and save, so that I would have enough saving for a rainy day.
There is nothing wrong with that, of course. Parents, with their own limitations (and they didn't even have Google back then), only ever want the best for their children. Such upbringing, however, may or may not contribute to the fact that Indonesian Chinese, or Chinese in general, tends to be more reserved and less adventurous as compared with others. This also explains why Chinese normally excels in study and does well financially. With what little chances we have, we make do and work hard towards our goals. The result, more often than not, is fruitful.
It's worth emphasizing that it doesn't make us more superior than others. On the contrary, being good in the few things mentioned above is not without any downsides, if you asked me. Such exclusivity can lead to a very cautious mindset and in extreme cases, people end up being petty. When I have casual talks with friends, I can see that stereotyping does happen. From their point of views, some complained about how lazy the non-Chinese are and so forth, the comments that were made based on few unlucky encounters. I disagree with all this because it's never about the whole race, but rather about certain individuals. Who's to say that there isn't any bad Chinese or good non-Chinese, anyway?
That's why staying in melting pot countries like Singapore is enlightening. We learn how to coexist here. Getting to know other cultures is a humbling experience, really.
I once had an Italian lunch with a French and he told me about how he grew up in a small village of a few hundreds people where they almost knew each other. His activities back then included horseback riding. That was fascinating, because in the place where I came from, riding a horse was unheard of. Another French brought me to a Middle Eastern restaurant, which was my introduction to this rather exotic cuisines such as hummus and kebab. I grew to like it since then. My family and I were also invited by a very down-to-earth French to his son's birthday party. It was quite the same as any other Asian boy's birthday party, apparently.
Another time, I met this soft spoken British guy for coffee. We talked about work, we talked about life. It was amusing that worlds apart though we were, literally, we could talk about stuff like Oasis, the famous band from Manchester. On a different occasion, I had lunch with an American who was old enough to have a memory about the day John Lennon died.
Then there are the Indians, people with a culture as old as civilization itself (let's not forget that Indonesia was heavily influenced by the Buddhism and Hinduism). They are charming and those that I normally drink with (be it beer or masalah tea), they are really smart. Usually I would bring up a subject and let them share their opinions. We discuss about anything, from Hindu Gods, Gandhi to corruption that happens in both countries (only Indians can relate with this topic!). I discovered that Indians can't really differentiate Chinese, Japanese and Korean, just like how I can't really differentiate Pakistani, Bangladeshi, Sri Lankan, Indian and Nepalese. Oh, much to my surprise, they also don't know Doraemon.
Talk about Sri Lankan, I was invited to a traditional wedding last December. It was held in a temple where people would touch fire as a cleansing act (if you are Catholics, imagine the holy water you dip your hand into when you enter the church). The attendees were in traditional attires. The procession had the blessing and chanting, with the music from some sort of trumpet blaring loudly while percussionist was tapping his drum frantically. A mind-blowing experience, I must say.
Even the Chinese from Singapore, Malaysia, Indonesia and Mainland China can be so different. I'm always impressed by how well the Singaporeans are in expressing themselves in a meeting and making a speech. It comes naturally for them whereas it's a struggle for me (as students back in Pontianak, we were not groomed to do so). That only means I have to try harder. My ex-boss always told me to speak slowly and clearly, an advice that I always remember and practice.
Now, back to Brick's story, I love reading it because his stories broaden my horizon, that there are other people doing things differently out there and some are surely good things that I can learn from others. Some people will have characters that are the exact opposite of ours, but once you get past that, most of the time it'll be alright. In life, you either get to know others or misunderstand them (them as in normal people, not the extremists, fanatics, radicals and nutcases). The differences we have, they are good differences that are going to stay for the fact that we are all the children of the world...
Children of the World: Indian, Singaporean, Malaysian, Indonesian and Chinese Image credit: Ong Hock Siong |
Anak-Anak Dunia
Hal yang paling menarik dari kebiasaan membaca adalah pengetahuan yang kita dapatkan setelah kita selesai membaca. Artikel sebelumnya, Feel the Point, adalah sebuah tulisan orang Amerika bernama Brick. Saya selalu menyukai tulisannya yang tajam dan bergaya humor cerdas, namun yang paling menarik dari karyanya adalah betapa berbedanya tulisan Brick dan saya. Jika anda baca artikelnya, anda akan menemukan bahwa tulisannya sangat khas Amerika. Ceritanya yang mengisahkan kegiatan amal tentang kanker adalah sesuatu pengalaman unik yang tidak lumrah di Asia, namun biasa bagi mereka di Amerika.
Saya akan jelaskan lebih lanjut kenapa tulisannya sangat menginspirasi. Saya sering bercanda bahwa kita tidak pernah melihat orang Tionghoa menangkap buaya di film dokumenter. Saya juga berpikir bahwa hal-hal seperti bungee jumping tidak akan pernah dicetuskan oleh orang Tionghoa. Aktivitas seperti itu bukanlah sesuatu yang akan kita coba lakukan, jadi kita tidak akan pernah mengikat kaki dan melompat ke jurang, lalu menciptakan bungee jumping.
Karakter kita terbentuk dari budaya, cara kita diasuh dan lingkungan kita. Saya rasa kondisinya mungkin telah berubah sekarang, tapi orang Tionghoa di Indonesia dulunya sangat menuruti perkataan orang tua. Kita tidak banyak bertanya pada ayah, sebab kebanyakan bertanya bisa menyebabkan kita dihukum. Bila saya menggunakan diri saya sebagai contoh, saya seringkali dinasehati untuk sekolah baik-baik supaya nantinya memperoleh pekerjaan yang baik pula. Saya juga harus berhemat sehingga mempunyai tabungan di saat tak terduga.
Tentunya tidak ada yang salah dengan bimbingan seperti itu. Orang tua kita, dengan segala kekurangannya (zaman dulu tidak ada Google), membesarkan kita tanpa pamrih dan hanya menginginkan yang terbaik buat kita. Didikan seperti itu mungkin secara tidak langsung membuat kita lebih menutup diri dan tidak terbiasa dalam mengekspresikan diri bila dibandingkan etnis lain. Hal yang sama juga mungkin menjadi alasan kenapa orang Tionghoa biasanya lebih berhasil dalam sekolah dan finansial. Karena tidak banyaknya pilihan yang tersedia, kita berupaya sebisanya dalam mencapai tujuan dan hasilnya cenderung sukses.
Perlu ditekankan pula bahwa ini tidak berarti orang Tionghoa adalah etnis yang paling unggul. Justru sebaliknya. Bila tidak hati-hati, kita justru bisa terjebak dalam pola pikir yang tidak sehat. Sebagai contoh, saat sedang berbincang, terkadang saya merasa bahwa ada lawan bicara yang cenderung mengelompokkan etnis lain dalam pandangan negatif, misalnya yang non-Chinese itu malas adanya. Saya tidak setuju dengan sudut pandang demikian karena kemalasan itu bukanlah sifat satu etnis, melainkan individu tertentu. Siapa yang berani menjamin bahwa semua Tionghoa pasti baik dan etnis lain pastilah buruk?
Inilah alasannya kenapa tinggal di Singapura adalah suatu pengalaman yang membuka wawasan. Di negeri yang memiliki berbagai etnis ini, kita belajar untuk saling toleransi dan menghargai. Kesempatan untuk mengenal kebudayaan asing adalah suatu pengalaman yang membuat kita bersahaja.
Sebagai ilustrasi, suatu ketika, saya pernah menikmati masakan Italia bersama orang Perancis. Dia bercerita tentang masa kecilnya di desa berpopulasi ratusan orang yang saling kenal satu sama lain. Salah satu kegiatan yang digemarinya ketika itu adalah menunggang kuda. Betapa mencengangkan, sebab tak seorang pun yang tumbuh besar di Pontianak seperti saya berpeluang untuk berkuda di kampung halaman. Seorang Perancis lainnya membawa saya ke restoran Timur Tengah dan memperkenalkan saya pada masakan yang eksotis seperti hummus dan kebab. Di lain kesempatan, saya dan keluarga juga sempat diundang oleh Perancis lainnya ke ulang tahun anaknya. Hampir sama dengan ultah anak Asia, ternyata.
Saya juga pernah berbincang sambil minum kopi bersama orang Inggris. Kita berbicara tentang pekerjaan hidup di Singapura, sampai hal-hal seperti Oasis, grup musik terkenal dari Manchester. Di waktu yang berbeda, saya sempat makan siang dengan orang Amerika yang bercerita tentang kenangannya di hari John Lennon ditembak mati.
Dan ada lagi orang Indian yang memiliki budaya setua peradaban itu sendiri (jangan lupa bahwa Indonesia sangat dipengaruhi oleh Budhisme dan Hinduisme). Mereka ini orang-orang yang menarik dan seringkali kita berdiskusi tentang beraneka topik, mulai dari dewa-dewi Hindu, Gandhi sampai korupsi yang merajalela di India dan Indonesia. Saya juga menyadari bahwa Indian tidak bisa membedakan orang Cina, Jepang dan Korea, sama halnya seperti kita tidak bisa membedakan orang Pakistan, Bangladesh, India, Sri Lanka dan Nepal. Oh, satu hal yang agak mengejutkan saya, mereka juga tidak tahu apa itu Doraemon.
Berbicara tentang orang Sri Lanka, saya juga sempat diundang ke pernikahan yang diadakan di pura. Seperti halnya tradisi Katolik yang mencelupkan jari ke air untuk tanda salib saat masuk gereja, mereka mendekatkan dua tangan ke api sebagai tanda pembersihan diri. Para undangan datang dengan pakaian tradisional. Pernikahan mereka diiringi dengan musik trompet yang membahana dan penabuh genderang yang luar biasa sibuk. Sungguh suatu pengalaman yang mengesankan.
Bahkan orang Tionghoa di Singapura, Malaysia, Indonesia dan Cina pun berbeda karakter dan budayanya. Saya selalu kagum dengan kemampuan orang Singapura dalam mempresentasikan idenya pada saat rapat. Mereka melakukannya dengan alami sementara saya tidak pernah terbiasa dengan hal ini (sebagai murid sekolah di Pontianak dulu, kita tidak pernah dibiasakan berbicara di depan orang banyak). Ini berarti saya harus berupaya lebih keras. Mantan bos saya selalu mengingatkan saya untuk berbicara lebih pelan dan jelas, suatu hal yang senantiasa saya ingat dan terapkan saat memimpin rapat.
Kembali lagi ke cerita yang ditulis Brick, saya suka membacanya karena dari ceritanya, saya tahu bahwa ternyata orang lain di belahan bumi ini melakukan sesuatu dengan cara yang berbeda dan tentu saja saya bisa ambil sisi baiknya. Tidak setiap orang memiliki karakter yang sama dengan kita. Tidak sedikit yang justru bertolak belakang karakternya, tetapi jika kita bisa menerima perbedaan ini, biasanya hubungan yang harmonis akan terjalin. Di dalam hidup ini, penting bagi kita untuk saling memahami atau salah paham akan terjadi karena perbedaan yang ada. Namun perlu diingat bahwa perbedaan harusnya indah karena kita semua hendaknya saling melengkapi...
No comments:
Post a Comment