Total Pageviews

Translate

Tuesday, May 11, 2021

Muhammad Ali: A Memoir

I'm not sure about kids these days, but if you were my age, you couldn't be living on this planet and never heard of Muhammad Ali. He was that famous! The problem is, we were born at the end of his career. By the time we became aware of him, he was not even half the man he used to be. In fact, the first time I saw him on TV was during the opening of the Olympics in Atlanta. He was this slow-moving, middle aged man with shaky hands that lighted up the cauldron.

Then I listened to I'm the Greatest, a song written by John for Ringo. I learnt that the song title was inspired by Ali's catchphrase, but that was pretty much it. Many years later, Ali was the headline news on Time magazine when he passed away in 2016. I read about that, but I only became a fan after I watched a snippet of his first interview on Michael Parkinson's talk show. He was funny, charismatic and provocative at times. 

When the movie called Ali appeared on Netflix, I gave it a try. I liked what I saw and Will Smith was great, but it turned out that the real deal was even better. I was blown away when I watched What's My Name: Muhammad Ali on HBO. The documentary told the story from the beginning till the day he retired and suffered from Parkinson's disease. 

Ali was, to quote the man himself, the greatest. When he first started, the way he boxed was exactly the way he said it: "float like a butterfly, sting like a bee." He kept his hands so low and danced around Sonny Liston. Outside the ring, he was a showman, ever entertaining. He talked big and rhymed, but he also walked the talk. Even when he lost, he was still as charming as ever. He beat the undefeated George Foreman when nobody thought he could do so. He was also the first boxer who won world heavyweight championship three times. Then the Parkinson's disease took almost everything away from him. It was really sad to see him shaking uncontrollably and losing his ability to speak. In a way, it was ironic.

As usual, after being inspired by a story, I often looked for the book. At first I wanted to read his autobiography, but the book was sort of doctored, so I chose the memoir by Michael Parkinson instead. The TV presenter looked back and reminisced the four interviews he had with Ali at different times of his life. It was like remembering an old friend, full of fondness, but also honest, bittersweet and poignant, a loving tribute for a man who was once known as the Greatest. Recommended for those who never saw Ali during his prime!

The Greatest.



Muhammad Ali: Sebuah Memoar 

Jika anda seumuran dengan saya, rasanya tidak mungkin bahwa anda tidak pernah mendengar nama Muhammad Ali. Yang problem itu, generasi kita lahir di penghujung karirnya. Ketika kita tahu ada orang yang namanya Muhammad Ali, dia sudah jauh berbeda dengan sosok di masa jayanya. Saya sendiri pertama kali melihatnya di televisi saat Olimpiade Atlanta. Dia adalah pria setengah baya yang bergetar tangannya dan berjalan pelan sambil membawa  obor di acara pembukaan olimpiade. 

Setelah itu saya mendengar lagu I'm the Greatest yang ditulis oleh John untuk Ringo. Saya pernah baca bahwa judul lagu ini berasal dari slogan Ali, namun hanya sebatas itu yang saya tahu. Bertahun-tahun kemudian, Ali muncul di sampul majalah Time tatkala dia meninggal di tahun 2016. Saya sempat baca artikelnya, tapi saya baru menjadi penggemar sesudah menonton cuplikan wawancaranya di acara Michael Parkinson. Ternyata Ali itu lucu, karismatik dan juga provokatif gaya bicaranya. 

Ketika film berjudul Ali muncul di Netflix, saya pun coba tonton. Saya suka ceritanya dan Will Smith cocok memerankan Ali, tapi siapa sangka orang aslinya lebih dahsyat lagi? Saya terkesan saat menonton dokumenter What's My Name: Muhammad Ali di HBO yang mengisahkan tentang asal-mula Ali sampai masa pensiunnya. Penyakit Parkinson yang dideritanya pun diceritakan di sini. 

Mengutip apa yang ia sendiri katakan, Ali adalah yang terhebat. Di awal karirnya, gayanya dalam bertinju persis seperti yang ia jabarkan: "lincah seperti kupu-kupu, menyengat seperti lebah." Tangannya senantiasa berada di bawah, seakan-akan ia menantang lawan untuk memukulnya. Gerak kakinya juga sangat gesit saat menghadapi Sonny Liston. Di luar ring, dia piawai dalam bertutur-kata. Dia membuat lawannya jengkel tapi membuat penonton tertawa. Dia berani sesumbar dan pandai pula berpantun meremehkan lawan, tapi dia memiliki kemampuan untuk membuktikan ucapannya. Bahkan di saat kalah pun dia masih terdengar hebat. George Foreman yang tak terkalahkan pun tumbang saat beradu jotos dengannya, padahal saat itu tidak ada yang yakin bahwa Ali yang lebih tua akan menang. Ali juga menjadi petinju pertama yang menjadi juara dunia kelas berat sebanyak tiga kali. Lalu penyakit Parkinson merenggut hampir semua kebanggaannya. Sedih rasanya melihat tangannya bergetar tak terkendali. Dia juga kehilangan kemampuannya dalam berbicara. Sungguh ironis. 

Seperti biasa, bilamana saya terinspirasi oleh suatu cerita, saya suka baca bukunya. Tadinya saya hendak membaca otobiografinya, tapi ulasan buku tersebut tidak terlalu bagus, bahkan ada pendapat bahwa Ali sendiri tidak terlibat dalam penulisannya. Akhirnya saya pilih memoar karangan Michael Parkinson. Pembawa acara TV ini mengenang kembali wawancara bersama Ali di empat masa yang berbeda dalam hidupnya. Tulisannya terasa seperti bercerita tentang seorang teman lama, kadang sedih dan kadang gembira, namun juga jujur dan apa adanya. Sungguh sebuah persembahan yang pantas untuk orang yang dulunya dikenal sebagai yang terhebat. Cocok bagi pembaca yang tidak pernah melihat kedashyatan sosok seorang Ali sebagai petinju!

No comments:

Post a Comment