Total Pageviews

Translate

Thursday, May 6, 2021

My Generation: Through The Lens

A while ago, I shared the story about the extensive photo collection I had. It's crazy how I actually had photos for every phase of my life, especially after moving house so many times. I mean, photos weren't essential stuff and could have lost a long the way. 

What's more crazy is the collection included not only pictures of me, but also photos of other high school friends with or without me, haha. There were so many of them accumulated throughout the years. When I moved them to the cloud, it occurred to me that perhaps it'd be interesting to see them in a chronological order. 

Through the lens.

The question now was, what would be the criteria for the pictures to be posted? I struggled with this, but after much consideration, I eventually decided to go with only the happiest memories we had. Those with big smiles, they couldn't go wrong, could they? They represented the best times we once went through. 

Thus began the unexpected journey that brought me back to 1996. The earliest pictures were of low quality. This was the time when pictures were taken using an analog camera, then the photos that survived the era were scanned using the technology that was available in early 2000s. 

Class 1996-1997!

Even though some were blurry and pixelated, I still could see clearly how young we were. High school was a simpler time, when smiles were genuine and innocent. College days gave us the first taste of freedom and you could tell from the hairstyle and fashion. Some of us also started holding mobile phones in our hands.

Next batch of pictures looked significantly better, but a closer look revealed that none actually came from year 2003. This was the time when I first used a secondhand Ericsson T10, before changing it to a more trendy looking Sony Ericsson T100. None of the phones had a camera, so that explained why there was no picture from that year. 

Taken with Sony Cyber-shot, 3.2 Megapixel!

The photos I had were from 2004 and they were taken using a digital camera. It showed a different time, when we started working and had a bit of money in our pockets. Not much, but enough to give us young adults to look decent for our age, haha. And we started traveling, too. From the pictures, I could see places like Kuching, Bali and Singapore

We still hung out together in mid 2000s, especially when all came back to Pontianak during Chinese New Year. However, as we grew older, some good friends started disappearing from the pictures. I felt sad when I noticed this. To think that we grew up together, we could have set any differences aside and remained friends, but when I voiced it out in our chat group, Eday put it bluntly that it was their choice. He was right, of course. 

A night at the wedding.

Despite the popularity of Blackberry, a smart phone with a camera that were used by many Indonesians during its heyday, not many pictures came from 2006-2013. If my life could be used as an indicator, it was the time when we were simply busy pursuing our career and settling down. As a result, we didn't keep in touch that much. 

In year 2014, I was already quite comfortable with my role as a husband and a father. Things were going great at work, too. There was some form of stability and I guess it turned out to be same for many of us. It suddenly felt like a right time to catch up again. That's when my friends and I organised a reunion party and for the first time ever in a really long while, we gathered in such a big group. We got to know each other again. 

And this was just a dinner. Imagine the reunion!

What happened next was the dawn of WhatsApp. That really changed the whole thing. Being in the same group on daily basis brought us much closer than before. We had fun, we discussed, we shared happy and sad news, we offended each other, we helped one another, we planned for next gathering or trip, but most importantly, we posted pictures. A lot of them. The quality was good as well!

These were happier times that pretty well documented. We tried new things such as watching concerts and a soccer match, but as we headed to the big 40, we started to stick with what we were familiar with. We hung out, we visited the same old eateries we knew and loved such as Nasi Campur Alu, Bakmi Alit or Bakso Ikan Telur Asin Ahan, we had a drink or two and of course we traveled, too.

The trip to Semarang.

The pattern repeated year after year, until COVID-19 put a stop to it. Thus began the new chapter of our lives. A rather strange one, I would say. Year 2020 started off quite well, but soon it became obvious that it was going to be a year like no other. We wore masks and we had an awkward meet up on Zoom. Only God knows how we're going to get out of this, but we had to be thankful that we'd been blessed with good health in the time of corona.

Anyway, when I first started posting them on our high school Facebook page, I thought the rightful owner would love to have their pictures back. But by the time I finished it, I realized that I was doing it not just for them. I enjoyed the process and had a great time looking back. We started from a humble beginning and we'd come so far. It's like riding a train together and I'm really proud to be part of my generation... 

The awkward Zoom session.



Dari Balik Lensa Kamera: Generasi Kita

Beberapa waktu yang lalu, saya menulis cerita tentang koleksi foto yang saya miliki. Takjub rasanya karena saya masih memiliki foto dari setiap jenjang kehidupan saya, terlebih lagi karena saya sering pindah rumah. Maksud saya, foto bukanlah sesuatu yang penting dan bisa saja hilang saat pindahan. 

Yang lebih mencengangkan lagi adalah cakupan koleksi tersebut. Ada banyak potret teman-teman SMA, baik dengan ataupun tanpa saya di foto, yang terkumpul selama puluhan tahun terakhir. Ketika saya memindahkan data ke cloud, saya jadi terpikir untuk melihat foto-foto ini secara kronologis. 

Lewat lensa kamera.

Pertanyaannya sekarang adalah, apa saja kriteria foto yang hendak saya unggah? Setelah saya pertimbangkan, saya putuskan bahwa sebaiknya foto-foto dari masa yang gembira saja. Foto dengan senyum lebar harusnya tidak akan menyinggung siapa pun, bukan? Koleksi ini seharusnya menampilkan saat-saat terbaik dalam hidup kita. 

Lantas mulailah sebuah perjalanan tak terduga yang membawa saya kembali ke tahun 1996. Foto dari zaman ini buruk kualitasnya. Ini adalah masa dimana foto diambil dengan kamera biasa dan apa yang tersisa dari masa ini pun dipindai dengan teknologi awal tahun 2000an.

Kelas II SMA. 1996-1997!

Meski buram dan pecah gambarnya, saya masih bisa melihat dengan cukup jelas, betapa mudanya kita pada saat itu. SMA adalah masa yang sederhana, saat dimana senyum terlihat tulus dan apa adanya. Masa kuliah memberikan kita kesempatan dalam mencicipi kebebasan berekspresi untuk pertama kalinya dan anda bisa lihat hasilnya dari gaya rambut dan pakaian. Beberapa di antara kita bahkan mulai menggunakan telepon genggam. 

Kualitas gambar koleksi berikutnya meningkat drastis, namun pengamatan lebih lanjut menunjukkan bahwa tak satu pun dari foto-foto tersebut yang berasal dari tahun 2003. Di kala itu, saya menggunakan Ericsson T10 bekas, yang kemudian saya ganti menjadi Sony Ericsson T100. Telepon genggam ini tidak memiliki kamera, jadi mungkin itu alasannya kenapa tidak ada foto dari tahun 2003.

Hasil jepretan kamera Sony Cyber-shot, 3,2 Megapixel!

Foto-foto dari tahun 2004 diambil dengan kamera digital. Hasil jepretan kamera menampilkan era dimana kita mulai produktif di dunia kerja dan memiliki uang di saku. Mungkin tidak banyak, tapi cukup bagi kita untuk tampil lebih modis dari sebelumnya, haha. Dan kita juga mulai berlibur! Dari foto, bisa dilihat bahwa kita mulai menjelajahi Kuching, Bali dan Singapura.

Kita masih berkumpul bersama di pertengahan tahun 2000an, terutama saat kita pulang merayakan Tahun Baru Cina. Namun seiring dengan bertambahnya usia, beberapa teman baik pun menghilang dari foto. Ada rasa sedih saat saya menyadari hal ini. Kita tumbuh bersama dan seharusnya bisa tetap saling kontak. Ketika saya menyuarakan pendapat ini di grup WhatsApp, Eday berkomentar bahwa itu adalah pilihan mereka. Benar juga katanya.

Para tamu di pernikahan teman.

Era berikutnya, 2006-2013, bertepatan dengan masa jaya BlackBerry, telepon genggam yang memilik kamera, namun anehnya tidak banyak foto yang berasal dari periode ini. Jika hidup saya bisa dijadikan referensi, saya rasa saat itu kita sibuk mengejar karir dan mulai membina rumah tangga. Alhasil kita tidak memiliki banyak waktu untuk berkumpul. 

Di tahun 2014, saya sudah cukup terbiasa dengan peran saya sebagai suami dan ayah. Urusan di kantor juga berjalan dengan baik sehingga hidup pun terasa stabil. Hal serupa juga terjadi pada sebagian besar teman seangkatan. Tiba-tiba saja rasanya seperti sudah waktunya untuk bertemu kembali. Saya dan beberapa teman lantas mengorganisir reuni dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, kita pun ramai-ramai berkumpul. 

Dan ini cuma makan malam. Reuninya lebih ramai lagi!

Apa yang terjadi selanjutnya erat hubungannya dengan perkembangan WhatsApp yang pesat. Kemunculan aplikasi ini mengubah dinamika persahabatan. Berada di satu grup setiap hari membuat kita lebih dekat dari sebelumnya. Kita tertawa, kita berdiskusi, kita berbagi kabar gembira dan cerita sedih, kita menyinggung dan tersinggung, kita membantu satu sama lain, kita membuat rencana berkumpul dan berlibur serta mewujudkannya, namun yang paling penting dalam konteks ini adalah, kita saling mengunggah foto. Banyak sekali. Bagus pula kualitasnya. 

Setiap peristiwa dan kejadian yang gembira pun terdokumentasikan dengan baik semenjak tahun 2015. Kita mencoba beberapa hal baru seperti menonton konser dan sepak bola, namun kita yang perlahan-lahan menjelang umur 40 tanpa sadar cenderung menjalani tradisi yang sudah ada: kita berkumpul dan bersantap di tempat di tempat teman, antara lain Nasi Campur Alu, Bakmi Alit dan Bakso Ikan Telur Asin Ahan. Kita minum alkohol sesekali dan juga berlibur bersama

Liburan bersama di Semarang.

Pola di atas berulang dari ke tahun tahun, sampai akhirnya COVID-19 muncul dan membuyarkan segalanya. Babak baru yang tidak lazim pun bermula. Awalnya tahun 2020 tidaklah terasa berbeda, namun dua bulan kemudian kita segera menyadari bahwa tahun ini tidak akan sama dengan apa yang pernah kita lalui. Kita mengenakan masker sepanjang tahun dan sempat bertemu dengan canggung pula di Zoom. Hanya Tuhan yang tahu kapan kita bisa keluar dari cobaan ini, tapi kita harus bersyukur bahwa semuanya sehat-sehat saja di musim korona

Ketika saya mulai mengunggah foto, saya hanya berpikir bahwa mungkin saja yang ada di foto akan merasa senang bisa melihat foto mereka lagi. Tapi sewaktu selesai, saya menyadari bahwa saya tidak cuma melakukan hal ini untuk mereka. Sesungguhnya saya pun menikmati prosesnya yang penuh nostalgia. Kalau dilihat kembali, kita semua memiliki permulaan yang sederhana di Pontianak. Begitu banyak yang sudah kita lalui semenjak kita lulus. Rasanya seperti menaiki kereta api bersama dan saya bangga menjadi bagian dari angkatan kita... 

Sesi Zoom yang canggung.


No comments:

Post a Comment