Total Pageviews

Translate

Thursday, December 14, 2017

Rock Show

If you look at my CDs collection, you'll notice that I'm not really a big fan of rock music. Nevertheless, I'm certainly not immune to it. When it's good, it's really good. There's no denying it, therefore I still love bands such as Bon Jovi and Guns N' Roses. They had a lot of great songs that I grew up with, from Livin' on a Prayer to November Rain.

When I heard Bon Jovi was coming to Asia, I knew I got to go. I could have just attended their concert in Singapore, but the band was sharing the stage with other acts during F1 event. I reckoned it wouldn't be a full-fledged concert, therefore I opted for their concert in Indonesia instead. Together with friends from Singapore, we flew to Jakarta on September 11, 2015.

It was my first concert experience in Indonesia since Mr. Big came to my hometown 15 years ago. Jakarta's traffic jam was notorious, so we went to Pacific Place and had early dinner at Hard Rock Cafe, then walked from there to Gelora Bung Karno. It was not exactly near, but doable.

From left: Steven, Hendra, Anthony, Muliady and Franky, taking wefie in front of the entrance gate!
Photo by Hendra. 

The most memorable moment before the concert started was the queue to the entrance. It wasn't chaotic, but it was packed to the extent that we were literally stuck there for easily an hour. There wasn't a space to wriggle freely at all! It was so bad that I remember glancing at those with backpacks, half thinking if one of them was ever a suicide bomber, we would have died at the very spot where we stood.

But we didn't die and we got to watch the concert instead. When the lights were on and the music began, I look around to find Jon Bon Jovi, never realising that the white haired man on the stage was actually him! It was only when he started singing that I noticed he was Jon.

Bon Jovi, live in Jakarta!
Photo by Franky.

He looked much older than the last time I saw him on TV. It seemed like he also never expected that the night in Jakarta would be so hot and humid. I mean, he was sweating profusely from the start, gasping for some air at times that I cringed and hoped he wasn't going to faint.

It took him quite long to adjust and the new songs that I didn't recognise clearly didn't help. Richie Sambora was notably absent, so the concert featuring a struggling front man was rather boring. Jon also had this habit of shoving the mic to the audience when he was supposed to be singing the high notes. In hindsight, I jokingly told some friends that he might have regretted writing the songs that could tear his larynx apart. Jon Bon Jovi could belt out those songs easily when he was much younger, but he couldn't sing them anymore these days.

The singer only got back to the top of the game from Keep the Faith onwards, which was like the second last song before the encore. As Jon got himself busy with maracas, he transformed into this Bon Jovi we knew and loved. The concert was eventually ended with a brilliant performance of Livin' on a Prayer. The song started slow in acoustic, then switched into full band, rocking the stadium and giving us a satisfying closure. It redeemed Bon Jovi's reputation as a world class rock band.

After the concert.
Photo by Franky. 
Having gone through such experience, you'd understand why I was a bit wary of Guns N' Roses. First of all, the concert venue was like in the middle of nowhere. On top of that, we had this unknown opening band blasting their unrecognisable loud music from afar while we were lining up for the worst queue arrangement ever in 2017 for our... hotdogs, if I remember correctly. Then came Axl Rose, putting on so much weight and looking totally different from the young man I saw on MTV back in the 90s. I immediately had doubts that he could do what he used to do. I thought this was it, I'd been Bon Jovi-ed again.

That's when I was in for a nice surprise. Axl was not only very agile, but his voice was also still solid. He ran, he jumped and he sang throughout the concert. Duff McKagan was as cool as a bass player could be. Then of course there was Slash. His curly hair, his seasoned and battered looking guitar and his legendary guitar playing, he was everything you'd like your eyes to feast on. Both Slash and Axl were the very reason why GNR was so great. I couldn't get enough of them.

Getting ready for Guns N' Roses!

They did all the good stuff ranging from Paradise City, Live and Let Die, to Sweet Child O' Mine, but none was more captivating than November Rain. Axl was on piano and the moment he played the intro, I was transported back to that tiny studio in Pontianak. I remember my friend Hardy doing his best Axl impression and here was the real deal, singing right in front of me. It was so surreal to have your dream come true, really.

Just like Bon Jovi's concert where Always was curiously missing from the set list, I had no idea why GNR didn't perform Don't Cry that night. But it was still one helluva concert. When the concert ended, it was like waking up from a childhood dream, a very loud one at that...



Konser Musik Rock

Jika anda mengamati koleksi CD musik saya, anda bisa melihat bahwa saya bukan penggemar berat musik rock. Meskipun demikian, saya suka mendengarkan lagu-lagu populer dari grup-grup tersohor seperti Bon Jovi dan Guns N' Roses. Mereka menulis banyak lagu yang mengisi hari-hari saya di Pontianak dulu, mulai dari Livin' on a Prayer sampai November Rain.

Ketika saya mendengar kabar bahwa Bon Jovi akan datang ke Asia, saya tahu saya harus menyaksikan aksi panggungnya. Bon Jovi juga datang ke Singapura, tapi hanya sebagai bagian dari aneka artis yang mengisi acara Formula 1. Oleh karena itu, saya terbang ke Jakarta bersama teman-teman Singapura pada tanggal 11 September 2015 untuk menonton konser tunggal Bon Jovi di sana.

Dan tiket pun dibeli jam 17.29 waktu Singapura!

Ini adalah pengalaman konser pertama saya di Indonesia sejak Mr. Big datang ke Pontianak 15 tahun yang lalu. Mengingat macetnya Jakarta, kita berangkat lebih awal ke Pacific Place dan makan malam di Hard Rock Cafe, lalu berjalan kaki ke Gelora Bung Karno.

Ada sebuah pengalaman menarik yang terjadi sebelum konser. Kita terjebak di tengah lautan manusia satu jam lamanya saat mengantri untuk masuk. Suasananya memang tidak rusuh, tapi kita tidak bisa bergerak maju maupun mundur. Sambil memandangi mereka yang memikul tas ransel di punggung, saya berpikir, kalau saja ada di antara mereka yang merupakan pelaku bom bunuh diri, kita pasti mati di tempat.

Akan tetapi tentu saja kita tidak mati dan jadinya berkesempatan untuk menonton konser. Ketika lampu menyala dan musik dimainkan, saya langsung fokus ke arah panggung untuk mencari Jon Bon Jovi. Setelah dia mulai bernyanyi, saya baru sadar bahwa pria berambut putih itu adalah sang bintang utama! Dia tampak jauh lebih tua dari yang saya perkirakan. Selain itu, sampai hari ini, saya selalu berasumsi bahwa sepertinya dia tidak terbiasa dengan panasnya cuaca di Jakarta. Begitu konser mulai, dia sudah banjir keringat dan seperti kehabisan napas. Saya bahkan berharap bahwa dia tidak pingsan.

Bon Jovi membutuhkan waktu cukup lama untuk beradaptasi dan bagi saya, lagu-lagu baru yang dinyanyikannya tidak membantu menghidupkan suasana. Richie Sambora juga tidak datang sehingga kelangsungan konser sepenuhnya bergantung pada Bon Jovi yang terlihat lelah dan memaksakan diri untuk menyanyi. Jon juga memiliki kebiasaan mengarahkan mikrofonnya ke arah penonton ketika dia seharusnya menyanyikan bagian lagu bernada tinggi. Karena kecenderungannya ini, saya seringkali bercanda dengan teman bahwa Bon Jovi pasti menyesal telah menulis lagu-lagu yang memaksanya untuk berteriak. Dia dengan gampang menyanyikannya dulu, tetapi sekarang ia tidak sanggup lagi. 

Pose saat antrian masuk.
Foto oleh Franky.

Bon Jovi terlihat kembali prima saat mereka memainkan Keep the Faith, lagu kedua terakhir sebelum encore. Dia dengan lincahnya memainkan maracas, persis seperti Bon Jovi yang kita lihat di TV dulu. Tidak lama kemudian, konser pun ditutup dengan lagu Livin' on a Prayer. Lagunya dimulai dengan irama pelan dan akustik. Setengah jalan kemudian, terjadi transisi dan lagunya berganti menjadi elektrik seperti yang biasa kita dengar dari rekamannya. Dengan lagu andalannya, Bon Jovi mengguncang stadion dan memuaskan dahaga penggemarnya sekaligus kembali menunjukkan kelasnya sebagai grup musik kelas dunia. 

Setelah konser Bon Jovi ini, anda pasti mengerti kenapa saya agak cemas dengan konser Guns N' Roses. Pertama-tama, konsernya berada di tempat yang terpencil dan sulit dijangkau, sesuatu yang tidak lazim untuk standar Singapura. Selain itu, antrian untuk sebuah roti hotdog juga benar-benar parah. Kita mengantri satu jam lamanya sementara grup pembuka yang tidak terkenal memainkan musik sekeras-kerasnya. Kemudian Axl muncul. Dia terlihat gemuk dan sungguh berbeda dengan pemuda yang tampil di video musik GNR di tahun 90an. Saya langsung merasa ragu bahwa dia bisa menyanyi seperti dulu. Jangan-jangan penampilannya akan seperti Bon Jovi lagi.

Saat lagi antri isi kredit buat beli makanan.
Foto oleh Eday.

Namun saya terbukti salah dalam menilai. Axl bukan saja berjingkrak hingga akhir, tapi suaranya pun tidak memudar dan masih sebagus dulu. Dia berlari, melompat dan menyanyi tanpa terlihat lelah. Duff McKagan juga ada di panggung, dengan tenang memainkan bass-nya. Slash pun tidak kalah sibuknya. Dengan rambut keriting yang menutupi mata dan permainan gitarnya yang memukau, dia membuat kita serba salah, entah harus melihat permainannya atau menonton Axl. Perpaduan dua orang inilah yang menjadi alasan kenapa GNR adalah salah satu grup paling dahsyat di dunia.

Mereka memainkan tembang-tembang terbaiknya, mulai dari Paradise City, Live and Let Die, sampai Sweet Child O' Mine, tapi yang paling berkesan adalah November Rain. Axl duduk di depan piano dan tatkala dia mulai memainkan nada pembukanya, saya bagaikan terbuai kembali ke studio kecil di Jalan Cendana di kampung halaman saya. Saya ingat teman sekolah saya Hardy yang bernyanyi dengan gaya Axl Rose dan kini penyanyi aslinya melantunkan lagu yang sama di hadapan saya. Serasa tidak percaya, tapi nyata di depan mata dan tidak terbantahkan oleh telinga.

Sama halnya seperti konser Bon Jovi yang tidak memainkan lagu Always, saya juga tidak tahu GNR kenapa tidak memainkan Don't Cry di malam itu. Akan tetapi tidak bisa disangkal bahwa penampilan mereka sangat luar biasa. Ketika konser berakhir, rasanya seperti terbangun dari sebuah mimpi masa silam yang hingar-bingar...

Guns N' Roses, live di Singapura!
Foto oleh Eday.

Saturday, December 9, 2017

The Long Walk

I remember feeling amused when I saw the picture below. For once I had the walking activity measured and recorded, therefore I could see that I'd traveled as far as almost 11km from west to east side of Singapore in roughly two hours. However, it wasn't the result, but rather the sentimental value behind it that impressed me. When I looked at it, I was reminded again about how I love walking and how I often did it when I was in Pontianak.

The night we did the after office-hours walk.

In order to understand this, you'd have to know that walking on the streets was not part of our culture. Pontianak was not a pedestrian-friendly town: it was hot, dusty and the pavement was often missing from the roadside. This perhaps was the reason why people would ride the motorbike even though it was actually very near.

I wasn't that lucky. In fact, I never had a motorbike in my entire life. I got only a bicycle or two, but for a reason that I couldn't recall now, I actually walked a lot with my school friend Parno. We did quite a distance that teenagers usually wouldn't do on foot, but it was alright for us because we could talk as we walked.

Parno and I, walking buddies, when we were in Kuching almost two decades ago.

Then came the time when I went with a bunch of school friends to Temajo, the haunted island. Throughout the entire time when we got lost, we walked from noon to evening, covering unusual landscapes such as hiking up to the hill, crossing the muddy soil with tall grasses, hopping from one stone to another another as we passed by the rock terrain. Eventually we took a dive into the sea, making our way to the hut on the other side of the gulf. That was a punishing seven-hours walk, my best record since 1998, to be broken only recently in 2017.

Earlier this year, I was organising a Singapore trip for my friends. I told them Endrico and I would be the guides and we'd explore Singapore on foot to have a glimpse of the city from a different angle. The motive was only partly revealed. What I never said until now was, I also wanted to have some fun by getting them walking while fully knowing that people from Pontianak weren't used to walking, haha. I reminded them repeatedly to get a nice pair of shoes for walking, of course.

The tourists at Boat Quay. 

As I expected, it turned out to be a happy outing. Singapore was such a fantastic city for tourist to walk around and I was glad that we did it that way because surely it was a different kind of experience for them. On the first day, we started at 8am by having breakfast in Chinatown, then we walked from there to Clarke Quay, Boat Quay, Raffles Place, Merlion, then turned right to Fullerton Bay. We headed to Marina Bay Sands and Gardens by the Bay before we turned back and went to Helix Bridge, Millenia Walk and ended that day at Suntec City. It was 11 hours of walking! The ending point of the original itinerary was Farrer Park, but we didn't make it.

The second day was supposed to be a leisure stroll from Dhoby Ghaut to Orchard, from one shopping mall to another. It rained, so we immediately skipped the rest and went from Plaza Singapura to Ion Orchard by train instead. After crisscrossing the malls up until Takashimaya, we went back to Dhoby and headed to Sengkang and Punggol to have a look at how Pontianak people were living overseas. Definitely not your usual tourist spots!

At Endrico's house. 

The third day was the morning walk from Marang Trail all the way up to Mount Faber. Afterwards, we passed by Henderson Waves and continued to Southern Ridges. We took a bus from there to VivoCity, then hopped on to another bus to Sentosa for lunch. After that, we dropped by Chinatown for a short while before we carried on to Farrer Park to visit the legendary Mustafa Centre. We ended our visit properly with a dinner at Anjappar, the tasty Southern Indian food. The tourists resumed their journey to Bugis and spent the night at Clarke Quay.

Coming from Pontianak, I think it must be torturous for them to walk like mad. On the bright side, this wasn't any regular tour where tourists were being driven around to see things from afar. This was the walking tour: up, close and personal. And this, my friend, is how you should enjoy Singapore. Keep walking!

The morning walk, at Southern Ridges.


Perjalanan Yang Panjang

Saya ingat betapa saya merasa terkesan saat saya melihat gambar pertama di atas. Di hari itu saya menggunakan aplikasi untuk merekam dan mengukur aktivitas saya dalam berjalan kaki. Dari situ saya bisa melihat bahwa saya telah menempuh jarak hampir 11km jauhnya. Saya berjalan dari barat ke timur Singapura dalam waktu kurang lebih dua jam. Kendati begitu, yang membuat saya terkesan sebenarnya bukan data yang tertera di gambar, tetapi kenangan yang tersirat. Ketika saya melihat gambar tersebut, saya teringat lagi bahwa saya suka berjalan kaki dan sering melakukannya sejak saya di Pontianak. 

Untuk memahami istimewanya hal yang satu ini, perlu dijelaskan bahwa berjalan kaki bukanlah bagian dari budaya orang Pontianak. Kota ini tidak ramah terhadap pejalan kaki karena sangat panas cuacanya, berdebu dan trotoar pun sering kali tidak ditemukan di pinggir jalan. Mungkin karena inilah orang Pontianak lebih sering mengendarai motor ke mana-mana meski dekat jaraknya.

Saya tidak seberuntung itu. Saya bahkan tidak pernah memiliki motor sepanjang hidup saya. Saya hanya pernah mempunyai sepeda, tapi untuk alasan yang tidak lagi saya ingat, dulu saya sering berjalan kaki bersama Parno, teman sekolah saya. Jarak yang kita tempuh tidaklah pendek, tapi tidak terasa bagi kita karena kita senantiasa berbincang saat berjalan.

Temajo, 2017.
Foto: Parno.

Kemudian saya mengunjungi Temajo bersama teman-teman sekolah. Ketika tersesat di sana, kita berjalan dari siang hingga senja, melewati jalan menanjak menuju bukit, menyeberangi tanah berlumpur dengan rumput liar yang tinggi di sisi kiri dan kanan, lantas melompat dari satu bongkahan batu ke bongkahan lainnya di pantai berbatu. Setelah itu kita terjun ke laut dan menghampiri pondok yang ada di tepi teluk. Total perjalanan tersebut berkisar tujuh jam dan menjadi rekor terbaik saya sejak 1998 sebelum akhirnya terpecahkan di tahun 2017. 

Di pertengahan tahun 2017, saya mengadakan kunjungan wisata ke Singapura untuk teman-teman saya. Saya katakan pada mereka bahwa saya dan Endrico akan menjadi pemandu dan kita akan berjalan kaki menjelajahi Singapura untuk melihat kota ini dari sudut pandang yang berbeda. Apa yang tidak pernah saya katakan sampai sekarang adalah, saya tertarik untuk melihat mereka berjalan kaki, meski saya tahu bahwa ini bukanlah kebiasaan mereka, haha. Supaya lancar, saya juga berulang kali mengingatkan mereka untuk memakai sepatu yang nyaman untuk berjalan.

Di terowongan Hotel Fullerton, dalam perjalanan ke Merlion.

Seperti yang saya harapkan, tur jalan kaki yang direncanakan sejak tahun lalu itu berlangsung dengan cukup baik. Singapura adalah kota yang fantastis untuk berjalan kaki. Di hari pertama, kita mulai dengan sarapan pagi jam delapan di Chinatown, lantas kita mulai berjalan ke Clarke Quay, Boat Quay, Raffles Place, Merlion, kemudian belok ke kanan, ke arah Fullerton Bay, menuju Marina Bay Sands dan Gardens by the Bay. Setelah itu kita berbalik arah ke MBS lagi dan lanjut ke Helix Bridge, Millenia Walk dan mengakhiri perjalanan kita di Suntec City. Kita berjalan 11 jam lamanya! Menurut rencana, seharusnya hari tersebut berakhir di Farrer Park, namun tidak tercapai.

Hari kedua dijadwalkan sebagai jalan santai dari Dhoby Ghaut ke Orchard, dari satu mall ke mall lain. Karena hujan, rencana pun batal dan kita langsung bertolak ke Ion Orchard dari Plaza Singapura. Setelah menembus Wisma Atria dan sampai di Takashimaya, kita kembali ke Dhoby Ghaut untuk pergi ke Sengkang dan Punggol untuk melihat bagaimana kehidupan orang Pontianak di negeri orang. Ini jelas bukan pengalaman turis biasa!

Makan malam di Punggol, saat menanti kepiting saus cabe.

Di hari ketiga, kita olahraga jalan pagi dari Marang Trail naik ke Mount Faber, lalu melewati Henderson Waves dan berakhir di Southern Ridges. Kita naik bis dari sana ke VivoCity, lalu berganti bis lagi ke Sentosa untuk makan siang. Selanjutnya kita singgah sebentar di Chinatown, kemudian menuju Farrer Park untuk mampir ke Mustafa Centre yang terkenal dan mencicipi masakan India di Anjappar yang berada di seberangnya. Malam harinya, para turis ke Bugis dan bersantai di Clarke Quay sebelum pulang pada keesokan harinya.

Bagi yang datang dari Pontianak, berjalan kaki gila-gilaan seperti ini pastilah melelahkan. Walaupun begitu, perasaan cape ini kiranya sepadan dengan pengalaman yang didapat. Ini bukan tur biasa dimana para turis hanya duduk dan diantar sampai ke tempat tujuan wisata. Ini adalah tur jalan kaki, melihat dari dekat sebuah potret kehidupan di negara ini. Dan para pembaca yang budiman, beginilah seharusnya anda menikmati kunjungan ke Singapura. Tetaplah berjalan!

Malam di Clarke Quay.

Friday, December 8, 2017

Pemimpin Berkata

Pemimpin berkata, dia dicerca namun dia memupuk Bhinneka
Secercah harapan indah merekah
Negeriku tercinta akan berubah
Namun sekarang harapan indah mereda
Pemimpin berkata, dia dipuja-puja namun dia merusak Bhinneka
Suka berkata-kata dan bersilat lidah supaya dipuja-puja
Namun dia tidak tahu rakyat jelata menjadi sengsara

Kami tetap menjaga asa
Supaya Indonesia tetap jaya
Walaupun lewat puisi dan peribahasa
Ini supaya menjaga
Agar jangan dipenjara
Oleh orang-orang yang banyak rencana

Mengejar dan memfitnah
Itu hal biasa bagi mereka
Tidak peduli anda siapa
Membungkam siapa saja yang berbeda

Mari berharap pemimpin kembali bekerja
Untuk kejayaan Indonesia

Menyuarakan pendapat...
Foto: Alvin Alexander

Saturday, December 2, 2017

The Sinking Ships

This story began when I ran out of bedtime stories for my daughter, so I told her about the sinking of Titanic. Much too my surprise, she was into it, therefore I showed her the film afterwards. We sat through the Titanic movie by James Cameron in the span of three days, doing roughly an hour each day. She loved every bit of it, but she didn't stop there and probed further (that curious kid bombarded with me with a lot of questions)! That's when we dug further about the sinking ships.

As I needed to tell the story and answered her questions (soon there was a set of default questions such as how did the ship sink, how long did it take to sink and how many people died), I learned about Britannic, the third in a trio of Olympic-class ocean liners (the other two was Olympic and Titanic). It only had a brief tenure of being a hospital ship before it hit a naval mine and sank. Then there was Lusitania, too, torpedoed by the Germans during World War I and sank within 18 minutes. Carpathia, the one that picked up the Titanic passengers from the sea, also didn't end well. Fast forward to 21st century, there was Costa Concordia and Captain Francesco Schettino whom notoriously abandoned the ship. His conversation with the coast guard was embarrassingly funny: he refused to go back to the ship because it was too dark.

Quite fascinating, I must say, but none of the tragedies was as captivating and dramatic as Titanic. Here was a ship dubbed as the Unsinkable (even right after she hit the iceberg, the ship crew still told the passenger that not even God could sink Titanic), yet she went down on her maiden voyage. 20 years after I first watched the movie, my interest in Titanic was renewed again by my research on sinking ships thus far. I was reading lot about Titanic on Wikipedia, but it was the article about the launch of the lifeboats that eventually prompted me to purchase A Night to Remember, the non-fiction book about the sinking of Titanic and the aftermath, written by Walter Lord and published in 1955. I just couldn't resist to find out more about the struggle of life and death in the final hours of Titanic.

The book opened with the scene when the iceberg was suddenly spotted by the lookout. The reaction of the passengers right after the collision that happened soon afterwards was rather amusing. They actually believed Titanic was unsinkable that they took it lightly. For the first one hour after Titanic hit the iceberg, the situation was almost normal.


Titanic collided with the iceberg at 11.40pm and sank at 2.20am. She lasted for two hours and 40 minutes, which was quite long. Titanic seemed to be steady for a while, but ship builder Thomas Andrews knew it better. The ship wouldn't stay afloat at her current state. Chaos was inevitable as it only made sense for the people to try their best to stay alive, but a century ago, the word gentleman did mean something. Not only some passengers were prepared to die, but they also did their best to escort the women and children to the lifeboats. To be able to do such thing while fully knowing that you might die was honorable.

Also worth mentioning here was the ship crews. Jack Philips, the wireless officer, was tapping frantically to get the message out to the nearest ships until he was released from his duty at 2.05am by the captain. Second Officer Lighttoller and others were busy launching the lifeboats, boarding women and children first. They worked extra hard right till the end. Some even went down with the ship and survived only by sheer of luck.

Then came the final moment. Unlike other ships that I read where they were listing and eventually collapsed on one side before sinking, Titanic was actually broke into two, leaving the other half of the ship standing tall in the starlit night before it went down entirely into the bottom of the sea. It must be quite a sight and a humbling experience for the rich and poor people alike. The unsinkable Titanic, the ship that not even God could sink, was heading down to the seabed and eventually no more. The Atlantic ocean went quiet afterwards, when the swimming people died of hypothermia.

Few hours later, the rescue came in the form of Carpathia. They did the best their could, but weren't fast enough to be there. The nearest ship, Californian, was uncontactable, even though some of the ship crews were actually observing the strange behavior of Titanic from afar until she went dark and presumably disappeared due to unknown reason. It was just unfortunate. I could only wonder if Californian, the ship that also warned Titanic about the iceberg earlier, picked up the message and sped up to the location, but it wasn't meant to be.

It's been more than 100 years since that fatal incident, but the interest on Titanic never waned. It was a cautionary tale about the arrogance of mankind and we learnt it the hard way. It was a romance, for it was a beautiful story about the noble struggle in the face of death. It was a tragedy like no other, hard to believe and yet it happened. That, indeed, was a night to remember...

RMS Titanic.


Kapal-Kapal Yang Karam

Cerita kali ini bermula ketika saya kehabisan dongeng sebelum tidur untuk putri saya, jadi saya mengisahkan tenggelamnya Titanic kepadanya. Di luar dugaan, ternyata dia tertarik tentang Titanic. Oleh karena itu, selama tiga hari berturut-turut, saya duduk bersamanya untuk menonton film Titanic yang disutradarai James Cameron, tiap malam selama satu jam. Dia suka filmnya, kian penasaran dan bertanya lebih jauh lagi tentang Titanic dan kapal lain yang bernasib sama. Berawal dari situlah saya mencari tahu lebih banyak lagi tentang kapal-kapal yang karam.

Karena saya harus bercerita dan menjawab pertanyaan-pertanyaan Linda (lambat-laun yang ia tanyakan selalu berkisar tentang bagaimana kapal tersebut tenggelam, berapa lama kapal tersebut karam dan berapa banyak jumlah korbannya), saya akhirnya belajar tentang Britannic, kapal ketiga dari trio kapal laut kelas Olympic (dua kapal lainnya adalah Olympic dan Titanic). Britannic yang diluncurkan sebagai kapal rumah sakit berumur kurang dari setahun dan akhirnya tenggelam setelah menabrak ranjau di laut. Lantas ada lagi yang namanya Lusitania, kapal penumpang yang menjadi sasaran torpedo Jerman dalam Perang Dunia Pertama dan terbenam dalam waktu sesingkat 18 menit. Carpathia, kapal yang menyelamatkan penumpang Titanic, juga bernasib sama. Di abad 21, ada kapal pesiar bernama Costa Concordia dan Kapten Francesco Schettino yang terkenal karena kabur duluan setelah kapal yang dikemudikannya menabrak karang. Percakapannya dengan penjaga pantai terkesan lucu dan memalukan: dia bersikukuh untuk tidak kembali ke kapal karena malam itu sangat gelap.

Kisah-kisah kapal tenggelam ini sangat mencengangkan, tetapi tidak ada yang lebih menarik dan dramatis dari Titanic. Kapal ini digembar-gemborkan sebagai kapal yang tidak akan tenggelam (bahkan setelah menabrak gunung es pun awak kapalnya masih berujar bahwa bahkan Tuhan tidak bisa menenggelamkan Titanic), namun siapa sangka riwayatnya justru berakhir di tengah pelayaran perdana? 20 tahun setelah saya menyaksikan film tersebut untuk pertama kalinya, rasa ingin tahu saya terhadap Titanic membara lagi setelah saya membaca tentang kapal-kapal lainnya. Saya melahap segala macam informasi tentang Titanic di Wikipedia, namun saat saya membaca tentang sekoci-sekoci yang diluncurkan sewaktu Titanic mulai tenggelam, saya akhirnya tidak bisa menahan diri untuk membeli A Night to Remember, buku non-fiksi tentang saat-saat terakhir Titanic dan sesudahnya. Buku ini ditulis oleh Walter Lord dan diterbitkan di tahun 1955. Saya sungguh penasaran tentang informasi mendetil dari perjuangan hidup-mati para penumpang dan awak kapal Titanic.

Buku ini dibuka dengan adegan dimana awak kapal tiba-tiba tersentak oleh keberadaan gunung es di depan Titanic. Seperti yang kita ketahui, tabrakan tersebut tidak terelakkan, namun reaksi para penumpangnya sangat tidak lazim. Banyak dari mereka yang percaya bahwa Titanic tidak bisa tenggelam. Oleh sebab itu, mereka menganggap enteng benturan tersebut dan tenang-tenang saja. Selama satu pertama, situasi di kapal hampir bisa dikatakan normal.

Titanic menabrak gunung es jam 11.40 malam dan tenggelam jam 2.20 pagi. Kapal tersebut masih sempat mengapung selama dua jam 40 menit. Setelah benturan, kapal berukuran besar itu masih terlihat stabil, tapi arsitek kapal Thomas Andrews tahu bahwa Titanic tidak akan bertahan. Pada akhirnya kekacauan pun merebak tatkala para penumpang mencoba untuk menyelamatkan diri. Kendati begitu, satu abad silam, sikap pria sejati bukan hanya sekedar kata-kata, tetapi juga perbuatan nyata. Ada di antara penumpang yang bukan saja siap untuk mati, tetapi mereka juga memanfaatkan waktu yang tersisa untuk mengawal wanita dan anak-anak ke perahu darurat. Orang yang masih sanggup berbuat seperti itu walau tahu resikonya patut dihormati.

Yang juga layak disebut di sini adalah para awak kapal. Jack Phillips, petugas telegraf, tidak henti-hentinya berusaha mengirimkan pesan ke kapal-kapal terdekat sampai ia dibebastugaskan oleh sang Kapten jam 2.05, sekitar 15 menit sebelum kapal tenggelam. Komandan Kedua Lighttoller beserta kelasi lainnya sibuk meluncurkan sekoci, bekerja keras hingga akhir. Tidak sedikit di antara mereka yang turut tenggelam bersama Titanic, meski beberapa di antaranya terselamatkan oleh keberuntungan semata.

Kemudian tibalah saat-saat terakhir Titanic. Berbeda dengan kapal-kapal lain yang miring dan roboh ke samping sebelum karam, Titanic terendam di bagian depan sebelum retak dan patah menjadi dua. Peristiwa tersebut membuat bagian belakang kapal terangkat tinggi secara vertikal di tengah malam bertaburan bintang. Pemandangan yang luar biasa itu pasti sangat mencekam bagi mereka yang melihatnya secara langsung dari sekoci (Bruce Ismay, presiden perusahaan pemilik Titanic, memalingkan wajahnya karena tidak sanggup untuk melihat). Kapal yang konon tidak akan tenggelam bahkan oleh kuasa Tuhan sekali pun ini kini menyongsong akhir hayatnya, melesat turun ke dalam lautan dan lantas sirna begitu saja. Samudera Atlantik lantas menjadi sunyi kembali setelah mereka yang berenang akhirnya meninggal karena kedinginan (menarik untuk dicatat bahwa ada seorang pemanggang roti selamat dari dinginnya laut karena badannya hangat setelah meminum alkohol sebelum kapal tenggelam).

Pertolongan akhirnya datang beberapa jam kemudian dalam wujud Carpathia. Kapten dan awak kapalnya telah berusaha sebisa mereka, tapi tidak cukup cepat untuk berada di lokasi. Kapal terdekat, Californian, gagal dihubungi meskipun beberapa awak kapalnya sempat mengamati kapal aneh di kejauhan yang disinyalir adalah Titanic, yang tiba-tiba padam lampunya dan menghilang begitu saja. Saya sempat membayangkan, seandainya saja Californian yang sempat memperingatkan Titanic tentang bahaya gunung es di kawasan tersebut itu sempat menerima pesan gawat darurat dari Titanic dan melaju untuk memberikan pertolongan, tapi tentu saja itu tidak pernah terjadi. Sayang sekali.

Dan lebih dari 100 tahun telah berlalu semenjak kecelakaan fatal itu, tapi minat terhadap Titanic tidak pernah pudar, mungkin karena kisahnya yang bercerita tentang keangkuhan manusia yang akhirnya dibayar mahal dengan korban jiwa. Di saat yang sama, Titanic adalah kisah perjuangan, keberanian dan kehormatan dalam menghadapi maut. Selain itu, Titanic juga merupakan sebuah tragedi, sulit dipercaya tapi pernah terjadi. Malam itu, 15 April 1912, adalah suatu malam yang tidak akan terlupakan...

Thursday, November 30, 2017

Monas Di Tiga Zaman Gubernur Jakarta

Monas (Monumen Nasional) adalah salah satu landmark di Jakarta dan bisa juga disebut icon. Karena keberadaannya sebagai icon inilah saya beberapa kali ke Monas. Setiap kali tamu atau kerabat dari luar negeri berkunjung ke Jakarta, pasti saya bawa ke Monas.

Di bawah cawan Monas itu ada diorama-diorama perjuangan indonesia dari zaman kerajaan sampai merdeka. Lumayan menarik karena diorama itu menggambarkan cerita sejarah yang kita pelajari saat di sekolah. Kalau kita naik ke atas, dari api Monas bisa kita lihat pemandangan ring satu Jakarta, mulai dari Istana Presiden sampai Walikota.

Yang ingin saya tulis adalah perbedaan Monas di era tiga gubernur berbedà, yaitu Fauzi Bowo, Jokowi-Ahok-Djarot dan Bapak Anies:

Zaman Bapak Fauzi Bowo
Setelah tinggal di Jakarta sekitar sembilan tahun, saya baru berkesempatan ke Monas karena istri saya mengajak saya pergi. Pertama datang, kesan saya adalah, "wow, lapangannya besar, ya?" Dari gerbang ke tugu Monas, kita harus berjalan kaki. Sekeliling kita semrawut karena banyak yang berjualan. Tukang foto keliling, tukang sewa sepeda dan penjual kaki lima berjajar sampai di depan pintu karcis. Oh ya, kalau mau masuk ke cawannya, pengunjung harus membeli tiket seharga Rp. 5.000 dan pintuk masuknya terletak di seberang Monas, sekitar 20 meter dari tugu. Dari situ kita bisa masuk melewati terowongan. Untuk naik ke atas, tiket senilai Rp15.000, tapi karena lift hanya satu dan lambat, kita bisa antri selama 3 jam. Sangat jauh dengan menara 101 di Taipei yang memiliki lift tercepat di dunia (1km per menit, sangat cepat). Harap maklum.

Zaman Jokowi-Ahok-Djarot
untuk masuk Monas, kita melewati Lenggang Jakarta. Kelihatan perubahan yang sangat jauh dimana penjual makan, toko cinderamata dan lain-lain diatur dengan rapi. Makanan wajib dibeli dengan menggunakan Jakarta One, tapi ada pedagang nakal juga tidak mau menggunakan kartu.

Setelah melewati Lenggang Jakarta, kita bisa jalan kaki ke tugu atau naik mobil wisata ke depan tugu dengan menunjukan kartu Jakarta One. Pemandangan berubah jauh: sangat rapi, aspal mulus dan bebas dari pedagang, jadi tidak malu 'lah membawa tamu ke Monas. Oh ya, di zaman ini kegiatan di Monas dibatasi.

Zaman Bapak Anies Baswedan
Zaman Bapak Anies ini, kebetulan saya belum berkesempatan ke Monas, tetapi telah diberitakan bahwa Monas dibebaskan sebagai ajang kegiatan. Biasanya, kalau sudah bebas begitu, pedagang kembali tidak tertib. Mudah-mudahan Monas tetap terjaga kerapiannya di zaman Bapak Anies.


Tuesday, November 28, 2017

Kembalikan Akal Sehat Sebagai Dasar Pemikiran (Ananda Sukarlan)

Akhir-akhir ini banyak berita yang meliput tentang Kolese Kanisius yang dicap oleh sebagian orang sebagai tempat pencetak alumni yang tidak punya manner. Ada pula isu mau didemo segala. Membaca berita-berita tersebut membuat saya ingin menuangkan pemikiran pribadi saya dalam bentuk tulisan ini.

Menurut saya, kita harus mengerti apa arti kata manner dahulu, baru kita mengatakan seseorang punya manner atau tidak. Selain itu, perlu ditekankan bahwa sangatlah subjektif ketika kita berani mengatakan orang tidak punya manner, tapi kita tidak memberikan waktu dan ruang kepada yang bersangkutan untuk menjelaskan maksud dari tindakannya.

Ananda Sukarlan berjalan keluar (walk out) saat seorang gubernur memberikan pidatonya. Menurut saya, Ananda memberikan teladan manner yang baik. Dia menghargai perbedaan dengan tidak membuat keributan saat orang yang berbeda pendapat dengannya berpidato. Lebih dari itu, Ananda tidak memprovokasi yang lain untuk berjalan keluar. Di sini terlihat bahwa Ananda tidak munafik dengan pura-pura bersikap baik di depan orang yang tidak sejalan pemikirannya. Saya juga menghargai orang-orang yang tidak sejalan dengan seseorang, tapi di depannya bersikap kalem dan tidak menunjukan rasa tidak suka. Mari kita hargai perbedaan sikap setiap orang. Yang terpenting adalah boleh berbeda pendapat tapi jangan lakukan provokasi. Ananda bukan tidak suka dengan gubernur tersebut tapi tidak sependapat dengan cara-cara yang dilakukannya.

Di sini saya bisa lihat bahwa Ananda tidak mengajak orang-orang berdemo karena perbedaan pendapat. Dia juga tidak mengajak orang-orang yang tidak tahu-menahu persoalan tersebut untuk memboikot. Jadi, bagaimana bisa Ananda dianggap tidak punya manner?

Saya ingin sekali bertanya kepada orang-orang yang karena adanya sedikit perbedaan, langsung mengajak demo. Demo itu, meski diijinkan secara hukum tapi kenyataannya sering melanggar hak orang lain (membuat macet, membuat orang yang mau beraktivitas menjadi takut, dan lain-lain). Belum lagi yang lagi trend lain yaitu boikot, sampai orang yang tidak tahu masalah pun ikut-ikutan. Sepertinya di negara kita yang tercinta ini, orang-orang pengecut semakin merajarela, tidak berani lagi melawan atas nama pribadi, tapi harus menggalang massa untuk menyatakan perbedaan pendapatnya. Kalau begitu, di mana letak manner orang-orang yang suka mengajak demo dan boikot tersebut?

Alvin dan teman-teman dalam acara reuni.

Sunday, November 26, 2017

A Taste Of Pontianak

There are things that we see them so often in life we end up taking them as a norm until we are told otherwise. For example, I never realized that the surroundings nearby Pontianak was so flat until my wife pointed out to me right before our plane landed. I also thought the water I used for bathing for the past 22 years was alright until my wife said it actually looked yellowish. The illusion was shattered and things were never be the same again since then.

A plate of Alu's chicken rice.
Photo by Endrico Richard.

It was the same for the so-called chicken rice from Pontianak. Only God knows why it was called chicken rice in the first place when it actually had more pork than chicken. It'd been a misnomer for the longest time and the term was widely used in Pontianak and nobody seemed to question it at all. When Cita Rasa restaurant started selling Hainanese chicken rice in the early 2000s, I remember thinking, "now this is a different looking chicken rice," but it didn't occur to me that the one I ate for almost two decades was perhaps not a chicken rice at all!

For a comparison, the regular Hainanese chicken rice. 

The misleading name aside, it actually tasted really good and was quite popular in Pontianak. It was basically a plate of rice covered with a generous portion of sliced pork meat and sausage, a slice of stewed egg that was neatly cut using a string of sewing thread (at least that's how it was done back then) and then a bit of chicken to justify the name. Once all the ingredients were there, the sticky soup would be poured on top of it. Some vendors would add the decorative but edible cucumbers, but I didn't think it was compulsory, haha.

When I was still living in Pontianak, there were at least three big names to go to when I was craving for chicken rice: Asan, Alu and Akwang. Asan was a bit too far from where I stayed at (Pontianak people had a peculiar definition of far, but let's save that story for another day) and Akwang was too expensive for my wallet, so Alu was a logical choice thanks to the proximity and affordability.

The chicken rice was also uniquely Pontianak (or West Borneo in general). If you ever saw it elsewhere, most likely the stall was opened by somebody from Pontianak. I was told that Asan had a branch in Jakarta and my friend Hardy ever brought me to Akwang's branch in 2014, a day before we did the high school reunion. Alu, on the other hand, was as original as ever, because he migrated to Jakarta and re-opened his business there.

It took me a while to visit Alu again. I went there with my pal Endrico during lunch time, when I had a business trip to Jakarta in early 2016. The feeling was like two estranged friends, separated in life and I got nervous, not really knowing if the chicken rice would be as good as it was. When I reached there, I found it rather amusing that it was now called mixed rice instead of chicken rice. Not exactly the same as a better known Kenanga mixed rice, but at least it sounded about right.

Putri Kenanga, another type of mixed rice. 

I finally had a plate of Alu's chicken rice (oh yes, it's kind of odd to call it mixed rice). Not only it didn't disappoint, it also brought back the good old memories: those days when I rode my bike to Alu for a packet of chicken rice, knowing for sure that I'd a good meal that day. For that sentimental reason alone, I would have gone back there again, but as luck would have it, Alu's daughter-in-law was our high school friend, too!

As Jakarta was often the stop for many of us who were living abroad, where else should a bunch of old friends hang out while having a taste of Pontianak? At Alu's chicken rice stall, of course! So there we were, when we finished our trip to Karawang and got back to Jakarta last year. We went back again this year, a bigger group than before. Nothing beat a short reunion coupled with the local delicacy we knew and loved, really...

The legendary Alu.
Photo by CP.


Cita Rasa Pontianak

Di dalam hidup ini, ada beberapa hal yang kita anggap normal karena terlampau sering kita lihat dan ilusi itu baru buyar ketika orang lain memberitahukan kita sebaliknya. Misalnya saja, saya tidak pernah menyadari bahwa daerah di sekitar Pontianak tergolong datar, apalagi kalau dibandingkan dengan Bandung, sampai saya mendengar komentar dari istri saya saat pesawat mulai mendarat. Saya juga berpikir bahwa tidak ada yang aneh dengan air di Pontianak yang dulunya biasa saya pakai untuk mandi. Belakangan ini saya baru sadar bahwa air ledeng di Pontianak itu kuning warnanya.

Sama halnya dengan nasi ayam di Pontianak. Seorang teman asal Singapura bertanya, kenapa makanan ini disebut nasi ayam padahal lebih banyak daging babinya. Saya lantas tersentak. Ternyata benar juga ucapannya. Selama ini saya salah kaprah dan sepertinya tidak ada yang mempermasalahkan hal ini di Pontianak. Ketika restoran Cita Rasa mulai menjual nasi ayam Hainan di awal tahun 2000, saya dengan polosnya berpikir, "hmm, ini nasi ayam yang berbeda dari biasanya," tanpa pernah menyadari bahwa makanan yang saya santap selama dua puluh tahun terakhir ini mungkin sama sekali bukan nasi ayam!

Meski namanya menyesatkan, nasi ayam Pontianak sangat lezat dan populer. Nasi ayam ini pada dasarnya adalah sepiring nasi yang disajikan dengan irisan daging merah dan sosis babi, telur semur yang dibelah dengan seutas benang jahit (teknik klasik ini dipakai oleh mereka yang berjualan puluhan tahun silam) dan beberapa potong daging ayam. Setelah itu, sup kental akan disiramkan di atas nasi dan daging. Kadang ada juga yang menambahkan dekorasi berupa timun, tapi menurut saya, tambahan ini tidak terlalu penting, haha. 

Ketika saya masih tinggal di Pontianak, setidaknya ada tiga nama besar yang sering dikunjungi para peminat nasi ayam: Asan, Alu dan Akwang. Asan terlalu jauh dari tempat saya tinggal (ya, orang Pontianak memiliki definisi yang unik tentang jauhnya suatu lokasi) dan Akwang terlalu mahal untuk dompet saya, jadi Alu adalah pilihan yang masuk akal karena jaraknya yang dekat dan ramah dengan isi saku. 

Nasi ayam ini juga unik karena hanya ditemukan di Pontianak dan sekitarnya. Jika anda melihatnya di tempat lain, besar kemungkinan bahwa pemiliknya berasal dari Kalimantan Barat. Saya pernah diberitahu bahwa Asan memiliki cabang di Jakarta. Teman saya Hardy pernah membawa saya ke Akwang cabang Jakarta di tahun 2014, sehari sebelum kita reuni. Hanya nasi ayam Alu yang masih dikelola oleh Alu sendiri karena dia pindah ke Jakarta dan kemudian buka lagi di sana.

Hari dimana saya menyantap Alu untuk pertama kalinya di Jakarta. 

Saya sendiri pindah ke Jakarta sejak tahun 2002, namun saya baru sempat mencicipinya lagi 14 tahun kemudian. Saya ke sana bersama teman saya Endrico di tahun 2016, tatkala saya ke Jakarta dalam rangka kerja. Saat saya dalam perjalanan ke sana, sedikit-banyak ada timbul perasaan seperti hendak berjumpa dengan teman yang sudah lama tidak bertegur-sapa dan saya jadi bertanya-tanya, apakah rasanya masih seenak yang saya ingat. Sewaktu kita tiba di sana, yang pertama terlihat adalah tulisan Nasi Campur Alu. Jadi namanya sudah dikoreksi sekarang. Walau sama sekali tidak mirip Nasi Campur Kenanga, setidaknya terdengar lebih tepat. 

Saya akhirnya menyantap sepiring nasi ayam Alu (oh ya, aneh rasanya untuk menyebutnya sebagai nasi campur). Santap siang itu bukan saja tidak mengecewakan, tetapi juga membawa kembali kenangan lama: saat saya bersepeda ke Alu untuk membeli sebungkus nasi ayam dan pulang dengan hati riang dan tidak sabar untuk makan enak. Sedapnya nasi ayam Alu sebenarnya sudah menjadi alasan tersendiri bagi saya untuk kembali lagi ke sana, namun alasan lain yang tidak kalah menariknya adalah karena menantunya juga merupakan teman sekolah saya.

Dari kiri: Alvin, Susanti, Tuty, Susan, Endrico dan Rudiyanto, setelah kita kembali dari Karawang.

Dengan demikian, karena Jakarta seringkali menjadi tempat persinggahan bagi kita yang tinggal di luar negeri, di mana lagi kita sebagai para teman lama bisa berkumpul sambil menikmati cita rasa kampung halaman? Tentu saja di Alu! Jadi di sanalah kita berada, saat kita pulang dari perjalanan ke Karawang tahun lalu. Kita kembali berkumpul di Alu lagi tahun ini, kali lebih ramai dari sebelumnya. Pada akhirnya, tidak ada yang mengalahkan reuni singkat yang disertai dengan makanan lokal yang kita kenal dan sukai dari sejak kecil...

Dari kiri: Angelina dan pacar, Alvin, Mul dan anak, Anni, Susan, Anthony, Sonia, Eday, CP dan Han Kiang.