Total Pageviews

Translate

Saturday, December 2, 2017

The Sinking Ships

This story began when I ran out of bedtime stories for my daughter, so I told her about the sinking of Titanic. Much too my surprise, she was into it, therefore I showed her the film afterwards. We sat through the Titanic movie by James Cameron in the span of three days, doing roughly an hour each day. She loved every bit of it, but she didn't stop there and probed further (that curious kid bombarded with me with a lot of questions)! That's when we dug further about the sinking ships.

As I needed to tell the story and answered her questions (soon there was a set of default questions such as how did the ship sink, how long did it take to sink and how many people died), I learned about Britannic, the third in a trio of Olympic-class ocean liners (the other two was Olympic and Titanic). It only had a brief tenure of being a hospital ship before it hit a naval mine and sank. Then there was Lusitania, too, torpedoed by the Germans during World War I and sank within 18 minutes. Carpathia, the one that picked up the Titanic passengers from the sea, also didn't end well. Fast forward to 21st century, there was Costa Concordia and Captain Francesco Schettino whom notoriously abandoned the ship. His conversation with the coast guard was embarrassingly funny: he refused to go back to the ship because it was too dark.

Quite fascinating, I must say, but none of the tragedies was as captivating and dramatic as Titanic. Here was a ship dubbed as the Unsinkable (even right after she hit the iceberg, the ship crew still told the passenger that not even God could sink Titanic), yet she went down on her maiden voyage. 20 years after I first watched the movie, my interest in Titanic was renewed again by my research on sinking ships thus far. I was reading lot about Titanic on Wikipedia, but it was the article about the launch of the lifeboats that eventually prompted me to purchase A Night to Remember, the non-fiction book about the sinking of Titanic and the aftermath, written by Walter Lord and published in 1955. I just couldn't resist to find out more about the struggle of life and death in the final hours of Titanic.

The book opened with the scene when the iceberg was suddenly spotted by the lookout. The reaction of the passengers right after the collision that happened soon afterwards was rather amusing. They actually believed Titanic was unsinkable that they took it lightly. For the first one hour after Titanic hit the iceberg, the situation was almost normal.


Titanic collided with the iceberg at 11.40pm and sank at 2.20am. She lasted for two hours and 40 minutes, which was quite long. Titanic seemed to be steady for a while, but ship builder Thomas Andrews knew it better. The ship wouldn't stay afloat at her current state. Chaos was inevitable as it only made sense for the people to try their best to stay alive, but a century ago, the word gentleman did mean something. Not only some passengers were prepared to die, but they also did their best to escort the women and children to the lifeboats. To be able to do such thing while fully knowing that you might die was honorable.

Also worth mentioning here was the ship crews. Jack Philips, the wireless officer, was tapping frantically to get the message out to the nearest ships until he was released from his duty at 2.05am by the captain. Second Officer Lighttoller and others were busy launching the lifeboats, boarding women and children first. They worked extra hard right till the end. Some even went down with the ship and survived only by sheer of luck.

Then came the final moment. Unlike other ships that I read where they were listing and eventually collapsed on one side before sinking, Titanic was actually broke into two, leaving the other half of the ship standing tall in the starlit night before it went down entirely into the bottom of the sea. It must be quite a sight and a humbling experience for the rich and poor people alike. The unsinkable Titanic, the ship that not even God could sink, was heading down to the seabed and eventually no more. The Atlantic ocean went quiet afterwards, when the swimming people died of hypothermia.

Few hours later, the rescue came in the form of Carpathia. They did the best their could, but weren't fast enough to be there. The nearest ship, Californian, was uncontactable, even though some of the ship crews were actually observing the strange behavior of Titanic from afar until she went dark and presumably disappeared due to unknown reason. It was just unfortunate. I could only wonder if Californian, the ship that also warned Titanic about the iceberg earlier, picked up the message and sped up to the location, but it wasn't meant to be.

It's been more than 100 years since that fatal incident, but the interest on Titanic never waned. It was a cautionary tale about the arrogance of mankind and we learnt it the hard way. It was a romance, for it was a beautiful story about the noble struggle in the face of death. It was a tragedy like no other, hard to believe and yet it happened. That, indeed, was a night to remember...

RMS Titanic.


Kapal-Kapal Yang Karam

Cerita kali ini bermula ketika saya kehabisan dongeng sebelum tidur untuk putri saya, jadi saya mengisahkan tenggelamnya Titanic kepadanya. Di luar dugaan, ternyata dia tertarik tentang Titanic. Oleh karena itu, selama tiga hari berturut-turut, saya duduk bersamanya untuk menonton film Titanic yang disutradarai James Cameron, tiap malam selama satu jam. Dia suka filmnya, kian penasaran dan bertanya lebih jauh lagi tentang Titanic dan kapal lain yang bernasib sama. Berawal dari situlah saya mencari tahu lebih banyak lagi tentang kapal-kapal yang karam.

Karena saya harus bercerita dan menjawab pertanyaan-pertanyaan Linda (lambat-laun yang ia tanyakan selalu berkisar tentang bagaimana kapal tersebut tenggelam, berapa lama kapal tersebut karam dan berapa banyak jumlah korbannya), saya akhirnya belajar tentang Britannic, kapal ketiga dari trio kapal laut kelas Olympic (dua kapal lainnya adalah Olympic dan Titanic). Britannic yang diluncurkan sebagai kapal rumah sakit berumur kurang dari setahun dan akhirnya tenggelam setelah menabrak ranjau di laut. Lantas ada lagi yang namanya Lusitania, kapal penumpang yang menjadi sasaran torpedo Jerman dalam Perang Dunia Pertama dan terbenam dalam waktu sesingkat 18 menit. Carpathia, kapal yang menyelamatkan penumpang Titanic, juga bernasib sama. Di abad 21, ada kapal pesiar bernama Costa Concordia dan Kapten Francesco Schettino yang terkenal karena kabur duluan setelah kapal yang dikemudikannya menabrak karang. Percakapannya dengan penjaga pantai terkesan lucu dan memalukan: dia bersikukuh untuk tidak kembali ke kapal karena malam itu sangat gelap.

Kisah-kisah kapal tenggelam ini sangat mencengangkan, tetapi tidak ada yang lebih menarik dan dramatis dari Titanic. Kapal ini digembar-gemborkan sebagai kapal yang tidak akan tenggelam (bahkan setelah menabrak gunung es pun awak kapalnya masih berujar bahwa bahkan Tuhan tidak bisa menenggelamkan Titanic), namun siapa sangka riwayatnya justru berakhir di tengah pelayaran perdana? 20 tahun setelah saya menyaksikan film tersebut untuk pertama kalinya, rasa ingin tahu saya terhadap Titanic membara lagi setelah saya membaca tentang kapal-kapal lainnya. Saya melahap segala macam informasi tentang Titanic di Wikipedia, namun saat saya membaca tentang sekoci-sekoci yang diluncurkan sewaktu Titanic mulai tenggelam, saya akhirnya tidak bisa menahan diri untuk membeli A Night to Remember, buku non-fiksi tentang saat-saat terakhir Titanic dan sesudahnya. Buku ini ditulis oleh Walter Lord dan diterbitkan di tahun 1955. Saya sungguh penasaran tentang informasi mendetil dari perjuangan hidup-mati para penumpang dan awak kapal Titanic.

Buku ini dibuka dengan adegan dimana awak kapal tiba-tiba tersentak oleh keberadaan gunung es di depan Titanic. Seperti yang kita ketahui, tabrakan tersebut tidak terelakkan, namun reaksi para penumpangnya sangat tidak lazim. Banyak dari mereka yang percaya bahwa Titanic tidak bisa tenggelam. Oleh sebab itu, mereka menganggap enteng benturan tersebut dan tenang-tenang saja. Selama satu pertama, situasi di kapal hampir bisa dikatakan normal.

Titanic menabrak gunung es jam 11.40 malam dan tenggelam jam 2.20 pagi. Kapal tersebut masih sempat mengapung selama dua jam 40 menit. Setelah benturan, kapal berukuran besar itu masih terlihat stabil, tapi arsitek kapal Thomas Andrews tahu bahwa Titanic tidak akan bertahan. Pada akhirnya kekacauan pun merebak tatkala para penumpang mencoba untuk menyelamatkan diri. Kendati begitu, satu abad silam, sikap pria sejati bukan hanya sekedar kata-kata, tetapi juga perbuatan nyata. Ada di antara penumpang yang bukan saja siap untuk mati, tetapi mereka juga memanfaatkan waktu yang tersisa untuk mengawal wanita dan anak-anak ke perahu darurat. Orang yang masih sanggup berbuat seperti itu walau tahu resikonya patut dihormati.

Yang juga layak disebut di sini adalah para awak kapal. Jack Phillips, petugas telegraf, tidak henti-hentinya berusaha mengirimkan pesan ke kapal-kapal terdekat sampai ia dibebastugaskan oleh sang Kapten jam 2.05, sekitar 15 menit sebelum kapal tenggelam. Komandan Kedua Lighttoller beserta kelasi lainnya sibuk meluncurkan sekoci, bekerja keras hingga akhir. Tidak sedikit di antara mereka yang turut tenggelam bersama Titanic, meski beberapa di antaranya terselamatkan oleh keberuntungan semata.

Kemudian tibalah saat-saat terakhir Titanic. Berbeda dengan kapal-kapal lain yang miring dan roboh ke samping sebelum karam, Titanic terendam di bagian depan sebelum retak dan patah menjadi dua. Peristiwa tersebut membuat bagian belakang kapal terangkat tinggi secara vertikal di tengah malam bertaburan bintang. Pemandangan yang luar biasa itu pasti sangat mencekam bagi mereka yang melihatnya secara langsung dari sekoci (Bruce Ismay, presiden perusahaan pemilik Titanic, memalingkan wajahnya karena tidak sanggup untuk melihat). Kapal yang konon tidak akan tenggelam bahkan oleh kuasa Tuhan sekali pun ini kini menyongsong akhir hayatnya, melesat turun ke dalam lautan dan lantas sirna begitu saja. Samudera Atlantik lantas menjadi sunyi kembali setelah mereka yang berenang akhirnya meninggal karena kedinginan (menarik untuk dicatat bahwa ada seorang pemanggang roti selamat dari dinginnya laut karena badannya hangat setelah meminum alkohol sebelum kapal tenggelam).

Pertolongan akhirnya datang beberapa jam kemudian dalam wujud Carpathia. Kapten dan awak kapalnya telah berusaha sebisa mereka, tapi tidak cukup cepat untuk berada di lokasi. Kapal terdekat, Californian, gagal dihubungi meskipun beberapa awak kapalnya sempat mengamati kapal aneh di kejauhan yang disinyalir adalah Titanic, yang tiba-tiba padam lampunya dan menghilang begitu saja. Saya sempat membayangkan, seandainya saja Californian yang sempat memperingatkan Titanic tentang bahaya gunung es di kawasan tersebut itu sempat menerima pesan gawat darurat dari Titanic dan melaju untuk memberikan pertolongan, tapi tentu saja itu tidak pernah terjadi. Sayang sekali.

Dan lebih dari 100 tahun telah berlalu semenjak kecelakaan fatal itu, tapi minat terhadap Titanic tidak pernah pudar, mungkin karena kisahnya yang bercerita tentang keangkuhan manusia yang akhirnya dibayar mahal dengan korban jiwa. Di saat yang sama, Titanic adalah kisah perjuangan, keberanian dan kehormatan dalam menghadapi maut. Selain itu, Titanic juga merupakan sebuah tragedi, sulit dipercaya tapi pernah terjadi. Malam itu, 15 April 1912, adalah suatu malam yang tidak akan terlupakan...

No comments:

Post a Comment