Total Pageviews

Translate

Sunday, August 13, 2017

The Greatest Friendship Story Ever Told

I was at the coffee house the other day, talking with Endrico, when his daughter took our picture. Then, as I looked at the photo, I casually wrote this before I posted it on Facebook: "friendship is... 22 years of hanging out together in Pontianak, Kuching, Jakarta, Batam, Bintan, Bekasi, Karawang, Bandung, Surabaya, Malang, Batu, Bali, Kuala Lumpur, Singapore, Bangkok, Ho Chi Minh City, Phnom Penh and Siem Reap. Any time, any occasion, anywhere..."

As I re-read it again, it made me realize how much I've been blessed in this life. By any definition, I'm not the best, the smartest, the richest or whatever, but the way I look at it, I've been part of what can safely be described as one of the greatest friendship stories ever told. Endrico is one friend from so long ago, from when we were kids studying at the same school in a small town called Pontianak. Today, we're still as close as ever. We can talk about anything, from life to nonsense, with the closeness of two old friends that speak and understand the same lingo.

In Pontianak, during Chinese New Year, 2005. 

In its normal course, the friendship could have ended the moment we left the school. I mean, we walked different paths right after the graduation and although we kept in touch (he was the one who taught me how to create a Hotmail email address when he came back from Kuching in the late 90s), we didn't exactly design any road map for us to be living in the same neighborhood (we are just literally one bridge away from one another) many years later, in a foreign country far away from where we all began. It's just life as it happens, miraculously.

In Singapore, 2015. 

Within the time span of almost 20 years since we left the school, we managed to travel to many places together. Usually, long after we graduated, we should consider ourselves lucky if we could afford a small gathering or dinner once in a blue moon, but we did the unthinkable by traveling not only to one, but to 18 destinations in six Southeast Asia countries. Those memories, the laughter and, of course, the pictures, as Endrico is a keen photographer, were brilliant. To think that we could actually do that while going through many phases in life such as getting married and becoming a father, it was a privilege, really.

In Phnom Penh, 2009.

God has been kind to us that all were paced nicely. In the midst of all this, we were still allowed to achieve many other feats. We organized a high school reunion with a little help from our friends, which was quite a success, if we discounted glitches such as our failure in informing the first two participants about the change of event timing, haha. Then we had a road trip that unwittingly united two beautiful people in marriage one year later. There was also a walking tour this year, one where we shared the responsibility of creating the best experience ever for our guests.

With the early birds, before reunion 2014 started. 

Looking back, it's been one helluva ride. The friendship we have is indeed unique, certainly not one experienced by many. When I stopped and gave it a thought, other than the two of us, I really couldn't think of any other people I know that had such privileges in life. We shall see what future brings!

By the way, if you ever wonder what sort of person Endrico is, I can assure you that he's a fine gentleman and, I think, a much better person than I will ever be. He is all smiley, never pushy. While he's a team player with a questionable reliability, he does what he can and excels in what he does. His presence brightens up the room, for he's not intimidating but very much easy-going. In short, he's really a good friend one can ask for.

The picture that inspired it all, 2017.


Sebuah Kisah Persahabatan

Saya sedang berada di pujasera Kopitiam tempo hari, berbincang dengan Endrico ketika putrinya memotret kami. Saat saya melihat hasilnya, saya iseng menulis kalimat berikut ini sebelum saya pos di Facebook: "persahabatan adalah... 22 tahun nongkrong bersama di Pontianak, Kuching, Jakarta, Batam, Bintan, Bekasi, Karawang, Bandung, Surabaya, Malang, Batu, Bali, Kuala Lumpur, Singapore, Bangkok, Ho Chi Minh City, Phnom Penh and Siem Reap. Bila waktu, di setiap kesempatan, di mana saja..."

Di Bali, 2005.

Ketika saya baca kembali, saya menyadari bahwa kalimat ini lebih dalam maknanya dari yang saya kira sebelumnya. Saya jelas bukan yang terbaik, paling pintar, paling kaya atau apa pun, tapi yang saya adalah bagian dari sebuah kisah persahabatan terbaik yang pernah terjalin. Bagaimana tidak? Endrico adalah teman sejak bertahun-tahun silam, sejak kami masih murid sekolah di Pontianak. Hari ini, kami masih akrab seperti dulu. Topik apa pun bisa dibahas, mulai dari yang serius seperti perihal kehidupan sampai lelucon yang mengundang tawa. Semua ini dibicarakan dengan keakraban dan istilah bahasa yang hanya dimengerti oleh dua teman lama.

Di Kuching, saat kita masih kuliah, sekitar tahun 1999-2000.

Persahabatan masa sekolah biasanya mulai merenggang atau bahkan usai setelah lulus. Sebagaimana halnya teman-teman lain, kita juga masing-masing melangkah ke jalan hidup yang berbeda dan walaupun kita tetap saling kontak (Endrico adalah orang yang mengajarkan saya cara membuat email di Hotmail di akhir tahun 90an), kita tidak berpikir atau berencana bahwa suatu hari nanti kita akan tinggal di negara asing yang jauh dari Pontianak, di kawasan yang berdekatan dan hanya dipisahkan oleh jembatan. Kita hanya menjalani hidup apa adanya. Apa yang terjadi berikutnya adalah bukti bahwa mukjizat kadang terjadi.

Yang tidak kalah menakjubkan adalah kenyataan berikut ini. Dalam kurun waktu hampir 20 tahun setelah lulus sekolah, kita sempat bertualang ke beraneka tempat tujuan. Kebanyakan dari kita hanya berkumpul dan makan malam bersama, jadi fakta bahwa kita bisa berkelana ke 18 tempat di enam negara Asia Tenggara adalah sesuatu yang jelas tidak lazim dan menarik untuk dicatat. Sulit untuk dibayangkan bahwa kita bisa melakukan itu sambil menjalani berbagai fase kehidupan, seperti pernikahan dan menjadi seorang ayah. Ini sungguh sebuah kebebasan yang tidak terbilang harganya.

Di Genting, 2009.

Berkah dan karunia-Nya membuat semua indah pada waktunya. Di tengah berbagai kesibukan kita di dunia kerja dan peran kira sebagai kepala keluarga, kita masih bisa menyisihkan waktu untuk mengerjakan hal-hal lain. Bersama-sama teman lain kita berhasil menyelenggarakan reuni yang cukup berhasil, terlepas dari kesalahan-kesalahan kecil seperti gagalnya kita dalam mengabarkan perubahan waktu acara kepada dua peserta yang paling pertama mendaftar, haha. Kemudian kita juga mengadakan perjalanan darat yang secara tidak terduga mempersatukan dua teman dalam jenjang pernikahan. Lantas ada juga tur jalan kaki di tahun ini, dimana kita silih berganti mengantarkan teman-teman melihat Singapura.

Di Bekasi, waktu jalan-jalan ke Karawang, 2016.

Jika dilihat kembali, ini adalah sebuah kisah persahabatan yang unik dan jarang terjadi. Rasanya saya tidak mengenal orang lain yang memiliki kisah serupa. Tentang Endrico sendiri, jika anda penasaran seperti apa orangnya, saya bisa jabarkan dia sebagai pribadi yang sopan dan mungkin lebih baik daripada saya. Dia selalu tersenyum, tidak pernah terkesan memaksa. Terkadang dia bisa menghilang begitu saja karena sesuatu dan lain hal yang lebih mendesak, namun ketika dia berpartisipasi, dia memainkan perannya sebaik mungkin dan hasilnya dijamin memuaskan. Kehadirannya membuat riang suasana, sebab karakternya tidak mengintimidasi, melainkan gampang menyesuaikan diri dengan orang lain. Pada akhirnya bisa disimpulkan bahwa dalam kelebihan dan kekurangannya, dia adalah seorang teman yang luar biasa...

Di Jakarta, 2004.

Wednesday, August 9, 2017

Wanderlust

Things have changed a lot since I first traveled by myself in 1996. In those days, there wasn't any budget airlines and as a student, I could only save just enough to buy a Lawit ticket, the cheapest alternative by sea that would take around three days two nights to reach Jakarta from Pontianak. When I looked back as I wrote about our Vietnam-Cambodia trip in 2009, even the situation then wasn't as convenient as what we have in the past few years. We took budget airlines, alright, but we almost didn't do anything in Ho Chi Minh City. The only saving grace was phở and  Bến Thành Market, or else I wouldn't have anything for me to write about. These days, thanks to so many useful traveling applications to help us out, the term free and easy is redefined. The golden age of traveling has arrived!

Not everyone is keen on traveling, but perhaps you should ask yourself why. If you don't know where to start therefore you prefer to laze around at home, that is all fine and dandy. A little suggestion, though. While you are doing that, may be you can check out a little something called wikitravel.org. This is your window to the world. In the past, one would have to buy or borrow travel guides such as Lonely Planet, but with wikitravel.org, you just type the name of the place that may pique you slightest interest and voilà, it's right on your face, ready for you to read. That's how you get started. I do that a lot, be it just for sake of reading or really referring to site for places of interest that I'd like to visit. I think the first time I ever printed out the pages for my reference was during my first trip to China, to cities called Nanning and Guilin. Wikitravel.org is good and the information is always updated.

In Guilin, visiting the destination I read on wikitravel.org.

Once I get an idea, I normally dig deeper with the help of TripAdvisor. This is where you learn about the top 10 things to do or the tours relevant to the place you'd like to visit. That's how I found out about the Beatles Fab Four Taxi Tour in Liverpool. Did I love it? Oh boy, a splendid time is guaranteed for all (and I got a taxi named Lovely Rita)! I also referred to TripAdvisor before I visited Yangon and its surroundings.

Now that you roughly know where to go, you may want to check out the expenses, too, so first thing first, find out how the currency conversion is like. This is where XE Currency becomes your best friend you can't do without. You can choose 10 currencies at one go, sort them out based on your preference and do your calculation as you wish.


Next, assuming that you need visa and already get it, you'll have to buy your tickets. My personal favorites are Expedia for international flights and Traveloka for flights from Singapore to Indonesia. Expedia has more choices for international flight and sometimes the offers come with a price for two to go if you pay using certain credit cards. I actually got the return tickets of China Airlines that was cheaper than any budget airlines during Hari Raya celebration through Expedia for Singapore-Surabaya-Singapore flights.

On the other hand, Traveloka generally rules the flights to Indonesia. It has perks such as the absorption of convenience fee, something that you have to pay if you book directly from, let's say, AirAsia. On top of that, it may also come with a promo coupon that will further reduce the price. One last trick that works on Traveloka app is the flexibility for us to switch the location of the app to other countries. This will allow us to earn the discount that may be ongoing at the moment in the particular country. Neat, eh?

Beerlao in the very first room that I booked from Agoda.

Booking the accommodation will be the next thing to do. I rely heavily on Agoda for this particular item. That aside, I've been using Agoda for quite some time, I think since my trip to Laos in 2010. The beauty of Agoda is, it has reward points that we can use to redeem the subsequent bookings. Traveloka can also be another option these days because the price is likely to be cheaper once we apply the promo coupon. By the way, some may also suggest AirBnB, but I never tried it, so can't comment much on that.

Same goes for Uber (and Grab, for some countries in Southeast Asia). Apart from Indonesia and Singapore, I never used it elsewhere, so I'm not sure how it is like in other countries. One thing for sure, though, the moment you touch down in the destination country, get the local card for your mobile phone, then fire up the Google Maps. Best thing ever, it works even when you are on foot and it has a small blue arrow to show where you are going as you walk. Oh, if your trip requires a train ride, you may want to check out seat61.com. It's all about trains, pretty solid, and I used it before for the journey from Laos to Thailand (and the failed Trans-Siberian trip). 

So what are you waiting for? Follow your wanderlust, because traveling is finally made available for everybody!

In the train from Laos to Thailand, the ride as recommended by seat61.com.


Gairah Bertualang

Pilihan yang tersedia untuk sarana transportasi dan kamar hotel sudah jauh berubah, terhitung sejak saya pertama kali berkelana sendiri di tahun 1996. Kala itu belum ada maskapai penerbangan berbiaya rendah dan, sebagai seorang murid sekolah yang belum berpenghasilan, tabungan saya hanya cukup untuk membeli tiket kapal Lawit, alternatif lewat laut yang paling murah ongkosnya dan membutuhkan perjalanan tiga hari dua malam dari Pontianak ke Jakarta. Sewaktu saya melihat kembali perjalanan ke Vietnam dan Kamboja di tahun 2009, bahkan saat itu pun pilihan yang ada belum sepraktis sekarang. Saat itu kita sudah bisa menaiki pesawat terbang biaya ekonomis, tapi sejujurnya kita hampir tidak ke mana-mana di kota Ho Chi Minh. Jika bukan karena  phở dan pasar Bến Thành, bisa dikatakan tidak ada yang bisa ditulis dari pengalaman di Vietnam. Istilah bebas dan mudah baru benar-benar terasa sekarang, setelah munculnya berbagai aplikasi dan situs yang bermanfaat. Masa keemasan untuk berjalan-jalan telah tiba!

Tidak semua orang suka meninggalkan rumah, tapi mungkin perlu ditelusuri lagi mengapa. Jika anda tidak tahu hendak memulai dari mana dan oleh karena itu memilih untuk berdiam di rumah, mungkin anda bisa sambil baca-baca situs wikitravel.org di sofa. Ini adalah jendela dunia. Bayangkan saja, zaman dulu orang harus beli atau pinjam buku panduan seperti Lonely Planet, tapi sekarang kita cukup mengetikkan nama tempat tujuan kita dan informasinya akan langsung terpampang di hadapan anda, siap untuk dibaca. Dari sini anda bisa memulai mendapatkan ide. Saya sering melakukannya, kadang hanya sekedar membaca, namun sering pula sebagai panduan untuk tempat yang memang hendak dituju. Pertama kali saya mencetak halaman dari situs ini sebagai referensi adalah ketika saya pergi ke Cina, ke kota Nanning dan Guilin. Wikitravel.org ada situs yang tepat untuk memulai dan informasinya selalu diperbaharui.

Bersama Danny si supir taxi di depan gerbang Strawberry Field, Liverpool.

Setelah saya mendapatkan ide, biasanya saya mencari tahu lebih lanjut dengan bantuan TripAdvisor. Aplikasi berikut situs ini mempunyai banyak info tambahan, salah satunya adalah tentang tur-tur lokal yang tersedia, misalnya saja the Beatles Fab Four Taxi Tour di Liverpool. Hasilnya sungguh memuaskan. Sebelum saya berlibur ke Myanmar, saya juga mencari informasi dari TripAdvisor tentang tempat-tempat yang wajib untuk dikunjungi.

Nah, sesudah kita mengetahui ke mana kira-kira kita akan pergi, ada baiknya kita cari tahu tentang nilai tukar mata uang negara tersebut. Ini alasannya kenapa XE Currency sebaiknya selalu ada di smartphone anda. Dengan aplikasi ini, anda bisa menampilkan 10 mata uang dari mancanegara, lalu diurutkan sesuai dengan kemauan anda, kemudian anda bisa melakukan kalkukasi yang anda inginkan. 

Di taman Seinn Lann So Pyay, Yangon, tempat yang wajib dikunjungi menurut TripAdvisor.

Selanjutnya, bilamana anda butuh visa dan sudah mendapatkannya, maka anda perlu membeli tiket pesawat anda. Pilihan saya ada dua, yakni Expedia (untuk penerbangan internasional) dan Traveloka (untuk penerbangan ke Indonesia). Nilai plus dari Expedia adalah lebih banyaknya pilihan maskapai penerbangan yang ditawarkan. Selain itu, terkadang Expedia juga memiliki promosi two to go, yang berarti anda membayar harga lebih murah untuk dua orang jika anda menggunakan kartu kredit yang ditentukan. Pengalaman menarik lainnya, saat Lebaran, saya juga pernah mendapatkan tiket pulang-pergi China Airlines yang bahkan lebih murah dari penerbangan berbiaya rendah untuk jurusan Singapura-Surabaya.

Di sisi lain, Traveloka biasanya lebih unggul dalam menawarkan penerbangan ke Indonesia. Selain itu, Traveloka juga memiliki hal-hal menarik, misalnya menggratiskan pembayaran biaya kartu kredit, suatu biaya tambahan yang wajib dibayar jika kita memesan langsung ke situs penerbangan berbiaya rendah, contohnya AirAsia. Selain itu, terkadang Traveloka juga menawarkan kupon promosi yang bisa dipakai untuk mengurangi harga yang mesti dibayar. Lebih unik lagi, kita bisa mengganti lokasi di aplikasi Traveloka, misalnya dari Singapura ke Indonesia, sehingga jika lokasi Indonesia sedang memiliki promosi, kita bisa memanfaatkannya.

Setelah tiket pesawat, yang berikutnya adalah pemesanan kamar hotel. Saya senantiasa menggunakan Agoda untuk keperluan yang satu ini. Hal lain yang menarik dari Agoda adalah akumulasi poin untuk setiap pemesanan yang akhirnya bisa dipakai untuk pemesanan selanjutnya. Saya sudah menggunakan Agoda sejak perjalanan saya ke Laos di tahun 2010, jadi sudah beberapa kali mendapatkan kamar gratis hasil penukaran poin. Oh, bicara soal kamar, pilihan lainnya adalah AirBnB, tapi berhubung saya belum pernah mencoba, jadi saya tidak bisa berkomentar lebih jauh. Alternatif lainnya adalah Traveloka dan setelah dibandingkan, harga Traveloka bisa jadi lebih murah setelah kita memakai kupon promosinya.


Sama halnya juga dengan Uber (dan Grab, untuk negara-negara kawasan Asia Tenggara). Selain Indonesia dan Singapura, saya belum pernah mencoba aplikasi ini di tempat lain, jadi saya tidak bisa bercerita banyak tentang ini. Satu hal yang pasti adalah, begitu anda mendarat di tempat tujuan, segera beli kartu telepon lokal untuk smartphone anda sehingga anda bisa menggunakan Google Maps. Ini aplikasi yang sangat berguna dan bahkan bisa dipakai ketika anda berjalan kaki. Anda bisa mengikuti panah biru kecil yang menunjukkan arah anda selagi anda berjalan.

Satu hal lagi, jika anda naik kereta, situs yang relevan adalah seat61.com. Anda bisa temukan semua tentang kereta api, bahkan jika anda ingin naik kereta dari London ke Singapura, informasinya pun tersedia di sini. Saya sudah menggunakannya dalam perjalan dari Laos ke Thailand dan informasinya cukup akurat.

Jadi apa lagi yang anda tunggu? Semua orang bisa berjalan-jalan sekarang!

Di Mercure, Karawang, hotel yang dipesan lewat Agoda.





Vacation At SGD100 For Noobs

If you’re looking to travel somewhere with a really tight budget, well, get your ass to Tioman! With only SGD100 left after booking for the stay and transport, I had RM 300 and an extra RM 90 given from my dad to set off for an amazing 3 days 2 nights journey.

This beautiful island lets you drink all night without getting broke (I only had a bottle of hoegaarden, Dad, don’t kill me, I love you, if you’re reading this) the prices of alcohols are ridiculous, it was around RM5 at the duty-free shops near the jetty. You get to snorkel and hike up to see the spectacular waterfall.

A massive amount of time spent on our research before going, I’ve finally decided to book a coach + ferry transport to Tanjung Gemok jetty and Tekek jetty on Discovery tour for a total of SGD 78 per person. Huge thanks to Discovery tours as I realized that WTS people sat with us too (*cough* Pricier).
  


The booking of stay at Barat resort was made on Agoda website which was SGD 119 per night because it was chalet style and we had 2 queen size bed for 4 people. Did I mention? Agoda had the best bargain at that period :D lucky me. I pat myself on the back for being so thrifty. 

Anyway….here’s a little timeline:
Coach to
Tanjung Gemok
Ferry to
Tekek Jetty in Tioman
4 wheel drive (4WD) to Barat resort
Resort (Barat)
3 hr
2 hr
0.5 hr
5 mins -check in

So prepare your U shape neck pillow and a scarf for the loonnnggg journey. (My butt almost went numb).

Upon reaching Tanjung Gemok jetty, we showed our ferry tickets to get our boarding passes. We had to pay for the marine park conservation fee which looked like this for RM 30 per person. This felt like those (pay 20 cents) to go toilet kind of scheme. The only word I could read was boleh, ya feel me? anyone?


Finally we reached the Tekek jetty in Tioman. 5 hours of sitting and I wasn’t complaining because I know that the drivers be it coach or ferry drivers are more tired than us. Thank heavens I’ve reached here in one piece. Take in the view at the jetty.


This photo is taken using my S8. Look a how clear the sea water was!

As we continue walking, at the end of the jetty bridge, there’s a man I don't even know, holding a whiteboard with our names and calling out “BARAT…BARAT!” Who else could it be? That’s our man for the 4WD ! I smiled widely at him because i cannot wait to get into our room and put down our burden backpacks.

Note that we've made an advance booking for the 4WD to our Barat resort as it was up a hill for RM60 to and fro per person. I highly recommend the advance booking.

ATLAS!! Our resort!

Most photos of the resort upon google search of Barat resort were true to it. 

The view opposite our resort was the clear blue sea. 

Here's a panorama shot of the sea view across the resort. 

We've checked into our chalet room 311 on the higher tier and took a stroll down the beach... 


we've discovered a shallow pond.


As you can see, the water was only up to his sheen. We were greeting our friends in the pond. 


Just proving to you that it is yet another clear water pond. We said "HI!" to our aquatic friends. Mini crabs, translucent and black fishes. 

Time for Dinner? Worry about having not enough for snorkeling? Don't worry, this place is like another Sim Lim, our hotel had snorkeling packages at RM140, in which we failed to get the activity packages with the hotel so we had to find our own lobang.

We made our way down the road, to get our dinner, we chanced upon a store that was offering RM120 for snorkeling. HELL YEAH ! My awesome friend bargained to have it at RM100 for 3 snorkeling destinations as we knew that 5 locations would be too long for any of us to handle. We pigs, need our food in between so we settled for the deal of 3 snorkeling destination for RM100.

There! Our financial problem for snorkeling is solved now we can head to Mezani cafe and eat our food in peace.


Here is the food menu, I've ordered the nasi goreng ayam which was fried rice with small fried pieces of chicken for RM 9 and their ice lemon tea for RM 4. It was a great meal and the food did not take too long to come out from the kitchen. I give 5/5 stars for their lemon tea. 


This was how the place looked like. There's a lot of flies at the stores so it is best that you bring insect repellent. Or best, dabao (takeaway) to the resort to eat in peace. 

On the next day, we went to snorkel at 9:30am till about 2:30pm. We had breakfast at our resort, expensive...


This was RM10... Oh, well, at least it was those spongy/chewy type of waffle which I like. Please DO have a good and medium full kind of breakfast before snorkeling.

I did not bring my phone to snorkel in which I should have if I had a waterproof bag for my phone. Also bring sunblock, I stress again, BRING SUNBLOCK! The receptionist spoke to me in Malay and i replied "aku tata wu" means I don't understand Malay. But I'm glad that I blended in with them after snorkeling, what a great way to sun tan at the same time. To add on, the staff at Barat were extremely humble and nice, one of the guy even informed me that the coconut did not taste good that day and told me not to order it. Who even takes the initiative to inform others about things like that nowadays? I'm touched and anyway, I've changed my order to mango smoothie which tasted 5/5 stars flavorful of course RM10, eh! 

We've spent lunch at Mezani, this time I've ordered nasi goreng ayam kunyit, which was fried rice with ginger chicken and ice lemon tea, in total it was RM 16. We head towards the beach to digest our food.


This picture of a huge rock with the arch symbolizes wealth, health and peace. Run your fingers clockwise around the wood grains 3 times and make sure your soul mate is beside you so that you guys would stay together forever and it'll bring you good luck.


This is a picture of the wood grains that is said to bring good luck. 

After the stroll and photo taking by the beach, we headed back to the resort for our dinner.


My dinner at Barat was their spaghetti bolognese, RM18 and it tasted meh, not very good but then again, what do you expect in an island? Edible and probably 6/10 taste wise. Feeling so exhausted from snorkeling and walking around the beach we chilled around our resort, chatting, watching movies like Shaolin Soccer and a Japanese high school themed show and slept in to recharge for our last day. 

On our last day we had breakfast at Mia cafe. Oh lord... noooo... I wished I hadn't gone in.


With the remaining RM, we ordered the banana pancake, cheese omelette, egg and cheese sandwich, orange juice and ice lemon tea. First of all, the food took really long to come to us. Second the food isn't tasty. Please go back to Mezani or head down to the Tekek jetty for you meal! I recommend the stall at the jetty beside the playground, all though the food there is a little pricey around RM 10- 20, but the food is delish and it'll be worth it.

Extras for readers:
-Do pick resorts such as Berjaya or Paya as it is nearer to jetty, duty-free stall, more variety of stall to eat from. You can take a 4WD up to Barat to see the amazing sea and the resort. But there's not much to do there in my opinion.
-Come to Tioman in groups of 4 as the snorkeling activities often required min of 4 pax.
-The huge rock with the arch and wood grain myth was something I made up. 

That's all for the blog and thank you for taking the time to read this. Do share your experiences with me on gmail: pphire1909@gmail.com or facebook at Eveleenliew. 

Monday, August 7, 2017

The Cancer Impact

Cancer is so physically, mentally and financially draining that you'll wish it'll never happen to anybody you know. But you don't get to choose, sometimes. In life, if things such as cancer happen to your dearest ones, you don't get to question why. You just have to accept and move on. A friend of mine asked if I could share the experience that I had gone through so far. He got the point, because there's certainly a thing or two that one can learn from it, so here we go.

It was all started with the news, and verdicts in some Latin name that you barely understood could be a very bad news, not only to the patient, but also to the family. When the doctor finally used the term that we could understand, it was so hard to believe that the whole world felt like turning upside down. I remember staring at my Dad, wondering how long more he could be with us. I just couldn't help thinking that his days might be numbered. That was what cancer could do to you. You immediately thought of the worst.

Dad must be shocked, too, but if he was ever afraid, it clearly didn't show. With the track record of smoking for the past 40 years, perhaps he knew he had it coming. As the reality sank in, Dad casually asked questions about what to do next. When I looked at Mum, I knew she must be saddened by the news as Dad was always the pillar she leaned on in life, but she carried herself well and didn't cry. Only my brother was visible shaken and upset. We spent the rest of the day at the mall in Kuching, eating and talking as it had been a while since the four of us gathered together as a family. It was almost normal, because we could still laugh at each other's stories. I was convinced there and then about how we're going to face it: if tomorrow wasn't ours to see, we'd live our lives to the fullest today. We'd embrace it together, so come what might.

Then came the multiple visits to the hospital, from one doctor to another. From Kuching, we were referred to a lung cancer doctor in Singapore, but he didn't think it was lung cancer, so he advised us to see his colleague. This doctor then said we should go for biopsy, but once the result was out, the doctor told us it wasn't clear and made a PET scan appointment for us. When we came back to see her again, we were redirected to another doctor that specialized in head and neck. He did his own biopsy on the spot where I had to see all the gory details on the screen without any warning. Then he decided that it wasn't good enough that my Dad would have to go through another medical procedure. He explained that it was a rather rare case that he would have to discuss it with his colleagues during his weekly meeting. Eventually my Dad's case was routed to another senior doctor who put an end to this and wrote a reference letter to send my Dad back to Indonesia for treatment. He was a no-nonsense doctor who didn't pretend that my Dad's cancer could be cured. He simply told us that the medicine would be the same in Indonesia, hence there was no point to have my Dad treated in Singapore.

Now, the paragraph above was just to give you a brief summary of what we went through. In reality, it was very frustrating and it went on for almost three months. Every time we visited the hospital, we wished it would be the last time, that we would finally know what this was all about, but no, we were always kept in suspense. The things with how the doctors worked were, they were methodical. They would have to try this step first and if it was proven to be not sufficient, then they would progress with the next one. However, if you were the patient, the whole damn thing was painfully slow to the extent that you started wondering, did the doctors even know what they were doing?

At the same time, of course money was a concern. I wasn't born rich, so that pretty much highlighted how our finance situation was. But still, when it came to your parent, you just had to put on your brave face and smiled to ensure them things were taken care off. I mean, they already got the cancer to worry about and the last thing they wanted was to be a burden to their son. So there I was, trying to laugh it off as I saw my savings depleting. This was cancer and we were talking about more than IDR 100 million just to figure out what it actually was. It was quite stressful to see the doctors ordered one medical procedure after another that I was about to tell them, "excuse me, but I don't print money." To think that we hadn't even started the treatment yet. Was I worried? Yes, I was so bloody worried, especially when I was a sole breadwinner who was responsible for my wife and two young daughters.

This was when insurance came into play. I don't endorse any particular insurance company here, but what I'd like to emphasize is, don't underestimate the need of having an insurance. When I realized I could buy insurance for my parents, I did it right away. When nothing happened, yes, it felt like paying through your nose. Nevertheless, in a situation like this, insurance surely came handy. I heard stories about how people ended up claiming just a dime or two, but that perhaps due to the fact that you needed to know what you bought in the first place. I wasn't an insurance expert and I was admittedly confused when an insurance agent started talking, but I did tell my agent what sort of protection I needed for my parents and I told him to get me exactly that. Few years later, when I had to claim it for my Dad, I was reminded again about what I bought and there was a limit of how much I could claim, but it was still better than nothing.

Based on what I went through, I could tell you that the process of claiming the insurance won't be smooth sailing. It very much depends on how flexible and knowledgable your agent is. In my case, my agent was a nice chap and a friend of mine, but I still had to argue with him and escalated the case to his supervisor before the claim was finally approved. From my experience, we needed to keep all the relevant receipts and documents of the insured patient. At the same time, do your reading again so you can question what you think should be your entitlement. This is not to say that you shouldn't trust your agent, but it's more of getting on the same page of understanding. By the end of the day, recouping back around 80% of what had been spent sounded about right. It did help to pay for the daily expenses as my Dad is going through the cancer treatment now.

Talk about treatment, one other thing worth mentioning is BPJS, a medical coverage in Indonesia. Not sure since when it was there, but I tend to think that it became functional only during Jokowi's administration (that's my President, love him). My Uncle told me that when my Grandma was diagnosed with cancer, Dharmais Hospital was awfully quiet as only certain groups of people were able to afford the treatment. Now, with BPJS, everybody could seek for help that they literally flooded the hospital. 

If there was any downside of BPJS, it must be this: the procedure of BPJS was so long-winded that it required the patient to go back and forth from one counter to another just to sort out the paperwork. It was chaotic, with no clear direction of where to go, but once you got the hang of it, BPJS was like a miracle for the less fortunate. The doctors consultation, countless blood test and blood transfusion, the ward, the six cycles of chemotherapy, they were almost free of charge, all thanks to BPJS. Having said that, if you haven't got one, just go and apply for it. As for how it works, in our case, Dad went to the BPJS appointed doctor in Pontianak and the local doctor then came up with another reference letter to certify that Dad would be a BPJS patient at Dharmais Hospital in Jakarta.

Once money wasn't much of a concern anymore, it did a great deal to let us focus on the treatment itself. Trust me when I said there were still a lot to worry about. In short, not only the patient's life changed overnight, the lives of the closest family members were also affected. Mum had left her teaching job as she got to stay with Dad. The two of them would have to adjust to a new life in Jakarta. For me, I would fly to Jakarta from time to time to accompany Dad during his chemotherapy sessions. 

While it was painful to see Dad losing hair and weight, one good thing about Dad was to hear him talking about what he wants to do when this is over. If he still gives a thought about what to do in the future, that means he hasn't give up. The man sure has a fighting spirit in him. By his own admission, he feels so much better now and has put on weight since he finished the chemotherapy cycles. The cancer is not fully eliminated yet, though. Next is radiotherapy. Hopefully he'll be in complete remission after this...

A family means we'll face it together, with a little help and prayers from our friends.

Dampak Kanker

Kanker betul-betul menghabiskan segala daya upaya, baik secara fisik, mental maupun dari segi keuangan. Begitu buruknya dampak dari kanker sehingga kita tentunya berharap dijauhkan dari penyakit ini, tetapi terkadang kita tidak dapat memilih dalam hidup ini. Jika seorang anggota keluarga divonis mengidap kanker, kita tidak bisa bertanya mengapa, tetapi hanya bisa menerima dan menindaklanjutinya. Seseorang teman baru-baru ini bertanya, apa mungkin saya bisa bercerita tentang pengalaman yang saya jalani. Saya pikir dia ada benarnya. Saya juga berharap ada hal-hal yang bisa dipetik dari cerita saya, jadi mari kita simak kisah berikut ini.

Semua ini berawal dari penjelasan tentang hasil diagnosa oleh dokter di Kuching. Dunia bagaikan jungkir balik ketika dokter menggunakan bahasa orang awam untuk menerangkan apa arti dari bahasa Latin yang tertulis di laporan laboratorium. Saya sempat menoleh ke Papa dan berpikir, tinggal berapa lama lagi beliau bisa menghabiskan waktu bersama keluarga. Menghitung hari adalah sebuah pemikiran yang negatif, tapi yang kita bicarakan di sini adalah kanker, jadi secara otomatis asumsinya sudah mengarah ke kemungkinan terburuk.

Papa pasti juga merasa terkejut, tapi kalau pernah dia merasa takut, dia tidak menunjukkannya. Setelah merokok selama 40 tahun terakhir, mungkin sedikit-banyak dia juga sudah tahu akibatnya akan jadi seperti apa. Tatkala kita perlahan menerima kenyataan ini, Papa bertanya kepada dokter, apa langkah berikutnya. Saat saya menoleh ke Mama, saya tahu dia pasti sangat sedih karena dia sangat dekat dengan Papa. Akan tetapi dia pun menerima dengan lapang dada dan tidak menangis. Hanya adik saya yang terguncang dan terlihat khawatir. Setelah konsultasi, waktu yang tersisa di Kuching akhirnya dihabiskan dengan jalan-jalan di Mall. Kita makan bersama dan berbincang, suatu kesempatan yang langka mengingat kita berempat jarang berkumpul bersama sebagai satu keluarga karena saya tinggal di Singapura. Setelah berita buruk dari dokter, fakta bahwa kita masih bisa tertawa sungguh terasa aneh tapi nyata. Dari situ saya sadari, mungkin ini caranya kita akan menghadapi cobaan ini. Jika kita tidak tahu apa yang akan terjadi di hari esok, maka kita jalani hari ini dengan sebaik mungkin. Apa pun yang menghadang di depan, akan kita hadapi bersama-sama. 

Hari-hari selanjutnya diisi dengan kunjungan demi kunjungan ke rumah sakit, dari satu dokter ke dokter yang lain. Dari Kuching, kita direferensikan untuk berjumpa dengan dokter paru-paru, namun dokter ini berpendapat bahwa apa yang ia lihat bukan hanya kanker paru-paru semata, karena itu Papa dianjurkan untuk menemui dokter bedah khusus kanker. Setelah menjalani biopsi, dokter bedah ini merasa hasilnya masih belum jelas, oleh karenanya Papa harus menjalani PET scan. Ketika kita kembali dengan laporan berbentuk satu buku, kita direkomendasikan untuk menemui dokter kanker khusus bagian kepala dan leher. Dokter ini lantas melakukan prosedur medis secara langsung untuk hasil yang lebih akurat, namun hasilnya masih tetap belum memuaskan. Papa kemudian menjalani prosedur medis untuk kesekian kalinya. Setelah hasilnya keluar, dokter menjelaskan bahwa ini kasus yang jarang terjadi karena tidak mirip dengan gejala kanker yang biasa ditangani, oleh karena itu dia perlu berdiskusi dengan rekan-rekan sesama dokter. Ketika kita berkonsultasi dengannya lagi, dia mengarahkan kita untuk menemui dokter senior lainnya. Dokter kali ini berbicara apa adanya berdasarkan data yang ada. Dia mengatakan harapan untuk sembuh total itu tidak ada. Untuk kemoterapi, lebih masuk akal jika dilakukan di Indonesia karena obat yang digunakan itu sama dan biayanya juga akan jauh lebih murah.

Paragraf di atas adalah gambaran singkat tentang apa yang kita jalani. Pada kenyataannya, proses ini memakan waktu hampir tiga bulan lamanya dan sungguh membuat frustrasi. Setiap kali kita berkunjung ke rumah sakit, kita berharap ini adalah untuk terakhir kalinya. Kita juga berharap bahwa kita akan tahu kanker apa ini sebenarnya, tapi setiap kunjungan dan prosedur medis hanya membuahkan tanda tanya berikutnya. Dokter di sini bekerja secara bertahap, dalam arti mereka akan mencoba prosedur medis seperti biopsi dulu. Ketika biopsi dirasakan tidak memadai, barulah pasien disarankan untuk PET scan. Masalahnya adalah, sebagai pasien, jika kita terus-menerus diberikan jawaban yang tidak pasti, ada saatnya dimana kita jadi bertanya-tanya dalam hati, apakah dokter-dokter ini paham dengan apa yang sedang mereka kerjakan?

Di satu sisi, tentu saja uang juga menjadi masalah. Saya tidak terlahir kaya, jadi bisa disimpulkan bagaimana kondisi keuangan kita. Namun masalahnya tentu tidak sesederhana itu. Berhubung ini adalah sesuatu yang berkaitan dengan orang tua, saya berusaha untuk tampil santai dan meyakinkan bahwa mereka cukup fokus pada hasil pemeriksaan dokter. Saya tidak ingin mereka merasa menjadi beban finansial bagi anaknya, jadi saya tetap tersenyum, meski saya tahu berapa banyak yang terkuras setiap kali saya menggesekkan kartu kredit. 

Yang kita sedang hadapi ini adalah kanker, penyakit kritis yang tidak murah dan ratusan juta habis hanya untuk mencari tahu, kanker apa ini sebenarnya. Melihat bagaimana dokter memutuskan sendiri dalam memberikan kita instruksi untuk menjalani prosedur medis ini dan itu, saya jadi berpikir kenapa dokter tidak pernah bertanya apakah saya punya cukup uang untuk membayar semuanya. Kalau diingat kembali, saat itu kita bahkan belum memulai pengobatan apa pun, jadi jika pertanyaannya adalah apakah saya merasa khawatir, maka tentu saja jawabannya adalah iya. Saya sungguh khawatir, terutama karena saya adalah satu-satunya pencari nafkah untuk istri dan anak-anak saya yang masih sangat muda. 

Di dalam kondisi seperti inilah asuransi terbukti bermanfaat. Saya tidak sedang menulis atas nama perusahaan asuransi mana pun, tetapi yang hendak saya tekankan adalah, jangan meremehkan pentingnya asuransi. Sewaktu saya menyadari bahwa saya masih bisa membeli polis asuransi untuk orang tua saya, saat itu juga saya mengurusnya. Ketika orang tua masih sehat, mungkin rasanya seperti memboroskan uang begitu saja karena kita membayar sesuatu yang tidak terlihat manfaatnya, namun beda ceritanya ketika orang tua sakit. 

Ya, seringkali saya dengar cerita klaim yang tidak berhasil, tapi mungkin itu karena kita tidak tahu apa sebenarnya yang kita beli. Saya bukan pakar asuransi dan terus-terang saja, ketika agen asuransi sudah mulai menjelaskan, saya biasanya bingung dibuatnya. Kendati begitu, saya katakan pada agen, mau saya itu seperti apa dan tolong berikan saya sesuatu yang persis seperti saya mau. Beberapa tahun kemudian, ketika saya mulai klaim, saya diingatkan kembali tentang apa yang saya beli dan apa limit yang bisa saya klaim, tapi di saat kita butuh uang, tentu saja limit yang tertera itu lebih baik daripada tidak jaminan keuangan apa pun. 

Berdasarkan apa yang saya jalani, saya bisa katakan bahwa proses klaim asuransi itu tidak selancar yang kita mau. Proses ini juga tergantung fleksibilitas dan pengetahuan agen yang membantu kita. Dalam kasus saya, agen saya kebetulan seorang teman yang baik, tapi saya masih harus beradu pendapat serta mencari bantuan dari atasannya untuk membuat keputusan terhadap klaim yang saya ajukan. Dalam pengajuan klaim, penting bagi kita untuk melampirkan tagihan dan surat keterangan dokter dari pasien pemegang polis. Pada saat yang sama, baca kembali apa yang menjadi hak anda. Ini bukan berarti anda tidak percaya dengan agen, tetapi untuk memastikan bahwa kita memiliki pemahaman yang sama. Pada akhirnya, saya berhasil mendapatkan kembali sekitar 80% dari biaya medis. Uangnya kemudian digunakan untuk biaya sehari-hari bagi Papa saya di masa pengobatan ini. 

Bicara tentang pengobatan, hal lain yang patut untuk disinggung di sini adalah BPJS. Saya tidak tahu pasti sejak kapan BPJS mulai berlaku, tapi saya cenderung berpikir bahwa BPJS mulai berfungsi sejak era Jokowi. Paman saya bercerita bahwa di kala Nenek saya didiagnosa kanker, Dharmais tidak seramai hari ini. Di kala itu pengobatan kanker termasuk mahal. Sekarang, dengan adanya BPJS, semua orang datang untuk berobat. Masyarakat benar-benar terbantu. 

Jika ada yang masih kurang dalam penyelenggaraan BPJS, maka itu adalah prosesnya yang masih berbelit-belit. Untuk bisa ditanggung oleh BPJS, pasien harus datang ke rumah sakit mulai dari pagi hari untuk mengurus surat-surat registrasi dari satu loket ke loket lainnya dan langkah yang sama harus diulang dari awal setiap kali kita ke rumah sakit. Saat pertama kali berobat, pemegang BPJS harus bertanya ke sana kemari dan mendapatkan jawaban yang bervariasi karena tidak adanya pusat informasi dan minimnya petunjuk. Secara keseluruhan, setidaknya dibutuhkan waktu tujuh jam bagi pasien untuk berobat dengan BPJS, mulai dari melakukan pendaftaran sampai bertemu dengan dokter.

Walau terkesan lama, perlu dijelaskan pula bahwa pengobatan mulai dari konsultasi, tes darah, transfusi darah dan kemoterapi boleh dikatakan hampir ditanggung seluruhnya oleh BPJS (satu-satunya yang kita bayar hanya dosis tambahan untuk obat kemoterapi). Bagi yang belum memiliki BPJS, bilamana cerita di atas dirasakan bermanfaat, tidak ada salahnya dijadikan pertimbangan untuk segera mendaftar. Tentang cara kerjanya, dalam kasus Papa, dia menemui dokter Pontianak yang terdaftar dalam BPJS untuk meminta surat rujukan ke Dharmais sehingga bisa berobat di sana. 

Dengan jaminan BPJS, setidaknya uang tidak lagi begitu menjadi masalah. Dengan demikian pasien dan keluarga bisa lebih fokus dalam menjalani pengobatan. Jikalau kita bicara kanker, percayalah bahwa uang bukanlah satu-satunya kendala. Singkat kata, bukan hanya pola hidup pasien yang berubah, tetapi juga orang-orang terdekatnya. Mama sudah lama berhenti mengajar karena dia harus menemani Papa. Mereka berdua harus beradaptasi lagi dengan kehidupan di Jakarta. Bagi saya sendiri, terkadang saya terbang ke Jakarta untuk menemani Papa yang menjalani kemoterapi di rumah sakit. 

Tidak mudah rasanya melihat Papa yang dulunya gagah kini menjadi agak ringkih dan rontok rambutnya. Satu hal yang pantas untuk disyukuri adalah semangatnya dalam bercerita tentang apa yang ingin dia lakukan setelah masa pengobatan ini selesai. Jika dia masih memikirkan hari esok, itu artinya dia belum menyerah dalam menghadapi penyakit yang menyerangnya. Keadaannya sudah berangsur membaik sejak ia menyelesaikan kemoterapi, namun masih ada kanker yang tersisa dalam tubuhnya. Proses berikutnya adalah radioterapi. Kita berharap kankernya akan teratasi setelah ini...

Saturday, August 5, 2017

Pameran Yayoi Kusama: Life Is The Heart Of A Rainbow

Jika anda kebetulan sedang berada di Singapura atau berencana untuk datang ke Singapura di bulan Agustus ini, jangan lewatkan kesempatan untuk berkunjung ke National Gallery dan menikmati karya seniman terkenal Jepang, Yayoi Kusama, dengan pameran yang bertajuk Life is the Heart of a Rainbow.

Sebagai orang awam di bidang seni, pertama kali saya mendengar nama Yayoi Kusama adalah saat saya mengunjungi National Gallery untuk acara Children Biennale bulan Mei lalu. Salah satu program untuk anak-anak adalah menempel sticker bulat warna warni di ruang serba putih yang disebut the Obliteration Room. Secara tidak langsung, anak-anak diajak untuk ikut terlibat menciptakan karya seni dan mentransformasi ruang serba putih tersebut menjadi ruang warna warni. Berikut foto the Obliteration Room yang saya ambil pada tanggal 22 Mei dan 30 Juli 2017. Menarik sekali untuk melihat bahwa bersama-sama kita dapat membuat perbedaan. Bayangkan berapa banyaknya anak-anak yang menempel stiker dan betapa gembiranya mereka mendapatkan kesempatan menempel stiker di mana saja. 


Demam Yayoi Kusama mulai terasa bahkan sebelum pamerannya dimulai. Berita di media cetak dan media sosial yang gencar bahkan sampai ke negara tetangga dan juga foto-foto selfie dengan hasil karya seninya membanjiri Instagram. Coba ketik hashtag #SGlovesKusama dan kita akan melihat ribuan foto public figures maupun orang-orang biasa yang ber-selfie ria dengan karya seni Kusama. Motif khas polka dot-nya pun menghiasi beberapa bagian kota termasuk langit-langit shelter menuju National Gallery. Antrian panjang para pengunjung lokal maupun manca negara yang hendak melihat pamerannya menguatkan fakta betapa populernya seniman senior ini. Untuk menghindari antrian panjang pada saat membeli tiket, belilah tiket secara online beberapa hari sebelumnya. Harga tiket untuk pengunjung lokal (Singaporean/PR) adalah SGD15 sedangkan untuk turis asing SGD25. 



Pameran Yayoi Kusama, Life is the Heart of a Rainbow, menampilkan 120 hasil karya seni dalam berbagai media yang menggambarkan perjalanan karya seninya sepanjang 7 dekade. Bagian pertama karya seninya yang ditampilkan dalam Gallery A, menampilkan motif yang menjadi ciri khasnya, polka dot, jaring-jaring, pumpkins dan infinity room. Berhubung banyaknya pengunjung, jumlah orang yang masuk ke dalam ruang polka dot dibatasi sehingga pengunjung tidak terlalu berdesakan di dalam ruangan. 

Pumpkin atau labu merupakan salah satu motif kesukaan Kusama. Polka dot hitam dengan dasar kuning tampil berulang dalam karya seninya baik dalam bentuk lukisan, patung maupun instalasi. Infinity Room dengan judul the Spirits of The Pumpkins Descended into the Heavens (2017) dalam foto berikut ini menggambarkan pumpkin-pumpkin yang tersebar luas sejauh mata memandang. 




Dalam perjalanan menuju Gallery B, pengunjung melewati lorong dengan banyak cermin cembung di dinding. Karyanya ini dinamakan Invisible Life. Spot ini pun cukup menarik untuk difoto. 


Dan yang tidak boleh terlewatkan adalah menyaksikan karya Kusama, Gleaming Lights of The Souls (2008). Sesudah melewati antrian panjang, pengunjung masuk dalam sebuah bilik dan melihat gemerlap lampu warna warni yang menggambarkan putaran hidup dan mati alam semesta yang tak berkesudahan. Saking banyaknya pengunjung yang mau melihat instalasi seni ini, setiap orang dibatasi hanya bisa berada di dalam bilik kurang dari 1 menit. Untung saya masih sempat mengambil 1 foto sebelum keluar dari bilik tersebut. 


Di Gallery B, kita juga dapat menyaksikan pameran foto-foto Yayoi dan karya seninya selama dia tinggal di New York. Beberapa di antaranya bernuansa politik, seperti aksi damainya menentang Perang Vietnam. Rupanya jauh hari sebelum berkolaborasi dengan Louis Vitton, Yayoi Kusama sudah mengadakan fashion show dengan gaya uniknya. 

Sebelum beranjak ke Gallery C, kita dapat menyaksikan video dimana Yayoi Kusama menyanyikan lagu yang dia tulis mengenai pengalamannya menghadapi depresi. Mengambil judul yang sama dengan novelnya yang diterbitkan di tahun 1978, Song of a Manhattan Suicide, video ini memberikan gambaran mengenai pemikirannya dan dorongan hatinya untuk menciptakan seni.

Pada bagian terakhir pameran yaitu Gallery C, pengunjung kembali dapat menikmati polka dot warna-warni dalam ruangan putih, patung bunga tulip yang berada di dalam ruangan ini juga ditempeli polka dot.  Instalasi seni ini diberi judul With All My Love for the Tulips, I Pray Forever. Karya seni ini menciptakan sebuah dunia yang terlihat melalui layar dot-dot, mencerminkan halusinasi yang dialami Kusama pada masa mudanya.



Di ruang berikutnya pengunjung disuguhi dengan beberapa lukisan canvas besar tanpa warna dan di tengah-tengah ruangan terdapat sebuah kotak dimana kita dapat mengintip ke dalam dan melihat mirror layered infinity room dengan dot-dot, motif berulang dan warna yang berubah-ubah. Instalasi seni ini khusus dibuat untuk pameran di National Gallery Singapore dan berjudul "I want to love on the Festival Night".


Di ruang sebelahnya pengunjung dapat menikmati 24 lukisan abstrak dalam ukuran kanvas besar dengan berbagai corak dan warna-warna cerah. Lukisan-lukisan ini merupakan bagian dari seri lukisan My Eternal Soul yang dimulai pada tahun 2009, dimana saat ini sudah lebih dari 500 lukisan yang selesai dan beliau masih terus berkarya.  


Sebelum kita meninggalkan pameran, kita melewati satu ruangan yang dipenuhi dengan bola-bola stainless steel. Instalasi seni ini dikenal sebagai Narcissus Garden, salah satu karya Kusama yang terkenal.


Dan usailah kunjungan kita kali ini. Tidak hanya foto-foto indah bersama karya seninya yang kita dapatkan, namun juga pembelajaran bahwa talenta, kecintaan yang besar pada seni dan dedikasi yang tinggi yang membawanya ke posisi sekarang sebagai salah satu seniman modern yang paling berpengaruh di dunia.

Note:
Pameran Yayoi Kusama masih berlangsung saat ini di National Gallery Singapore dan akan berakhir pada tanggal 3 September 2017. Anda bisa jalan kaki sekitar 5-7 menit dari City Hall MRT untuk tiba ke National Gallery Singapore. Usahakan untuk datang di hari biasa karena antrian pengunjung biasanya sangat panjang di hari Sabtu dan Minggu.