Total Pageviews

Translate

Sunday, November 26, 2017

A Taste Of Pontianak

There are things that we see them so often in life we end up taking them as a norm until we are told otherwise. For example, I never realized that the surroundings nearby Pontianak was so flat until my wife pointed out to me right before our plane landed. I also thought the water I used for bathing for the past 22 years was alright until my wife said it actually looked yellowish. The illusion was shattered and things were never be the same again since then.

A plate of Alu's chicken rice.
Photo by Endrico Richard.

It was the same for the so-called chicken rice from Pontianak. Only God knows why it was called chicken rice in the first place when it actually had more pork than chicken. It'd been a misnomer for the longest time and the term was widely used in Pontianak and nobody seemed to question it at all. When Cita Rasa restaurant started selling Hainanese chicken rice in the early 2000s, I remember thinking, "now this is a different looking chicken rice," but it didn't occur to me that the one I ate for almost two decades was perhaps not a chicken rice at all!

For a comparison, the regular Hainanese chicken rice. 

The misleading name aside, it actually tasted really good and was quite popular in Pontianak. It was basically a plate of rice covered with a generous portion of sliced pork meat and sausage, a slice of stewed egg that was neatly cut using a string of sewing thread (at least that's how it was done back then) and then a bit of chicken to justify the name. Once all the ingredients were there, the sticky soup would be poured on top of it. Some vendors would add the decorative but edible cucumbers, but I didn't think it was compulsory, haha.

When I was still living in Pontianak, there were at least three big names to go to when I was craving for chicken rice: Asan, Alu and Akwang. Asan was a bit too far from where I stayed at (Pontianak people had a peculiar definition of far, but let's save that story for another day) and Akwang was too expensive for my wallet, so Alu was a logical choice thanks to the proximity and affordability.

The chicken rice was also uniquely Pontianak (or West Borneo in general). If you ever saw it elsewhere, most likely the stall was opened by somebody from Pontianak. I was told that Asan had a branch in Jakarta and my friend Hardy ever brought me to Akwang's branch in 2014, a day before we did the high school reunion. Alu, on the other hand, was as original as ever, because he migrated to Jakarta and re-opened his business there.

It took me a while to visit Alu again. I went there with my pal Endrico during lunch time, when I had a business trip to Jakarta in early 2016. The feeling was like two estranged friends, separated in life and I got nervous, not really knowing if the chicken rice would be as good as it was. When I reached there, I found it rather amusing that it was now called mixed rice instead of chicken rice. Not exactly the same as a better known Kenanga mixed rice, but at least it sounded about right.

Putri Kenanga, another type of mixed rice. 

I finally had a plate of Alu's chicken rice (oh yes, it's kind of odd to call it mixed rice). Not only it didn't disappoint, it also brought back the good old memories: those days when I rode my bike to Alu for a packet of chicken rice, knowing for sure that I'd a good meal that day. For that sentimental reason alone, I would have gone back there again, but as luck would have it, Alu's daughter-in-law was our high school friend, too!

As Jakarta was often the stop for many of us who were living abroad, where else should a bunch of old friends hang out while having a taste of Pontianak? At Alu's chicken rice stall, of course! So there we were, when we finished our trip to Karawang and got back to Jakarta last year. We went back again this year, a bigger group than before. Nothing beat a short reunion coupled with the local delicacy we knew and loved, really...

The legendary Alu.
Photo by CP.


Cita Rasa Pontianak

Di dalam hidup ini, ada beberapa hal yang kita anggap normal karena terlampau sering kita lihat dan ilusi itu baru buyar ketika orang lain memberitahukan kita sebaliknya. Misalnya saja, saya tidak pernah menyadari bahwa daerah di sekitar Pontianak tergolong datar, apalagi kalau dibandingkan dengan Bandung, sampai saya mendengar komentar dari istri saya saat pesawat mulai mendarat. Saya juga berpikir bahwa tidak ada yang aneh dengan air di Pontianak yang dulunya biasa saya pakai untuk mandi. Belakangan ini saya baru sadar bahwa air ledeng di Pontianak itu kuning warnanya.

Sama halnya dengan nasi ayam di Pontianak. Seorang teman asal Singapura bertanya, kenapa makanan ini disebut nasi ayam padahal lebih banyak daging babinya. Saya lantas tersentak. Ternyata benar juga ucapannya. Selama ini saya salah kaprah dan sepertinya tidak ada yang mempermasalahkan hal ini di Pontianak. Ketika restoran Cita Rasa mulai menjual nasi ayam Hainan di awal tahun 2000, saya dengan polosnya berpikir, "hmm, ini nasi ayam yang berbeda dari biasanya," tanpa pernah menyadari bahwa makanan yang saya santap selama dua puluh tahun terakhir ini mungkin sama sekali bukan nasi ayam!

Meski namanya menyesatkan, nasi ayam Pontianak sangat lezat dan populer. Nasi ayam ini pada dasarnya adalah sepiring nasi yang disajikan dengan irisan daging merah dan sosis babi, telur semur yang dibelah dengan seutas benang jahit (teknik klasik ini dipakai oleh mereka yang berjualan puluhan tahun silam) dan beberapa potong daging ayam. Setelah itu, sup kental akan disiramkan di atas nasi dan daging. Kadang ada juga yang menambahkan dekorasi berupa timun, tapi menurut saya, tambahan ini tidak terlalu penting, haha. 

Ketika saya masih tinggal di Pontianak, setidaknya ada tiga nama besar yang sering dikunjungi para peminat nasi ayam: Asan, Alu dan Akwang. Asan terlalu jauh dari tempat saya tinggal (ya, orang Pontianak memiliki definisi yang unik tentang jauhnya suatu lokasi) dan Akwang terlalu mahal untuk dompet saya, jadi Alu adalah pilihan yang masuk akal karena jaraknya yang dekat dan ramah dengan isi saku. 

Nasi ayam ini juga unik karena hanya ditemukan di Pontianak dan sekitarnya. Jika anda melihatnya di tempat lain, besar kemungkinan bahwa pemiliknya berasal dari Kalimantan Barat. Saya pernah diberitahu bahwa Asan memiliki cabang di Jakarta. Teman saya Hardy pernah membawa saya ke Akwang cabang Jakarta di tahun 2014, sehari sebelum kita reuni. Hanya nasi ayam Alu yang masih dikelola oleh Alu sendiri karena dia pindah ke Jakarta dan kemudian buka lagi di sana.

Hari dimana saya menyantap Alu untuk pertama kalinya di Jakarta. 

Saya sendiri pindah ke Jakarta sejak tahun 2002, namun saya baru sempat mencicipinya lagi 14 tahun kemudian. Saya ke sana bersama teman saya Endrico di tahun 2016, tatkala saya ke Jakarta dalam rangka kerja. Saat saya dalam perjalanan ke sana, sedikit-banyak ada timbul perasaan seperti hendak berjumpa dengan teman yang sudah lama tidak bertegur-sapa dan saya jadi bertanya-tanya, apakah rasanya masih seenak yang saya ingat. Sewaktu kita tiba di sana, yang pertama terlihat adalah tulisan Nasi Campur Alu. Jadi namanya sudah dikoreksi sekarang. Walau sama sekali tidak mirip Nasi Campur Kenanga, setidaknya terdengar lebih tepat. 

Saya akhirnya menyantap sepiring nasi ayam Alu (oh ya, aneh rasanya untuk menyebutnya sebagai nasi campur). Santap siang itu bukan saja tidak mengecewakan, tetapi juga membawa kembali kenangan lama: saat saya bersepeda ke Alu untuk membeli sebungkus nasi ayam dan pulang dengan hati riang dan tidak sabar untuk makan enak. Sedapnya nasi ayam Alu sebenarnya sudah menjadi alasan tersendiri bagi saya untuk kembali lagi ke sana, namun alasan lain yang tidak kalah menariknya adalah karena menantunya juga merupakan teman sekolah saya.

Dari kiri: Alvin, Susanti, Tuty, Susan, Endrico dan Rudiyanto, setelah kita kembali dari Karawang.

Dengan demikian, karena Jakarta seringkali menjadi tempat persinggahan bagi kita yang tinggal di luar negeri, di mana lagi kita sebagai para teman lama bisa berkumpul sambil menikmati cita rasa kampung halaman? Tentu saja di Alu! Jadi di sanalah kita berada, saat kita pulang dari perjalanan ke Karawang tahun lalu. Kita kembali berkumpul di Alu lagi tahun ini, kali lebih ramai dari sebelumnya. Pada akhirnya, tidak ada yang mengalahkan reuni singkat yang disertai dengan makanan lokal yang kita kenal dan sukai dari sejak kecil...

Dari kiri: Angelina dan pacar, Alvin, Mul dan anak, Anni, Susan, Anthony, Sonia, Eday, CP dan Han Kiang.



No comments:

Post a Comment