Total Pageviews

Translate

Sunday, February 25, 2018

From Nanning To Rotterdam: A Story Of Ferlin

I remember the time when I was in Nanning, China. It was late 2009. We visited my sister-in-law, Leny, who were studying there thanks to the student exchange programme. If I got it right, there were only three Indonesians there: the quite girl, Leny, and then this cheerful looking girl. She was so full of life and always seemed to be surrounded by local and overseas friends whom happened to be in the same campus. My sister-in-law told me that was Ferlin and she was into sculptures.

Fast forward to 2013, as my wife and I walked with Leny to the start line of 10km run held by Standard Chartered Bank, we talked about those days in Nanning again. I asked about her friends and Leny told me what they did. Ferlin had many exhibitions that were quite successful and she also met government officials ranging from the Mayor of Bandung to the ambassador of Indonesia. That was quite a feat. Upon hearing that, I remember thinking that she got both the talent and the personality that would bring her far. Little did I know that she'd be in Rotterdam today as the first Indonesian who received the entrepreneur visa from the Dutch government to start up her business there!

Ferlin Yoswara, wearing her fine jewelry, a 2018 collection.

Ferlin's story of passion and hard work started when she first grabbed hold of drawing tools. What was started as doodles eventually turned into some children's art that won her the bronze award in Tokyo, Japan. Many years later, as she was progressively moving from 2D to 3D art, she enrolled herself to the student exchange programme simply because it had a sculpture major. Her passion landed her in Nanning, the capital city of Guangxi Autonomous Region. She originally spoke no Chinese, but she was in her element and she felt at home more than ever. 

Her short stint in China didn't disappoint. Ferlin studied hard, often started early in the morning and ended very late at night, but she was happy doing what she was doing. And she learnt a lot about concept and techniques, not only from those well-known professors, but also from the guest lecturers including Ai Weiwei, a living legend. Soon she joined several exhibitions in various cities in China, culminating with her artwork being collected by the National Museum of China in Beijing.

The statue, surrounded by the creator and her friends, during an exhibition in China, 2009.

Life after college was a busy one for the young artist. Her days were filled with one exhibition after another. First locally, then onto the world stage. Opportunity knocked when she was in Den Haag. What was supposed to be a five-day exhibition ended up as a three-month tenure when she met Fanny Habibie, the younger brother of third Indonesian President as well as the Indonesia ambassador to the Netherlands at that time. He was looking for someone young and talented to represent Indonesia and she fitted the bill, so she became the resident artist at the embassy. A very productive era, Ferlin did enough paintings for a solo exhibition. When she did that, 30 out of 33 paintings were sold, including to the Royal Family of the Netherlands. That's when she realized that her art was well-received by the people in this foreign land. The warm welcome persuaded her to stay there and days were changing into years now.

But the weather, literally speaking, was not as warm as she'd expected. As a sculptor who used basic materials such as gypsum and resin, she needed the sun to dry her artwork, but that was a luxury she couldn't have. That's when she pursued the art of making jewellery. She took up the goldsmith course and, as jewellery was basically a smaller form of sculpture, it was quite natural for her to easily get the hang of it. She soon launched her first brand, Ferlin Yoswara Fine Jewelry (www.fyfinejewelry.com). The brand focused on contemporary and sculptural jewelry. The product was the high end and limited edition made of gold, diamond and other gemstones. Then, as she became more and more experienced, she learnt that the Dutch government was very encouraging and willing to facilitate even the non-European foreigners to be startup entrepreneurs. And the rest, as you might have seen from Kompas TV, was history. She got the visa and she is now a businesswoman running Market Your Jewelry B.V. in Rotterdam with her team. Under the management her new company, she also launched Saaraa Jewelry (www.saaraa.nl), a collection of jewelry from silver and Swarovski crystal.

The launch party of Saaraa Jewelry at Ferlin's office, 2017. 

One could only imagine how competitive it would be for Ferlin in the Netherlands, but she wasn't without any advantages. Not only she was inspired by the all time greats in Surrealism such as Salvador Dali and Frida Kahlo, she also had the Asian upbringing and the European exposure. She knew Europeans like something simple and bold and she understood that Asians like their jewelries blinking and colorful. Through such a unique vision, the art of Ferlin Yoswara was born: the best of both worlds, something modern with a classic Eastern touch.

And mind you, she's only just begun. As we wish her a successful career, let this also be an inspiration for us all that we shouldn't stop believing in our dream and passion...

A collection from Ferlin Yoswara Fine Jewelry, inspired by the Cube House of Rotterdam. 


Sebuah Kisah Dari Nanning ke Rotterdam

Saya ingat ketika saya berada di Nanning, akhir tahun 2009. Saat itu kita mengunjungi adik ipar saya, Leny, yang menuntut ilmu ke negeri Cina lewat program pertukaran pelajar. Jika saya tidak salah, saat itu cuma ada tiga orang Indonesia: teman sekamar Leny yang pendiam, Leny sendiri dan gadis yang terlihat ceria dan senantiasa dikelilingi teman-teman sekampus dari mancanegara ini. Leny menjelaskan bahwa mahasiswi ini bernama Ferlin dan dia sedang mendalami seni patung. 

Beberapa tahun kemudian, di tahun 2013, selagi saya dan istri saya mengantar Leny ke tempat lari 10km yang diselenggarakan oleh Standard Chartered Bank, kita berbincang tentang kunjungan kita ke Nanning dulu. Saya bertanya tentang teman-temannya dan Leny pun bercerita. Ferlin ternyata sudah mengadakan banyak pameran yang cukup berhasil. Dia juga bertemu dengan berbagai pejabat, mulai dari walikota Bandung sampai duta besar. Ini prestasi yang cukup mencengangkan. Saat mendengar tentang hal ini, saya sempat berpikir bahwa dengan bakat dan kepribadiannya, karir Ferlin pasti akan berkembang pesat, tapi tidak pernah saya duga sebelumnya bahwa dia akan berada di Rotterdam sebagai orang Indonesia pertama yang menerima visa wiraswasta dari pemerintah Belanda untuk memulai usahanya di sana!

Leny, Monica dan Ferlin di Nanning, 2009.

Kisah Ferlin dimulai ketika dia pertama kali menggenggam peralatan menggambar. Apa yang bermula dari corat-coret akhirnya menjadi sebuah karya yang membawanya ke Tokyo dan memenangkan perunggu untuk kategori seni kanak-kanak. Bertahun-tahun kemudian, dia beralih dari seni lukis ke seni patung dan karena ketertarikannya ini pula maka dia ikut serta dalam program pertukaran pelajar. Minat dan upayanya membawa dia ke Nanning, ibukota Daerah Otonomi Guangxi. Walau tidak bisa berbahasa Mandarin, seni adalah dunianya dan dia tidak menemui kesulitan yang berarti untuk belajar di sana.

Hari-harinya di Cina tidak mengecewakan. Ferlin belajar keras dari pagi hingga malam, tapi dia tidak merasa terbebani karena dia menyukainya. Di sini dia belajar banyak tentang konsep dan teknik, bukan saja dari para profesor yang sudah terkenal, tetapi juga dari dosen tamu, salah satu di antaranya Ai Weiwei yang tersohor. Selama berada di Cina, dia juga ikut dalam pameran di berbagai kota dan hasil karyanya pun kini menjadi bagian dari koleksi Museum Nasional Cina di Beijing.

Ferlin saat menyampaikan kata sambutan di KBRI di Den Haag, 2010.

Hidup setelah kuliah adalah masa yang produktif bagi seniman muda ini. Dia sibuk berpartisipasi dalam pameran. Awalnya di panggung lokal, kemudian berlanjut ke ajang internasional. Kesempatan akhirnya datang ketika dia berada di Den Haag. Apa yang semestinya hanya merupakan pameran lima hari akhirnya menjadi magang tiga bulan. Di saat itu dia bertemu dengan Fanny Habibie, duta besar Indonesia untuk Belanda sekaligus adik dari presiden ketiga. Saat itu kedutaan sedang mencari seorang seniman muda sebagai pelukis di kedutaan untuk memperkenalkan seni lukis Indonesia di Belanda. Lowongan ini ditawarkan kepada Ferlin dan ia pun menerimanya. Ferlin menyelesaikan banyak lukisan di masa ini sehingga bisa menggelar pameran tunggal. Hasilnya sungguh di luar dugaan. 30 dari 33 karyanya terjual dan beberapa bahkan dibeli oleh keluarga Kerajaan Belanda. Di saat itu ia menyadari bahwa karya seninya disukai oleh masyarakat di negeri asing ini. Merasa diterima, ia akhirnya menetap di sana dan tanpa terasa, hari pun berganti tahun.  

Akan tetapi cuaca di Belanda tidak sehangat sambutan orang-orang terhadap karyanya. Sebagai seorang pematung yang menggunakan bahan dasar gips dan damar, Ferlin memerlukan sinar matahari untuk mengeringkan karyanya, namun sering kali cuaca tidak mendukung. Dia lantas berganti haluan dan mulai membuat perhiasan. Dia mengambil kursus pengrajin emas dan, karena perhiasan pada dasarnya adalah bentuk mini dari seni ukir yang biasa ia kerjakan, ia dengan cepat menyesuaikan diri. Tidak lama setelah ini, ia pun meluncurkan Ferlin Yoswara Fine Jewelry (www.fyfinejewelry.com). Merek ini berfokus pada perhiasan kontemporer edisi terbatas yang terbuat dari bahan emas, intan dan batu mulia lainnya. Kemudian, setelah ia kian berpengalaman, dia menyadari bahwa pemerintah Belanda sangat mendukung dan juga memberikan fasilitas bahkan bagi orang asing yang bukan berasal dari Eropa untuk memulai usaha di sana. Dia mengajukan permohonan dan hasilnya, seperti yang dilaporkan oleh Kompas TV, adalah sebuah sejarah. Dia membuka Market Your Jewelry B.V. di Rotterdam dan meluncurkan Saaraa Jewelry (www.saaraa.nl), sebuah perusahaan yang merancang dan membuat perhiasan dari bahan perak dan kristal Swarovski.

Ferlin saat merancang sebuah perhiasan di studio kerjanya di Den Haag, 2017.
Foto oleh Ifa Chaeron, Belanda. 

Kita hanya bisa membayangkan betapa ketatnya persaingan yang dihadapi oleh Ferlin di Belanda, akan tetapi itu tidak berarti dia tidak memiliki persiapan sama sekali. Sebagai orang yang sudah lama berkecimpung di bidang ini, dia bukan hanya sekedar terinspirasi oleh pakar Surealisme seperti Salvador Dali dan Frida Kahlo, dia juga memiliki nilai tambah karena dibesarkan di Asia dan juga berwawasan Eropa. Dengan kejeliannya, dia melihat bahwa orang Eropa menyukai sesuatu yang sederhana tapi menarik perhatian, sedangkan orang Asia menyukai perhiasan yang berkilau dan warna-warni. Dari sinilah lahir karya seni Ferlin Yoswara yang berkesan modern dengan sentuhan budaya Timur yang klasik. 

Dan karirnya baru saja dimulai. Kita ucapkan sukses untuk usahanya dan semoga kisah tentang dirinya juga menjadi inspirasi bagi kita untuk tidak melupakan impian kita sendiri...

Sebuah karya Saaraa Jewelry.
Foto oleh Thandiwe Teisko, Swedia.


No comments:

Post a Comment