Total Pageviews

Translate

Saturday, February 24, 2018

The Intolerance

I can't be too sure how many Chinese Indonesian my age share the same sentiments here, but I'm always fond of Sukarno, my first president. I first read about him almost two decades ago, not long after Suharto was toppled in 1998. Sukarno was ever charming, even in a written form. He was genuine, never shied away from expressing his view about women, from the honourable ones to whores. He loved the beauty of God's creation and he loved them all. He was a very proud man, too, and he had all the rights to do so, for only Sukarno could lead us to our independence. He was very humble at the same time and his story about the declaration of independence and what followed after that couldn't be more vivid and poignant. He was also funny, perhaps the only President whose first presidential instruction was for a street food vendor to provide him a plate of satay, a food that he enjoyed while sitting on roadside. He was that poor, but he was rich at heart, giving his entire life for the country. Our country's independence were not given to us, it was fought for, proclaimed and defended by the people of Indonesia. And at the center of it was Sukarno, the founding father and the pride of Indonesia.

Reading about Sukarno reminded me again how this country was built. Throughout his time of being jailed and exiled to many places around the archipelago, Sukarno surely had realized how diverse Indonesia would be. Right at the beginning of his autobiography, he already acknowledged that the people of Indonesia was originated from all sorts of ethnics, including Chinese. He knew it well and he wasn't a racist, therefore he believed in unity in diversity. In fact, he was so visionary and pragmatic that he chose Malay as the foundation of Bahasa Indonesia instead of Javanese, his own mother tongue and a language known for its complexity. As a result, the whole country, from Sumatra to Papua, is able to converse today.

More than that, Sukarno also came up with Pancasila, our national ideology. He might have said that he merely dug deeper to the history of Indonesia and he shouldn't claim credit of it, but Pancasila was definitely his brainchild. Now, did you ever wonder why a country with a biggest Muslims population in the world is not a country based on Islam? It was due to the existence of Pancasila. The first of the five principles, belief in the one and only God, granted our freedom in having a religion.

It was no coincidence, of course. Sukarno himself was a Muslim, but he was not blind to the facts around him. Long before there was a country called Indonesia, he already realized that it was going to be multicultural nation, one with various ethnic groups, languages, culture, religions and way of life. For the whole country to be united, it had to be done in an Indonesian way, which was respect and tolerance to others. Sukarno proved it by crushing many Islamic rebellions, including one that was led by his old friend, Kartosuwiryo.

Fast forward to today's situation, it was saddening to see such a growing intolerance. Those people who said they were defending Islam, were they genuine and thinking clearly? If it was supposed to be that way, wouldn't our founding fathers implement it already? They were the leaders of their generation, back when people were sincere and didn't expect anything in return during the struggle for independence, so why didn't they do it then? Because they had thought it through and it simply couldn't be done.

Islam is good. Any religion is good. It is only bad when a political motive is sugar-coated with religion. It gets worse when people are not using their brains to think but to swallow such belief foolishly instead. What's so great about shouting and prosecuting others when you could have been proven guilty yourself? Ain't that a shame? Eventually, isn't religion mainly about the relationship between a believer and his God? Give it a thought, get a clear conscience and let's live the Indonesian way, just like how our founding fathers intended it to be.

Bung Karno, once the voice of our people. 


Miskinnya Toleransi

Saya tidak tahu berapa banyak Tionghoa Indonesia seusia saya yang merasakan hal yang sama, tetapi saya selalu suka membaca tentang Sukarno, presiden pertama Indonesia. Pertama kali saya membaca buku di atas adalah sekitar dua puluh tahun silam, tidak lama setelah Suharto ditumbangkan di tahun 1998. Senantiasa berkharisma, kisah Sukarno bahkan terasa menarik dalam bentuk tulisan. Dia terasa tulus dan apa adanya, tidak pernah malu untuk berbicara tentang wanita, mulai dari yang berjasa besar baginya sampai kaum pelacur. Dia mencintai indahnya ciptaan Tuhan, karena itu dia menyayangi wanita. Dia juga orang yang bangga dengan dirinya dan dia sesungguhnya berhak untuk itu, sebab hanya Sukarno yang sanggup membawa Indonesia ke alam kemerdekaan. Yang menarik lagi, dia juga rendah hati. Ceritanya tentang proklamasi dan apa yang terjadi setelahnya sungguh menyentuh hati. Terakhir, dia juga lucu dan mungkin satu-satunya presiden di dunia ini yang mengeluarkan instruksi presiden yang pertama kepada seorang tukang sate. Saat itu, setelah dia diangkat menjadi presiden dengan suara bulat, dia menikmati sepiring sate di pinggir jalan sebagai Presiden Sukarno. Dia miskin harta, tapi kaya hatinya, dan segenap jiwa raganya diberikan kepada bangsanya pula. Jangan pernah lupa bahwa kemerdekaan bangsa kita itu tidak diberikan penjajah, melainkan diperjuangkan, diproklamasikan dan dipertahankan oleh rakyat Indonesia. Di tengah semua itu adalah Sukarno, Bapak Bangsa dan kebanggaan Indonesia. 

Membaca tentang Sukarno mengingatkan saya kembali tentang bagaimana Republik Indonesia dibangun. Ketika dia dipenjara dan diasingkan, mulai dari Pulau Ende sampai Bengkulu, Bung Karno pastilah sudah menyadari bahwa bangsa ini sungguh majemuk. Di awal biografinya pun dia sudah mengakui bahwa apa yang kita sebut sebagai rakyat Indonesia hari ini dulunya berasal dari beragam suku, termasuk juga Tionghoa. Sukarno tahu dan paham betul akan hal tersebut, oleh karenanya dia bukan seorang yang rasis dan maka dari itu pula dia bisa mengadopsi Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan bangsa. Dia juga seorang yang praktis dan memiliki pandangan jauh ke depan, oleh sebab itu dia memilih bahasa Melayu sebagai dasar dari bahasa Indonesia. Sukarno adalah orang Jawa, tapi dia sadar bahwa bahasa ibunya sangat rumit dan demi persatuan bangsa, dipilihlah bahasa Melayu yang saat itu sudah mulai dikenal luas. Hasilnya, bangsa kita, mulai dari Sumatera sampai Papua, kini bisa bercakap-cakap satu sama lain. 

Lebih dari itu, Sukarno juga membidani lahirnya Pancasila, dasar negara kita. Di dalam bukunya dia berkata bahwa dia hanya melihat kembali kepribadian kepulauan nusantara kita ini dan dari situ terwujudlah ide Pancasila, namun tidak bisa dipungkiri bahwa itu adalah buah pikirannya. Kalau bukan karena dikemukakan oleh Sukarno, mungkin Pancasila tidak akan pernah ada. Sekarang, pernah anda pikirkan kenapa negara dengan populasi muslim terbesar di dunia ini bukanlah sebuah negara Islam? Itu karena keberadaan Pancasila. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, memberikan kita kebebasan dalam menunaikan ibadah menurut kepercayaan masing-masing. 

Ini bukanlah suatu kebetulan, tentunya. Walaupun Sukarno sendiri adalah seorang muslim, tapi dia sangat cermat dengan fakta-fakta di sekelilingnya. Jauh sebelum negara bernama Indonesia ini lahir dan dikenal oleh dunia, Sukarno sudah menyadari bahwa negara ini akan terdiri dari beragam suku, bahasa, budaya, agama dan cara pandang. Jika kita hendak bersatu, maka ini hanya bisa dilakukan dengan cara Indonesia, yakni saling menghormati dan toleransi kepada sesama. Bertahun-tahun setelah Indonesia merdeka, Sukarno masih membuktikan kesungguhannya dengan membasmi dan menghancurkan berbagai pemberontakan, termasuk DI/TII yang dipimpin oleh kawan lamanya, Kartosuwiryo.

Jika kita lihat situasi hari ini, miskinnya toleransi terasa sangat menyedihkan. Orang-orang yang berkata bahwa mereka membela Islam, apakah mereka tulus dan berpikir dengan jernih? Jika memang Islam adalah jalan bagi bangsa ini, kenapa para bapak bangsa kita dulu tidak mendeklarasikan Indonesia sebagai negara Islam? Mereka adalah para pemimpin yang cerdas di zaman ketika orang masih tulus dan tidak mengharapkan imbalan apa pun saat berjuangan demi kemerdekaan, jadi kenapa mereka tidak menjadikan Indonesia sebagai negara Islam pada saat itu juga? Ini karena mereka sudah memikirkannya dan mereka tahu bahwa ini tidaklah cocok bagi bangsa Indonesia yang majemuk.

Islam itu baik. Semua agama itu mengajarkan yang baik. Yang buruk adalah niat-niat buruk politik yang dibalut dengan agama. Dampaknya akan menjadi semakin buruk ketika orang-orang tidak lagi menggunakan otaknya untuk berpikir, melainkan menelan paham yang sesat itu bulat-bulat. Yang benar saja, apa hebatnya berteriak kafir dan mempersekusi orang lain ketika satu demi satu akhirnya terbukti lebih buruk dari yang ditentangnya? Tidakkah itu memalukan? Pada akhirnya, bukankah agama itu adalah hubungan pribadi seseorang dengan Tuhannya, jadi kenapa musti dipaksakan? Pikirkanlah kembali, jernihkan hati kita dan hiduplah dengan tata cara Indonesia yang penuh toleransi, seperti yang diajarkan oleh bapak-bapak bangsa kita, bertahun-tahun yang lampau...

No comments:

Post a Comment