Total Pageviews

Translate

Wednesday, September 5, 2018

The Perfect Image

As far as I could remember, Pontianak was a nice place for a kid to grow up, but I'm afraid it can be a tough place to grow old. We have this Teochew phrase tio ci tio heng, which can be roughly translated as annoying pretender. The phrase is used to refer to people who think highly of themselves and look down on others. To make it worse, in a small town where everyone knows everybody, the gossip down there travels faster than the internet. This is what makes Pontianak an unbearable and unforgiving place. 

Sometimes we discussed about this cultural phenomenon. For us who live elsewhere, it was baffling. We couldn't figure out why, but almost all of us agreed that people in Pontianak must be having too much spare time that they ended up speaking ill of someone else to kill time. At the same time, it's safe to say that we're glad we don't live there anymore. Outside Pontianak, people mind their own business. They tend to be less nosy plus we're not exactly world famous that they'll leave us alone. 

Things are rather different for those who live in Pontianak. They had to adjust their lives with such a deep-rooted culture. For example, a friend complained about how miserable her life was, but she couldn't do anything about it because what would other people say? 

The way she put it, it was as if what other people said was what mattered most. One would rather maintain the perfect image for others to see when the truth was he or she continued to suffer. It was very odd, not to mention irrational, but perhaps living for so long in such a judgemental environment would make you think that was the only way. 

That's when friendship made a difference. If she expected sympathy after sharing her story, she clearly didn't get that from us. We said things she didn't want to hear, but we meant well. Eventually one of us spoke of the hard truth: "whatever things that other people said, were they helping? If not, why bother listening?"

And that, I hope, was a wake up call. The moral of the story is, we often tried so hard to please others we ended up becoming what they said, even if it meant we had to go through an unnecessary hardship at the expense of our happiness. If that's the case, is it worth it? Why on earth we'd like to be what they think we are when we can simply be who we are? Furthermore, those that really care about us, those that we can really call friends and family, they can't be bothered with what people think we are, because they love us just the way we are. That's what counts. 

We can't control what people will say about us, but there's a fine line between constructive feedback and comments made out of jealousy. There were times when we felt like people were not being supportive, but if there was a certain level of truth in it that we couldn't deny, then be encouraged by it to change ourselves. On the other hand, when the remark was unfounded and made simply to hurt you, then it's not worth entertaining it. Life must be very tiring if we always have to explain ourselves and win every argument, therefore just let it go. Keep calm and carry on.

Lisan, a great example of one who enjoys to be herself. 


Citra Diri Yang Sempurna

Saya selalu merasa bahwa Pontianak adalah tempat yang menyenangkan bagi seorang anak untuk tumbuh dewasa, tetapi mungkin tidak demikian halnya bagi mereka menghabiskan hidupnya di sana. Sering kali saya dengar pepatah tio ci tio heng terucapkan. Ungkapan dalam bahasa Tiociu ini artinya sikap berpura-pura yang menjengkelkan. Orang-orang yang mendapat gelar ini biasanya adalah mereka yang terlalu mengagungkan diri mereka dan memandang remeh orang lain. Lebih buruk lagi, di kota kecil dimana banyak orang saling mengenali satu sama lain, gosip menyebar lebih laju dari internet. Hal-hal berikut inilah yang kadang membuat hidup di Pontianak terasa tidak menyenangkan. 

Terkadang kita berdiskusi tentang fenomena yang telah menjadi budaya lokal di kota Pontianak ini. Bagi kita yang tinggal di luar kota, hal ini tidak mudah untuk dimengerti. Walau kita tidak berhasil menemukan apa alasannya, bisa dikatakan kita sepakat bahwa kehidupan di Pontianak itu tergolong santai sehingga orang memiliki banyak waktu luang untuk bergosip-ria. Dari sudut pandang ini, kita merasa cukup bersyukur bahwa kita tidak lagi tinggal di sana. Kehidupan di luar Pontianak jelas berbeda karena orang cenderung lebih sibuk dan tidak memiliki waktu untuk mengurusi orang lain. 

Akan halnya mereka yang bertempat tinggal di Pontianak, mereka harus menyesuaikan diri dengan kebiasaan yang sudah mengakar itu, sebab kesalahan sepele dalam bersikap atau berbicara bisa menjalar dan dibesar-besarkan dari mulut ke mulut sehingga seseorang bisa terkucil dari pergaulan atau terganggu bisnisnya. Sebagai contoh, seorang teman mengeluh tentang penderitaan hidupnya, tapi dia harus tetap menjalaninya, sebab apa kata orang kalau dia mengambil tindakan drastis untuk mengubah hidupnya? 

Dari cara penyampaiannya, ada kesan bahwa yang paling penting itu adalah penilaian orang terhadap dirinya. Aneh rasanya jika kita harus menjalani hidup penuh derita hanya demi menampilkan citra diri yang sempurna kepada orang lain. Sungguh tidak rasional, tetapi mungkin hidup dalam lingkungan yang suka menghakimi orang lain bisa membuat kita berpikir bahwa inilah satu-satunya pilihan.  

Di sinilah peran persahabatan dalam membuat perubahan. Jika dia mengira akan mendapat simpati setelah berbagi cerita, maka itu tidak ia dapatkan dari kita. Justru sebaliknya, kita memberikan pendapat yang tidak ingin ia dengar, tapi sebenarnya baik maksudnya untuk dia. Pada akhirnya satu dari kita berkomentar dengan lugas, "apakah pendapat orang-orang ini membantu dan membuat hidupmu lebih baik? Kalau sebenarnya tidak penting, lantas kenapa harus dipikirkan?"

Dan itu, saya harap, menjadi komentar yang membuatnya sadar. Moral dari cerita adalah, terkadang kita berusaha terlalu keras untuk terlihat baik di depan orang sehingga tanpa sadar kita menjadi persis seperti yang mereka katakan, meskipun itu berarti kita harus menjalani penderitaan yang tidak perlu dan mengorbankan kebahagiaan kita sendiri. Kalau begitu, apakah sepadan harganya? Kenapa kita mau-maunya menjadi apa kata orang kalau kita bisa menjadi diri kita sendiri? Lagipula, bagi mereka yang sungguh peduli pada kita, mereka yang bisa kita panggil sebagai keluarga dan teman, tentunya mereka tidak peduli komentar sinis tentang diri kita karena mereka menerima kita apa adanya. Itulah sebenarnya yang lebih penting.  

Kita tidak akan pernah bisa mengendalikan apa yang akan diucapkan orang lain tentang kita, tapi perlu disadari bahwa ada perbedaan menyolok antara saran yang membangun dan komentar yang muncul dari kedengkian. Ada kalanya kita berpikir kenapa orang-orang tidak mendukung kita, tapi jika ada nilai kebenaran yang tidak bisa disangkal dari ucapan mereka, mungkin kita perlu mengakuinya dan terpicu untuk mengubah diri kita. Di sisi lain, ketika sebuah komentar itu tidak berdasar dan diucapkan untuk melukai perasaan kita, maka ucapan seperti itu tidak perlu dihiraukan. Hidup kita pastilah sangat melelahkan kalau hanya dihabiskan untuk terus-terusan menjelaskan siapa kita kepada orang lain, oleh karena itu, biarkanlah. Tidak semua komentar perlu didengarkan, apalagi ditanggapi. Seperti slogan Inggris, tetaplah tenang dan jalani hidup anda.

Parno, pria yang senantiasa apa adanya dalam menikmati hidup. 

No comments:

Post a Comment