Total Pageviews

Translate

Saturday, December 2, 2017

The Sinking Ships

This story began when I ran out of bedtime stories for my daughter, so I told her about the sinking of Titanic. Much too my surprise, she was into it, therefore I showed her the film afterwards. We sat through the Titanic movie by James Cameron in the span of three days, doing roughly an hour each day. She loved every bit of it, but she didn't stop there and probed further (that curious kid bombarded with me with a lot of questions)! That's when we dug further about the sinking ships.

As I needed to tell the story and answered her questions (soon there was a set of default questions such as how did the ship sink, how long did it take to sink and how many people died), I learned about Britannic, the third in a trio of Olympic-class ocean liners (the other two was Olympic and Titanic). It only had a brief tenure of being a hospital ship before it hit a naval mine and sank. Then there was Lusitania, too, torpedoed by the Germans during World War I and sank within 18 minutes. Carpathia, the one that picked up the Titanic passengers from the sea, also didn't end well. Fast forward to 21st century, there was Costa Concordia and Captain Francesco Schettino whom notoriously abandoned the ship. His conversation with the coast guard was embarrassingly funny: he refused to go back to the ship because it was too dark.

Quite fascinating, I must say, but none of the tragedies was as captivating and dramatic as Titanic. Here was a ship dubbed as the Unsinkable (even right after she hit the iceberg, the ship crew still told the passenger that not even God could sink Titanic), yet she went down on her maiden voyage. 20 years after I first watched the movie, my interest in Titanic was renewed again by my research on sinking ships thus far. I was reading lot about Titanic on Wikipedia, but it was the article about the launch of the lifeboats that eventually prompted me to purchase A Night to Remember, the non-fiction book about the sinking of Titanic and the aftermath, written by Walter Lord and published in 1955. I just couldn't resist to find out more about the struggle of life and death in the final hours of Titanic.

The book opened with the scene when the iceberg was suddenly spotted by the lookout. The reaction of the passengers right after the collision that happened soon afterwards was rather amusing. They actually believed Titanic was unsinkable that they took it lightly. For the first one hour after Titanic hit the iceberg, the situation was almost normal.


Titanic collided with the iceberg at 11.40pm and sank at 2.20am. She lasted for two hours and 40 minutes, which was quite long. Titanic seemed to be steady for a while, but ship builder Thomas Andrews knew it better. The ship wouldn't stay afloat at her current state. Chaos was inevitable as it only made sense for the people to try their best to stay alive, but a century ago, the word gentleman did mean something. Not only some passengers were prepared to die, but they also did their best to escort the women and children to the lifeboats. To be able to do such thing while fully knowing that you might die was honorable.

Also worth mentioning here was the ship crews. Jack Philips, the wireless officer, was tapping frantically to get the message out to the nearest ships until he was released from his duty at 2.05am by the captain. Second Officer Lighttoller and others were busy launching the lifeboats, boarding women and children first. They worked extra hard right till the end. Some even went down with the ship and survived only by sheer of luck.

Then came the final moment. Unlike other ships that I read where they were listing and eventually collapsed on one side before sinking, Titanic was actually broke into two, leaving the other half of the ship standing tall in the starlit night before it went down entirely into the bottom of the sea. It must be quite a sight and a humbling experience for the rich and poor people alike. The unsinkable Titanic, the ship that not even God could sink, was heading down to the seabed and eventually no more. The Atlantic ocean went quiet afterwards, when the swimming people died of hypothermia.

Few hours later, the rescue came in the form of Carpathia. They did the best their could, but weren't fast enough to be there. The nearest ship, Californian, was uncontactable, even though some of the ship crews were actually observing the strange behavior of Titanic from afar until she went dark and presumably disappeared due to unknown reason. It was just unfortunate. I could only wonder if Californian, the ship that also warned Titanic about the iceberg earlier, picked up the message and sped up to the location, but it wasn't meant to be.

It's been more than 100 years since that fatal incident, but the interest on Titanic never waned. It was a cautionary tale about the arrogance of mankind and we learnt it the hard way. It was a romance, for it was a beautiful story about the noble struggle in the face of death. It was a tragedy like no other, hard to believe and yet it happened. That, indeed, was a night to remember...

RMS Titanic.


Kapal-Kapal Yang Karam

Cerita kali ini bermula ketika saya kehabisan dongeng sebelum tidur untuk putri saya, jadi saya mengisahkan tenggelamnya Titanic kepadanya. Di luar dugaan, ternyata dia tertarik tentang Titanic. Oleh karena itu, selama tiga hari berturut-turut, saya duduk bersamanya untuk menonton film Titanic yang disutradarai James Cameron, tiap malam selama satu jam. Dia suka filmnya, kian penasaran dan bertanya lebih jauh lagi tentang Titanic dan kapal lain yang bernasib sama. Berawal dari situlah saya mencari tahu lebih banyak lagi tentang kapal-kapal yang karam.

Karena saya harus bercerita dan menjawab pertanyaan-pertanyaan Linda (lambat-laun yang ia tanyakan selalu berkisar tentang bagaimana kapal tersebut tenggelam, berapa lama kapal tersebut karam dan berapa banyak jumlah korbannya), saya akhirnya belajar tentang Britannic, kapal ketiga dari trio kapal laut kelas Olympic (dua kapal lainnya adalah Olympic dan Titanic). Britannic yang diluncurkan sebagai kapal rumah sakit berumur kurang dari setahun dan akhirnya tenggelam setelah menabrak ranjau di laut. Lantas ada lagi yang namanya Lusitania, kapal penumpang yang menjadi sasaran torpedo Jerman dalam Perang Dunia Pertama dan terbenam dalam waktu sesingkat 18 menit. Carpathia, kapal yang menyelamatkan penumpang Titanic, juga bernasib sama. Di abad 21, ada kapal pesiar bernama Costa Concordia dan Kapten Francesco Schettino yang terkenal karena kabur duluan setelah kapal yang dikemudikannya menabrak karang. Percakapannya dengan penjaga pantai terkesan lucu dan memalukan: dia bersikukuh untuk tidak kembali ke kapal karena malam itu sangat gelap.

Kisah-kisah kapal tenggelam ini sangat mencengangkan, tetapi tidak ada yang lebih menarik dan dramatis dari Titanic. Kapal ini digembar-gemborkan sebagai kapal yang tidak akan tenggelam (bahkan setelah menabrak gunung es pun awak kapalnya masih berujar bahwa bahkan Tuhan tidak bisa menenggelamkan Titanic), namun siapa sangka riwayatnya justru berakhir di tengah pelayaran perdana? 20 tahun setelah saya menyaksikan film tersebut untuk pertama kalinya, rasa ingin tahu saya terhadap Titanic membara lagi setelah saya membaca tentang kapal-kapal lainnya. Saya melahap segala macam informasi tentang Titanic di Wikipedia, namun saat saya membaca tentang sekoci-sekoci yang diluncurkan sewaktu Titanic mulai tenggelam, saya akhirnya tidak bisa menahan diri untuk membeli A Night to Remember, buku non-fiksi tentang saat-saat terakhir Titanic dan sesudahnya. Buku ini ditulis oleh Walter Lord dan diterbitkan di tahun 1955. Saya sungguh penasaran tentang informasi mendetil dari perjuangan hidup-mati para penumpang dan awak kapal Titanic.

Buku ini dibuka dengan adegan dimana awak kapal tiba-tiba tersentak oleh keberadaan gunung es di depan Titanic. Seperti yang kita ketahui, tabrakan tersebut tidak terelakkan, namun reaksi para penumpangnya sangat tidak lazim. Banyak dari mereka yang percaya bahwa Titanic tidak bisa tenggelam. Oleh sebab itu, mereka menganggap enteng benturan tersebut dan tenang-tenang saja. Selama satu pertama, situasi di kapal hampir bisa dikatakan normal.

Titanic menabrak gunung es jam 11.40 malam dan tenggelam jam 2.20 pagi. Kapal tersebut masih sempat mengapung selama dua jam 40 menit. Setelah benturan, kapal berukuran besar itu masih terlihat stabil, tapi arsitek kapal Thomas Andrews tahu bahwa Titanic tidak akan bertahan. Pada akhirnya kekacauan pun merebak tatkala para penumpang mencoba untuk menyelamatkan diri. Kendati begitu, satu abad silam, sikap pria sejati bukan hanya sekedar kata-kata, tetapi juga perbuatan nyata. Ada di antara penumpang yang bukan saja siap untuk mati, tetapi mereka juga memanfaatkan waktu yang tersisa untuk mengawal wanita dan anak-anak ke perahu darurat. Orang yang masih sanggup berbuat seperti itu walau tahu resikonya patut dihormati.

Yang juga layak disebut di sini adalah para awak kapal. Jack Phillips, petugas telegraf, tidak henti-hentinya berusaha mengirimkan pesan ke kapal-kapal terdekat sampai ia dibebastugaskan oleh sang Kapten jam 2.05, sekitar 15 menit sebelum kapal tenggelam. Komandan Kedua Lighttoller beserta kelasi lainnya sibuk meluncurkan sekoci, bekerja keras hingga akhir. Tidak sedikit di antara mereka yang turut tenggelam bersama Titanic, meski beberapa di antaranya terselamatkan oleh keberuntungan semata.

Kemudian tibalah saat-saat terakhir Titanic. Berbeda dengan kapal-kapal lain yang miring dan roboh ke samping sebelum karam, Titanic terendam di bagian depan sebelum retak dan patah menjadi dua. Peristiwa tersebut membuat bagian belakang kapal terangkat tinggi secara vertikal di tengah malam bertaburan bintang. Pemandangan yang luar biasa itu pasti sangat mencekam bagi mereka yang melihatnya secara langsung dari sekoci (Bruce Ismay, presiden perusahaan pemilik Titanic, memalingkan wajahnya karena tidak sanggup untuk melihat). Kapal yang konon tidak akan tenggelam bahkan oleh kuasa Tuhan sekali pun ini kini menyongsong akhir hayatnya, melesat turun ke dalam lautan dan lantas sirna begitu saja. Samudera Atlantik lantas menjadi sunyi kembali setelah mereka yang berenang akhirnya meninggal karena kedinginan (menarik untuk dicatat bahwa ada seorang pemanggang roti selamat dari dinginnya laut karena badannya hangat setelah meminum alkohol sebelum kapal tenggelam).

Pertolongan akhirnya datang beberapa jam kemudian dalam wujud Carpathia. Kapten dan awak kapalnya telah berusaha sebisa mereka, tapi tidak cukup cepat untuk berada di lokasi. Kapal terdekat, Californian, gagal dihubungi meskipun beberapa awak kapalnya sempat mengamati kapal aneh di kejauhan yang disinyalir adalah Titanic, yang tiba-tiba padam lampunya dan menghilang begitu saja. Saya sempat membayangkan, seandainya saja Californian yang sempat memperingatkan Titanic tentang bahaya gunung es di kawasan tersebut itu sempat menerima pesan gawat darurat dari Titanic dan melaju untuk memberikan pertolongan, tapi tentu saja itu tidak pernah terjadi. Sayang sekali.

Dan lebih dari 100 tahun telah berlalu semenjak kecelakaan fatal itu, tapi minat terhadap Titanic tidak pernah pudar, mungkin karena kisahnya yang bercerita tentang keangkuhan manusia yang akhirnya dibayar mahal dengan korban jiwa. Di saat yang sama, Titanic adalah kisah perjuangan, keberanian dan kehormatan dalam menghadapi maut. Selain itu, Titanic juga merupakan sebuah tragedi, sulit dipercaya tapi pernah terjadi. Malam itu, 15 April 1912, adalah suatu malam yang tidak akan terlupakan...

Thursday, November 30, 2017

Monas Di Tiga Zaman Gubernur Jakarta

Monas (Monumen Nasional) adalah salah satu landmark di Jakarta dan bisa juga disebut icon. Karena keberadaannya sebagai icon inilah saya beberapa kali ke Monas. Setiap kali tamu atau kerabat dari luar negeri berkunjung ke Jakarta, pasti saya bawa ke Monas.

Di bawah cawan Monas itu ada diorama-diorama perjuangan indonesia dari zaman kerajaan sampai merdeka. Lumayan menarik karena diorama itu menggambarkan cerita sejarah yang kita pelajari saat di sekolah. Kalau kita naik ke atas, dari api Monas bisa kita lihat pemandangan ring satu Jakarta, mulai dari Istana Presiden sampai Walikota.

Yang ingin saya tulis adalah perbedaan Monas di era tiga gubernur berbedà, yaitu Fauzi Bowo, Jokowi-Ahok-Djarot dan Bapak Anies:

Zaman Bapak Fauzi Bowo
Setelah tinggal di Jakarta sekitar sembilan tahun, saya baru berkesempatan ke Monas karena istri saya mengajak saya pergi. Pertama datang, kesan saya adalah, "wow, lapangannya besar, ya?" Dari gerbang ke tugu Monas, kita harus berjalan kaki. Sekeliling kita semrawut karena banyak yang berjualan. Tukang foto keliling, tukang sewa sepeda dan penjual kaki lima berjajar sampai di depan pintu karcis. Oh ya, kalau mau masuk ke cawannya, pengunjung harus membeli tiket seharga Rp. 5.000 dan pintuk masuknya terletak di seberang Monas, sekitar 20 meter dari tugu. Dari situ kita bisa masuk melewati terowongan. Untuk naik ke atas, tiket senilai Rp15.000, tapi karena lift hanya satu dan lambat, kita bisa antri selama 3 jam. Sangat jauh dengan menara 101 di Taipei yang memiliki lift tercepat di dunia (1km per menit, sangat cepat). Harap maklum.

Zaman Jokowi-Ahok-Djarot
untuk masuk Monas, kita melewati Lenggang Jakarta. Kelihatan perubahan yang sangat jauh dimana penjual makan, toko cinderamata dan lain-lain diatur dengan rapi. Makanan wajib dibeli dengan menggunakan Jakarta One, tapi ada pedagang nakal juga tidak mau menggunakan kartu.

Setelah melewati Lenggang Jakarta, kita bisa jalan kaki ke tugu atau naik mobil wisata ke depan tugu dengan menunjukan kartu Jakarta One. Pemandangan berubah jauh: sangat rapi, aspal mulus dan bebas dari pedagang, jadi tidak malu 'lah membawa tamu ke Monas. Oh ya, di zaman ini kegiatan di Monas dibatasi.

Zaman Bapak Anies Baswedan
Zaman Bapak Anies ini, kebetulan saya belum berkesempatan ke Monas, tetapi telah diberitakan bahwa Monas dibebaskan sebagai ajang kegiatan. Biasanya, kalau sudah bebas begitu, pedagang kembali tidak tertib. Mudah-mudahan Monas tetap terjaga kerapiannya di zaman Bapak Anies.


Tuesday, November 28, 2017

Kembalikan Akal Sehat Sebagai Dasar Pemikiran (Ananda Sukarlan)

Akhir-akhir ini banyak berita yang meliput tentang Kolese Kanisius yang dicap oleh sebagian orang sebagai tempat pencetak alumni yang tidak punya manner. Ada pula isu mau didemo segala. Membaca berita-berita tersebut membuat saya ingin menuangkan pemikiran pribadi saya dalam bentuk tulisan ini.

Menurut saya, kita harus mengerti apa arti kata manner dahulu, baru kita mengatakan seseorang punya manner atau tidak. Selain itu, perlu ditekankan bahwa sangatlah subjektif ketika kita berani mengatakan orang tidak punya manner, tapi kita tidak memberikan waktu dan ruang kepada yang bersangkutan untuk menjelaskan maksud dari tindakannya.

Ananda Sukarlan berjalan keluar (walk out) saat seorang gubernur memberikan pidatonya. Menurut saya, Ananda memberikan teladan manner yang baik. Dia menghargai perbedaan dengan tidak membuat keributan saat orang yang berbeda pendapat dengannya berpidato. Lebih dari itu, Ananda tidak memprovokasi yang lain untuk berjalan keluar. Di sini terlihat bahwa Ananda tidak munafik dengan pura-pura bersikap baik di depan orang yang tidak sejalan pemikirannya. Saya juga menghargai orang-orang yang tidak sejalan dengan seseorang, tapi di depannya bersikap kalem dan tidak menunjukan rasa tidak suka. Mari kita hargai perbedaan sikap setiap orang. Yang terpenting adalah boleh berbeda pendapat tapi jangan lakukan provokasi. Ananda bukan tidak suka dengan gubernur tersebut tapi tidak sependapat dengan cara-cara yang dilakukannya.

Di sini saya bisa lihat bahwa Ananda tidak mengajak orang-orang berdemo karena perbedaan pendapat. Dia juga tidak mengajak orang-orang yang tidak tahu-menahu persoalan tersebut untuk memboikot. Jadi, bagaimana bisa Ananda dianggap tidak punya manner?

Saya ingin sekali bertanya kepada orang-orang yang karena adanya sedikit perbedaan, langsung mengajak demo. Demo itu, meski diijinkan secara hukum tapi kenyataannya sering melanggar hak orang lain (membuat macet, membuat orang yang mau beraktivitas menjadi takut, dan lain-lain). Belum lagi yang lagi trend lain yaitu boikot, sampai orang yang tidak tahu masalah pun ikut-ikutan. Sepertinya di negara kita yang tercinta ini, orang-orang pengecut semakin merajarela, tidak berani lagi melawan atas nama pribadi, tapi harus menggalang massa untuk menyatakan perbedaan pendapatnya. Kalau begitu, di mana letak manner orang-orang yang suka mengajak demo dan boikot tersebut?

Alvin dan teman-teman dalam acara reuni.

Sunday, November 26, 2017

A Taste Of Pontianak

There are things that we see them so often in life we end up taking them as a norm until we are told otherwise. For example, I never realized that the surroundings nearby Pontianak was so flat until my wife pointed out to me right before our plane landed. I also thought the water I used for bathing for the past 22 years was alright until my wife said it actually looked yellowish. The illusion was shattered and things were never be the same again since then.

A plate of Alu's chicken rice.
Photo by Endrico Richard.

It was the same for the so-called chicken rice from Pontianak. Only God knows why it was called chicken rice in the first place when it actually had more pork than chicken. It'd been a misnomer for the longest time and the term was widely used in Pontianak and nobody seemed to question it at all. When Cita Rasa restaurant started selling Hainanese chicken rice in the early 2000s, I remember thinking, "now this is a different looking chicken rice," but it didn't occur to me that the one I ate for almost two decades was perhaps not a chicken rice at all!

For a comparison, the regular Hainanese chicken rice. 

The misleading name aside, it actually tasted really good and was quite popular in Pontianak. It was basically a plate of rice covered with a generous portion of sliced pork meat and sausage, a slice of stewed egg that was neatly cut using a string of sewing thread (at least that's how it was done back then) and then a bit of chicken to justify the name. Once all the ingredients were there, the sticky soup would be poured on top of it. Some vendors would add the decorative but edible cucumbers, but I didn't think it was compulsory, haha.

When I was still living in Pontianak, there were at least three big names to go to when I was craving for chicken rice: Asan, Alu and Akwang. Asan was a bit too far from where I stayed at (Pontianak people had a peculiar definition of far, but let's save that story for another day) and Akwang was too expensive for my wallet, so Alu was a logical choice thanks to the proximity and affordability.

The chicken rice was also uniquely Pontianak (or West Borneo in general). If you ever saw it elsewhere, most likely the stall was opened by somebody from Pontianak. I was told that Asan had a branch in Jakarta and my friend Hardy ever brought me to Akwang's branch in 2014, a day before we did the high school reunion. Alu, on the other hand, was as original as ever, because he migrated to Jakarta and re-opened his business there.

It took me a while to visit Alu again. I went there with my pal Endrico during lunch time, when I had a business trip to Jakarta in early 2016. The feeling was like two estranged friends, separated in life and I got nervous, not really knowing if the chicken rice would be as good as it was. When I reached there, I found it rather amusing that it was now called mixed rice instead of chicken rice. Not exactly the same as a better known Kenanga mixed rice, but at least it sounded about right.

Putri Kenanga, another type of mixed rice. 

I finally had a plate of Alu's chicken rice (oh yes, it's kind of odd to call it mixed rice). Not only it didn't disappoint, it also brought back the good old memories: those days when I rode my bike to Alu for a packet of chicken rice, knowing for sure that I'd a good meal that day. For that sentimental reason alone, I would have gone back there again, but as luck would have it, Alu's daughter-in-law was our high school friend, too!

As Jakarta was often the stop for many of us who were living abroad, where else should a bunch of old friends hang out while having a taste of Pontianak? At Alu's chicken rice stall, of course! So there we were, when we finished our trip to Karawang and got back to Jakarta last year. We went back again this year, a bigger group than before. Nothing beat a short reunion coupled with the local delicacy we knew and loved, really...

The legendary Alu.
Photo by CP.


Cita Rasa Pontianak

Di dalam hidup ini, ada beberapa hal yang kita anggap normal karena terlampau sering kita lihat dan ilusi itu baru buyar ketika orang lain memberitahukan kita sebaliknya. Misalnya saja, saya tidak pernah menyadari bahwa daerah di sekitar Pontianak tergolong datar, apalagi kalau dibandingkan dengan Bandung, sampai saya mendengar komentar dari istri saya saat pesawat mulai mendarat. Saya juga berpikir bahwa tidak ada yang aneh dengan air di Pontianak yang dulunya biasa saya pakai untuk mandi. Belakangan ini saya baru sadar bahwa air ledeng di Pontianak itu kuning warnanya.

Sama halnya dengan nasi ayam di Pontianak. Seorang teman asal Singapura bertanya, kenapa makanan ini disebut nasi ayam padahal lebih banyak daging babinya. Saya lantas tersentak. Ternyata benar juga ucapannya. Selama ini saya salah kaprah dan sepertinya tidak ada yang mempermasalahkan hal ini di Pontianak. Ketika restoran Cita Rasa mulai menjual nasi ayam Hainan di awal tahun 2000, saya dengan polosnya berpikir, "hmm, ini nasi ayam yang berbeda dari biasanya," tanpa pernah menyadari bahwa makanan yang saya santap selama dua puluh tahun terakhir ini mungkin sama sekali bukan nasi ayam!

Meski namanya menyesatkan, nasi ayam Pontianak sangat lezat dan populer. Nasi ayam ini pada dasarnya adalah sepiring nasi yang disajikan dengan irisan daging merah dan sosis babi, telur semur yang dibelah dengan seutas benang jahit (teknik klasik ini dipakai oleh mereka yang berjualan puluhan tahun silam) dan beberapa potong daging ayam. Setelah itu, sup kental akan disiramkan di atas nasi dan daging. Kadang ada juga yang menambahkan dekorasi berupa timun, tapi menurut saya, tambahan ini tidak terlalu penting, haha. 

Ketika saya masih tinggal di Pontianak, setidaknya ada tiga nama besar yang sering dikunjungi para peminat nasi ayam: Asan, Alu dan Akwang. Asan terlalu jauh dari tempat saya tinggal (ya, orang Pontianak memiliki definisi yang unik tentang jauhnya suatu lokasi) dan Akwang terlalu mahal untuk dompet saya, jadi Alu adalah pilihan yang masuk akal karena jaraknya yang dekat dan ramah dengan isi saku. 

Nasi ayam ini juga unik karena hanya ditemukan di Pontianak dan sekitarnya. Jika anda melihatnya di tempat lain, besar kemungkinan bahwa pemiliknya berasal dari Kalimantan Barat. Saya pernah diberitahu bahwa Asan memiliki cabang di Jakarta. Teman saya Hardy pernah membawa saya ke Akwang cabang Jakarta di tahun 2014, sehari sebelum kita reuni. Hanya nasi ayam Alu yang masih dikelola oleh Alu sendiri karena dia pindah ke Jakarta dan kemudian buka lagi di sana.

Hari dimana saya menyantap Alu untuk pertama kalinya di Jakarta. 

Saya sendiri pindah ke Jakarta sejak tahun 2002, namun saya baru sempat mencicipinya lagi 14 tahun kemudian. Saya ke sana bersama teman saya Endrico di tahun 2016, tatkala saya ke Jakarta dalam rangka kerja. Saat saya dalam perjalanan ke sana, sedikit-banyak ada timbul perasaan seperti hendak berjumpa dengan teman yang sudah lama tidak bertegur-sapa dan saya jadi bertanya-tanya, apakah rasanya masih seenak yang saya ingat. Sewaktu kita tiba di sana, yang pertama terlihat adalah tulisan Nasi Campur Alu. Jadi namanya sudah dikoreksi sekarang. Walau sama sekali tidak mirip Nasi Campur Kenanga, setidaknya terdengar lebih tepat. 

Saya akhirnya menyantap sepiring nasi ayam Alu (oh ya, aneh rasanya untuk menyebutnya sebagai nasi campur). Santap siang itu bukan saja tidak mengecewakan, tetapi juga membawa kembali kenangan lama: saat saya bersepeda ke Alu untuk membeli sebungkus nasi ayam dan pulang dengan hati riang dan tidak sabar untuk makan enak. Sedapnya nasi ayam Alu sebenarnya sudah menjadi alasan tersendiri bagi saya untuk kembali lagi ke sana, namun alasan lain yang tidak kalah menariknya adalah karena menantunya juga merupakan teman sekolah saya.

Dari kiri: Alvin, Susanti, Tuty, Susan, Endrico dan Rudiyanto, setelah kita kembali dari Karawang.

Dengan demikian, karena Jakarta seringkali menjadi tempat persinggahan bagi kita yang tinggal di luar negeri, di mana lagi kita sebagai para teman lama bisa berkumpul sambil menikmati cita rasa kampung halaman? Tentu saja di Alu! Jadi di sanalah kita berada, saat kita pulang dari perjalanan ke Karawang tahun lalu. Kita kembali berkumpul di Alu lagi tahun ini, kali lebih ramai dari sebelumnya. Pada akhirnya, tidak ada yang mengalahkan reuni singkat yang disertai dengan makanan lokal yang kita kenal dan sukai dari sejak kecil...

Dari kiri: Angelina dan pacar, Alvin, Mul dan anak, Anni, Susan, Anthony, Sonia, Eday, CP dan Han Kiang.



Tuesday, November 21, 2017

At The Zoo

Outdoor activities such as jungle trekking is way too challenging for me, definitely something that I won't plan for my holiday, but on the other hand, I'm always fascinated by the wildlife. This perhaps explains why zoo visit is often featured in my travelling itinerary. It's like the best way to see tiger without getting mauled by it.

Three brave men and a tiger. Good for them, but I'd prefer to keep some distance!
Photo owned by Bernard Lau.

The lifelong interest was triggered by my Mum. After many bedtime stories about the animals, she eventually brought me to see the real deal. I vaguely remember the Pontianak Zoo, located on Jalan Adi Sucipto, nearby the advertisement board that shaped like a giant tin can of Dancow milk powder. The crocodile looked menacing in its watery cage and there were few bears in the pit. The zoo was very old school and, for the fact that it was badly designed and poorly maintained, perhaps it's a good thing that it is now closed down permanently.

Though it was awful by today's standard, the visit to the Pontianak Zoo had a lasting impression. I was in awe since then, always eager to come back for more and zoo visits quickly became the highlights of my childhood. My next recollection, for the longest time, was this memory of seeing a polar bear in Jakarta. I remember wondering how the polar bear was going to survive the tropical weather, so was the memory real or was I just dreaming then?

First visit to Taman Safari.

It was real, apparently, but I used to think that the zoo was Ragunan, therefore it didn't seem right, because Jakarta was so hot and humid that the polar bear could melt and die of dehydration. Thanks to Wikipedia, I figured out recently that Taman Safari did house polar bears in the past. It made sense, since the weather was cool. Located in Bogor, Taman Safari was the animal theme park where we had to drive through, because the animals roamed freely. It was a brilliant experience, but yet it took me another two decades before I got a chance to visit such theme park again, this time the sequel of the original Taman Safari in East Java, haha.

With Setia (middle) and Alfan (right), visiting Taman Safari II in East Java.
Photo by Endrico Richard. 

Meanwhile, the journey continued and it brought me to the best zoo to date: the Singapore Zoo. I remember visiting Jurong Bird Park at the same time, but apart from the penguins enclosure, I didn't find the bird park enjoyable. Singapore Zoo was the impressive one and throughout the years, it kept evolving and spawning new attractions such as Night Safari and River Safari. The former is like visiting a zoo at night, definitely unique as some animals are nocturnal, which means they are only active after dark. The latter has a river theme with panda's enclosure slotted in the middle of it.

Jurong Bird Park? It looks like one, but I think this was me at the Singapore Zoo.

As an adult, I went to many zoos, from Malacca Zoo to Yangon Zoo. Now, if Singapore Zoo is the best, why would I bother to visit others? First of all, it was only through those visits I ended up concluding that Singapore Zoo is still ranked as number one thus far. Secondly, not even Singapore Zoo has all the animals that I'd like to see. For example, I went all the way to Tama Zoo just because I wanted to see the majestic African elephants (as a bonus, it also had Indian rhinos there). At Ueno Zoo, I saw gorillas for the first time. Same goes for Bactrian camel and takin that I saw at Nanning Zoo and Guangzhou Zoo respectively. Furthermore, the climate varied from one place to another. I had this idea that the animals could behave differently due to this. This theory might or might not be true, but when I was in Guangzhou Zoo during Chinese New Year, I heard the tiger growling from afar for the first time ever and it was loud! To think that it was just a growl and the tiger hadn't roared yet! Anyway, I think the big cat was hungry due to the cold weather in the beginning of spring season, haha.

It was a pity that I didn't go to the London Zoo, one of the oldest zoos in the world, but hopefully I'll have the chance one day. However, if there's one in the bucket list right now, it has to be the Biblical Zoo in Jerusalem. With such a biblical name, I guess it can't go wrong. Is there anybody keen for a trip to Israel?

Joseph and I, at the Yangon Zoo.


Di Kebun Binatang

Saya tidak termasuk peminat aktivitas yang terlalu menantang seperti mendaki gunung atau menjelajah hutan, jadi saya tidak pernah merencanakan kegiatan yang ekstrim seperti itu tatkala berlibur. Kendati begitu, di satu sisi, saya selalu menyukai dunia fauna sehingga kebun binatang seringkali menjadi salah satu tempat tujuan perjalanan saya. Bagi saya, kebun binatang adalah tempat ideal untuk menyalurkan hobi tanpa resiko diterkam harimau.

Minat yang satu ini ditanamkan sejak dini oleh ibu saya. Dia suka mendongeng tentang gajah, jerapah dan hewan lainnya sewaktu saya masih balita, kemudian dia membawa saya berkunjung ke kebun binatang untuk pertama kalinya. Kalau saya tidak salah mengingat, Kebun Binatang Pontianak terletak di jalan Adi Sucipto, tidak jauh dari papan iklan berbentuk kaleng susu Dancow. Buayanya berendam dalam air dan dikurung di balik jeruji besi. Selain itu ada juga kandang yang berbentuk seperti sumur sehingga kita harus memanjat dan melihat beberapa beruang di bawah sana. Kebun binatang yang kecil, tidak hewani dan juga tidak terawat ini sekarang telah ditutup selamanya.

Junaidi dan jerapah, sewaktu kita berkunjung ke Kebun Binatang Bandung.

Meski terlihat buruk untuk standar masa kini, kunjungan ke Kebun Binatang Pontianak itu memberikan kesan pertama yang abadi. Sejak itu saya terkesima dengan fauna dan tidak pernah menolak bila diajak ke kebun binatang. Kenangan saya yang berikutnya adalah ingatan tentang beruang kutub di Jakarta. Saya ingat betul bahwa saat itu saya merasa heran, bagaimana bisa beruang kutub bertahan di daerah tropis, jadi apakah kenangan itu benar terjadi atau saya hanyalah bermimpi?

Setelah diselidiki, saya tidak sepenuhnya salah ingat, namun selama ini saya selalu menyangka bahwa saya melihat beruang kutub di Ragunan, oleh karena itu terasa tidak masuk akal, sebab Jakarta sangat panas dan bisa-bisa beruang kutub itu mati meleleh karena cuaca di Jakarta. Berkat Wikipedia, saya akhirnya menyadari bahwa kenangan itu terjadi di Taman Safari. Karena letaknya yang tinggi di daerah pegunungan, iklimnya dingin dan tidak terlalu buruk untuk beruang kutub. Taman Safari terletak di daerah Bogor dan merupakan taman yang dijelajahi dengan mobil karena hewan-hewannya bebas berkeliaran. Sungguh pengalaman yang berbeda dari kebun binatang biasa, namun saya hanya berkesempatan untuk mengunjungi Taman Safari lagi dua puluh tahun kemudian, kali ini kita ke Taman Safari II di Jawa Timur, haha.

Dari kiri: Markus, Endrico, Lina, Andy, Alfan, Anthony. Fendy dan Sugi.

Sementara itu, petualangan terus berlanjut dan saya akhirnya mengunjungi kebun binatang terbagus sampai sejauh ini: Kebun Binatang Singapura. Saya juga berkunjung ke Jurong Bird Park pada saat yang hampir bersamaan, namun selain pesona kandang penguin yang terbuat dari kaca, saya cenderung tidak begitu menyukai taman burung. Kebun Binatang Singapura jauh lebih berkesan, selalu berinovasi dan telah melahirkan dua tempat wisata baru. Yang pertama adalah Night Safari, kebun binatang malam hari yang tentunya unik karena menampilkan binatang yang aktif di malam hari, sedangkan River Safari adalah kebun binatang dengan tema sungai dan juga memiliki kandang khusus untuk panda.

Yani dan Linda di River Safari.

Setelah dewasa, saya masih tetap mampir ke berbagai kebun binatang, mulai dari yang di Malaka sampai dengan yang di Yangon. Nah, jika yang di Singapura adalah kebun binatang terbagus, kenapa saya masih saja mengunjungi kebun binatang lainnya? Pertama-tama perlu dijelaskan bahwa saya bisa berkesimpulan bahwa Singapura memiliki kebun binatang terbaik karena saya mempunyai perbandingan setelah melihat yang lain.

Kedua, perlu ditekankan juga bahwa kebun binatang terbaik pun tidak sanggup mengoleksi semua fauna. Karena alasan inilah saya tetap mengeksplorasi kebun binatang lainnya. Misalnya saja, sewaktu berada di Jepang, saya mampir ke Kebun Binatang Tama karena ingin melihat gajah Afrika (sebagai bonus, di sana juga ada badak India yang belum pernah saya lihat sebelumnya) dan juga ke Kebun Binatang Ueno yang terkenal dengan gorilanya. Sama halnya sewaktu saya berada di Nanning dan Guangzhou, pada kesempatan tersebut saya melihat unta berpunuk dua dan takin.

Yani and penyu, ketika kita di Kebun Binatang Nanning.

Alasan lainnya, dan yang ini mungkin hanya dugaan saya semata, adalah iklim yang berbeda di tempat yang berbeda sehingga sifat binatang yang tinggal di sana pun berbeda. Saya tidak pernah mendengar raungan harimau sebelumnya sampai saya menginjakkan kaki di Kebun Binatang Guangzhou. Suaranya begitu keras dan terdengar dari kejauhan. Saya rasa harimau tersebut mungkin lapar karena dinginnya cuaca di saat permulaan musim semi, haha.

Sangat disayangkan bahwa saya tidak sempat ke Kebun Binatang London saat saya berlibur ke Inggris, tapi saya berharap masih ada kesempatan untuk itu di lain kali. Yang benar-benar ingin saya kunjungi adalah Kebun Binatang Biblical di Yerusalem. Dari namanya saja terdengar menarik karena berhubungan dengan kitab suci. Jadi ada yang berminat ke Israel?

Bersama Linda di Kebun Binatang Tama.

Monday, November 20, 2017

Unpredictable Journey To Hong Kong (Part 2)

You know what? When I was in Hong Kong, I went to two government agencies because I had to assist my auntie. One was near to my aunt's flat and the other was at the city centre. When we were there, we saw a lot of cameras. I thought I was going to be interviewed! But for better or worse, nothing actually happened to me, haha. 

So there we were, inside this main office. There were sign boards saying, "no speaking, be silent," which made me a little nervous as I was waiting for my name to be called, because it felt very... uncomfortably official.

Macau!

After a long wait, apparently the officer called my aunt's name instead mine. I felt relieved! Once done, we went to the park nearby for a walk and taking pictures. On the last day, we went for shopping and then we went back home to Indonesia.

We thought the problem was sorted now, but wait, on the following year, precisely in the mid October, we were contacted again by my aunt from Hong Kong, saying that I had to go there to sign something on her behalf.
      
Typical flat in Hong Kong.

So we went back again, this time we brought so many things from Pontianak to satisfy my aunt's craving for our local delicacies. I arrived there and the next morning, my aunt and I immediately went for the signing. I said to myself, "hmm, what an expensive signature."

We went to Macau afterwards, having fun there, but by the time we went back to Hong Kong, we had a little problem with the authority there. We were asked by them, "do you have your tickets to go back to Indonesia?" I said yes, but we forgot to bring the tickets and we left them at my aunt's.

But the officer was adamant and we were not prohibited to enter Hong Kong until we showed the return tickets! My aunt rushed back to get the tickets and we were eventually allowed to enter Hong Kong. It was a day to remember, really! Guys, if you travel to Macau and plan to go home via Hong Kong, do bring the return tickets along with you! 

The entourage.

     

Friday, November 17, 2017

Moreton Island

Pulau Moreton terletak di sebelah timur laut dari Brisbane, sebuah pulau resort yang dikenal sebagai Tangalooma. Pulau ini bisa dicapai dengan menggunakan feri di Brisbane Harbour. Pulau ini dikelilingi air laut tenang yang sebening kristal. Di pulau ini terdapat banyak penginapan dan aktifitas yang menarik. Kebetulan saya dan Mama berkesempatan mengunjungi pulau yang sangat indah ini. Saya akan berusaha menceritakannya lewat tulisan ini supaya pembaca tergoda untuk pergi ke pulau ini.

Kami berangkat dari Brisbane Harbour dengan Dolphin Express, kapal feri yang mirip seperti kapal feri Batam-Singapura. Sampai di pulau, kita check-in dan langsung ke bibir pantai untuk mengikuti aktifitas utama di pulau ini, yaitu memberi makan lumba-lumba liar. Yah, liar! Tiap sore lumba-lumba akan ke pinggir pantai untuk makan dari pemberian pengunjung.

Yang saya salut tuh petugas di Tangalooma resort sangat memperhatikan kesehatan lumba-lumba liar itu. Mereka memastikan bahwa tangan kita harus dicuci dengan bersih. Setelah memberi makan lumba-lumba, kita akan diarahkan ke restoran. Di sini saya cukup kaget dengan porsi makan orang Australia. Saya pesan stik ayam dan setelah dihidangkan, ternyata porsinya sangat besar, kira-kira setengah ekor kalkun (saya juga alami hal ini pas sedang membeli kentang goreng: porsinya besar dan harganya juga ok, hanya 210.000 rupiah).

Besoknya kita langsung naik mobil 4WD khusus jalur offroad di padang pasir untuk menuju tempat sand boarding. Pertama saya pikir, wah, bisa lecet-lecet nih!! Ternyata pas turun, pasirnya sangat halus. Langsung saja, tanpa babibu lagi, saya naik ke bukit lalu main sand boarding. Sanggupnya cuma dua kali, hehe. Malu juga, tak kuat naik bukit pasir (cobain dulu baru ketawa. Capeee, tau).

Sesudah sand boarding, sebagian teman ada yang main parasailing. Saya tidak mau ikut karena sudah sering main di Bali dan Pattaya. Menurut yang naik parasailing, perairan di situ memang sangat jernih. Ikan-ikan di bawah kelihatan dari atas. Paus, ikan hiu dan lain-lainnya juga. 

Selain karena sudah pernah, parasailing di sini sangat mahal. Itu jadi pertimbangan juga, jadinya tidak ikut main, hehe. Kita justru main ATV ride. ATV di sini cukup menantang track-nya: masuk hutan dan juga naik ke ketinggian sehingga posisi berkendara menjadi vertikal. Sangat menarik.

Dan waktu yang tersisa setelah aktifitas di atas pun dipakai untuk bersantai menikmati pulau yang sangat indah ini...

Ready for sand boarding!