Total Pageviews

Translate

Tuesday, September 12, 2017

Supa Camp

(co-written with Bernard Lau)

I have this close friend of mine whom is a Singaporean and I have known him for more than a decade. As he is a couple of years older and a much smarter man than I am, I tend to look up to him like a big brother I never had. We do meet up on a regular basis and always have a lot to talk about, practically anything under the sun, from nonsense to way of life.

In my humble opinion, he is definitely one charming fellow, a grand master of hyperbole and exaggeration. He loves to integrate the word supa (This word is derived from popular Japanese animation called One Piece and was introduced by the human cyborg, Franky) into most of his sentences/phrases. It suits him well, for he always has so many fascinating stories to share and the word supa simply amplifies the creativity and imagination behind his stories. It was also through one of these stories that I came to know about the existence of this profound terminology called Supa Camp

Supa Camp is a way of life and the antithesis of Ultra Spends (while all these Singlish jargons may sound confusing, but all will be clear in the latter part of this article, so bear with me). To put things in perspestive, these two terms, Supa Camp & Ultra Spends, come as a close resemblance to the Yin & Yang philosophy. Having said that, before one can really understand the abstract meaning of Supa Camp, one has to know about the evil counterpart: Ultra Spends.

Ultra Spends is basically anything which concerns your expenditures and to certain extent, if uncontrolled, will lead to a life of a spendthrift and possibly edge closer to bankruptcy. In the case of my buddy, it is simply inevitable. Over the decade of our friendship, I had witnessed more than a couple of unfortunate life events which devastated his financial situation. He also carried the burden of being the only child as well as the sole breadwinner for his two ailing parents. Coming out through these events, there were several habits which he had indulged further such as food, booze, parties, holidays, gambling, etc. 

Initially, I expected that he would sooner or later overcome his setbacks and snap out of it. I think it was quite obvious that he was heading into troubles. Being a smart man himself, he was very much aware of the situation, too. Much to my surprise, he actually carried on with the extravagant activities, associating himself deeper and deeper into the abyss of Ultra Spends. It was puzzling and I was wondering why. We eventually discussed about it and the reason behind his actions was rather bizarre. It was a strange and convoluted logic, but not without good and intriguing explanation.

My friend told me that, close though we are as friends, it doesn't change the fact that me being an Indonesian and him being a Singaporean results in the two us having different sets of life values. This is the fundamental difference between us. When I first came to Singapore, the idea was to make a better living. My original priorities fixated in earning and saving as much as I could, therefore I subconsciously developed this constant reminder in me that I didn't come here to spend. Knowing fully well that I have a natural choice to return to my home country to retire for old age one day (although this subject is pretty much debatable these days, since both of my daughters were born and growing up here now), I don't conform to the lifestyle which the locals are doing.

The same can't be said about my friend's life because this is his home country. His whole life is bounded here and, by his own admission, he grew up conforming to the Ultra Spends lifestyle here. That being said, life in Singapore is indeed that peaceful and to the boundary of getting bored, so a little bit of booze will definitely help to generate some excitement and alleviate any stress. This delicate situation of Ultra Spends persisted for a couple of years and with him living in a state of denial, he was oblivious to his financial independence. Come one fine day where the gloomy clouds dispersed and the cold hard reality kicked back into his brain, this was when Supa Camp came into action. 

Supa Camp is simply a desperate act to adopt a series of extreme drastic measures in order to cut down on expenses. It is a self-imposed economic austerity. Some known actions involved: consuming the free cup noodles from company's pantry for lunch or dinner; having 6 pieces of kaya bread for dinner at home (three pieces each night); abstaining from all holiday trips; making known to all the friends that you do not have much money for Ultra Spends after paying off the usual family and personal commitments on monthly expenses; requesting for more Supa Chia (it means lavish treats regardless of lunch or dinner) sessions from some friends; and being home bound for almost everyday for free online dramas/animes.

The duration of Supa Camp exercise is pretty much dependent on how dire the economical situation is. In his case, several months of Supa Camp are likely to restore some life back to his balance of incomes and expenditures. One of the beauty perks of Supa Camp is that you will be sober and be practical for a long time. It's not without any downside, though. You may end up as a binge-watching addict that lacks of sleep and is zombified from the uncontrolled dramas/animes chasing through the late nights.  

The moral of the story is, living in a first world country does not mean anyone will be free from problems and worries. In fact, life can be more complicated, all thanks to the fast-paced and futuristic lifestyle here. There are always problems everywhere, and some, like the case study we have here, are genuinely self-inflicted. However, it is also good to know that there is always a way to counter that. And so, there you goes, the way of Supa Camp, which can be tailor-made to reach new heights of enlightenment in this modern world...

Yours Truly and Mr. Lau.

Supa Camp
(ditulis bersama Bernard Lau)

Saya memiliki seorang teman akrab berbangsa Singapura yang sudah saya kenal lebih dari sepuluh tahun lamanya. Karena dia beberapa tahun lebih tua dan tentunya lebih pintar, saya selalu memandangnya sebagai seorang abang yang tidak pernah saya miliki. Kita sering bertemu dan berbicara tentang apa saja, mulai dari banyolan hingga pandangan hidup.

Menurut pendapat saya, Bernard ini seorang yang memiliki kepribadian menarik. Dia jagonya hiperbola dan seringkali berlebihan sehingga terlihat lucu. Dia paling suka menambahkan kata supa (kata yang biasanya diucapkan oleh Franky dari serial One Piece) dalam setiap kalimatnya. Gaya bahasa ini cocok untuknya, sebab dia memiliki banyak cerita dan kata supa tepat sekali untuk membumbui kreativitas dan imajinasinya. Dari salah satu ceritanya inilah konsep Supa Camp terlahir. 

Supa Camp adalah gaya hidup sekaligus obat penawar dari Ultra Spends (ya, kadang Singlish memang semena-mena dan membingungkan, tapi semua ini akan jelas nanti, jadi baca saja terus). Sebagai perbandingan, Supa Camp & Ultra Spends itu tak ubahnya seperti Yin dan Yang. Oleh karena itu, sebelum seseorang bisa memahami Supa Camp, terlebih dahulu ia harus belajar tentang sisi jahatnya: Ultra Spends.  

Pada dasarnya, Ultra Spends adalah semua hal yang berkaitan dengan pengeluaran dan bila tidak terkontrol, bisa menjadi besar pasak daripada tiang atau bahkan menyebabkan kebangkrutan. Dalam kasus teman saya ini, boleh dikatakan Ultra Spends tidak bisa terelakkan olehnya. Selama lebih dari sepuluh tahun kita bersahabat, saya menyaksikan bagaimana beberapa kisah yang kurang menyenangkan menimpa hidupnya, membuat dia terjepit dalam masalah keuangan. Dia juga menanggung beban sebagai seorang anak tunggal dan satu-satunya pencari nafkah untuk kedua orang tuanya yang sakit-sakitan. Sebagai akibat dari berbagai peristiwa ini, timbul beberapa kebiasaan seperti hobi makan, minum minuman keras, pesta-pora, jalan ke luar negeri, berjudi dan lain sebagainya. 

Awalnya saya mengira dia akan bisa keluar dari masalah finansial ini. Saya rasa cukup jelas bahwa dengan gaya hidupnya ini, cepat atau lambat dia akan kesulitan keuangan. Sebagai orang yang cerdas, dia sendiri sadar akan situasinya. Yang mencengangkan adalah dia justru terjerumus semakin dalam ke jurang Ultra Spends. Ini sangat membingungkan dan saya tidak habis berpikir kenapa. Kita lantas berdiskusi dan alasan kenapa ia semakin terpuruk sungguh aneh tapi nyata. Logikanya campur-aduk, tapi memiliki penjelasan yang menarik untuk disimak. 

Bernard mengatakan kepada saya, walaupun kita adalah teman dekat, ini tidak mengubah kenyataan bahwa saya adalah orang Indonesia dan dia adalah orang Singapura. Dalam segi pemikiran dan gaya hidup, kita jelas berbeda. Ini adalah perbedaan paling mendasar di antara kita sebagai dua orang teman. Ketika saya pertama datang ke Singapura, tujuan saya adalah untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Prioritas utama saya ketika itu adalah mencari uang dan menabung, karena itu secara tidak sadar saya selalu mengingatkan diri saya sendiri bahwa saya tidak di sini untuk berfoya-foya. Adanya pemikiran bahwa suatu hari nanti saya akan pensiun di negeri sendiri (topik ini agak rumit sekarang, terutama karena dua anak saya lahir dan tumbuh di Singapura) membuat saya tidak mengikuti gaya hidup orang Singapura. 

Hal yang sama sayangnya tidak bisa diterapkan oleh teman saya karena dia adalah orang Singapura di negaranya sendiri. Seluruh hidupnya berakar di sini dan dia tumbuh, berpikir dan berpola hidup seperti orang Singapura pada umumnya, termasuk bergaya hidup Ultra Spends. Ini juga tidak lepas dari fakta bahwa Singapura adalah negara yang sangat aman sampai mendekati ambang batas membosankan, karena itu sedikit alkohol pasti membantu untuk menyegarkan suasana dan membuang stress. Terjebak dalam pola hidup seperti ini sementara dia terombang-ambing dengan berbagai peristiwa yang menimpanya, dia mengabaikan keadaan finansialnya. Ketika tiba harinya ia terbangun dari mimpi buruknya, dia tahu dia harus melakukan sesuatu. Di saat seperti inilah Supa Camp menjadi pedoman dan gaya hidup.

Supa Camp adalah aksi dalam mengambil beberapa langkah drastis yang ekstrim dalam rangka memotong anggaran pengeluaran. Dengan kata lain, ini adalah gerakan pengencangan ikat pinggang. Beberapa aksi nyata yang diambil adalah sebagai berikut: makan Pop Mie yang tersedia di kantor; makan enam potong roti srikaya sebagai santapan malam (tiga potong per malam); tidak keluar negeri; memastikan semua teman dekat tahu bahwa kita sedang tidak punya uang untuk Ultra Spends setelah membayar pengeluaran bulanan; meminta Supa Chia (ditraktir baik makan siang maupun malam) dari teman; dan tinggal di rumah setiap sehari, sepulang dari kantor, untuk menyaksikan drama atau anime gratis. 

Durasi Supa Camp tergantung dari seberapa kritisnya situasi ekonomi yang sedang terjadi. Dalam kasus teman saya ini, beberapa bulan Supa Camp bisa membantu memulihkan situasi ekonominya. Keunggulan dari Supa Camp antara lain adalah, pelakunya cenderung sangat waras karena tidak mabuk oleh alkohol dalam waktu yang lama. Ini lantas tidak berarti bahwa Supa Camp tidak memiliki kekurangan. Pelaku Supa Camp sangat mungkin menjadi pecandu film drama dan anime dan kurang tidur akibat menonton hingga larut malam atau bahkan sampai menjelang pagi. 

Moral dari cerita adalah, tinggal di negara maju tidak berarti kita bebas dari masalah. Justru sebaliknya, hidup bisa menjadi lebih rumit karena dampak kemajuan teknologi dan cepatnya kehidupan di sini. Masalah selalu ada di mana-mana dan, dalam studi banding kita ini, kasus ini adalah karena ulah sendiri. Akan tetapi untungnya kita ada cara untuk mengatasinya. Kita persembahkan di sini, Supa Camp, gaya hidup yang bisa membantu seseorang mencapai pencerahan di dunia modern...  





No comments:

Post a Comment