Total Pageviews

Translate

Monday, September 18, 2017

The Dancer

When I wrote about the musicals, I mentioned that the culture of Pontianak people mainly evolved around local cuisines. Anything else was either secondary or unheard of, therefore I was curious about how this friend of mine ended up doing something as exotic as belly dancing. I mean, it was a tradition from Middle East, a land faraway from Pontianak, where it had names that sounded as alien as they could be, such as Raqs Baladi or Raqs Sharqi. How on earth that my friend Lianna became a belly dancer?

I had a chat with her and was informed that she has always been passionate about dancing. She loved it since she was very young and when she was in kindergarten, she performed with fellow students Wiwi and Lilies at the church. They dressed up as white flowers and did a dance with butterfly theme. Years later, she also participated in the high school graduation party. Things were quiet down afterwards, especially when marriage and kids came along, but her lifelong passion kept burning inside. Then one fine day, when she could already afford me-time, the long lost rhythm found her again.

It started as another day in Kuching, the city where she lived in. Lianna was at a gathering with friends when one of them responded to the music with some interesting move that attracted her attention. "It was called shoulder shimmy," said her friend when she asked, "one of the moves in belly dancing." This eventually led her to a free trial class, to a dance studio called Right Steps and left her with excruciating hip pain when she woke up the next day. Nevertheless, the excitement lingered. She would come back for more to learn belly dancing.

The belly dancer.

For Lianna, belly dancing as an exercise helped to shape her body and relieve stress. It also built up her confidence. With revealing costumes and what perceived as seductive moves, belly dancing was easily misunderstood. People often forgot that it was an art form with punishing moves of shoulder thrusting and hip shaking. It took a lot of hard work to master a series of breathing techniques, steps and moves such as hip shimmy, undulation or chest slide (go check it out on YouTube and tell me what you think, because I did exactly that and immediately gave up just by watching it). For the fact that she could do that difficult moves, she had all the rights to be confident.

People progressed when they did the things they liked, because the hobbies didn't feel like chores. In Lianna's case, she practiced her dance routinely. She even did it at home, in front of the mirror of her dressing table. She entered a competition or two afterwards. The first time she did that, she was so nervous that she was even struggling to smile naturally before the audience. She got better, of course. She also joined another competition in KL, this time with a group called Hidden Spirit. Other highlights of her career included the mother and daughter performance. Yes, her daughter began practicing when she was six years old and few years later, she rocked the stage with her mother!

It's been six years since Lianna first took up her lesson. She is now a co-instructor at Soul Dance Studio, teaching level two for adults and kids (by the way, just for our information here, the masculine form of belly dancing actually exists for men). Meanwhile, the landscape in Kuching is changing slowly. It is better than few years ago, but it is still long way to go for belly dancing to be fully appreciated as an art form. It's worse in Pontianak, her hometown, where she performed once before to a lukewarm reception. Belly dancing is still something that is frowned upon in Pontianak and Kuching, but Lianna is feeling optimistic that the next generation should be able to accept it. While waiting for the day to come, she'll carry on dancing, pursuing her lifelong passion...

Performing on stage.

Sang Penari 

Ketika saya menulis tentang drama musikal, saya menyinggung tentang budaya Pontianak yang tidak jauh dari makanan lokal, seakan-akan hal lain adalah nomor dua atau bahkan tidak pernah terdengar sama sekali. Oleh karena itu, saya sungguh penasaran, bagaimana teman sekolah saya yang satu ini bisa ikut serta dalam tari perut yang eksotis? Ini 'kan tradisi Timur Tengah, tempat yang jauh sekali dari Pontianak, dimana tarian ini memiliki berbagai nama yang asing bagi telinga kita, seperti Raqs Baladi atau Raqs Sharqi. Bagaimana ceritanya teman saya Lianna bisa menjadi penari perut?

Saya lantas chatting dengannya dan baru saya ketahui bahwa dari dulu dia memang senang menari. Dia menggemari hobi ini dari sejak kecil dan sewaktu di TK, dia pernah tampil bersama di gereja bersama Wiwi dan Lilies, teman-teman sekolahnya. Di kala itu, mereka mengenakan kostum bunga dan membawakan tarian bertajuk kupu-kupu. Bertahun-tahun kemudian, Lianna juga berpartisipasi dalam pesta perpisahan SMA. Aktivitas yang ia sukai ini bagaikan berakhir setelah ia memulai kehidupan di Kuching dan sibuk dengan pernikahan serta anak-anak. Kendati begitu, keinginan untuk menari tidak pernah sirna dari dalam hatinya. Suatu ketika, setelah terbiasa dengan perannya sebagai seorang istri dan ibu sehingga bisa menyisihkan waktu luang untuk dirinya sendiri, ia menemukan kembali sesuatu yang hilang dalam hidupnya. 

Semuanya bermula seperti layaknya hari biasa di Kuching, tempat dimana Lianna tinggal dan berumah tangga sekarang. Dia sedang berkumpul dengan teman-temannya ketika salah satu dari mereka tiba-tiba melakukan satu gerakan bahu mengikuti irama musik. Hal ini menarik perhatiannya dan ia lalu bertanya. "Ini namanya shoulder shimmy," jawab temannya, "salah satu gerakan dalam tari perut." Percakapan ini lantas berlanjut dengan satu kelas uji coba gratis dan juga membawanya sanggar tari bernama Right Steps serta menyisakan pinggang yang pegal keesokan harinya. Namun Lianna menyukainya. Dari situlah ia mulai menekuni tari perut. 

Bagi Lianna, tari perut adalah olahraga yang bermanfaat dalam membentuk badan dan menghilangkan stress. Aktivitas ini juga memberikan rasa percaya. Memang, dikarenakan oleh kostum yang terbuka dan gerak tari yang  gampang disalahpahami sebagai gerakan menggoda, banyak orang awam yang gagal paham tentang tari perut. Seringkali orang lupa bahwa tari perut adalah seni dalam wujud tarian rumit yang mengandalkan gerakan bahu dan pinggul. Sang penari perlu berlatih keras untuk menguasai pernapasan, langkah dan gerakan tari perut seperti hip shimmy, undulation atau chest slide (coba liat di YouTube dan baru berikan komentar sesudah itu, karena saya sendiri sudah cek dan langsung menyerah begitu menyaksikan gerakan-gerakan tersebut). Masuk akal rasanya bila Lianna tambah percaya diri karena kemampuannya dalam menari.

Orang cenderung lebih cepat maju dalam bidang yang mereka sukai, sebab tidak terasa seperti pekerjaan. Sama halnya dengan Lianna, dia berlatih secara rutin karena berminat. Dia bahkan berlatih di rumah, di depan meja rias, untuk memperhatikan pantulan gerakannya. Setelah mantap, dia pun ikut serta dalam kompetisi. Pertama kali dia berlomba, dia bahkan perlu berjuang untuk tersenyum secara alami karena terlampau gugup. Lama-kelamaan Lianna pun terbiasa. Dia juga pernah turut berpartisipasi dalam lomba di Kuala Lumpur, kali ini bersama grup yang bernama Hidden Spirit. Kenangan lain dalam tampil di atas panggung adalah saat ia pentas bersama putrinya. Ya, putrinya mulai berlatih saat umur enam tahun dan beberapa tahun kemudian, ia menari di depan penonton bersama ibunya!

Tidak terasa sudah enam tahun berlalu sejak Lianna mulai berkecimpung dalam seni tari perut. Sekarang dia adalah salah satu instruktur di Soul Dance Studio, membimbing baik dewasa maupun anak-anak dalam level dua tari perut. Sementara itu, dunia tari perut pun perlahan-lahan berubah. Di Kuching, seni ini mulai mendapat tanggapan yang lebih baik, walau mungkin masih butuh waktu lama sebelum tari perut dianggap sebagai bagian dari budaya dan hiburan lokal. Di Pontianak, tempat kelahirannya sekaligus tempat dimana dia pernah tampil sekali di hadapan publik, masih belum siap untuk menerima seni ini. Singkat kata, tari perut bisa dikatakan masih membuat banyak orang berkerut dahi karena terlalu seksi untuk dikonsumsi massa, namun Lianna percaya bahwa generasi muda akan lebih bersikap positif dan menerima. Sambil menunggu tibanya hari tersebut, Lianna akan tetap menari, mengikuti kata hati dan hobinya...

Sang Penari.



No comments:

Post a Comment