Total Pageviews

Translate

Sunday, November 18, 2018

Hal Mengajar

Kata mengajar adalah kata yang tidak asing lagi bagi kita, tapi menarik untuk dicatat bahwa ada banyak perbedaan tentang definisi maupun cara-cara dalam penerapannya. Mengajar adalah suatu kegiatan yang boleh dikatakan susah-susah gampang. Jika kita menemukan caranya, yang susah akan menjadi gampang.

Sebelum membahas lebih lanjut, saya ingin berbicara sedikit tentang aktivitas saya yang berhubungan dengan mengajar. Saya mengajar sejak saya SMP, jadi saya sudah mengajar hampir 25 tahun. Mengajar menjadi hobi yang boleh dikatakan sebagai the way of life. Secara umum, mengajar artinya menyampaikan pengetahuan pada anak didik. Bagi saya pribadi, mengajar adalah suatu proses dimana kita berbagi pengetahuan dan mengatur supaya apa yang mau kita sampaikan bisa diterima dengan baik tanpa paksaan. Dengan kata lain, yang diajar tahu bahwa pelajaran itu untuk kebaikannya.

Berbagi pengetahuan artinya kita sebagai pengajar juga belajar dari orang yang kita ajari. Mengajar bukan hanya tentang bagaimana mengetahui sesuatu, tapi juga bagaimana sesuatu itu bisa diolah dan diterapkan. Sudah menjadi harapan pendidik bahwa muridnya bisa mengerti dan melampaui apa yang telah diajarkan. Kita bisa dikatakan berhasil jika orang yang kita ajari bisa menjadi lebih hebat dari kita.

Saya percaya setiap orang, baik secara sadar ataupun tidak, senantiasa ingin dituruti. Nah, metode itu yang saya pakai, apalagi saat mengajar anak-anak. Mereka pasti suka jika kita ikuti kemauan mereka. Ini artinya saat saya mengajar, saya akan coba pahami mereka dan mengikuti apa maunya mereka. Apabila mereka sudah merasa nyaman, mereka akan dengan sukarela mengikuti kita. Contohnya, anak mau main tapi kita ingin ajak dia mandi. Kita ikuti dulu mereka dan temani bermain. Setelah dituruti kehendaknya, maka kita pun akan lebih mudah mengajaknya untuk mandi.


Untuk mengajar seseorang, kita perlu menyesuaikan irama sehingga mudah bagi kita untuk mengarahkan apa yang kita mau. Saat pertama kali bertemu dengan anak yang baru saya mau ajari, saya akan berkenalan dulu dan saya biarkan dia menuntun dengan caranya.

Banyak jenis cara belajar dan tidak ada yang salah. Yang ada adalah apakah cara itu efektif untuk yang bersangkutan. Ada harus duduk diam baru bisa konsen dan ada pula yang musti bergerak. Semuanya tidak ada masalah bagi saya. Yang saya rasakan tidak tepat adalah yang belajar tanpa mengerti dan hanya mengejar nilai, jadi semuanya dihafal tanpa dimengerti apa aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Memang saya akui juga bahwa banyak sekali pelajaran di Indonesia yang menurut saya itu tidak perlu alias boleh dikatakan sampah. Misalnya tanggal berapa Pahlawan P meninggal. Bayangkan saja, mungkin tanggal meninggalnya kakek saya pun tidak saya ingat, apalagi kakek orang lain yang sudah wafat ratusan tahun yang lalu.

Sekarang saya akan bahas tentang penilaian. Terkadang seringkali saya dibilang tidak adil di dalam memberikan penilaian maupun cara mengajar. Sebagai contoh, untuk soal yang sama, dua murid yang melakukan kesalahan dalam mengerjakannya bisa memperoleh komentar yang berbeda. Ada murid yang mendapatkan komentar, "you're great, keep trying." Tapi ada juga yang dapat komentar pedas, "try checking where your brain is."

Kenapa bisa demikian? Ini karena perbedaan level seseorang dan orang lain. Jika seorang anak yang berumur 3 tahun mengerjakan soal 5+7 dan dia memberikan jawaban 15, saya tidak akan memberikan nilai, melainkan motivasi dan dorongan positif. Akan tetapi jika seorang anak SD kelas 5 melakukan kesalahan yang sama dan berulang, saya akan memberikan teguran keras seperti, "come on, are you kidding me?"


Ada juga murid yang saya tanya, di mana dia meletakkan otaknya. Saya memberikan komentar pedas ini jika anak tersebut berbicara tanpa berpikir, menjawab dengan cepat tapi salah dan setelah habis menjawab baru bergumam, "eh..." Saya percaya kalau kita tidak tahu apa yang kita lakukan atau cara kita salah, kita tidak akan merubahnya. Oleh karena itu saya ingin murid yang bersangkutan sadar bahwa otak harus diletakkan pada tempatnya, yaitu di dalam kepala, sehingga kita berpikir dulu baru menjawab.

Walau keras kesannya, maksud saya adalah jangan sampai otak kita diletakkan di dengkul, jadinya menjawab dulu baru turun ke bawah untuk berpikir. Orang seperti ini selain berucap tanpa berpikir juga suka membantah setelah kita beritahukan yang benar, sebab kecenderungannya adalah berkomentar sebelum mencerna. Banyak sekali orang-orang seperti ini.

Sebaliknya, bilamana anak murid usia 3 tahun yang melakukan kesalahan, saya tidak menyalahkan tapi malah saya puji. Sekali lagi ini karena levelnya memang sampai di situ. Dia berani mencoba dan bukannya berkata tidak bisa, jadi motivasi adalah bentuk dari penghargaan terhadap usahanya.

Terkadang anak-anak tidak berani berpikir di luar kebiasaan karena pengaruh orang tua juga. Saya punya pengalaman dengan seorang murid yang dengan serius menceritakan cita-citanya saat saya bertanya hendak jadi apa dia suatu hari nanti. Awalnya dia mencoba menuliskan cita-citanya dan setelah 30 menit berlalu, dia tidak menghasilkan apa pun. Dia jujur berkata bahwa dia tidak tahu. Saya lantas menganjurkan padanya, coba pikirkan lagi dan lain kali beritahu saya. Di hari berikutnya, saat saya memberikan kursus padanya lagi, dengan semangat dia berkata bahwa dia sudah tahu cita-citanya.

Akhirnya saya dengarkan dia bercerita tentang keinginannya menjadi peneliti yang menciptakan dinosaurus dari telur yang dibuat. Saya mendukung dan saya katakan, "bagus, kalau begitu, sekarang apa yang harus kamu lakukan supaya bisa jadi peneliti hebat?" Anak ini pun menjawab bahwa dia musti belajar supaya pintar.

Namun rupanya sang ibu juga turut mendengarkan apa yang anaknya ceritakan kepada saya. Dia lantas bertanya kepada saya, "mister, kenapa serius sekali menyimak imajnasi anak saya dan bukannya menasihati bahwa itu tidak mungkin dan tidak usah berkhayal?” Kemudian saya balik bertanya, " Bu, apakah ada yang salah dengan cita-citanya?" Ibu itu menjawab, "tidak, cuma apa yang diimpikannya itu 'kan mustahil."

Lalu saya memaparkan sebuah sudut pandang yang berbeda. "Bu, 100 tahun yang lalu, apakah pernah terbayang kalau kita bisa menonton langsung perang yang sedang terjadi di luar negeri?" Ia pun menjawab bahwa ini tidak bisa dilakukan dulu. Saya lantas menimpali bahwa sekarang ada siaran langsung karena kemajuan teknologi. Jadi maksud saya adalah, saya tidak mau membatasi kemampuan anak dengan kemampuan saya sekarang. Apa yang tidak mungkin bagi kita sekarang, bisa terjadi suatu hari nanti. Lagi pula tidak ada ruginya mendengarkan ungkapan cita-cita seorang anak yang baru kelas 1 SD walaupun berupa khayalan. Yang penting khayalannya membuat dia berusaha untuk mewujudkannya.

Saya dengar, saya lupa.
Saya catat, saya ingat.
Saya olah, saya mengerti.

Tiga kalimat di atas itu yang saya terapkan dalam mengajar. Tapi seringkali banyak murid yang hanya sampai pada tahap saya catat, saya ingat. Artinya hanya teori dalam mengejar nilai, namun tidak bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Banyak juga anak-anak yang punya kemampuan yang sangat bagus tapi tidak mampu memaksimalkan apa yang mereka miliki karena tidak mau mengolahnya. Hal ini terjadi terutama dalam pelajaran yang memerlukan logika dan hitungan. Pelajaran ini perlu diolah, baru bisa dimengerti. Cara olahnya yaitu dengan latihan. Banyak yang menganggap remeh latihan dan merasa sudah tahu, tapi saat ujian, seringkali melakukan kesalahan kecil yang fatal karena tidak latihan.

Biasanya setiap awal tahun saya akan meminta mereka menuliskan New Year's resolution dan cara untuk mencapainya. Sebelum itu, kita juga akan melihat kembali resolusi tahun lalu, apa yang belum bisa dicapai dan akan dibahas kenapa, apakah caranya yang kurang tepat dan hendaknya ditambahkan untuk tahun ini. 

Dan pedoman ini selalu saya tekankan untuk diingat:
Write what you are going to do.
Do what you wrote.
Realize your role and goal when doing your activity.





No comments:

Post a Comment