Total Pageviews

Translate

Monday, October 28, 2019

The Domestic Flights

I was reading about Papua and Raja Ampat the other day. They were pristine, underdeveloped, far and expensive destinations. In short, they were exactly what I wasn't looking for, haha. I was simply reading about these places just to remind myself, what a vast country Indonesia is. 

As my life revolved mainly in Borneo and Java, it was easy to forget that Indonesia is such a big nation, so big that it has three time zones. Apart from Bali, all other regions within Central (GMT+8) and Eastern Standard Time (GMT+9) were uncharted territories to me! Yes, my travel buddies and I had been talking about the Makassar trip for years. My wife also mentioned about Sumba and Labuan Bajo from time to time. Then, there was this up and coming Raja Ampat, but no, not a single visit was ever materialised.

From Jakarta to Batam. At Batam Airport, 2005. 

In order to understand why it didn't happen, let's go back to the fact that Indonesia is an archipelago. This means the only fastest and logical choice to travel around is by airplane. The thought of taking domestic flights is, unfortunately, an uneasy one. More often than not, it was anything but pleasant. 

My first domestic flight was from Pontianak to Jakarta, when I was four. Since then, I had my fair share of bad experiences. Once was self-inflicted (I went to eat Indomie and missed my flight), the others were just my luck (or lack of it). I'd been delayed for more than six hours before I finally boarded my flight from Jakarta to Batam. Talk about Batam, my flight to Pontianak was cancelled, only for me to find out at the check-in counter (it was so unbelievable that I actually found it hilarious and laughed about it). I eventually paid a sky-high price for the last minute ticket.

At Batam Airport, 2018. The long wait for last minute tickets, after our flight to Pontianak was cancelled. 

Then of course we had to talk about the safety records. It was so patchy that many years ago, when the plane I took rocked violently during turbulence, I remember staring at the ceiling, pretty convinced that it would split open. Around me, people were praying according their own beliefs. I found myself doing the same thing, too, with both hands grabbing the seat tightly. It's funny how people suddenly became religious when the plane got extremely bumpy.

What's worse these days is the price one has to pay for such a harrowing experience. I couldn't remember when it started, but the ticket price for domestic flights had been ridiculously high for quite a long while. The most obvious example was the round-trip airfare for the Pontianak-Jakarta route. When compared with the return tickets from Singapore to Jakarta, oftentimes they were much more expensive! From what I observed, the farther the destination was, the higher the price would be. 

Round-trip fare to Hong Kong.

Back to Raja Ampat, one alternative was to fly from Jakarta to Sorong, then we could take the two-hour ferry to Waisai. The return fare of direct flight (4 hours 5 minutes) offered by AirAsia was, on average, around SGD 420. For a similar flight duration, I could have flown from Singapore to Hong Kong by paying only half the price. 

That was the very reason why I couldn't bring myself to go to East Indonesia. It just didn't make sense for me to pay so much and travel so far to go to an underdeveloped region that probably just felt like any other places in Indonesia (only Bali is distinctly different so far, thanks to its Hindu culture). That, coupled with the worst case scenarios that I would have to endure for taking domestic flights, were a buzzkill. I just couldn't shake it off.

Having said that, the local airlines and tourism board got a lot of homework to do. The airfare must be reasonably priced. The safety records and the customer experience had to be improved so that the passengers didn't feel as if they were wasting their time or risking their lives when they boarded the plane. If these prerequisites could be achieved, I'd say may be it's time for journey to the East!

The Singaporean friends at Jakarta airport, after the flight from Pontianak.


Penerbangan Domestik

Saya membaca tentang Papua dan Raja Ampat baru-baru ini. Tempat-tempat ini masih alami, belum begitu terjangkau oleh pembangunan, jauh dari Jakarta dan mahal pula biaya untuk ke sana. Secara singkat, boleh dikatakan sebagai tempat yang tidak termasuk tujuan wisata saya, haha. Saya hanya sekedar membaca untuk mengingat kembali, betapa luasnya Indonesia. 

Karena hidup saya yang berkutat di Kalimantan dan Jawa, mudah untuk lupa bahwa Indonesia itu sedemikian besarnya sehingga mencakup tiga kawasan waktu. Selain Bali, daerah lain yang termasuk WITA (GMT+8) dan WIT (GMT+9) adalah daerah-daerah yang belum pernah saya jelajahi. Ya, saya dan teman-teman seperjalanan sudah berbicara tentang kunjungan ke Makassar selama bertahun-tahun lamanya. Istri saya pun terkadang berbicara tentang Sumba dan Labuan Bajo. Kemudian ada Raja Ampat yang baru-baru ini mulai populer. Kendati begitu, tak satu pun kunjungan di atas yang terwujud hingga hari ini.

Endrico, Jimmy dan Ardian, dalam perjalanan dari Bali ke Jakarta.

Untuk mengerti kenapa demikian, perlu diingat kembali bahwa Indonesia adalah negara kepulauan. Ini artinya cara yang tercepat dan masuk akal untuk bepergian adalah dengan menaiki pesawat. Sayang sekali, yang namanya menumpang penerbangan domestik itu rasanya berat di hati. Yang sering terjadi adalah pengalaman yang tidak menyenangkan. 

Penerbangan domestik saya yang pertama adalah Pontianak ke Jakarta, sewaktu saya berumur empat tahun. Sejak saat itu, saya sudah melewati berbagai pengalaman buruk. Sekali karena salah sendiri (saya pergi makan Indomie dan ketinggalan pesawat), yang lainnya karena saya memang tidak beruntung. Penerbangan saya dari Jakarta ke Batam pernah ditunda enam jam lamanya. Bicara soal Batam, penerbangan saya dibatalkan dan baru saya ketahui ketika saya berada di depan loket untuk check-in (rasanya sulit dipercaya sehingga saya jadi geli sendiri dan tertawa). Akhirnya saya harus membayar tiket yang luar biasa mahal untuk pulang.

Ardian berjalan di landasan pacu bandara Bali.

Selanjutnya tentu saja kita harus berbicara tentang rekam jejak keamanan penerbangan domestik. Dari segi keamanan, penerbangan domestik Indonesia memiliki masalah dari waktu ke waktu. Tatkala pesawat yang saya tumpangi bergetar hebat melewati cuaca buruk, saya ingat betul bahwa saya tertegun menatap langit-langit pesawat, sebab saya merasa langit-langit tersebut akan terbelah dua. Para penumpang lain di sebelah saya sudah berdoa menurut ajaran masin-masing. Saya sendiri juga melakukan tindakan serupa sambil menggenggam sandaran tangan di kursi erat-erat. Hanya penerbangan udara yang seringkali mengingatkan manusia untuk mencari dan meminta perlindungan Tuhan.

Yang lebih buruk lagi belakangan ini adalah harga yang musti dibayar untuk penerbangan yang mungkin membuat anda mengalami pengalaman yang dijabarkan di atas. Saya tidak ingat kapan ini bermula, tapi tiket pesawat domestik sudah gila-gilaan harganya untuk jangka waktu yang lama. Yang paling jelas contohnya adalah rute Pontianak-Jakarta. Bila dibandingkan dengan tiket pulang-pergi Singapura-Jakarta, seringkali yang jurusan Pontianak itu lebih mahal! Dari apa yang saya amati, semakin jauh jarak tujuannya, semakin mahal pula harganya.

Harga pulang-pergi dari Singapura ke Hong Kong.

Kembali ke Raja Ampat, salah satu alternatif ke sana adalah dengan penerbangan dari Jakarta ke Sorong, kemudian dilanjutkan dengan feri berdurasi dua jam ke Waisai. Total harga tiket penerbangan langsung AirAsia (4 jam 5 menit) kira-kira sekitar IDR 4,2 juta. Untuk penerbangan dengan jangka waktu yang tidak jauh beda, saya bisa terbang dari Singapura ke Hong Kong hanya dengan membayar separuh harga. 

Alasan-alasan di atas menjelaskan kenapa saya tidak mau ke Indonesia Timur. Rasanya tidak masuk akal untuk membayar semahal itu dan bepergian sejauh itu hanya untuk mengunjungi tempat yang masih terbelakang dan mungkin saja bernuansa seperti daerah lain di Indonesia (hanya Bali yang terasa berbeda sejauh ini karena budaya Hindunya yang kental). Pemikiran tersebut, ditambah lagi pengalaman tidak sedap yang mungkin bisa terjadi bila menaiki penerbangan domestik, senantiasa membuat saya mengurungkan niat saya untuk menjelajah.

Endrico menaiki pesawat menuju Jakarta. 

Oleh karena alasan-alasan di atas, maskapai lokal dan badan pariwisata hendaknya berbenah. Harga tiket harus bersaing. Rekam jejak dan pengalaman penumpang sepatutnya dibina dan ditingkatkan mutunya sehingga penumpang tidak merasa membuang waktu atau mengambil resiko karena memilih penerbangan domestik. Jika hal-hal mendasar ini bisa diperbaiki, niscaya perjalanan ke Timur bisa saya lakukan. Dari situ saya mau ke Papua Nugini, haha...

No comments:

Post a Comment